Anda di halaman 1dari 24

ANAK HASIL ZINA DAN ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH

OLEH Drs.H.SUMASNO.SH.M.Hum.
HAKIM TINGGI BANJARMASIN.

LATAR BELAKANG
Pada Februari 2012 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang cukup
mengejutkan banyak pihak, yaitu dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin. Putusan ini lantas
mengundang pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi,
LSM, MUI, bahkan masyarakat. Putusan MK mengenai pengakuan anak di luar perkawinan
mengejutkan. Walaupun melegakan sejumlah pihak, tapi akan ada permasalahan baru yang
timbul dari putusan mahkamah konstitusi tersebut. Atas dasar hal tersebut diatas, penulis hendak
mencoba membedah kedudukan anak lahir di luar nikah pasca putusan MK sebagaimana telah
disebut sebelumnya. Analisa baru Jika menggunakan analisis hukum, putusan MK dalam kasus
Hj. Aisyah Mochtar alias Machica si pelantun lagu Ilalang itu, maka ada beberapa hal yang
patut menjadi catatan. Pertama, persoalan status anak yang lahir di luar perkawinan dari kasus
Machica itu bermuara pada masalah pernikahan yang tidak tercatat. Kedua, pengembangan
analisis selanjutnya adalah seputar anak yang lahir di luar perkawinan, dan anak yang sah dalam
perspektif bahasa, Undang-undang dan perspektif kasus posisi dari kasus Machica. Ketiga,
menyangkut kewenangan Pengadilan Agama.
Bagaimana aspek yuridis dari pernikahan yang tidak tercatat, di sini akan menjurus pada
persoalan yuridis materiil dan yuridis formil. Bagaimana pengertian anak yang lahir di luar
perkawinan sebelum dan sesudah putusan MK, di sini akan tampak pergeseran makna.
Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang tidak tercatat. Pencatatan
perkawinan di Indonesia senantiasa menjadi topik menarik karena ragam pendapat senantiasa
muncul, baik sebelum terbentuk UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun
sesudahnya. Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh Departemen Agama
1


1
Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 (tiga belas) kitab fikih yang dijadikan pedoman
dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Tiga belas kitab tersebut adalah: (1) al-Bajuri, (2) Fathal-Mu'in,
(3) Syarqawi 'ala al-Tahrir, , (4) al-Mahalli, (5) Fath al-Wahab, (6) Tuhfat, (7) Tagrib al-Musytaq (8) Qawanin al-
Syar'iyyat Utsman Ibn Yahya, (9) Qawanin. al-Syar'iyyat Shadaqat Di'an, (10) Syamsuri fi al-Fara'idh, (11) Bugyat
al-Mustarsyidin, (12) al-Fiqh 'ala Madzahib al-Arba'ah, dan (13) Mugni al-Muhtaj. Lihat Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional (Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H),
Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hlm. 11. Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2005, hlm. 33.

1

dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan Peradilan Agama, tidak terdapat ulama yang
menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah
maupun sebagai syarat pelengkap. Akan tetapi, dalam undang-undang perkawinan yang
diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan itu ada, sebagai bagian dari
pengawasan perkawinan yang diamanatkan oleh undang-undang.
2


ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN

A. Perkawinan Yang Tidak Tercatat
Dalam konteks pencatatan perkawinan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk
sebuah perkawinan yang tidak tercatat, ada yang menyebut kawin di bawah tangan, kawin syar'i,
kawin modin, dan kerap pula disebut kawin kiyai.
3
Perkawinan tidak tercatat ialah perkawinan
yang secara material telah memenuhi ketentuan syari'atsesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo
pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975.
4

Pada umumnya yang dimaksud perkawinan tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak
dicatat oleh PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara
agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti perkawinan
yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5
Perkawinan tidak tercatat
termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh undang-undang; karena
terdapat kecenderungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa perkawinan tidak
tercatat termasuk perkawinan ilegal.
Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa
pencatatan perkawinan bukan sebagai syarat sah perkawinan; tetapi sebagai alat untuk
menciptakan ketertiban perkawinan.



2
Ibid., hlm. 69.
3 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:
Pustaka Dinamika, 2002, hlm. 110.
4
Ibid., hlm. 110.
5
Jaih Mubarok, op.cit., hlm. 87.


2

Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi
perkawinan tidak tercatat. Dengan kata lain, perkawinan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang
sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam
penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang-undang
peradilan agama. Aqad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas,
di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki
surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan
rukun perkawinan. Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam
hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1
Tahun 1974).
6

Suatu perkawinan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut
secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Perkawinan yang
demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab,
perkawinan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan
karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan.
7
Pernikahan apa pun selain yang tercatat
secara resmi di negara hukumnya tidak sah.
8
Permasalahannya jika perkawinan harus tercatat
maka kaum pria merasa keberatan terutama pria yang sudah memiliki istri, karena untuk
poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita perkawinan
tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono-gini,
juga akan kehilangan hak-haknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap
dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan perkawinan memberatkan kaum pria, di lain pihak
perkawinan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak.



6
Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002, hlm. 224.
7

M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006, hlm. 216.
8
Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: FKUI, 2006, hlm. 83.

3

B. Anak Lahir Di Luar Perkawinan Dalam Perspektif Bahasa
Kenyataan yang ada di masyarakat luas, anak Indonesia terdapat tiga (3) macam
status kelahirannya, yaitu :
1. Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah ;
2. Anak yang lahir di luar perkawinan;
3. Anak yang lahir tanpa perkawinan (anak hasil zina).
Anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, adalah anak yang
lahir dari perkawinan yang sah, perkawinan yang mengikuti prosedur Pasal 2 ayat 1 dan ayat
2 UU Nomor 1 Tahun 1974. Kedudukan anak yang sah dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan
antara lain:
a. Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada Pasal 28-B ayat (1), yaitu : " Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah " ;
b. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada Pasal 42, yaitu : " Anak
sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah " ;
c. Pasal 2 ayat (1), yaitu : " Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu";
d. Pasal 2 ayat (2), yaitu : " Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku " Oleh karena anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang
sah ini bukan merupakan titik pembahasan, maka penulis memandang tidak perlu
diperluas pembahasannya, kecuali dua macam anak yang akan diuraikan dibawah ini.

Anak yang lahir di luar perkawinan, adalah anak yang lahir dari perkawinan yang
dilakukan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pengertian ini
menunjukkan adanya perkawinan, dan jika dilakukan menurut agama Islam, maka
perkawinan yang demikian sah dalam perspektif fikih Islam sepanjang memenuhi syarat
dan rukun perkawinan. Dengan demikian anak tersebut sah dalam kacamata agama, yaitu sah
secara materiil, namun karena tidak tercatat baik di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di
Kantor Catatan Sipil (anak hasil nikah sirri, seperti halnya Machica Mochtar dengan
Moerdiono), maka tidak sah secara formil.
4

Untuk istilah anak yang lahir di luar perkawinan, maka istilah ini yang tepat untuk
kasus Machica, mengingat anak yang lahir itu sebagai hasil perkawinan dengan memenuhi
syarat dan rukun secara agama, namun tidak tercatat. Jadi bukanlah sebagaimana
berkembangnya persepsi yang salah yang menganggap kasus anak dari Machica dengan
Moerdiono sebagai anak hasil zina. Kasus tersebut merupakan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan karena perkawinannya hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun
1974, dan tidak memenuhi Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Pada dasarnya perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan prosedur sesuai
dengan pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
itulah yang dimaksud dengan perkawinan yang sesungguhnya menurut UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Jika perkawinan dilakukan hanya mengikuti pasal 2 ayat 1 saja, maka
perkawinan itu disebut luar perkawinan, oleh karena itu pasal 43 ayat 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 TentangPerkawinan itu tidak berdiri sendiri, sangat berkaitan dengan
adanya perkawinan sebagaimana diatur oleh pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Disebut luar perkawinan, karena perkawinan itu dilakukan di luar prosedur pada pasal
2 ayat 2. Tidak bisa "luar perkawinan" itu diartikan sebagai perzinaan, karena perbuatan zina
itu dilakukan sama sekali tanpa ada perkawinan, beda sekali antara luar perkawinan dengan
tanpa perkawinan. Analoginya bandingkan dengan kata-kata : saya tidur di luar rumah,
artinya rumahnya ada tetapi saya tidur di luarnya, tetapi kalau saya tidur tanpa rumah, berarti
rumahnya tidak ada. Oleh karena itu jika disebut "perkawinan" sudah pasti perkawinan itu
sudah dilakukan minimal sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah yang disebut " luar perkawinan ", sedangkan
perzinaan sama sekali tidak tersentuh dengan term perkawinan.

Anak yang lahir tanpa perkawinan, adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara
pria dengan wanita tanpa ada ikatan perkawinan. Inklusif anak yang lahir atas pertemuan
ovum dengan sperma dari pasangan suami istri yang menikah secara sah keberadaan anak
melalui Bayi Tabung, namun anak tersebut ketika dalam masa kandungan dititipkan kepada
rahim selain ibunya yang sah. Anak yang lahir demikian tidak sah secara materiil juga tidak
sah secara formil.
5

Pemahaman yang keliru terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-
VIII/2010 terutama terhadap kalimat anak yang dilahirkan di luar perkawinan membawa
kepada perdebatan panjang. Frasa di luar perkawinan sangat berbeda maknanya dengan
frasa tanpa perkawinan. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau anak yang lahir dari
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaannya tapi tidak
tercatat pada KUA atau Kantor Catatan Sipil merupakan anak yang sah secara materiil tapi
tidak sah secara formil. Sedangkan anak yang dilahirkan tanpa perkawinan orang tuanya atau
anak yang dilahirkan dari hubungan antara lelaki dengan perempuan tanpa adanya ikatan
perkawinan merupakan anak yang tidak sah secara materiil juga tidak sah secara formil (anak
zina). Jadi putusan MK ini tidak bisa dihubungkan dengan perzinahan atau akibat
perzinahan, kasus yang melatarbelakangi putusan ini hanya berkaitan dengan pencatatan
perkawinan.

C. Tinjauan Hukum Islam Perspektif Figh
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum Islam memiliki arti yang sangat
penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan mahram (nasab) antara anak
dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang
laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari
perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat
disebut dengan anak yang sah, biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang
sah dan ia hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya. Dengan demikian membicarakan asal
usul anak sebenarnya membicarakan anak yang sah.
Tampaknya fikih menganut pemahaman yang cukup tegas berkenaan dengan anak yang
sah. Kendatipun tidak ditemukan definisi yang jelas dan tegas berkenaan dengan anak yang sah,
namun dilihat dari definisi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadis, dapat diberikan batasan, anak yang sah
adalah anak yang lahir oleh sebab dan di dalam perkawinan yang sah. Selain itu, disebut sebagai
anak zina (walad al-zina) yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.



6

Secara implisit al-Qur'an, 23/ 5-6 menyatakan:
_ > >`l L.> _
| _ls > !. >l. ..., .| ,s _,.l. _
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela
(QS. al-Mu'minun: 5-6)
9


Selanjutnya di dalam surah al-Isra', 17/ 32 juga dijelaskan:
,1. _.l ..| l :>. ,!. ,,. __
Artinya: Jangan kamu dekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-
buruk jalan(QS. al-Isra': 32).
10

Larangan-larangan al-Qur'an di atas, tidak saja dimaksudkan agar setiap orang menjaga
kehormatan dirinya, tetapi juga yang lebih penting menghindarkan dampak terburuk dari
pelanggaran larangan itu. Lahirnya anak zina, sebenarnya adalah akibat dari pelanggaran
larangan-larangan Allah tersebut.
Selanjutnya, kendatipun fikih tidak memberikan definisi yang tegas tentang anak yang
sah, namun para ulama mendefinisikan anak zina sebagai kontra anak yang sah.
Anak zina adalah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak
li'an adalah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami istri
saling meli'an dengan sifat tuduhan yang jelas.
11



9
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya,
Surabaya: DEPAG RI, 1978, hlm. 526.
10
Ibid., hlm. 429.
11
Fathurrahman Djamil, "Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat
Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hnkum Islam
Komtemporer, Buku Pertaama, Jakarta: Firdaus, 2002, hlm. 129.
7

Definisi di atas membicarakan dua jenis status anak. Anak zina yang lahir dari hubungan
yang tidak sah (zina) dan anak li'an. Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri secara sah,
kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari
kesahan anak itu apabila:
a. Istri melahirkan anak sebelum masa kehamilan.
b. Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.
12

Berkenaan dengan batas minimal masa kehamilan, jumhur ulama telah menetapkannya
selama enam bulan. Dasarnya adalah firman Allah surah al-Ahqaf: 15

!.,. _.. ,.l, !...>| .l.- .. !> .-. !> .l.- .l.. ..l. : _.> :| _l,
.:.: _l, _,-, .. _! , _.s >: ,..-. _.l .-. _ls _ls _ _.- !>l..
.. _l. _| _ _.`,: _.| ,. ,,l| _.| _. _,.`..l _
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan
susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan
kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri". (QS. al-Ahqaf: 15).
13





12
Ibid.,
13
Yayasan Penterjemah/Pentafsir al-Quran, op.cit., hlm.824.

8

Selanjutnya di dalam surah Luqman: 14, Allah SWT. berfirman:

!.,. _.. ,.l, .l.- .. !.> _ls _> .l. . _ _,.l. : _| ,,.ll _|| ,..l
Artinya:Dan kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu bapaknya; ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya
dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Ku lah kembalimu (QS. Luqman: 14).
14


Dalam surah al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan
menyapih yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman dijelaskan batas maksimal
menyapih adalah 2 tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 puluh bulan
dikurangi 24 bulan sama dengan enam bulan.
15
Informasi ini diberikan oleh Ibn Abbas dan disepakati para ulama yang menafsirkan
bahwa ayat pertama menunjukkan bahwa tenggang waktu mengandung dan menyapih adalah 30
bulan. Ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusukan secara sempurna
membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Berarti bayi membutuhkan waktu
30-24 = 6 bulan di dalam kandungan.
16
Pendapat ini agaknya disepakati oleh ahli fikih yang diperoleh dengan menangkap dalil
isyarah al-Qur'an. Bahkan Wahbah al-Zuhaily menyebutnya sebagai satu bentuk pengambilan
hukum yang sahih.
17

Jika dianalisis pandangan fikih berkenaan dengan anak sah ini dapatlah dipahami bahwa
anak sah dimulai sejak terjadinya konsepsi atau pembuahan sel telur (ovum) oleh sperma yang
terjadi pada rahim wanita calon ibu dan konsepsi ini haruslah terjadi di dalam perkawinan yang
sah. Dari sinilah penetapan anak sah tersebut dilakukan.
18



14
Ibid., hlm. 654.
15
Ibid
16
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998, hlm. 224.
17
Musthafa Rahman, Anak Luar Nikah: Status dan Implikasi Hukumnya, Jakarta: Atmaja, 2003, hlm. 45.
18
Ibid.,
9

Dengan demikian Hukum Islam menegaskan
19
bahwa seorang anak supaya dapat
dianggap sebagai anak yang sah dari suami ibunya, anak itu harus lahir sekurang-kurangnya
enam bulan sesudah pernikahan atau di dalam tenggang 'iddah selama empat bulan sepuluh hari
sesudah perkawinan terputus.
Mengenai tenggang waktu ini ada aliran di antara ahli fikih yang berpendapat seorang
anak lahir setelah melampaui tenggang 'iddah sesudah perkawinan terputus, adalah anak sah dari
bekas suaminya asal dapat dianggap bahwa kelahirannya disebabkan oleh perbuatan bersetubuh
antara bekas suami istri itu. Dengan adanya perbedaan pandangan tersebut, ditetapkanlah
tenggang waktu maksimun selama empat tahun, asal saja nyata bahwa dalam waktu empat tahun
tadi ibunya tidak ada mengeluarkan kotoran.
20
Dengan demikian, apabila bayi lahir kurang dari
enam bulan sejak masa perkawinan, maka anak tersebut tidak dapat dihubungkan
kekerabatannya dengan bapaknya kendatipun lahir dalam perkawinan yang sah. Ia hanya
memiliki hubungan nasab dengan ibunya saja.
Disinilah perbedaannya, antara pandangan figh dengan dengan Undang-undang
Perkawinan di Indonesia, oleh karena pandangan figh tidak mengenal pencatatan nikah, maka
pengertian luar perkawinan sama pengertiannya dengan zina, sedangkan Undang-undang
Perkawinan Indonesia karena mengharuskan pencatatan, maka tidak dapat di samakan antara luar
perkawainan dengan zina. Luar perkawinan di Indonesia menurut figh adalah sah sedangkan zina
menurut pandangan figh adalah tidak pernah tersentuh dengan istilah perkawinan.

D. Anak Sah Dalam Perspektif Undang-undang
Pembahasan anak sah ditinjau dari undang-undang dapat dilihat dari beberapa
ketentuan, antara lain dalam Pasal 28-B ayat 1 Undang-undang Dasar Tahun 1945 berbunyi :
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah .




19
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur, 2010, hlm. 72.
20
Ibid., hlm. 72.

10

Kata-kata melanjutkan keturunan apapun pengertian pasti terjemahan konkritnya
adalah anak yakni kehadirannya melalui pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik
berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan, yang
keberadaannya harus dilakukan melalui perkawinan yang sah, hal ini dipertegas dengan Pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi : anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah .
Pasal ini tidak termasuk yang dilakukan uji materiil oleh MK, oleh karena itu
keberadaannya masih eksis dan keberlakuannya masih harus dipedomani, jika menurut putusan
MK memandang tidak tepat jika menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena
lembaga seksual di luar perkawinan, hanya memiliki hubungan dengan ibunya, itu sudah benar
tetapi tidak dapat melepaskan diri dari Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 42 ayat 1 UU No.
1 Tahun 1974.
Oleh karena putusan MK tersebut tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan pasal-pasal
tersebut diatas, maka kata-kata anak diluar perkawinan tidak dapat dikatakan anak hasil
perzinahan, karena anak hasil perzinahan bertentangan dengan kedua pasal tersebut diatas, begitu
juga jika yang dimaksudkan oleh undang-undang adalah zina maka bahasanya jelas yaitu
zina, bukan luar perkawinan, seperti tercantum dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, yaitu berbunyi Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
dari perzinaan tersebut. Pasal itu jelas membedakan antara zina dengan luar perkawinan, Oleh
karena itu tidak pada tempatnya jika kata-kata anak luar pekawinan dimaknai dengan anak hasil
perzinahan.









11

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA

Kekuasaan mengadili bagi Pengadilan Agama ditentukan oleh Pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dan
diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Dalam
penjelasan Pasal 49 tersebut, terdapat dua (2) butir kekuasaan Pengadilan Agama di antara 22
butir kekuasaan mengadili bagi pengadilan agama, yang terdapat pada penjelasan angka 37 Pasal
49 huruf a Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006, dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama, yakni :
1. Angka 14 mengenai putusan sah tidaknya seorang anak , dan
2. Angka 20 mengenai penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam.

Sehubungan dengan kewenangan tersebut diatas, untuk menyikapi putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010, ini khusus untuk Pengadilan Agama dapat menerima permohonan tentang
pengesahan anak, penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak sepanjang
memenuhi syarat-syarat yang
berpedoman kepada :
a. Pasal 28-B ayat 1 UUD tahun 1945 yang berbunyi Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui Perkawinanan yang sah .
b. Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
c. Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang berbunyi Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepecayaannya
itu ; dan ayat (2), yaitu : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku . Jika hanya memenuhi Pasal 2 ayat 1 saja, dapat mengajukan
permohonan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama.
d. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 yang berbunyi : harus
dibaca, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
12

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya ".
Persyaratan-persyaratan yang dipedomani tersebut diatas bersifat kumulatif.
Penetapan / putusan Pengadilan Agama tentang pengesahan anak dan asal usul anak itu
akan menjadi dasar bagi Kantor Catalan Sipil untuk menerbitkan Akta Kelahiran. Dapat
dimaklumi bahwa sebelum lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 bahwa dalam hal
kekuasaan untuk menetapkan pengesahan anak oleh Pengadilan Agama dianggap belum berlaku
efektif sebab berdasar Pasal 43 ayat 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 bahwa ketentuan dalam
undang-undang, baru berlaku efektif hanya setelah diatur oleh Peraturan Pemerintah. Namun
setelah lahirnya Undang-undang No. 7 tahun 1989, segala ketentuan dalam undang-undang
tersebut sejak diundangkan tanggal 29 Desember 1989 telah berlaku efektif tanpa menunggu
pengaturan oleh Peraturan Pemerintah kecuali yang tegas-tegas dalam pasal yang bersangkutan
disebutkan demikian. Ini berarti kekuasaan Pengadilan Agama terhadap penetapan pengesahan
anak, asal-usul anak dan pengangkatan telah sepenuhnya berlaku secara efektif.

DASAR-DASAR PERKAWINAN

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga,rumah tangga yang bahagiadan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. ( UU No. 1 Tahun 1974 pasal 1 ).
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan akad yang sangat kuat atau
Mitsagon gholidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
(KHI pasal 2).
Perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu (( UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 )
Bagi orang yang beragama Islam,perkawinan adalah sah,apabila dilakukan menurut
hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. (pasal 4).
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus di
catat (pasal 5 ayat 1).
Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.32
13

Tahun 1954. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5,setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan dibawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. (Pasal 6 ayat 1). Perkawinan yang
dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal
6 ayat 2)
Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai
Pencatat Nikah. (Pasal 7 ayat 1). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Nikah,dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. (Pasal 7 ayat 2)

Anak sah, itsbat nikah dan poligami.
Putusan MK ini tidak serta merta MUHAMMAD IQBAL RAMADHAN dapat
memperoleh hak-hak keperdataan atau harta warisan dari ayah biologisnya, yaitu
MOERDIONO. Tetapi harus melalui proses hukum yang ada terlebih dahulu, dan ini
memerlukan waktu.
Untuk dapat diakui menjadi anak sah, Pasal 99 KompilasiHukum Islam (KHI) memberi
batasan bahwa anak sah adalah: (a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang
sah, dan (b). Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
(bayi tabung).
Jika perkawinan kedua orangtuanya belum dicatat, maka berlaku ketetntuan Pasal 7 KHI,
yaitu:
(1). Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah;
(2). Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama;
(3). Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan:
(a). Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b). Hilangnya Akta Nikah;
(c). Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d). Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974, dan
(e). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan
menurut UU No. 1 Tahun 1974;
14

(4). Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka,
wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu;
Itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama
atau tidak dicatat dicatat oleh PPN yang berwenang dan efek hukum terhadap itsbat ini adalah
perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan agama berlaku surut dan anak-anak yang lahir
dari perkawinan yang telah diitsbatkan tersebut akan menjadi anak sah dari pasangan suami istri
tersebut. (Bunyi amar penetapannya adalah: Menyatakan sah perkawinan antara .............
dengan......... yang dilaksanakan pada tanggal ....... di ..........).
Itsbat nikah dibuat atas dasar adanya perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan agama atau
tidak dicatat dicatat oleh PPN yang berwenang dan efek hukum terhadap itsbat ini adalah
perkawinan yang telah disahkan oleh pengadilan agama berlaku surut dan anak-anak yang lahir
dari perkawinan yang telah diitsbatkan tersebut akan menjadi anak sah dari pasangan suami istri
tersebut. (Bunyi amar penetapannya adalah: Menyatakan sah perkawinan antara .............
dengan......... yang dilaksanakan pada tanggal ....... di ..........).
Dalam kasus MACHICA dengan MOERDIONO, itsbat nikah tidak dapat dilaksanakan
karena pada saat MOERDIONO menikahi MACHICA, posisi MOERDIONO masih mempunyai
istri sah. Yang bisa dilakukan MACHICA adalah mengajukan ijin poligami ke Pengadilan
Agama.
UU No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami, tetapi dimungkinkan seorang suami
beristri lebih dari seorang dengan cara mengajukan permohonan ke Pengadilan dengan syarat:
(Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974)
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melhirkan keturunan.
Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 mensyaratkan pula:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kepeluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.


15

SOLUSI MAHKAMAH KONSTITUSI

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari
2012 memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU
Perkawinan) bertentangan dengan UUD 1945 bila tidak dibaca: /Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Tujuan dari MK adalah untuk menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat
perlindungan hukum. Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberi perlindungan dan
kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih
disengketakan.
Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 tidak menyebut soal akta kelahiran anak luar kawin
maupun akibat hukum putusan tersebut terhadap akta kelahiran anak luar kawin. Implikasi
putusan MK ini berkaitan dengan status hukum dan pembuktian asal usul anak luar kawin.
Hubungannya dengan akta kelahiran adalah karena pembuktian asal-usul anak hanya dapat
dilakukan dengan akta kelahiran otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang sesuai dengan
yang diatur dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perkawinan.
Mengenai konsekuensi hukum dengan dikeluarkannya suatu akta kelahiran terhadap anak
luar kawin ialah di dalam akta kelahiran anak tersebut hanya tercantum nama ibunya. Karena
pada saat pembuatan akta kelahiran, status sang anak masih sebagai anak luar kawin yang hanya
diakui memiliki hubungan darah dan hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Dalam akta kelahiran anak luar kawin tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak dengan
tercantum nama, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu
(menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian ketentuan Pasal 55 ayat
(2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan .
Dengan adanya putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010, hubungan antara anak luar kawin
dengan bapaknya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan
proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subyek hukum
16

yang harus bertanggungjawab terhadap anak luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya
melalui mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir dan/atau hukum.
Dengan kata lain, setidaknya ada dua cara untuk dapat menjadikan sang anak luar kawin
memiliki hubungan darah dan juga hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga
ayahnya, yaitu; 1.pengakuan oleh sang ayah biologis; atau 2. pengesahan oleh sang ayah biologis
terhadap anak luar kawin tersebut.
Putusan MK hanya menguatkan kedudukan ibu dari si anak luar kawin dalam
memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari si anak luar kawin tersebut, apabila si ayah
tidak mau melakukan pengakuan secara sukarela terhadap anak luar kawin. Dengan diakuinya
anak luar kawin oleh ayah biologisnya, maka pada saat itulah timbul hubungan perdata dengan si
ayah biologis dan keluarga ayahnya. Dengan demikian, setelah adanya proses pengakuan
terhadap anak luar kawin tersebut, maka anak luar kawin tersebut terlahirlah hubungan perdata
antara anak itu dengan ayahnya sebagaimana diatur Pasal 280 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer) yang berbunyi: /Dengan pengakuan terhadap anak di luar kawin, terlahirlah
hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya./ Dalam hal ini, penting untuk dicatat
bahwa anak yang dilahirkan karena perzinaan atau penodaan darah (incest, sumbang) tidak boleh
diakui. Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPer.
Putusan MK ini mendapat kecaman terutama dari organisasi Islam, seperti MUI dan NU.
Ketua MUI bidang fatwa, KH. Maruf Amin mengatakan: Putusan MK itu positif jika niatnya
untuk melindungi anak-anak hasil nikah sirri, sedang anak yang lahir karena hubungan di luar
pernikahan tetap tidak diberi keistimewaan.
Sementara Pengurus Wilayah Nadhaltul Ulama (PWNU) Jawa Timur tetap menolak anak
hasil zina. Ketua PWNU Jawa Timur KH. M.Hasan Mutawakkil Alallah mengatakan:
Keputusan MK ini memberi peluang melegalisasi pernikahan siri. Pernikahan siri tidak ada
bedanya dengan pernikahan resmi yang dicatat di Kantor Urusan Agama (KUA), karena
berlandaskan syariat Islam, diantaranya adanya ijab kabul. Ini berbeda dengan anak hasil
perzinaan yang tidak ada ijab kabul dan wali.... (Surya, 19 Pebruari 2012).
Terhadap kecaman yang muncul, Ketua MK, Mahfud MD telah mengklarifikasikan
putusannya dengan mengatakan bahwa: yang dimaksud majelis dengan frasa anak di luar
perkawinan bukan anak hasil zina, melainkan anak hasil nikah siri. Hubungan perdata yang
17

diberikan kepada anak di luar perkawinan tidak berbentuk nasab, waris, dan wali nikah. Hak
yang dapat dituntut anak di luar perkawinan yang tidak diatur fiqih, antara lain, berupa hak
menuntut pembiayaan pendidiakn atau hak menuntut ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum yang merugikan orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata atau hak
untuk menuntut karena ingkar janji. Intinya adalah hak-hak perdata selain hak nasab, hak waris,
wali nikah, atau hak perdata apapun yang tidak terkait dengan prinsip-prinsip munakahat sesuai
fikih.

SOLUSI MAHKAMAH AGUNG RI

Mahkamah Agung (MA) akhirnya membuat terobosan hukum untuk menetapkan hak-hak
anak yang lahir dari hubungan diluar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mutah).
MA menetapkan anak hasil zina tidak berhak memperoleh waris, namun berhak mendapatkan
nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologis (wasiat wajibah). Ketentuan
tersebut tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No 7 Tahun 2012 hasil
pembahasan Komisi Bidang Peradilan Agama MA.
SEMA yang mengikat hakim-hakim peradilan agama itu menguatkan putusan Mahkamah
Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 dalam pengujian pasal 43 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.
Dalam amar putusannya, MK mengubah pasal 43 ayat (1) UU No 1/ 1974 tentang
Perkawinan menjadi anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, berdasar mazhab
Hanafi, anak hasil zina berhak mendapat nafkah dari ayah biologis dan keluarga ayah biologis.
Ketika ayah biologis meninggal, anak hasil zina juga berhak mendapatkan pembagian wasiat
wajibah yang besarnya ditentukan Pengadilan Agama.
Sesuai dengan ketentuan hukum waris, besar wasiat wajibah tidak boleh melebihi
sepertiga diantara total harta yang ditinggalkan setelah dikurangi kewajiban kewajiban yang
harus ditaggung mayat seperti pelunasan hutang dan wakaf yang dijanjikan . Istilahnya bukan
waris, tetapi menafkahisegala biaya hidup si anak sesuai dengan kemampuan ayah biologisnya
18

dan kepatutan. Misalnya, mempertimbangkan lamanya masa perkawinan dan besaran
penghasilan bersih atau take home pay.
Menurut Mansyur,ayah biologis tetap wajib memberikan nafkah kepada anak yang
dilahirkan hasil hubungan di luar perkawinan tersebut semata-mata untuk memenuhi rasa
keadilan, melindungi kepentingan dan HAM anak. Pendapat MA itu diyakini bersifat progresif
karena mengubah pandangan masyarakat bahwa anak di luar nikah hanya memiliki hubungan
hokum dengan garis keturunan si ibu.
SEMA ini menjadi pedoman hakim-hakim agama sehingga tidak terjadi perbedaan penerapan
hukum.
Ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi anak hasil zina melainkan juga anak hasil
perkawinan bawah tangan, baik kawin siri (perkawinan yang sah sesuai hukum agama namun
tidak didaftarkan negara) maupun kawin mutah (kawin kontrak). Seperti halnya anak hasil zina,
anak hasil perkawinan siri dan mutah wajib mendapat penetapan dari pengadilan agama untuk
mendapatkan haknya.
Meski berhak mendapatkan nafkah dan wasiat wajibah, anak hasil zina dan perkawinan
bawah tangan tetap tidak berhak mendapatkan hak wali nikah dan garis keturunan atau nasab.
Dalam hal ini, MA tampaknya memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 11 Tahun
2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina Dan Perlakukan Terhadapnya. Dalam fatwa tersebut,
MUI menegaskan anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, dan waris
dengan lelaki yang menjadi penyebab kelahirannya.
Bedanya, dalam fatwa tersebut, MUI masih mengeluarkan laki-laki penyebab kehamilan
dari kewajiban memberikan nafkah untuk anak biologis. Meski demikian, MUI tetap
mengapresiasikan SEMA tersebut. Pasalnya, MA dinilai tetap melindungi kemurnian garis
keturunan yang sah (hifzd an nasl) yang menjadi salah satu tujuan perkawinan.
ini keputusan yang bagus karena tetap melindungi hifzd an nasl dan tidak mengubah
garis keturunan, ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam kemarin (4/2).
Dalam fatwanya, MUI menegaskan, anak hasil zina tidak menanggung dosa zina orang
tua yang mengakibatkan kelahirannya. Meski demikian, anak hasil zina hanya mempunyai
hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
MUI juga mendorong pemerintah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan ketentuan
Alquran (hadd) pada laki-laki yang berzina. Sesuai dengan ketentuan Alquran, hukuman Hadd
19

yang dijatuhkan bagi laki-laki dan perempuan pezina adalah hukuman cambuk seratus kali di
depan umum. Tujuannya, mempertegas perlindungan agama terhadap garis keturunan yang sah.
Namun, pemerintah tidak menerapkan hukuman hadd tersebut dan menggantinya dengan
hukuman badan sesuai dengan pasal 284 KUHP.
Selain hukuman hadd, laki-laki pezina dikenai hukuman yang bersifat memberi pelajaran
atau takzir berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak serta memberikan harta setelah
dia meninggal melalui wasiat wajibah.
Hukuman takzir itu bertujuan melindungi anak, bukan untuk mengesahkan hubungan
nasab antara anak tersebut dan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

UU PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MK

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
rakyat Indonesia telah menggunakan tiga sistem hukum perkawinan, yaitu bagi umat Islam
menggunakan hukum perkawinan (fiqh munakahat), umat Nasrani mengikuti aturan HOCI
(Stb.1933 Nomor 74), dan golongan Tionghoa memakai BW, sedang masyarakat lainnya
menggunakan hukum adat kebiasaan. Khusus umat Islam dipakai pula aturan teknis yang
terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1946 dan UU Nomor 32 Tahun 1954 jo Huwelijk
Odnantntie Stb. 1933 Nomor 98 yang mengatur tata cara perkawinan umat Islam di zaman
penjajahan Belanda).
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat pasal-pasal
yang sejalan dengan prinsip hukum dari ketiga sistem hukum tersebut di atas.Prinsip pencatatan
perkawinan sejalan dengan sisitem hukum Barat, prinsip sahnya perkawinan sejalan dengan
hukum Islam, dan prinsip pembagian harta perkawinan sejalan dengan hukum adat.
UU perkawinan telah dua kali mengalami uji materi di MK, dalam permohonan yang
diajukan oleh AISYAH MACHICA MUHTAR dan anaknya MUHAMMAD IQBAL
RAMADHAN menguji ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang pencatatan
perkawinan, dan ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang anak yang lahir di
luar perkawinan.
Terhadap permohonan uji materi ketentuan Pasal 2 ayat(2) UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang pencatatan perkawinan, MK memutuskan bahwa pasal tersebut tidak bertentangan
dengan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 dengan alasan bahwa UU a quo yang mensyaratkan
20

pencatatan, meskipun faktanya menambah persyaratan untuk melangsungkan perkawinan,
namun ketiadaanya tidak menghalangi adanya pernikahan itu sendiri.
Uji materi juga diajukan oleh HALIMAH AGUSTINA (istri BAMBANG
TRIHATMOJO) terhadap ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
menjadi alasan diperbolehkannya perceraian.
Dalam amar putusan MK, pasal yang berbunyi antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga dianggap tidak memiliki kesalahan. Artinya, tidak ada alasan bahwa pasal tersebut
melanggar hak bernegara Halimah.
Sejarah pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
diwarnai dengan pergumulan pandangan idiologis yang keras dan butuh waktu yang sangat
panjang dan sampai hari ini masih ada keinginan untuk terus memperbaharui undang-undang
perkawinan ini agar sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.
Meski demikian, dengan putusan-putusan MK di atas menunjukkan bahwa Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan masih relevan untuk dapat dipedomani bagi
masyarakat Indonesia di bidang perkawinan, dengan beberapa penafsiran oleh institusi yang
berwenang untuk itu.

PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT MAHKAMAH KONSTITUSI

Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif berdasar undang-undang,
sedang factor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh
agama.
Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-
undangan merupakan kewajiban adminstratif negara. Pencatatan dimaksudkan dalam rangka
fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia yang merupakan tanggungjawab Negara (Vide Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5)
UUD 1945).
Pencatatan perkawinan sebagai pembatasan, pencatatan, menuurut MK, tidak
bertentangan dengan undang-undang dan dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil
21

sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum (Vide
Pasal 28J ayat (2) UUD 1945).
Dr.H. Habiburrahman, M.Hum, Hakim Agung RI memberikan ilustrsai menarik: Ibarat sesorang
memiliki kendaraan roda empat, tapi tidak ada surat-suart (BPKB dan STNK), mobil tersebut
bisa saja dipakai oleh pemiliknya sepanjang tidak bermasalah, tapi begitu melanggar lampu
merah, tabrakan, menyerempet, melanggar marka jalan, dan sebagainya akan mengundang
masalah dan menjadi pemilik kendaraan amat repot, begitu juga bila mobil itu dicuri orang
kemudian lapor polisi. Polisi tidak akan menggubris atau bahkan dianggap mobil curian bila
diminta tunjukkan BPKB-nya bahwa benar mobil itu milik pelapor, mobil tersebut tidak akan
laku dijual karena tidak ada bukti kepemilikan.

KESIMPULAN

1. Perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur Pasal 2 ayat 1 dan 2
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, itulah perkawinan yang
sesungguhnya, tetapi jika perkawinan itu hanya dilaksanakan sesuai Pasal 2 ayat 1 saja
berarti perkawinan itu dilakukan di luar prosedur Pasal 2 ayar 2, itulah yang disebut luar
perkawinan dan dapat mengajukan permohonan ITSBAT NIKAH di Pengadilan Agama.
2. ITSBAT NIKAH dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas sebagaimana diatur dalam
pasal 7 Kompilasi hukum islam ayat 3, dan tidak dikenal ITSBAT NIKAH Poligami.
3. Ketentuan yang mengatur tentang kehadiran anak yang sah adalah harus melalui perkawinan
yang sah sesuai dengan Pasal 28-B ayat 1 UUD 1945, dan Pasal 42 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dengan demikian tidak ada dasarnya bahwa anak hasil
perzinahan itu dihukumkan sebagai anak yang sah.
4. Uji Materi yang dilakukan oleh MK melalui putusan Nomor 46/PUU/VIII/2010, adalah
kasus yang diajukan oleh Machica Mochtar yang dinikahi oleh Drs. Moerdiono, keduanya
menikah secara Islam, oleh karena itu Machica dan Moerdiono tidak dapat dikelompokkan
sebagai pasangan yang melakukan perzinahan. Dengan demikian putusun MK tidak dapat
diterapkan untuk kasus-kasus perzinahan, dapat diterapkan untuk kasus lain sepanjang kasus
posisinya sama dengan kasus Machica.

22

5. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung telah melakukan IJTIHAD atau terobosan
hukum dengan menciptakan hukum baru berupa kewajiban ayah biologis memberi nafkah
kepada anak yang dilahirkan hasil hubungan diluar perkawinan tersebut semata-mata untuk
memenuhi rasa keadilan, melindungi kepentingan Anak.
6. Mahkamah Agung (MA) membuat terobosan hukum untuk menetapkan hak-hak anak yang
lahir dari hubungan diluar nikah dan pernikahan bawah tangan (sirri dan mutah). MA
menetapkan anak hasil zina tidak berhak memperoleh waris, namun berhak mendapatkan
nafkah dan pembagian sebagian harta peninggalan bapak biologis (wasiat wajibah).























23

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Khamid Hakim, Kitab Al-Bayan. 1983.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan islam Di Indonesia Antara Figh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Kencana, Jakarta.2007
Ahmad Amrullah, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
(Mengenang 65 tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, S.H), Jakarta:
Gema Insani Press, 1996,
Buah Simalakama Putusan MK dalam Harian Surat Kabar Jawa Pos, Rabu,28 Maret 2012
Fathurrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat
Hukumnya", dalam Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary,
Problematika Hnkum Islam Komtemporer, Buku Pertaama, Jakarta:Firdaus, 2002.
Dadang Hawari, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta:FKUI, 2006.
Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung:Pustaka Bani Quraisy,
2005.
Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, Yogyakarta:Pustaka Dinamika,
2002.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur,2010.
Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1974 dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 1998.
M. Quraish Shihab, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
Yayasan Penterjemah / Pentafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: DEPAG RI,
1978.
Undang-undang Dasar RI Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17 Febuari 2012.
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Surat Edaran PTA Semarang Nomor W11-A/863/HK.00.8/III/2012

Anda mungkin juga menyukai