Anda di halaman 1dari 38

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah penyakit kardiovaskular yang saat
ini merupakan salah satu penyebab utama kematian di negara maju dan
berkembang, termasuk Indonesia, menggantikan kematian akibat infeksi.
Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh
tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian. Di Indonesia, dilaporkan
insiden PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi) sebesar
26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi dari angka kematian yang disebabkan
oleh kanker (6%). Dengan kata lain, lebih kurang satu diantara empat orang yang
meninggal di Indonesia adalah akibat PJK. Berbagai faktor resiko mempunyai
peran penting timbulnya PJK mulai dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi,
infeksi, dan banyak faktor lain yang saling terkait.
1
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis
Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan
kematian. Banyak kematian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal
serangan. Kematian yang terjadi sebelum pasien sampai rumah sakit berhubungan
dengan aritmia maligna, sedangkan kematian yang terjadi di rumah sakit lebih
banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk gagal jantung
kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan pula dengan luasnya
infark miokard, oleh karena itu, membatasi infark akan menurunkan mortalitas.
1, 2

2

1.2 Rumusan Masalah
Pembahasan di dalam makalah ini dibatasi pada definisi, etiologi, faktor
resiko, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis
Sindrom Koroner Akut.

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui dan mampu menegakkan diagnosis serta memahami
penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sirkulasi koroner
2. Mengetahui definisi Sindrom Koroner Akut
3. Mengetahui epidemiologi Sindrom Koroner Akut
4. Mengetahui etiologi dan faktor resiko Sindrom Koroner Akut
5. Mengetahui patofisiologi Sindrom Koroner Akut
6. Mengetahui cara mendiagnosis Sindrom Koroner Akut
7. Mengetahui penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
8. Mengetahui komplikasi Sindrom Koroner Akut
9. Mengetahui prognosis Sindrom Koroner Akut

1.4 Manfaat
Dapat menjadi referensi mahasiswa Fakultas Kedokteran dalam
menghadapi kasus Sindrom Koroner Akut.
3


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sirkulasi
Efisiensi jantung sebagai pompa bergantung pada nutrisi dan oksigenasi
otot jantung melalui sirkulasi koroner. Sirkulasi koroner meliputi seluruh
permukaan epikardium jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium
melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil.
4

Arteri koronaria adalah percabangan pertama sirkulasi sistemik. Arteri
koronaria utama terletak pada permukaan jantung dan arteri-arteri kecil
menembus permukaan masuk dalam massa otot jantung. Darah hampir seluruhnya
melalui arteri-arteri ini sehingga jantung menerima penyediaan darah nutritifnya.
Hanya 75 sampai 100 mikrometer bagian dalam permukaan endokardium yang
dapat memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup berarti langsung dari darah
dalam ruang jantung, sehingga sumber nutrisi ini bersifat kecil sekali.

Arteri
koronaria kiri terutama menyuplai bagian anterior dan lateral ventrikel kiri,
sedangkan arteri koronaria kanan menyuplai sebagian besar ventrikel kanan serta
bagian posterior ventrikel kiri pada 80 sampai 90% orang.

Gambaran pembuluh
koroner pada jantung dapat dilihat pada gambar 2.1.
3





4



Gambar 2.1 Pembuluh koroner



Sebagian besar aliran darah vena dari ventrikel kiri meninggalkan sinus
koronarius (yang merupakan 75% dari aliran darah koroner total) dan sebagian
besar darah vena dari ventrikel kanan mengalir melalui vena kardiakus anterior
kecil langsung melalui atrium kanan, tidak melalui sinus koronarius. Sebagian
kecil darah koroner mengalir kembali ke dalam jantung melalui vena thebesi yang
sangat kecil yang mengosongkan darahnya langsung ke semua ruang jantung.
3
Terdapat anastomosis antara cabang arteria yang sangat kecil dalam
sirkulasi koronaria. Walaupun saluran antar-koroner tidak berfungsi dalam
sirkulasi normal, tetapi menjadi sangat penting sebagai rute alternatif atau
sirkulasi kolateral untuk mendukung miokardium melalui aliran darah. Setelah
terjadi oklusi mendadak, sirkulasi ini akan berfungsi dalam beberapa hari atau
lebih dari itu. Pada penyempitan pembuluh darah secara bertahap, akan terbentuk
pembuluh darah fungsional besar secara terus menerus di antara pembuluh darah
Sumber: Guyton, A. C, J. E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed X. Jakarta.
2007
5

yang mengalami penyumbatan dan yang tidak. Pembuluh darah kolateral ini
sering berperan penting dalam mempertahankan fungsi miokardium saat terdapat
oklusi pembuluh darah.
4

Aliran darah normal koroner waktu istirahat pada manusia biasa rata-rata
sekitar 225 ml/menit, yaitu kira-kira 0,7 sampai 0,8 ml/gram otot jantung atau 4
sampai 5 % curah jantung total. Pada kerja fisik yang berat, jantung seorang
dewasa muda akan meningkat curah jantungnya 4-7 kali lipat, dan memompa
darah ini melawan tekanan arteri yang lebih tinggi daripada normal. Akibatnya,
hasil kerja jantung pada keadaan luar biasa dapat meningkat 6-8 kali lipat. Aliran
darah koroner meningkat 3-4 kali lipat guna menyediakan makanan tambahan
yang diperlukan oleh jantung.
3
Sistem kardiovaskuler banyak dipersarafi oleh serabut-serabut sistem saraf
otonom. Sistem saraf otonom dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem
parasimpatis dan simpatis dengan efek yang saling berlawanan untuk
mempengaruhi perubahan pada denyut jantung.
4

Perangsangan saraf ke jantung dapat mempengaruhi aliran darah koroner
baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung merupakan hasil
dari kerja langsung bahan-bahan transmiter saraf, asetil kolin dari nervus vagus
dan norepinefrin dari saraf simpatis pada pembuluh darah koroner itu sendiri.
Pengaruh tidak langsung terjadi akibat perubahan sekunder pada aliran darah
koroner yang disebabkan oleh kenaikan atau penurunan aktivitas jantung.
3
Pengaruh tidak langsung memainkan peranan yang jauh lebih penting
dalam pengaturan normal aliran darah koroner. Rangsangan simpatis, yang
melepaskan norepinefrin, meningkatkan frekuensi dan kontraksi jantung maupun
6

derajat metabolismenya. Selanjutnya, kenaikan aktivitas jantung akan
mengaktifkan mekanisme pengaturan aliran darah lokal guna mendilatasikan
pembuluh koroner, dan aliran darah meningkat sebanding dengan kebutuhan
metabolik otot jantung. Sebaliknya, perangsangan vagus, yang melepaskan
asetilkolin, akan memperlambat jantung dan memberi sedikit pengaruh penekanan
pada kontraktilitas jantung. Kedua pengaruh ini menurunkan konsumsi oksigen
jantung dan secara tidak langsung menyebabkan konstriksi koroner.
3

2.2 Definisi Sindrom Koroner Akut
Pengertian Sindroma Koroner Akut (SKA) merujuk pada sekumpulan
keluhan dan tanda klinis yang sesuai dengan iskemia miokardium akut. SKA
merupakan suatu spketrum dalam perjalanan penderita penyakit jantung coroner
(aterosklerosis coroner) yang meliputi angina pektoris tidak stabil (unstable
angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi
segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark
miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI).
1,2
Bagan 2.1 Ruang Lingkup Sindrom Koroner Akut

Sindrom
Koroner Akut
Tanpa elevasi
segmen-ST
APTS
NSTEMI
Elevasi
segmen-ST
STEMI
UA
7

Sumber : Muchid, A. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta. 2006.

2.3 Epidemiologi
Sindrom Koroner Akut adala keawatan kardiovaskuler yang merupakan
penyebab utama kematian. Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit.
Kematian yang terjadi sebelum pasien sampai di rumah sakit berhubungan dengan
aritmia maligna (VT/VF). Banyak kejadian yang terjadi dalam empat jam pertama
setelah awal serangan. Kematian di rumah sakit lebih banyak berhubungan dengan
menurunnya curah jantung termasuk gagal jantung kongestif dan syok
kardiogenik. Kematian berhubungan pula dengan luasnya infark miokard. Oleh
karena itu, upaya membatasi luas infark akan menurunkan mortalitas.
2


2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut
Penyebab terjadinya SKA secara teoritis dapat disebabkan oleh:
2
1. Trombosis koroner
Pada penelitian angiographi dan studi pasca-mati yang dilakukan pada
pasien segera setelah timbulnya keluhan menunjukkan lebih dari 85%
didapatkan adalah oklusi thrombus pada arteri penyebab (culprit artery).
Trombus yang terbentuk merupakan campuran trombus putih dan trombus
merah.
2. Retakan plak
Trombosis koroner umumnya terjadi dihubungkan dengan retakan plak.
Perubahan yang tiba-tiba dari angina stabil menjadi tidak stabil atau infark
8

miokard umumnya berhubungan dengan retakan plak pada titik dimana
tekanan shear stressnya tinggi dan seringkali dihubungkan dengan plak
aterosklerosis yang ringan. Plak yang mengalami robekan kemudian
merangsang agregasi trombosit yang selanjutnya akan membentuk trombus.
3. Spasme Arteri Koroner
Spasme arteri coroner juga berperan penting dalam patofisiologi SKA.
Perubahan tonus pembuluh darah coroner melalui Nitric Oxide (NO) endogen
dapat membawa variasi ambang rangsang angina di antara satu pasien dengan
yang lain antara satu waktu dengan waktu yang lain. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tonus arteri yaitu hipoksia, katekolamin endogen, dan zat
vasoaktif ( serotonin, adenosine diphospat).

Faktor risiko SKA adalah sebagai berikut:
1. Aterosklerosis dengan pembentukan sumbatan trombus.
a. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi.
4
1) Usia
Laki-laki berusia 45 tahun perempuan berusia 55 tahun atau
menopause prematur tanpa terapi penggantian estrogen.
2) Riwayat penyakit arteri koroner pada keluarga.
3) Infark miokard pada ayah atau saudara laki-laki sebelum berusia 55
tahun, pada ibu atau saudara perempuan sebelum berusia 65 tahun.


b. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi.
4,5

1) Hiperlipidemia (LDL-C) yaitu 160 mg/dl.
2) HDL-C rendah yaitu, 40 mg/dl
9

3) Hipertensi
4) Merokok
5) Diabetes mellitus
6) Obesitas
7) Ketidakaktifan fisik
8) Hiperhomosisteinemia

2. Faktor-faktor nonatherosklerosis.
4,5

1) Vaskulitis
2) Emboli koronaria
3) Anomali koronaria kongenital
4) Trauma koronaria
5) Faktor-faktor yang meningkatkan pemakaian oksigen, seperti kegiatan
jasmani berat, demam atau hipertiroidisme.
6) Faktor-faktor yang menurunkan pengantaran oksigen, seperti
hipoksemia pada anemia berat.

2.5 Patofisiologi Sindrom Koroner Akut
a. Iskemia
Kebutuhan oksigen yang melebihi kapasitas suplai oksigen oleh pembuluh
darah yang mengalami gangguan menyebabkan terjadinya iskemia miokardium
lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan perubahan reversibel
pada tingkat sel dan jaringan serta menekan fungsi sel miokardium.
4

10

Berkurangnya kadar oksigen mendorong miokardium untuk mengubah
metabolisme aerob menjadi metabolisme anaerob. Hasil akhir metabolisme
anaerob yaitu asam laktat akan tertimbun sehingga pH sel menurun.
4

Gabungan efek hipoksia, berkurangnya energi yang tersedia dan asidosis,
dengan cepat mengganggu fungsi ventrikel kiri. Menurunnya fungsi ventrikel kiri
dapat mengurangi curah jantung dengan berkurangnya volume sekuncup. Selain
itu, gerakan dinding segmen yang mengalami iskemia akan menjadi abnormal.
Hal itu akan menyebabkan perubahan hemodinamika. Pada iskemia, manifestasi
hemodinamika yang sering terjadi adalah peningkatan ringan tekanan darah dan
denyut jantung sebelum timbul nyeri. Ini merupakan respon kompensasi simpatis
terhadap berkurangnya fungsi miokardium. Penurunan tekanan darah merupakan
tanda bahwa miokardium yang terserang iskemia cukup luas atau merupakan
suatu respon vagus.
4

Angina pektoris adalah nyeri dada yang menyertai iskemia miokardium.
Mekanisme pastinya belum jelas, namun diduga reseptor saraf nyeri terangsang
oleh metabolit yang tertimbun, oleh suatu zat kimia antara yang belum diketahui,
atau oleh stress mekanik lokal akibat kelainan kontraksi miokardium. Nyeri
biasanya digambarkan sebagai suatu tekanan substernal, kadang-kadang menyebar
turun ke sisi medial lengan kiri. Tangan yang menggengam dan diletakkan di atas
sternum melukiskan pola angina klasik, seperti yang terlihat pada gambar 2.2.
4
Gambar 2.2 Pola Khas Nyeri yang Dijalarkan Angina Pektoris
11


b. Infark
Iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan
kerusakan sel irreversible serta nekrosis atau kematian otot. Bagian miokardium
yang mengalami infark akan berhenti berkontraksi secara permanen. Ukuran
infark akhir bergantung pada nasib daerah iskemik daerah tersebut. Bila pinggir
daerah ini mengalami nekrosis maka besar daerah infark akan bertambah besar,
sedangkan perbaikan iskemia akan memperkecil daerah nekrosis.
4

Secara morfologis, infark miokardium dapat berupa transmural atau sub-
endokardial. Infark transmural mengenai seluruh dinding miokardium dan terjadi
pada daerah distribusi suatu arteri koroner. Sebaliknya pada infrak sub-
endokadial, nekrosis hanya terjadi pada bagian dalam dinding ventrikel dan
umumnya berbercak-bercak. Gambaran kedua jenis infark tersebut dapat dilihat
pada gambar 2.3.
4
Gambar 2.3 Infark Subendokardial dan Transmural


Sumber : Price, S. A, L. M. Wilson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit Ed VI. Jakarta. 2006.
12



SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat
utama dari proses aterotrombosis. Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan
trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak
aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages
(foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel
otot polos dan kolagen.

Perjalanan penyakit SKA terlihat pada gambar 2.4:
1,2

Gambar 2.4 Perjalanan penyakit SKA
Sumber : Price, S. A, L. M. Wilson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit Ed VI. Jakarta. 2006.
13


Sumber : Karo-karo, S. dkk. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung
Lanjut ACLS Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2011




Beberapa hal yang mendasari patofisiologi SKA adalah :
a. Plak Tidak Stabil
Penyebab utama terjadinya SKA adalah rupturnya plak yang kaya lipid dengan
cangkangnya yang tipis. Umumnya plak yang mengalami rupture secara
hemodinamik tidak signifikan besar lesinya. Adanya komponen sel inflamasi yang
berada di bawah subendotel merupakan titik lemah dan merupakan predisposisi
terjadinya rupture plak. Kecepatan aliran darah, turbulensi, dan anatomi pembuluh
darah juga memberikan kontribusi terhadap hal tersebut.
14

b. Ruptur Plak
Setelah plak ruptur, sel-sel platelet akan menutupi atau menempel pada plak
yang rupture. Rupture akan merangsang dan mengaktifkan agregasi platelet.
Fibrinogen akan menyelimuti platelet yang kemudian merangsang pembentukan
thrombin.
c. Angina Tidak Stabil
Sumbatan thrombus yang parsial akan menimbulkan gejala iskemia yang lebih
lama dan dapat terjadi saat istirahat. Pada fase ini thrombus kaya akan platelet
sehingga terapi aspirin, clopidogrel, dan GP IIb/IIIa inhibitor paling efektif.
Pemberian trombolisis pada fase ini tidak efektif dan sebaliknya dapat
mengakselerasi oklusi dengan melepaskan bekuan yang berikatan dengan
thrombin yang dapat mempromosi terjadinya koagulasi. Oklusi thrombus yang
bersifat intermiten dapat menyebabkan nekrosis miokard sehingga menimbulkan
NSTEMI.


d. Mikroemboli
Mikroemboli dapat berasal dari thrombus distal dan bersarang di dalam
mikrovaskular coroner yang menyebabkan troponin jantung meningkat (penanda
adanya nekrosis di jantung). Kondisi ini merupakan risiko tinggi terjadinya infark
miokardium yang lebih luas.
e. Oklusif Trombus
Jika thrombus menyumbat total pembuluh darah coroner dalam jangka waktu
yang lama, maka akan menyebabkan STEMI. Bekuan ini kaya akan thrombin,
15

oleh karena itu pemberian fibrinolysis yang cepat dan tepat atau langsung
dilakukan PCI (Percutaneous Coronary Intervention) dapat membatasi perluasan
infark miokardium.

2.6 Diagnosis Sindrom Koroner Akut
Ada tiga komponen untuk diagnosis infark miokard, yaitu :
8

(1) Penampilan klinis, dinilai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
(2) Pemeriksaan EKG
(3) Peningkatan biomarker kimiawi.

2.6.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dada berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika
dicurigai nyeri dada berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal
dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada infark miokard
sebelumnya serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus,
dislipidemia, merokok, stress atau sakit koroner pada keluarga.
5

Gejala umum iskemia dan infark miokardium adala nyeri dada
retrosternal. Pasien seringkali merasa dada ditekan atau dihimpit lebih dominan
dibandingkanrasa nyeri. Yang perlu diperhatikan dalam evaluasi keluhan nyeri
dada iskemik SKA adalah:
2

1. Lokasi nyeri : di daerah retrosternal dan pasien sulit melokalisir rasa nyeri.
2. Deskripsi nyeri : pasien mengeluh rasa berat seperti dihmpit, ditekan atau
diremas, rasa tersebut lebih dominan dibandingkan rasa nyeri. Perlu
16

diwaspadai juga bila pasien mengeluh nyeri epigastrik, sinkop, atau sesak
nafas (angina ekuivalen).
3. Penjalaran nyeri : penjalaran ke lengan kiri, bahu, punggung, leher terasa
tercekik atau rahang bawah (rasa ngilu) kadang penjalaran ke lengan kanan
atau kedua lengan.
4. Lama nyeri : nyeri pada SKA lebi dari 20 menit
5. Gejala sistemik: disertai keluhan seperti mual, muntah atau keringat dingin.
Untuk membedakan nyeri dada karena SKA dengan yang lain, perlu
disingkirkan gejala khas penyakit lain, yaitu:
5
Gejala emboli pulmonal
- Sesak nafas yang datang mendadak
- Nafas cepat
- Nyeri seperti tertusuk pada bagian tengah dada dan semakin nyeri jika
bernafas dalam.
Gejala perikarditis
- Nyeri tajam dan terbakar di bagian tengah dada, makin sakit dengan nafas
dalam
- Disertai dengan batuk, demam, sesak nafas dan sakit ketika menelan
sebelum nyeri dada muncul.

Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat oleh Canadian Cardiovascular
Society (CCS)sebagai berikut:
7

17

Klas I : Aktivitas sehari-hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1-2
lantai dan lain-lain tidak menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul
pada latihan berat, berjalan cepat serta terburu-buru berpergian.
Klas II : Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pektoris
dapat timbul bila melakukan aktivitas lebih berat dari biasanya, seperti jalan
kaki 2 blok, naik tangga lebih dari satu lantai.
Klas III : Aktivitas sehari-hari nyata terbatas.
Klas IV : Angina pektoris bisa timbul waktu istirahat sekalipun.

2.6.2 Pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG)


Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai SKA. Pemeriksaan ini harus dilakukan
segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pada pasien UA dan NSTEMI,
adanya depresi segmen ST yang baru menunjukkan kemungkinan adanya iskemia
akut. Gelombang T negatif juga salah satu tanda iskemia atau NSTEMI.
Perubahan gelombang ST dan T nonspesifik seperti depresi segmen ST kurang
dari 0,5 mm dari garis isoelektrik dan gelombang T negatif kurang dari 2 mm
seperti pada gambar 2.5, tidak spesifik untuk iskemia, dan dapat disebabkan
karena hal lain. Pada 4 % pasien UA dan 1-6% pasien NSTEMI memiliki
gambaran EKG normal.
7
Gambar 2.5 Depresi segmen-ST
18


Pada pasien STEMI, pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam
menentukan keputusan terapi karena gambaran elevasi segmen ST lebih dari 2
mm dari garis isoelektrik seperti gambar 2.6 mengidentifikasi pasien yang
bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak
diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan
kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantapan EKG 12
sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi
perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi
kanan harus diambil untuk mendeteksi infark pada ventrikel kanan.
7

Gambar 2.6 Elevasi segmen-ST

Gambaran EKG pasien SKA terlihat pada gambar 2.7 dan 2.8 berikut.


Gambar 2.7 Gambaran EKG pasien SKA
19


Gambar 2.8 EKG pasien STEMI

20



Daerah miokardium yang mengalami infark tergantung pada arteri
koronaria mana yang tersumbat dan seberapa luas aliran darah kolateralnya.
Hampir semua infark miokardim mengenai ventrikel kiri karena ventrikel kiri
merupakan ruang jantung yang paling muskuler dan bertugas melakukan sebagian
besar pekerjaan sehingga sangat rentan terhadap gangguan pasokan darah.
Beberapa infark inferior juga mengenai sebagian ventrikel kanan. Perubahan EKG
khas pada infark hanya terjadi pada sadapan-sadapan yang memonitor atau dekat
infark, seperti yang dapat dilihat sebagai berikut:
4,8
1. Infark inferior mengenai permukaan diafragma jantung. Infark ini sering
disebabkan oleh oklusi arteri koronaria kanan atau cabang desendensnya.
Perubahan EKG yang khas infark dapat ditemukan pada sadapan II, III dan
aVF inferior.
2. Infark dinding lateral mengenai dinding lateral kiri jantung. Infark ini sering
disebabkan oleh oklusi arteri sirkumfleksa kiri. Perubahan-perubahan akan
terjadi pada sadapan I, aVL, V
5
, dan V
6
kiri.
21

3. Infark anterior mengenai permukaan anterior ventrikel kiri dan biasanya
disebabkan oleh penyumbatan arteri desendens anterior kiri. Salah satu dari
sadapan prekordial (V
1
sampai dengan V
6
) dapat menunjukkan perubahan.
4. Infark posterior mengenai permukaan posterior jantung dan biasanya
disebabkan oleh penyumbatan arteri koronaria kanan. Tidak ada sadapan
yang memonitor dinding posterior. Karenanya diagnosis harus dibuat dengan
mencari perubahan-perubahan resiprokal pada sadapan-sadapan anterior,
terutama V
1
.









2.6.3 Peningkatan biomarker kimiawi
Alat diagnostik terakhir adalah pelepasan dan peningkatan penanda
biokimiawi serum pada cedera sel jantung. Kedua penanda biokimia digunakan
dalam penegakan diagnosis cedera miokardium akut. Penanda tersebut adalah
kreatinin kinase (creatinin kinase, CK) serta isoenzimnya yaitu creatinin kinase
MB (CK-MB), dan troponin yaitu cardiac-specific troponin T (cTnT) dan
cardiac-spesific troponin I (cTnI).
4

Gambar 2.9 Aksis EKG
22

Kreatinin kinase merupakan suatu enzim yang dilepaskan saat terjadi
cedera otot dan memiliki tiga fraksi isoenzim, yaitu CK-MM, CK-BB dan CK-
MB. CK-BB paling banyak terdapat pada jaringan otak. CK-MM dijumpai dalam
otot skelet dan paling terbanyak dalam sirkulasi. CK-MB paling banyak terdapat
pada miokardium dan merupakan penanda cedera otot yang paling spesifik seperti
pada infark miokardium.
4

Troponin jantung-spesifik juga merupakan petunjuk adanya cedera
miokardium. Troponin-troponin ini merupakan protein regulator yang
mengendalikan hubungan aktin dan myosin yang diperantarai kalsium. Tidak
adanya troponin saat peningkatan CK cenderung menyingkirkan adanya cedera
miokardium. Troponin-troponin ini merupakan protein regulator yang
mengendalikan hubungan aktin dan myosin yang diperantarai kalsium. Tidak
adanya troponin saat peningkatan CK cenderung menyingkirkan adanya infark
miokardium. Pada tabel 2.1 dan gambar 2.5 terlihat peningkatan biomarker
jantung.
4
Gambar 2.10 Peningkatan biomarker jantung

23

Sumber : Antman,et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of
Patients With ST-Elevation Myocardial Infarction. Philadelphia. 2004

Secara garis besar, diagnosis SKA dapat dilihat pada tabel 2.2.
4

Tabel 2.1 Diagnosis Sindrom Koroner Akut
Jenis Nyeri dada EKG Enzim Jantung
Angina
Pektoris
Tidak
Stabil
Angina pada waktu
istirahat/aktivitas ringan
(CCS III-IV). Cresendo
angina. Hilang dengan nitrat
Depresi segmen T,
Inversi gelombang
T, Tidak ada
gelombang Q
Tidak
meningkat
NSTEMI Lebih berat dan lama (> 30
menit). Tidak hilang dengan
nitrat, perlu opium
Depresi segmen
ST, Inversi
gelombang T
Meningkat
minimal 2 kali
nilai batas atas
normal
STEMI Lebih berat dan lama (> 30
menit) tidak hilang dengan
nitrat, perlu opium
Elevasi segmen T,
Gelombang Q,
Inversi gelombang
T
Meningkat
minimal 2 kali
nilai batas atas
normal
Sumber: Muchid, A. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner: Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta. 2006.




24

2.7 Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
2.7.1 Penatalaksanaan Pra Rumah Sakit
Tujuan penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner
untuk menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya infark
miokard, dan mempertahankan fungsi jantung. Penderita SKA perlu penanganan
segera mulai sejak di luar rumah sakit sampai di rumah sakit. Diagnosis SKA
dalam keadaan dini merupakan kemampuan yang harus dimiliki dokter/tenaga
medis karena akan memperbaiki prognosis pasien.
1
Penatalaksanaan yang bisa dilakukan sebelum sampai ke rumah sakit
prinsipnya adalah sebagai berikut :
2

Monitoring dan amankan ABC. Persiapkan RJP dan defibrilasi
Berikan aspirin, dan pertimbangkan oksien, nitroliserin dan morfin jika
diperlukan.
Pemeriksaan EKG 12- sadapan dan interpretasi
Lakukan poemberitahuan ke RS untuk melakukan persiapan penerimaan pasien
dengan STEMI
Bila akan diberikan fibrinolitik prehospital, lakukan check-list terapi
fibrinolitik
Semua pasien dengan kecurigaan atau diagnosis pasti SKA harus dikirim
dengan ambulan dan fasilitas monitoring dari tanda vital. Pasien harus diberikan
penghilang rasa sakit, nitrat dan oksigen nasal. Pasien harus ditandu dengan posisi
yang menyenangkan, dianjurkan elevasi kepala 40 derajat dan harus terpasang
akses intravena. Sebaiknya digunakan ambulan/ambulan khusus.
1

25

2.7.2 Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat
Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena SKA
berpacu dengan waktu dan bila makin cepat tindakan dilakukan hasilnya akan
lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun
membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung.
1
Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut :
2

a. Penilaian awal di IGD (< 10 menit)
Cek tanda vital, evaluasi saturasi oksigen
Pasang intravena
Lakukan anamnesis singkat, terarah dan pemeriksaan fisik
Lengkapi check-list fibrinolitik, cek kontraindikasi
Lakukan pemeriksaan enzim jantung, elektrolit, dan pembekuan darah
Pemeriksaan sinar X (<30 menit setelah pasien sampai di IGD)
b. Terapi awal di IGD
Segera berikan Oksigen 4L/menit kanul nasal, pertahankan saturasi O2>
90%
Berikan aspirin 160-325mg
Nitrogliserin sublingual atau semprot
Morfin IV jika nyeri dada tidak berkurang dengan nitrogliserin

2.7.3 Penatalaksanaan lanjutan di Rumah Sakit
2.7.3.1 UA/NSTEMI
Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien
NSTEMI/UA yaitu:
7

26

1. Terapi antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada dan mencegah nyeri dada berulang,
dapat diberikan terapi awal mencakup nitrogliserin (NTG) dan penyekat beta.
2

Tablet nitrogliserin diberikan sublingual 0,4 mg sampai 3 kali dengan
interval 3-5 menit jika tidak terdapat kontraindikasi.

Nitrogliserin adalah
venodilator dan penggunaannya harus berhati-hati pada keadaan di bawah ini:
2,6

a. Infark inferior atau infark ventrikel kanan
b. Hipotensi dibawah 90 mmHg atau tekanan darah turun lebih dari 30
mmHg, bradikardi (< 40x per menit), atau takikardi (> 140x per menit).
c. Penggunaan obat penghambat phospodiesterase ( contoh: viagra) dalam
waktu < 24 jam.
Penyekat beta oral diberikan dengan target frekuensi jantung 50-60
kali/menit. Jika nyeri dada menetap walaupun dengan pemberian nitrogliserin
intravena, morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg dapat diberikan tiap 5-30 menit
sampai dosis total 20 mg.
7
2. Terapi Antitrombotik
Oklusi thrombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam
patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan
thrombin-activated fibrin bertanggungjawab atas perkembangan klot. Oleh karena
itu, terapi antiplatelet dan anti trombin menjadi komponen kunci dalam
perawatan.
7



27

3. Terapi Antiplatelet
a. Aspirin
Aspirin diberikan 160-325 mg dikunyah untuk pasien yang belum
mendapat aspirin dan tidak ada riwayat alergi dan tidak ada bukti perdarahan
lambung saat pemeriksaan.

Peran penting aspirin adalah menghambat
siklooksigenase-1 yang telah dibuktikan dari penelitian klinis sehingga aspirin
menjadi tulang punggung dalam penatalaksanaan UA/NSTEMI.
2,7

b. Clopidogrel dan ticlopidin
Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang
waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat
aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga menurunkan
kejadian iskemi.

Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi
dengan Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah
komplikasi gastrointestinalnya, meskipun tidak terlepas dari adanya risiko
perdarahan.

Clopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama pada
UA/NSTEMI, kecuali mereka dengan risiko tinggi perdarahan.
10
c. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)
Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet dan cukup kuat
terhadap semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas. Guideline ACC/AHA menetapkan pasien-pasien risiko
tinggi terutama pasien dengan troponin positif yang menjalani angiografi,
mungkin sebaiknya mendapat antagonis GP IIb/IIIa.
7,10

28

4. Terapi Antikoagulan
a. Unfractionated Heparin (UFH)
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang
lebih aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah
pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak
langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet.
10

b. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)
Diberikan pada UA/NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH.
10

Berdasarkan ACC/AHA, secara keseluruhan penatalaksanaan UA/NSTEMI
dapat dilihat pada bagan 2.2.












29



Bagan 2.2 Algoritma penatalaksanaan UA/NSTEMI

















Sumber : Pollack.C, Eugene.B.2007 Update to the ACC/AHA Guidelines for the
Management of Patients With Unstable Angina and NonST-Segment Elevation
Myocardial Infarction: Implications for Emergency Department Practice.
Philadelphia. 2007
Nyeri dada
- Clopidogrel
- Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor
- PCI (Percutaneous Coronary
Intervention), CABG
(Coronary Artery Bypass
Grafting Surgery), atau
manajemen medis sesuai
indikasi
- NTG dan morfin untuk
mengatasi gejala
- Penyekat beta
- Antikoagulan
Terus ulangi terapi
sebelumnya saat onset gejala
- NTG
- Morfin jika diperlukan
- Penyekat beta
- Antikoagulan
- Clopidogrel
- Inisiasi Glycoprotein
IIb/IIIa Inhibitor
Normal atau non-
diagnostik
Penanganan STEMI
Positif
Oksigen, ASA
EKG
Segmen-ST
Segmen-ST
Troponin
Troponin
Negatif
Berikan tes
provokatif
Pulangkan pasien
- Penyekat beta
- Antikoagulan
Negatif
Konsul kardiologi
Positif
Positif
Negatif
Negatif Positif
Terus ulangi terapi
sebelumnya saat onset gejala
30

2.7.3.2 STEMI
Pada pasien nyeri dada, pemeriksaan EKG harus segera dilakukan dalam
10 menit pertama. Jika didapatkan STEMI, keputusan apakah pasien akan diterapi
dengan trombolisis atau Primary PCI harus dibuat 10 menit berikutnya.
Keberhasilan penanganan pada pasien STEMI adalah jika dapat mencapai waktu
door-to-drug yaitu 30 menit dan waktu door-to-ballon pada 90 menit.
5

Prinsip penatalaksanaan adalah :
5

1. Menyeimbangkan antara suplai oksigen dengan pemakaian untuk
mencegah iskemia berlanjut.
2. Menghilangkan rasa nyeri.
3. Mencegah dan menangani komplikasi.
Penatalaksanaan pada pasien STEMI adalah sebagai berikut:
1

1) Pasang infus intravena: dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%.
2) Pantau tanda vital: setiap jam sampai stabil, kemudian tiap 4 jam atau
sesuai dengan kebutuhan, catat jika frekuensi jantung < 60 kali/mnt atau >
110 kali/mnt; tekanan darah < 90 mmHg atau > 150 mmHg; frekuensi
nafas < 8 kali/mnt atau > 22 kali/mnt.
3) Aktifitas istirahat di tempat tidur dengan kursi commode di samping tempat
tidur dan mobilisasi sesuai toleransi setelah 12 jam.
4). Medikamentosa :
Oksigen nasal mulai 2 l/mnt: dalam 2-3 jam pertama; dilanjutkan jika
saturasi oksigen arteri rendah (< 90%)
Mengatasi rasa nyeri: Morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap
lima menit sampai dosis total 20 mg, atau Petidin 25-50 mg intravena, atau
31

Tramadol 25-50 mg intravena. Nitrat sublingual, intravena jika nyeri
berulang dan berkepanjangan.
5). Terapi reperfusi (trombolitik) streptokinase atau tPa
Berdasarkan pada asumsi bahwa infark miokardium akut
disebabkan oleh trombosis koroner pada sebagian besar pasien, intervensi
ditujukan untuk mengatasi trombosis koroner segera setelah awitan infark
miokardium akut untuk memulihkan miokardium (menurunkan ukuran
akhir infark). Reperfusi dilakukan dengan sekelompok obat yang disebut
fibrinolitik. Obat-obatan ini mencakup streptokinase, urokinase, aktivator
plasminogen jaringan (tissue plasminogen activator, TPA), dan
rekombinan reteplase. Dengan berbagai mekanisme, obat-obat ini memicu
konversi plasminogen menjadi plasmin. Melalui degradasi fibrin oleh
plasmin, terjadi lisis bekuan dan aliran darah kembali mengalir ke arteri
koronaria yang mengalami oklusi secara akut. Setelah terapi fibrinolitik,
biasanya diberikan antikoagulasi dengan heparin dan terapi antitrombotik
untuk mencegah terjadinya trombosis.
6). Antitrombotik :
Aspirin (160-325 mg hisap atau telan)
Heparin
7). Mengatasi rasa takut dan cemas: diazepam 3 x 2-5 mg oral atau intravena.
8). Obat pelunak tinja: laktulosa (laksadin) 2 x 15 ml.
9).Terapi tambahan: Penyekat beta; jika tidak ada kontraindikasi. Penghambat
ACE terutama pada: IMA luas atau anterior, gagal jantung tanpa hipotensi,
riwayat infark miokard.
32

2.8 Komplikasi Sindrom Koroner Akut
Jika tidak mendapat penatalaksanaan segera, SKA bisa mengakibatkan
berbagai komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain gagal jantung
kongestif, syok kardiogenik, disritmia dan perikarditis.
4


2.9 Prognosis Sindrom Koroner Akut
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis infark miokard:
1. Klasifikasi Killip
Klasifikasi ini dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.
7

Tabel 2.3 Klasifikasi Killip
Klas Definisi Mortalitas (%)
I
II
III
IV
Tak ada tanda gagal jantung kongestif
+ S3 dan/atau ronkhi basah
Edema paru
Syok Kardiogenik
6
17
30-40
60-80
Sumber : Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Ed IV.
Jakarta. 2006.
2. TIMI risk score
Ini merupakan sistem prognostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai pada pasien STEMI
yang mendapat terapi antitrombolitik.
7



33

Tabel 2.4 Skor Risiko untuk pasien STEMI
Faktor Risiko (Bobot) Skor risiko/ Mortalitas 30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin)
Usia > 75 tahun (3 poin)
Diabetes mellitus/hipertensi atau angina (1
poin)
Takanan darah sistolik <100 mmHg (2
poin)
Frekuensi jantung > 100 mmHg (2 poin)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin)
Berat < 67 kg (1 poin)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin)
0/(0,8)
1/(1,6)
2/(2,2)
3/(4,4)
4/(7,3)
5/(12,4)
6/(16,1)
7/(23,4)
8/(26,8)
>8/(35,9)

Sumber : Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Ed IV.
Jakarta. 2006.
Sementara untuk pasien NSTEMI, skor risiko TIMI adalah mencakup
sebagai berikut (masing-masing dinilai 1 poin):
7
Usia 65 tahun
Stenosis koroner 50%
Deviasi segmen-ST pada pemeriksaan EKG
Minimal 2 serangan dalam 24 jam
Penggunaan ASA selama 7 hari
Minimal ada 3 faktor risiko penyakit arteri koroner ( pria, hipertenssi,
adanya riwayat keluarga, hiperlipidemia, obesitas, merokok dan DM)
Peningkatan biomarker jantung serum
34

Berdasarkan poin tersebut, stratifikasi risiko pasien, yaitu:
11
Rendah, jumlah poin 0-2 risiko mortalitas 5-8%
Intermediet, jumlah poin 3-4 risiko mortalitas 13-20%
Tinggi, jumlah poin 5-7 risiko mortalitas 26-41%.
35

BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses
penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA),
infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST
(Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard
gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI).
Terdapat suatu keseimbangan kritis antara penyediaan dan kebutuhan
oksigen miokardium dimana penyediaan oksigen harus sesuai dengan kebutuhan.
Berkurangnya penyediaan oksigen atau meningkatnya kebutuhan oksigen dapat
mengganggu keseimbangan ini dan membahayakan fungsi miokardium. Adanya
gangguan dari keseimbangan inilah yang dapat menyebabkan SKA. Penyebab
SKA secara teoritis adalah trombosis koroner, retakan plak dan spasme arteri
koroner.
Untuk mendiagnosis SKA, ada tiga komponen yang harus diperiksa, yaitu
penampilan klinis, dinilai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
EKG, serta peningkatan biomarker kimiawi jantung. Angina pektoris tak stabil
dan NSTEMI diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan
patofisiologi dan gambaran klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan
36

keduannya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan
manifestasi klinis angina pectoris tidak stabil yang menunjukkan bukti adanya
nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Sementara, diagnosis
STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran
EKG adanya elevasi ST
Dalam penatalaksanaan kasus SKA ada berbagai tahapan tatalaksana yang
harus dilaksanakan, antara lain tatalaksana pra rumah sakit, tatalaksana di ruang
gawat darurat dan tatalaksana umum yang dilakukan di RS. Prinsip
penatalaksanaan SKA adalah mengembalikan aliran darah koroner untuk
menyelamatkan jantung dari infark miokard, membatasi luasnya infark miokard,
dan mempertahankan fungsi jantung.
3.2. Saran
Sindrom koroner akut merupakan salah satu kasus yang tidak sederhana.
Sebagian besar penatalaksanaan hanya bisa dilakukan di rumah sakit atau pusat
kesehatan lain yang memiliki fasilitas lengkap untuk menegakkan diagnosis dan
melakukan penatalaksanaan kasus ini. Sebagai seorang Mahasiswa kedokteran,
diperlukan pengetahuan serta pemahaman tentang SKA, sehingga jika bertemu
kasus ini di lapangan, kita setidaknya dapat mengarahkan diagnosis secara klinis
dan melakukan tatalaksana awal yang diperlukan secara tepat untuk kemudian
dapat segera merujuk pasien ke tempat yang memiliki fasilitas terapi sehingga
tidak terjadi keterlambatan diagnosis maupun terapi.

37

DAFTAR PUSTAKA

1. Muchid, A. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner:
Fokus Sindrom Koroner Akut. Jakarta: direktorat Bina Farmasi komunitas
dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat kesehatan Departemen
Kesehatan, 2006.
2. Karo-karo, S. dkk. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut
ACLS Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2011.
3. Guyton, A. C, J. E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Ed X. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.
4. Price, S. A, L. M. Wilson. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses
penyakit Ed VI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2006.
5. Fenton, Drew E. Acute Coronary Syndrome; (diunduh 2 Februari 2012).
Tersedia dari URL: http://emedicine.medscape.com/article/759321-
overview
6. Antman,et al. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With
ST-Elevation Myocardial Infarction. Philadelphia: American College of
Cardiology Foundation and the American Heart Association, Inc. 2004.
7. Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III Ed IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006.
38

8. Thaler, Malcom S. Satu-satunya Buku EKG yang Anda Perlukan. Jakarta:
Hipokrates, 2000.
9. Pollack.C, Eugene.B. 2007 Update to the ACC/AHA Guidelines for the
Management of Patients With Unstable Angina and NonST-Segment
Elevation Myocardial Infarction: Implications for Emergency Department
Practice. Philadelphia: Annals of Emergency Medicine. 2007.
10. Harrisons. Principles of Internal Medicine, 17th ed. Philadelphia: McGraw
Hill, 2000.

Anda mungkin juga menyukai