Anda di halaman 1dari 19

1.

Latar Belakang Masalah


Anak merupakan investasi dalam pembangunan bangsa, untuk itu
dibutuhkan perhatian khusus, perlindungan dan kebijakan-kebijakan khusus yang
mampu mengakomodir kebutuhan dan keperluan anak-anak agar terjamin tumbuh
kembang serta masa depan anak-anak Indonesia. Baik pendidikan, kesehatan,
perlindungan terhadap anak, maupun jaminan untuk mewujudkan anak-anak yang
bahagia seyogyanya diupayakan oleh negara dalam bentuk kebijakan, program
maupun kegiatan.
Anak yang sehat dan terdidik diyakini mampu membawa Indonesia ke
masa depan yang lebih baik. Anak yang sehat dan terdidik dipercaya dapat
memunculkan inovasi dan kreasi yang mampu menyaingi perkembangan dunia di
era globalisasi sekarang dan masa depan. Telah banyak penelitian yang
menunjukkan pentingnya anak-anak yang sehat dan terdidik bagi kemajuan
bangsanya.
Anak merupakan sumber daya manusia yang sangat menentukan kejayaan
sebuah bangsa, semakin baik dan optimal tumbuh dan berkembangnya anak dalam
lingkungan yang melindungi mereka hingga menjadi dewasa, maka akan
menentukan tingkat produktivitas dan daya saing SDM Indonesia diantara bangsa-
bangsa di dunia dan menetukan eksistensi bangsa dan kejayaan bangsa.
Di Indonesia, pendidikan dan kesehatan anak merupakan momok yang
hingga saat sekarang masih menjadi masalah dan perlu dicarikan solusinya.
Indonesia merupakan negara kaya sumber daya alam diikuti dengan sumber daya
manusianya yang berlimpah dengan jumlah penduduk berkisar 250 juta jiwa.
Dengan sebaran sumber daya alam dan manusia yang dimiliki negara ini tentu
bukan tidak mungkin negara ini kelak menjadi negara besar dan disegani oleh
negara-negara lain di dunia.
Agar mimpi Indonesia untuk menjadi negara besar, diperlukan upaya-
upaya serius dan berkelanjutan dalam menangani masalah pendidikan dan
kesehatan anak di Indonesia. Sistem pendidikan di Indonesia dianggap masih
lemah dibanding dengan negara lain. Survei penilaian pendidikan internasional
yang dilakukan setiap tiga tahun oleh Programme International Student
Assessment (PISA) telah berulang kali mencatatkan nama Indonesia dalam
kelompok peringkat terendah sejak tahun 2000. Penilaian dilakukan melalui tiga
rangkaian tes, yaitu tes membaca, matematika, dan ilmu alam terhadap sejumlah
siswa sekolah berusia 15 tahun dari berbagai penjuru dunia. Ketiga tes tersebut
terlihat sederhana, tetapi kenyataannya Indonesia menempati peringkat kedua
terendah dari 65 negara yang mengikuti survei PISA pada 2012 lalu, lebih buruk
dari peringkat tahun 2009, yaitu 57. (Cynthia Devi, 2014)
Selain itu, jam belajar di Indonesia terbilang singkat, yaitu 8 jam,
dibandingkan dengan di negara maju lain yang mencapai 14 jam. Di beberapa
sekolah bahkan hanya mencapai 5 jam dikarenakan para murid harus
menggunakan ruang kelas secara bergantian atau karena minimnya jumlah
pengajar. Kekurangan sistem pendidikan dan fasilitas belajar di sana-sini inilah
yang kemudian dijadikan alasan oleh para murid bermotivasi belajar rendah untuk
semakin menjauhkan diri dari dunia pendidikan.
Kasus putus sekolah anakanak usia sekolah di Indonesia juga masih
tinggi. Berdasarkan data Kemendikbud 2010, di Indonesia terdapat lebih dari 1,8
juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan pendidikan, Hal ini disebabkan
oleh tiga faktor, yaitu faktor ekonomi; anak-anak terpaksa bekerja untuk
mendukung ekonomi keluarga; dan pernikahan di usia dini. Dalam laporan terbaru
Program Pembangunan PBB tahun 2013, Indonesia menempati posisi 121 dari
185 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan angka 0,629.
Dengan angka itu Indonesia tertinggal dari dua negara tetangga ASEAN yaitu
Malaysia (peringkat 64) dan Singapura (18), sedangkan IPM di kawasan Asia
Pasifik adalah 0,683. (Anonim, 2013)
Pendidikan di Indonesia juga tersentralisasi di Jawa. Banyak sekolah-
sekolah bagus dengan pendidik yang berkualitas, akses yang luas terpusat di Pulau
Jawa. Sehingga, masyarakat yang memiliki keterbatasan dari segi ekonomi dan
geografis di luar Pulau Jawa tidak mampu mengakses pendidikan dengan kualitas
yang sama. Daerah-daerah terpencil kesulitan mendapat akses untuk pendidik
maupun mengakses fasilitas-fasilitas penunjang pendidikan. Kondisi sekolah di
daerah terpencil umumnya memprihatinkan, bangunan yang digunakan sebagai
tempat menimba ilmu biasanya memiliki banyak keterbatasan, baik dari segi
jumlah ruang kelas yang digunakan untuk proses belajar mengajar, buku yang
digunakan, sarana dan prasarana untuk menunjang proses belajar mengajar dan
jarak yang harus ditempuh anak-anak dari rumah menuju sekolah.
Belum lagi diskriminasi yang terjadi dalam dunia pendidikan. Perlakuan
diskriminatif dalam dunia pendidikan Indonesia sebetulnya tidak hanya terjadi
antara sekolah swasta dan negeri. Lebih jauh lagi, perlakuan diskriminatif itu
terjadi terhadap individu-individu secara langsung, yakni terhadap anak-anak dari
keluarga kurang mampu serta anak-anak yang mempunyai keterbatasan fisik dan
mental. Desain pendidikan nasional Indonesia yang terbangun sebetulnya
melanggengkan diskriminasi itu.
Ada banyak faktor yang mendasari penilaian ini. Pertama, kita masih
sering menemukan bahwa anak-anak yang mempunyai cacat tertentu dalam
tubuhnya, seperti cacat kaki, pendengaran yang kurang atau penglihatan yang
terganggu akan sulit mendapatkan akses ke sekolah yang dikehendakinya. Kasus
terbaru terjadi pada awal tahun ajaran ini di Padangsidempuan Sumatra Utara.
Seorang anak yang cacat kakinya tidak diterima di SMK yang disasarnya di kota
tersebut. Penyebabnya karena dia cacat. Pihak sekolah mengklaim bahwa
keputusan itu diambil berdasarkan SK Walikota Padangsidempuan
(http://www.kksp.or.id). (Anonim, Ironi Pendidikan Indonesia: Antara Budget
Besar dan Akses Sekolah yang Sulit, 2012)
Kedua, selain anak-anak cacat, anak-acak orang miskin akan semakin sulit
untuk mendapatkan sekolah dengan kualitas yang bagus. RSBI dan SBI yang
katanya menyelenggarakan pendidikan dengan standard Internasional menerapkan
biaya yang sangat tinggi. Dengan biaya pendidikan yang sedemikian tinggi, maka
yang bisa masuk ke sekolah-sekolah tersebut hanya anak-anak dari keluarga kelas
menegah ke atas. Meskipun pemerintah mewajibkan sekolah-sekolah berstatus
RSBI dan SBI untuk memberi kuoto sekian persen kepada anak-anak dari
keluarga tidak mampu namu di lapangan selalu menunjukkan kenyataan yang
berbeda.
Ketiga, sebaran sekolah dengan fasilitas bagus, ditunjang dengan tenaga
kependidikan (guru) yang berkualitas tidak sampai ke pelosok-pelosok. Fasilitas
sekolah di pelosok-pelosok Nusantara sangat jauh tertinggal dari sekolah-sekolah
yang ada di kota-kota besar. Hal itu berlaku sama untuk sekolah-sekolah negeri
maupun swasta. Dengan fasilitas sekolah yang kurang memadai serta jaminan
yang kurang bagi para guru menyebabkan guru-guru dengan kualifikasi bagus
akan sulit melirik sekolah-sekolah di pelosok atau pedalaman. Hingga kini,
pemerintah belum mampu untuk melaksanakan amanat UU sisdiknas dan PP RI
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Maka semakin
lengkaplah sudah diskriminasi pendidikan itu dialami oleh orang-orang tidak
beruntung di negeri ini, yakni mereka yang cacat, anak-anak dari keluarga kurang
mampu serta anak-anak dari pedalaman dan pelosok Indonesia.
Belum lagi permasalahan anak jalanan yang terus bertambah dan semakin
sulit diatasi oleh pemerintah. Jumlah anak jalanan di Indonesia hingga tahun 2014
mencapai 420.000 anak. Fenomena masalah anak jalanan merupakan isu global
yang telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Anak jalanan umumnya berusia
sekitar dari 6 hingga 18 tahun merupakan antara kelompok yang beresiko tinggi
terhadap pembunuhan, pelecehan dan perlakuan tidak manusiawi. Demi
kelangsungan hidupnya, mereka akan memilih untuk melakukan pencurian
bahkan hingga menjual dirinya sendiri demi uang.
Diperkirakan sekitar 90% dari mereka yang mengalami ketergantungan
terhadap zat-zat adiktif seperti lem, bahan pewarna, dan lain-lain, dapat
mengakibatkan penyakit gagal ginjal, kerusakan otak permanen, dan bahkan
kematian. Anak Jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-
anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki
hubungan dengan keluarganya. Menurut Departemen Sosial, pengertian anak
jalanan adalah anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah
(Depsos, Aura No. 26,1997).
Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas di sektor
informal, seperti menyemir sepatu, menjual koran, mencuri kendaraan, menjadi
pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, mencopet,
atau terlibat perdagangan sex. Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat
merupakan fenomenal sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius dari
berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah
anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk,
kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir
seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual, terlebih
bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerap kali anak jalanan perempuan
menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya
digerayangi tubuh dan alat vitalnya atau bahkan diperkosa. (Putrayasa &
Wairocana, -)
Indonesia telah sejak lama menggalakkan program-program yang
bertujuan memberikan kemudahan, membuka akses yang lebar dan peluang yang
besar bagi anak-anak yang ingin bersekolah namun tidak mampu dari segi
ekonomi. Buktinya anggaran yang diperuntukkan bagi program-program
penunjang pendidikan tiap tahun terus meningkat. Anggaran fungsi pendidikan
nasional pada tahun 2014 menjadi Rp 371,2 triliun. Alokasi itu naik 7,5 persen
jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun 2013 sebanyak Rp 345,3
triliun. Hal ini telah sesuai dengan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945
untuk mengalokasikan 20 persen dari APBN. Setiap tahun anggaran pendidikan di
Indonesia mengalami trend kenaikan. Tetapi trend kenaikan ini tidak disertai
dengan peningkatan kualitas pendidikan.
Mengutip berita dari kompas.com (23/05/2013), Pada tahun 1997, kualitas
pendidikan Indonesia menempati peringkat ke-39 dari 49 negara yang disurvei.
Adapun tahun 2007, kualitas pendidikan Indonesia menurun menjadi peringkat
ke-53 dari 55 negara yang disurvei. Padahal, anggaran pendidikan meningkat
selama masa reformasi karena dipatok harus 20 persen dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Alokasi anggaran pendidikan pada tahun 2013, yang diklaim pemerintah
telah mencapai 20% dari jumlah APBN sampai saat ini belum berhasil
menyelesaikan permasalahan-permasalahan di dunia pendidikan. Sekitar 160 ribu
sekolah di nusantara tercatat tidak layak pakai, mutu dan kualitas guru yang masih
jauh di bawah standar. Mengutip dari kompas.com (23/05/2013) Pada uji
kompetensi guru yang diikuti guru bersertifikat, rata-rata nasional untuk nilai guru
hanya 43,2. Adapun nilai rata-rata nasional para guru yang belum bersertifikat di
uji kompetensi awal berkisar 42,25. Di sisi lain, kondisi minimnya riset
berkualitas yang mampu menembus di jurnal internasional setelah 15 tahun
reformasi masih menjadi persoalan.
Selain pendidikan bagi anak, kesehatan anak juga poin penting yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dalam rangka mewujudkan pembangunan bangsa
yang bermartabat. Anak yang sehat jiwa dan raga akan mampu menerima dan
melanjutkan pendidikan, mampu memunculkan ide-ide dan gagasan yang kreatif
serta inovatif yang sangat berguna bagi kemajuan bangsa dalam segala bidang.
Salah satu permasalahan kesehatan di Indonesia adalah kematian anak usia
bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang
khususnya Indonesia masih cukup tinggi. Salah satu penyebab yang menonjol
diantaranya karena keadaan gizi yang kurang baik atau bahkan buruk. Kondisi
gizi anak-anak Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan
bahkan juga dari anak-anak Afrika (Anonim, 2006). Tercatat satu dari tiga anak di
dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga
menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan
gizi serta buruknya kualitas makanan (Anonim, 2008). Badan kesehatan dunia
(WHO) memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh keadaan
gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari
80 persen kematian anak (WHO, 2011).
Status gizi buruk pada balita dapat menimbulkan pengaruh yang sangat
menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada
akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Balita hidup penderita gizi buruk
dapat mengalami penurunan kecerdasan (IQ) hingga 10 persen. Keadaan ini
memberikan petunjuk bahwa pada hakikatnya gizi yang buruk atau kurang akan
berdampak pada menurunnya kualitas sumber daya manusia. Selain itu, penyakit
rawan yang dapat diderita balita gizi buruk adalah diabetes (kencing manis) dan
penyakit jantung koroner. Dampak paling buruk yang diterima adalah kematian
pada umur yang sangat dini (Samsul, 2011).
Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development
Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun
2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen
atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010).
Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi.
Besarnya prevalensi balita gizi buruk di Indonesia antar provinsi cukup beragam.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional
prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen.
Rentang prevalensi BBLR (per 100) di Indonesia adalah 1,4 sampai 11,2, dimana
yang terendah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan tertinggi di Provinsi
Gorontalo. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah dengan balita gizi buruk masih
tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8
persen. Walaupun pada tingkat nasional prevalensi balita kurang gizi telah hampir
mencapai target MDGs, namun masih terjadi disparitas antar provinsi, antara
perdesaan dan perkotaan, dan antar kelompok sosial-ekonomi.
Tiga masalah utama yang jadi fokus penyelesaian Kemenkes RI ialah
kebiasaan merokok pada usia sekolah, kurang makan sayur dan buah, dan perilaku
mencuci tangan agar bisa mencegah penyakit. Menurut perbandingan Riskesdas
tahun 2007 dan 2010, ditemukan kejadian anak merokok pada usia sekolah ialah
usia tahun lima sampai sembilan, anak merokok pada usia sekolah meningkat dari
1.2 persen menjadi 1.7 persen. Kemudian, kategori 10 sampai dengan 14 tahun
dari 10.3 persen meningkat menjadi 17.5 persen dan makin tinggi dikategori umur
selanjutnya.
Kemudian, prevalensi anak usia sekolah kurang makan buah dan sayur
masih di angka 93.6 persen dari 100 persen untuk kategori umur 10 sampai
dengan 14 tahun. Sementara perilaku benar dalam cuci tangan ialah masih sebatas
17 persen di umur 10 sampai 14 tahun dari 100 persen. Angka kematian balita di
Indonesia, hasil SDKI 2012 adalah 40 per 1.000 kelahiran sedangkan angka
kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran hidup. Padahal angka kematian bayi yang
harus dicapai sekaligus menjadi target pencapaian MDGs adalah 23 per kelahiran
hidup. (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2013)
Pentingnya peran anak dalam membangun bangsa yang besar di masa
depan direspon oleh pemerintah dengan melegalkan kebijakan-kebijakan, baik itu
undang-undang tentang perlindungan anak, peraturan perundang-undangan,
program dan kegiatan yang mendukung perlindungan terhadap anak-anak. Baru-
baru ini, Indonesia menggalakkan program Kota Layak Anak. Kota Layak Anak
yang selanjutnya disingkat KLA adalah kota yang mempunyai sistem
pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan
sumberdaya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara
menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk
menjamin terpenuhinya hak anak.
Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) sebagai langkah awal
dalam rangka menciptakan pembangunan yang peduli terhadap hak, kebutuhan
dan kepentingan anak, sebab anak merupakan potensi yang sangat penting,
generasi penerus masa depan bangsa, penentu kualitas sumber daya manusia
Indonesia yang akan menjadi pilar utama pembangunan nasional, sehingga perlu
ditingkatkan kualitasnya dan mendapatkan perlindungan secara sungguh-sungguh
dari semua elemen masyarakat.
Indikator keberhasilan KLA adalah tersedianya pemenuhan atas hak-hak
anak di segala bidang sebagai warga kota. Anak juga diharapkan berperan aktif
dan mampu berpartisipasi dalam perencanaan dan pembangunan kota sesuai
dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Terdapat 7 aspek penting dalam
pengembangan KLA, yaitu: pendidikan, kesehatan, sosial, hak sipil dan
partisipasi, perlindungan hukum, perlindungan ketenagakerjaan, dan infrastruktur.
Tujuan umum KLA adalah Untuk membangun inisiatif pemerintah
Kabupaten/Kota yang mengarah pada upaya transformasi Konvensi Hak Anak
(Convention on the rights of Child) dari kerangka hukum ke dalam definisi,
strategi dan intervensi pembangunan, dalam bentuk kebijakan, kelembagaan,
program dan kegiatan pembangunan yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak
anak pada suatu wilayah kabupaten/kota.
Pengembangan KLA di Indonesia dengan dimensi spasial kabupaten/kota
yang besar terbilang kompleks. Hal ini disebabkan oleh struktur administrasi dan
wilayah yang besar di Indonesia. Namun dengan fakta dan kondisi yang ada
tersebut tidaklah mengurangi semangat negara Indonesia, terbukti dari target
pemerintah untuk kurun waktu 2010-2014, KPP-PA telah menargetkan
pembentukan seratus kabupaten/kota layak anak di seluruh Indonesia dari target
yang ada sampai dengan saat ini, sudah terbentuk 75 kabupaten/kota layak anak di
Indonesia.
Kota Padang merupakan salah satu kabupaten/kota yang dijadikan kota
tempat uji coba pelaksanaan kebijakan kota layak anak pada tahun 2007 dan telah
mendapatkan 3 penghargaan sebagai kota yang terbukti sebagai kota layak anak
pada tahun 2008, 2012 dan 2013. Namun, Kota Padang sendiri belum memiliki
peraturan ataupun kebijakan yang mengatur teknis pelaksanaan kota layak anak.
Sementara ini, pelaksanaan kota layak anak di Kota Padang merujuk pada
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat nomor 5 tahun 2013 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak.
Masalah publik yang perlu diatasi di Provinsi Sumatera Barat adalah
perlindungan anak. Jumlah anak jalanan yang terus meningkat di Provinsi
Sumatera Barat serta tingginya angka pelecehan dan kekerasan seksual terhadap
anak, rendahnya angka partisipasi sekolah anak-anak di Sumatera Barat dan masih
tingginya angka anak kurang gizi di Sumatera Barat menjadi indikasi penting
bahwa kebijakan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan anak-anak Provinsi
Sumatera Barat perlu ditetapkan.
Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir terjadi peningkatan kasus kekerasan
seksual terhadap anak dan perempuan di Sumatera Barat. Berdasarkan data yang
berhasil dihimpun oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.509
laporan pada tahun 2011, 59% diantaranya adalah kasus kekerasan seksual.
Sementara pada tahun 2012, terdapat 2.637 laporan, 62% diantaranya adalah
kekerasan seksual. Lebih mencengangkan lagi adalah terhitung sejak januari
hingga Maret 2013 ini, ditemukan 87 kasus dari 127 pengaduan. Itupun
statistiknya diduga masih menggunakan skala pusat saja, dan belum termasuk in-
put data dari lembaga-lembaga layanan lain di sejumlah daerah se-Indonesia.
Pada skala yang lebih kecil, angka berbeda ditunjukkan oleh Womens
Crisis Center Nurani Perempuan Padang. Terdapat 24 kasus kekerasan seksual
tahun 2011, 13 diantaranya adalah kasus perkosaan. Tahun 2012 terdapat 29
kasus, 22 diantaranya adalah kasus perkosaan. Sedangkan sejak bulan Januari
hingga April tahun ini setidaknya ada 11 kasus, 9 diantaranya adalah kasus
perkosaan. (Fadhli, 2014)
Di Limapuluh Kota, dua siswi diduga dicabuli seorang pedagang alpukat
bernama Desni alias Adek alias Idet, 47, asal Tanjuangbalik, Pangkalan Kotobaru.
Kuat dugaan jumlah korban bertambah. (Anonim, Dirantai, Mahasiswi Dibuang di
Jalan & Pedagang Alpukat Cabuli 2 Siswi, 2014). Beberapa kasus yang
dimunculkan memperkuat asumsi lemahnya perlindungan anak di Sumatera Barat.
Penyebab dari munculnya permasalahan terkait lemahnya perlindungan
terhadap anak-anak di Sumatera Barat adalah lemahnya integrasi dan koordinasi
pihak-pihak terkait dalam mensinkronisasikan kebijakan-kebijakan yang ada, serta
program-program yang telah dijalankan guna tercapai suatu kesinambungan
dalam menjamin kebutuhan dan perlindungan anak di Sumatera Barat.
2. Aktor-Aktor yang Terlibat
Proses formulasi kebijakan merupakan tahapan paling krusial dalam
menentukan keberhasilan sebuah kebijakan. Fase awal tahapan formulasi
kebijakan adalah mengidentifikasi masalah hingga tepat merumuskan masalah
yang layak dijadikan kebijakan sebagai solusi permasalahan tersebut. Selanjutnya
adalah memetakan aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan masalah.
Aktor-aktor dalam dalam proses pembentukan kebijakan dapat dibagi dalam dua
kelompok, yakni para pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi.
Para pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden
(eksekutif), legislatif dan yudikatif. Sedangkan pemeran serta tidak resmi meliputi
kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara individu.
(Winarno, 2007)
Perumusan kebijakan dalam prakteknya akan melibatkan berbagai aktor, baik
yang berasal dari aktor negara maupun aktor non negara atau yang disebut oleh
Anderson (2006, 46-67) sebagai pembuat kebijakan resmi (official policy-makers)
dan peserta non pemerintahan (nongovernmental participants). Pembuat kebijakan
resmi adalah mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam
perumusan kebijakan publik. Mereka ini menurut Anderson (2006, 46-57) terdiri
atas legislatif; eksekutif; badan administratif; serta pengadilan. Legislatif merujuk
kepada anggota kongres/dewan yang seringkali dibantu oleh para staffnya.
Adapun eksekutif merujuk kepada Presiden dan jajaran kabinetnya. Sementara itu,
badan administratif menurut Anderson merujuk kepada lembaga-lembaga
pelaksana kebijakan.
Dipihak lain menurut Anderson, Pengadilan juga merupakan aktor yang
memainkan peran besar dalam perumusan kebijakan melalui kewenangan mereka
untuk mereview kebijakan serta penafsiran mereka terhadap undang-undang
dasar. Dengan kewenangan ini, keputusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan
bentuk dari sebuah kebijakan publik. Selain pembuat kebijakan resmi, terdapat
pula peserta lain yang terlibat dalam proses kebijakan yang meliputi diantaranya
kelompok kepentingan; partai politik; organisasi penelitian; media komunikasi;
serta individu masyarakat. Mereka ini yang disebut oleh Anderson sebagai peserta
non pemerintahan (nongovernmental participants) karena penting atau
dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi kebijakan tetapi mereka tidak
memiliki kewenangan legal untuk membuat kebijakan yang mengikat.
Peranan mereka biasanya adalah dalam menyediakan informasi; memberikan
tekanan; serta mencoba untuk mempengaruhi (Anderson, 2006, 57-67). Mereka
juga dapat menawarkan proposal kebijakan yang telah mereka siapkan. Terkait
keterlibatan peserta dalam pembuatan kebijakan ini, khususya dalam tahapan
perumusan kebijakan, maka menurut Sidney (2007, 79 dalam Fischer, Miller and
Sidney, 2007) tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan peserta yang
lebih sedikit dibandingkan dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahapan ini
menurut Sidney (2007, 79 dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007), yang lebih
banyak diharapkan adalah kerja dalam merumusakan alternatif kebijakan yang
mengambil tempat diluar mata/perhatian publik. Dalam sejumlah teks standar
kebijakan, tahap perumusan disebut sebagai sebuah fungsi ruang belakang. Detail
dari kebijakan biasanya dirumuskan oleh staff dari birokrasi pemerintah, komite
legislatif, serta komisi khusus. Proses perumusan ini biasanya dilakukan di ruang
kerja dari para aktor perumus tersebut.
Terkait hal ini, meskipun pada akhirnya perumusan alternatif kebijakan dilakukan
lebih banyak oleh para aktor tersebut, menurut Jann dan Wegrich (2007, 49 dalam
Fischer, Miller and Sidney, 2007), tidak sepenuhnya bisa dipisahkan dari
masyarakat umum dalam perumusan kebijakan. Para perumus menurut Jann dan
Wegrich (2007, 49 dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007) senantiasa
berinteraksi dengan aktor sosial dan membentuk pola hubungan kebijakan (policy
networks) yang stabil diantara mereka. Jadi meskipun pada akhirnya kebijakan
ditentukan oleh institusi yang berwenang, keputusan diambil setelah melalui
proses informal negosiasi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan
demikian keterlibatan aktor lain dalam pemberian ide terhadap proses perumusan
kebijakan tetap atau sangat diperlukan.
Dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2013 tentang Perlindungan
Anak, aktor yang terlibat adalah sebagai berikut:
Tabel 1.1 Aktor yang Terlibat dalam Formulasi Peraturan Daerah Nomor 5
tahun 2013 tentang Perlindungan Anak
Aktor Formulasi Perda Peran
Pemeran Resmi Gubernur Sumatera Barat Inisiator Perda
DPRD Provinsi Sumatera
Barat
Legislator
Dinas Sosial Provinsi
Sumbar, Dinas
Pendidikan Provinsi
Sumbar, Dinas Kesehatan
Provinsi Sumbar, Badan
Implementor
Pemberdayaan
Perlindungan Perempuan
dan Anak
Pemeran Tidak Resmi LSM yang bergerak di
bidang perlindungan
anak, Womens Crisis
Center Nurani
Perempuan, media massa
Kelompok kepentingan
dan kelompok penekan
Anak-Anak di Sumatera
Barat, masyarakat
Sumatera Barat
Kelompok sasaran
Orang tua dari anak-anak
di Sumbar, sekolah-
sekolah
Kelompok penerima
manfaat (beneficiaries
group)
Sumber: diolah penulis, 2014
a. Alasan dan Argumen Keterlibatan Aktor
Masing-masing aktor memiliki peran dalam perumusan Perda
Perlindungan Anak Sumbar. Gubernur Sumatera Barat memiliki peran sebagai
inisiator ditetapkannya kebijakan ini. Tanpa adanya keseriusan dari Gubernur
Sumbar menyikapi persoalan rendahnya perlindungan anak di Sumbar, tidak
mungkin kebijakan ini terbentuk.
Baik dinas sosial provinsi sumbar, dinas kesehatan dan pendidikan
provinsi sumbar, ketiganya merupakan aktor yang terlibat langsung dalam
implementasi kebijakan. Implementor ini merupakan dinas-dinas yang tupoksi
serta kewenangannya berkaitan dengan permasalahan perlindungan anak di
provinsi sumbar. Sebagai implementor yang langsung melaksanakan
kebijakan tentunya mengetahui seluk beluk, kendala, hambatan atau justru
keunggulan dalam pelaksanaan kebijakan. Sehingga peluang pembaharuan,
perbaikan dan kemampuan kebijakan menyelesaikan permasalahan anak di
Sumbar semakin besar.
Dalam formulasi kebijakan juga terdapat kelompok kepentingan dan
kelompok penekan. Kelompok kepentingan disini adalah orang tua dari anak-
anak di Sumbar yang memiliki kepentingan agar anak-anaknya terlindungi dan
tercukupi kebutuhannya. Sedangkan untuk kelompok penekan berasal dari
LSM-LSM Sumbar yang bergerak di bidang perlindungan anak. Suara dan
aspirasi dari LSM-LSM ini sangat frontal sehingga menjadi salah satu wadah
yang mengangkat permasalahan perlindungan anak di Sumbar diangkat
menjadi agenda kebijakan.
Selanjutnya, sebagai kelompok penekan, media memiliki andil besar
dalam formulasi perda perlindungan anak ini. Media, baik itu media massa
ataupun elektronik merupakan sarana yang digunakan untuk mengangkat
masalah perlindungan anak menjadi kebijakan. Media di Sumbar terus
menerus memberitakan minimnya perlindungan yang diberikan pemerintah
terhadap anak di Sumbar hingga membentuk opini publik bahwa sumbar
membutuhkan kebijakan yang mengatur tentang perlindungan anak.
Sedangkan yang menjadi kelompok sasaran tentu saja adalah anak-anak di
Sumbar. Dan kelompok penerima manfaat adalah orang tua dari anak-anak di
Sumbar serta masyarakat Sumbar secara umum.
3. Solusi
Menurut Jann dan Wegrich (2007, 48 dalam Fischer, Miller and Sidney,
2007), didalam tahap perumusan kebijakan, permasalahan kebijakan, usulan
proposal dan tuntutan masyarakat ditransformasikan kedalam sejumlah program
pemerintah. Perumusan kebijakan dan juga adopsi kebijakan akan meliputi
definisi sasaranyakni apa yang akan dicapai melalui kebijakanserta
pertimbangan-pertimbangan terhadap sejumlah alternatif yang berbeda.
Sementara itu, menurut Anderson (2006, 103-109), perumusan kebijakan
melibatkan proses pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat
diterima (biasa disebut dengan alternatif, proposal atau pilihan) untuk menangani
permasalahan publik. Perumusan kebijakan menurut Anderson tidak selamanya
akan berakhir dengan dikeluarkannya sebagai sebuah produk peraturan
perundangundangan. Seringkali pembuat kebijakan memutuskan untuk tidak
mengambil tindakan terhadap sebuah permasalahan dan membiarkannya selesai
sendiri. Atau seringkali pembuat kebijakan tidak berhasil mencapai kata sepakat
mengenai apa yang harus dilakukan terhadap suatu masalah tertentu.
Namun demikian, pada umumnya sebuah proposal kebijakan biasanya
ditujukan untuk membawa perubahan mendasar terhadap kebijakan yang ada saat
ini. Terkait permasalahan ini, menurut Sidney (2007, 79 dalam Fischer, Miller and
Sidney, 2007), terdapat sejumlah kriteria yang membantu dalam menentukan
pemilihan terhadap alternatif kebijakan untuk dijadikan sebuah kebijakan,
misalnya: kelayakannya, penerimaan secara politis, biaya, manfaat, dan lain
sebagainya.
Sejalan dengan pendapat Sidney, Jann dan Wegrich (2007, 50 dalam
Fischer, Miller and Sidney, 2007) mengemukakan dua faktor utama yang
menentukan sejauhmana alternatif kebijakan akan diadopsi menjadi kebijakan,
yakni: (1) penghilangan alternatif kebijakan akan ditentukan oleh sejumlah
parameter susbtansial dasarmisalnya kelangkaan sumberdaya untuk dapat
melaksanakan alternatif kebijakan. Sumberdaya ini dapat berupa sumberdaya
ekonomi maupun dukungan politik yang didapat dalam proses pembuatan
kebijakan.
Apabila dalam proses pembuatan kebijakan suatu alternatif kebijakan
banyak mendapat kritikan secara politik, maka alternatif tersebut layak untuk
dihilangkan karena kurangnya dukungan politik. (2) alokasi kompetensi yang
dimiliki oleh berbagai aktor juga memainkan peranan penting dalam penentuan
kebijakan. Diluar kedua faktor tersebut, Jann dan Wegrich (2007, 51 dalam
Fischer, Miller and Sidney, 2007) juga mengemukakan mengenai peranan penting
dari akademisi yang berperan sebagai penasehat kebijakan atau pemikir (think
tanks). Pengetahuan dari para penasehat ini seringkali berpengaruh dalam proses
perumusan kebijakan.
Untuk menekan angka kekerasan seksual terhadap anak, maraknya anak
jalanan, rendahnya angka partisipasi sekolah dan rendahnya asupan gizi yang
diterima anak-anak di Provinsi Sumbar, diperlukan sebuah kebijakan yang mampu
mengintegrasikan program-program dan kebijakan-kebijakan yang telah ada.
Gubernur Sumbar merespon kebutuhan masyarakat tersebut dengan mengeluarkan
Perda Nomor 5 tahun 2013 tentang Perlindungan Anak yang isinya mengatur
tentang hak-hak anak untuk memeroleh perlindungan. Serta guna mewujudkan
Provinsi Sumbar sebagai daerah yang kabupaten/kotanya ramah terhadap anak-
anak.
Dengan lahirnya Perda Nomor 5 tahun 2013 tentang Perlindungan Anak,
masing-masing dinas dan instansi terkait memiliki tupoksi dan kewenangan yang
saling bertumpu satu dengan lainnya. Sehingga kebijakan-kebijakan dan program-
program yang ada terintegrasi dan berkelanjutan guna terwujudnya anak-anak
Sumbar yang tercukupi kebutuhannya dan terlindungi keamanan fisik serta
mentalnya.
Beberapa alternatif yang dapat dijadikan pilihan kebijakan bagi perumus
kebijakan adalah:
Program Orang Tua Asuh
Orang Tua Asuh adalah sebuah program bantuan dana pendidikan yang
ditujukan kepada anak-anak yang tidak mampu secara financial untuk menggapai
mimpinya melalui dunia pendidikan. Pada dasarnya setiap warga masyarakat
dapat menjadi Orang Tua Asuh, baik secara perorangan atau berkelompok
maupun melalui organisasi / lembaga / badan penyelenggara program bantuan
anak asuh.
Aspek Ekonomi
Biaya digunakan untuk biaya sekolah dan keperluan yang lain. Untuk
SMP biaya SPP sebesar Rp 90.000,- tiap bulan dan SMA sebesar Rp
120.000,- tiap bulan. Biaya di bayar tiap bulan atau tiap 3 bulan sekali
tergantung masing Orang tua Asuh.
Aspek Sosial Budaya
Program orang tua asuh secara langsung akan mengajarkan budaya dan
pola pikir yang baru terhadap anak-anak jalanan. Anak jalanan akan
terbiasa disiplin dalam hidup, belajar sabar dalam meraih cita-cita, dan
lebih berpikiran intelektual.

Program Mendata, Memulangkan dan Memberi Jaminan Ekonomi
Aspek Ekonomi
Anak jalanan ditampung dan diasramakan serta mendapatkan pendidikan
dan pelayanan kebutuhan dasar bagi anak jalanan. Dana yang
digelontorkan sebesar Rp. 10 ribu/anak/hari selama 1 tahun, berasal dari
APBN.
Aspek Sosial Budaya
Mengajarkan budaya dan pola pikir yang baru terhadap anak-anak jalanan.
Anak jalanan akan terbiasa disiplin dalam hidup, belajar sabar dalam
meraih cita-cita, dan lebih berpikiran intelektual.
Politik
Para politikus akan berlomba-lomba untuk membantu dan
mensejahterakan pedesaan melalui serangkaian program-program demi
menarik simpati rakyat.
Keamanan
Dengan memulangkan anak jalanan, dapat dipastikan jalanan di jalan-jalan
protokol yang dianggap tempat-tempat umum rawan gelandangan jalanan
akan meningkatkan keamanan warga.
Warga Binaan Sosial
Para anak jalanan tersebut dipekerjakan sebagai buruh di sebuah
perusahaan. Para WBS ini tidak hanya mendapatkan pekerjaan, tetapi juga
mendapatkan rumah, kontrak kerja, gaji dan jaminan kesehatan selama bekerja di
perusahaan tersebut.
Ekonomi
Dana untuk warga binaan disediakan oleh pemerintah, atau bisa saja
bekerja sama dengan pihak perusahaan swasta.
Sosial Budaya
Para anak jalanan ini akan diberikan pekerjaan yang layak, sehingga
otomatis akan mengubah pola pikir serta kebiasaan meminta-minta, belajar
disiplin dan bekerja keras.
Keamanan
Selain keamanan para warga terjamin, anak jalanan juga akan terhindar
dari mafia jalanan yang umumnya mengeksploitasi mereka.
Program Kendali Daerah Tempat Tinggal
Berupa program yang memberdayakan masyarakat setempat dalam ruang
lingkup wilayah tertentu (RT/RW/Nagari) untuk bersama-sama memberantas
perilaku-perilaku maksiat, tercela dan tindakan-tindakan yang identik dengan
pelecehan seksual melalui tindakan preventif berupa pemberlakuan jam malam
untuk anak-anak, maupun tindakan pengendalian berupa hukuman dan sangsi
sosial bagi pelaku kejahatan terhadap anak.
Ekonomi
Dari segi aspek ekonomi kebijakan ini minim cost karena hanya
memberdayakan masyarakat setempat. Kalaupun ada biaya, bisa
ditanggung dan dikelola melalui swadaya masyarakat.
Sosial Budaya
Dari segi sosial budaya seharusnya kebijakan ini sangat implementatif
karena sesuai dengan karakter masyarakat Minangkabau yang erat dengan
kegiatan gotong royong.







Daftar Pustaka

Anonim. (2012, Februari 2). Ironi Pendidikan Indonesia: Antara Budget Besar dan Akses
Sekolah yang Sulit. Retrieved Juni 1, 2014, from Kompasiana:
http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/02/ironi-pendidikan-indonesia-antara-
budget-besat-dan-akses-sekolah-yang-sulit-435597.html
Anonim. (2013, - -). Kilas Balik Dunia Pendidikan di Indonesia. Retrieved Juni 2, 2014,
from Indonesian International Education Foundation: http://www.prestasi-
iief.org/index.php/id/feature/68-kilas-balik-dunia-pendidikan-di-indonesia
Anonim. (2014, Mei 22). Dirantai, Mahasiswi Dibuang di Jalan & Pedagang Alpukat
Cabuli 2 Siswi. -, pp. -.
Cynthia Devi, P. (2014, April 1). Bumi dan Langit Pendidikan Indonesia: Memperbaiki
Fokus Perbaikan. Retrieved Juni 1, 2014, from Bisnis Indonesia "Writing
Contest" : http://writing-
contest.bisnis.com/artikel/read/20140401/377/215400/bumi-dan-langit-
pendidikan-indonesia-memperbaiki-fokus-perbaikan
Fadhli, A. (2014, - -). Memutus Rantai Kekerasan terhadap Anak. -, pp. -.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Ringkasan
Eksekutif: Data dan Informasi Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Putrayasa, I. K., & Wairocana, I. G. (-, - -). Tingkat Kekerasan Terhadap Anak Jalanan
yang Menjadi Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual. Hukum Pidana. Bali,
Indonesia: Universitas Udayana.
Winarno, B. (2007). Kebijakan Publik Teori dan Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.

Anda mungkin juga menyukai