Anda di halaman 1dari 3

Nama: Naufaludin Ismail

NPM: 1206267633
Kelas: Selasa, Pukul 16.00 WIB
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya


Baran: Ketika Remaja Norak nan Bodoh Jatuh Cinta
Sebagai seseorang yang baru pertama kali menonton film ini, saya merasakan sensasi
tersendiri ketika film dimulai sampai ending dari film ini. Ketika mendapat tugas me-review film
Baran ini, tanpa pikir panjang saya memilih metode impresif. Alasannya sederhana: siapakah
saya yang hanya seorang mahasiswa amatiran yang diharuskan me-review film se fenomenal
Baran.
Secara umum film ini memang indah secara manusiawi. Menggambarkan bagaimana
pejuangan seorang Lateef remaja yang bekerja pada sebuah kosntruksi bangunan, jatuh cinta
pada sesosok Rahmat yang ternyata dalah wanita bernama Baran, imigran asal Afganistan ilegal
yang rela menyamar menjadi laki-laki untuk membantu ayahnya yang jatuh ketika sedang
bekerja di lantai 2 pada kostruksi bangunan yang sedang dibangun itu. Sisanya adalah
perjuangan Lateef dalam menemukan Baran dan mencoba mendekatinya setelah ada pihak
Imigrasi yang coba mengejar semua imigran afganistan ilegal yang berada di Iran. Lateef seperti
kehilangan semangatnya dalam bekerja dan menemukan semangat baru untuk menggali sosok
Baran yang sangat ia kagumi.
Baran, film karya Majid Majidi seorang sutradara kelas atas dari Iran yang dalam catatan
sejarahnya, tak perlu diragukan lagi dalam membuat film bertema Neo Realis. Film yang dibuat
pada tahun 2001 ini, dikukuhkan Iran sebagai film yang dikirim pada ajang Oscar untuk kategori
Best Foreign Movie. Kali ini bukan tugas saya untuk membahas cemerlangnya karya karya
majidi sebelum atau sesudah film ini namun pada kesempatan kali ini saya coba mengamati
Baran dari sisi yang mungkin ingin banyak orang ceritakan secara pribadi.
Ini memang pertama kalinya saya menonton Baran. Ada yang menggelitik saya ketika
film ini diputarkan di dalam kelas Apresiasi Film. Mengambil lokasi disebuah bangunan yang
dalam perjalanan filmnya diceritakan sebagai bangunan yang sedang dikerjakan oleh banyak
orang disuatu kawasan di Iran, membuat saya setidaknya selama 10 menit awal mencoba serius
menonton fillm ini dan lalu dibuat senyum kecut karena jokes yang ditampilkan. I didnt get the
jokes and the movie at all!. Itu yang terujar dalam hati saya ketika Baran baru berada di menit ke
20. Ini mungkin sangat subjektif, tapi saya yakin bagi yang sudah menonton film-film karya
Majid Majidi sebelumnya atau film-film bertema Neo Realis lainnya, Baran jauh terasa nge-pop
dan tidak berani pada unsur penokohan yang kuat pada setiap karakternya. Padahal, dengan
situasi yang begitu kompleks dan tidak umum, Lateef sebagai tokoh utama hanya digambarkan
secara umum sebagai tokoh yang ceroboh dan konyol dan Baran digambarkan sebagai pria
baik hati.
Tokoh-tokoh sisa dalam film ini sesungguhnya tak lebih dari pemanis saja. Hampir
setengah lebih film ini hanya menceritakan bagimana konyol-nya pengorbanan Lateef
dalammengejar Rahmat yang notabene-nya sesosok wanita berambut panjang yang ia lihat
melalui sebuah bayangan. Alur cerita pun lagi-lagi terkesan klise dan membosankan. Entah
berapa kali saya lebih tertarik melihat smartphone yang saya bawa ketimbang memperhatikan
secara detil film ini. Ketika banyak orang yang menganggap bahwa Lateef dan Baran adalah
sebuah bentuk cinta platonis, saya jauh lebih suka mengatakannya sebagai nafsu belaka.
Mengapa? Kita tahu tradisi Islam yang begitu ketat di Iran dan Negara timur tengah lainnya
mewajibkan wanita menggunakan kerudung untuk keseharian, dan rambut adalah salah satu
mahkota wanita disana, ditambah lagi ada beberapa adegan dimana ia tampak sedih dan kalut
sambil menggenggam jepitan rambut dan sehelai rambut milik Baran yang ia ambil lalu simpan
setelah Baran dan Imigran Afganistan yang bekerja pada kostruksi itu pergi bersembunyi disuatu
daerah, jelas sekali alasan Lateef disini untuk mencintai Baran terlalu aneh. Alasan yang
konyol memang ketika melihat sesosok bayangan wanita berambut panjang membuat Lateef
gelap dan kalang kabut akan perasaannya. Bila melihat awal film ini, bagaimana Lateef tega
menampar Rahmat alaias Baran karena diambil posisi pekerjaannya, seketika jatuh cinta karena
alasan kasihan seperti yang kebanyakan orang pikir.
Semua terkesan membosankan untuk saya ketika Lateef berusaha segala macam cara
untuk mengetahui keberadaan Baran. Terkesan bagai sebuah potongan cerita FTV yang biasa
saya lihat di televisi. Jauh dari kesan romantis apalagi mengaharukan. Saya bisa mengambil
kesimpulan secara implisit bahwa Lateef tak lebih dari sekedar remaja norak lagi depresi.
Untungnya, hal ini sedikit tertolong dengan keadaan Baran yang entah tidak bisa berbicara
bahasa Iran atau bisu atau spekulasi lainnya yang mungkin saja terjadi. Saya tak membayangkan
apabila Baran benar-benar bisa berbicara, maka Baran tak akan ada bedanya dengan FTV picisan
di beberapa stasiun televisi Indonesia.
Beranjak ke ending film ini yang bagi saya adalah puncak depresi saya sebagai orang
awam yang menonton film ini. Seperti yang saya rasakan, film ini pun jauh dari kesan
menyentuh nan indah pada akhir ceritanya dan cenderung menyebalkan. Namun karena ending
yang begitu menyebalkan dan membuat saya depresi menyadarkan saya betapa bermakna-nya
film ini. Banyak hal positif yang ingin disampaikan Majidi melalui film ini dan saya
merasakannya. Saya tidak akan menganggap Baran sebagai sebuah film hiburan nan
mengasyikan namun saya akan melihat baran sebagai sebuah gambaran non-mainstream tentang
bagimana seharusnya kita menjadi manusia dalam mencintai sesama makhuk Tuhan.

Anda mungkin juga menyukai