Program Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Implementasi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 di Indonesia membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan pemerintah dan masyarakat. Salah satu dampaknya adalah keinginan masyarakat dan daerah untuk menata wilayah administrasinya. Penataan wilayah secara konseptual mempunyai beberapa makna, yakni pembentukan daerah baru, penggabungan beberapa daerah menjadi satu daerah baru, penghapusan suatu daerah dan pemekaran daerah yang merujuk pada penambahan luas daerah. Pemekaran wilayah kabupaten/kota menjadi beberapa wilayah kabupaten baru pada dasarnya merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten baru yang dibentuk diperlukan keseimbangan antara basis sumberdaya antara satu dengan yang lainnya. Hal ini perlu diupayakan agar tidak terjadi disparitas yang mencolok di masa yang akan datang. Selanjutnya, dalam usaha pembentukan wilayah pemekaran perlu dibentuk ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif masyarakat di suatu wilayah pemekaran. Pada prinsipnya pemekaran wilayah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan meningkatkan dan mempercepat pelayanan, demokrasi, perekonomian daerah, pengelolaan potensi daerah, keamanan dan ketertiban, hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. Pada hakekat tujuan pemekaran wilayah sebagai upaya peningkatan sumber daya berkelanjutan, meningkatkan keserasian dan perkembangan antar sektor, memperkuat integrasi nasional. Untuk mencapai tujuan itu semua perlu adanya peningkatkan kualitas sumber daya aparatur disegala bidang karena peran sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat serta mendukung dalam pengembangan wilayah didaerah. Strategi pengembangan SDM yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan melalui proses akumulasi dan utilisasi modal manusia telah terbukti memiliki peran strategis bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Tulisan ini menjelaskan pentingnya penerapan dan penegakan strategi manajemen SDM yang berorientasi investasi sumberdaya manusia pada level organisasi sehingga mampu berkontribusi bagi peningkatan daya saing bangsa secara berkesinambungan. Salah satu hambatan yang cukup serius yang sering dihadapi oleh Pemerintah Kab/Kota baru hasil dari pemekaran daerah yaitu pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta pemberian pelayanan kepada masyarakat belum sesuainya kualitas kerja aparatur dengan apa yang diinginkan masyarakat, kurang tersedianya tenaga manusia dalam hal ini sumber daya manusia yang ahli dan sesuai dengan bidang kerjanya, kurang terampilnya aparatur pemerintah daerah dalam menangani tugas-tugas yang dibebankan kepadanya, dan kondisi kapasitas administratif pegawai yang tidak memadai. Maka dari pada itu perlu dilakukan pengembangan sumber daya manusia aparatur karena dapat meningkatkan kemampuan aparatur baik kemampuan profesionalnya, kemampuan wawasannya, kemampuan kepemimpinannya maupun kemampuan pengabdiannya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kinerja seorang aparatur (Notoatmojo, 1998).
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana hubungan & pengaruh antara pengembangan/pemekaran wilayah dengan strategi manajemen sumber daya manusia (MSDM) aparatur sipil negara ?
1.3 Tujuan Sejalan dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka makalah ini mempunyai tujuan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antara strategi pengembangan/pemekaran wilayah dengan strategi manajemen sumber daya manusia (MSDM)
1.4 Manfaat Menambah khasanah kajian keilmuan terhadap strategi pengembangan dan pengkajian pemekaran wilayah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur sipil negara dalam mendukung tingkat pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengembangan dan Pemekaran Wilayah
A. Pengembangan Wilayah
Pengertian pembangunan telah mengalami perubahan besar dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang kebijaksanaan. Semula pembangunan diartikan sebagai peningkatan kapasitas ekonomi untuk meningkatkan pendapatan nasional perjiwapenduduk. Implikasi pengertian ini pada kebijaksanaan adalah tumbuhnya keperluan menyalurkan sebanyak mungkin dana keuangan dan sumber daya alam yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional. Dalam perkembangan selanjutnya, paradigma pembangunan tidak hanya bermuka ekonomi. Ikhtiar meningkatkan pendapatan nasional adalah penting dan tidak berjalan sendiri namun perlu disertai dengan adanya perombakan berbagai segi kehidupan masyarakat agar pembangunan itu sendiri mampu meniadakan ketimpangan, mengurangi kemiskinan absolut. Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara terencana, gradual, bertahap, komprehensif, holistik, sistemik, bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan melibatkan peran serta seluruh elemen masyarakat. Dalam pengertian umum, pembangunan merujuk pada proses perbaikan dan keselarasan. Pembangunan merupakan usaha merubah kondisi kehidupan, tingkat kesejahteraan dan keadilan masyarakat agar menjadi lebih baik. Dalam definisi yang dibuat oleh United Nations disebutkan bahwa pembangunan adalah orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir .develoving is not a static concept, it is constinuously changing. Proses pembangunan sebenarnya adalah suatu perubahan sosial budaya, agar pembangunan menjadi proses yang dapat bergerak maju perlu dilakukan atas kekuatan sendiri (self sustaining proses) tergantung kepada manusia dan struktur sosialnya. Pembangunan bukan hanya dikonsepsikan sebagai usaha pemerintah an sich. Pembangunan tergantung pada suatu inner will, proses emansipasi diri serta partisipasi kreatif melalui proses pendewasaan. Dalam banyak teori pembangunan menyebut beberapa teori, yaitu Growth theory, rural development Theory, Agro first, Basic needs, dan sebagainya. Teori pembangunan ini memuat berbagai pendekatan ilmu sosial yang berusaha menangani masalah keterbelakangan. Dengan demikian tidak akan ada definisi baku dan final mengenai pembangunan, tetapi yang ada hanyalah usulan mengenai apa yang seharusnya diimplikasikan oleh pembangunan dalam konteks tertentu (Hettne, 2001). Dalam perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pendekatan menyangkut kajian tentang pembangunan. Salah satu diantaranya adalah mengenai pembangunan wilayah. Secara luas pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori kedalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nubroho dan Dahuri, 2004).
B. Pemekaran Wilayah Dalam sistem pemerintahan Indonesia, otonomi daerah bukanlah suatu yang baru sebab dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi sebagai pengejawantahan Pasal 18 UUD 1945, memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang sangat luas, nyata, dan bertanggung jawab. Jadi daerah otonom selanjutnya disebut Daerah, daerah adalah suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Daerah yang dimaksud adalah daerah Provinsi, Daerah Kota dan Daerah Kabupaten yang bersifat otonom. Di mana daerah tersebut terbentuk adalah berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Akan tetapi, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabungkan dengan daerah lain. Aspirasi masyarakat dan atau kebijakan pemerintah dapat menimbulkan pemekaran daerah setelah meninjau dari segi yuridis, sosial dan persyaratan lainnya dalam pemekaran ataupun pembentukan daerah baru. Dengan pembentukan daerah otonom ini, daerah otonom tersebut dapat diharapkan mampu, memanfaatkan peluang yang lebih besar dalam mengurus rumah tangganya sendiri, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber- sumber pendapatan asli daerah, sumber daya alam dan pengelolaan bantuan pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat setempat yang lebih baik. Oleh karena itu dengan pemekaran daerah diharapkan meningkatkan dinamika kemandirian daerah yang pada akhirnya bermanfaat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama otonomi. Bukan sebaliknya bahwa pemekaran daerah telah menguras energi pemerintah Provinsi dan prosesnya sering menimbulkan ketidakstabilan di daerah (Suara APPSI, 2007).
2.2 Strategi manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) Ahli strategi Michael Porter menemukan bahwa manajemen sumberdaya manusia (MSDM) merupakan kunci untuk mencapai keunggulan kompetitif (Greer, 2001). Strategi pengembangan SDM yang dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan melalui proses akumulasi dan utilisasi modal manusia telah terbukti memiliki peran strategis bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Tulisan ini menjelaskan pentingnya penerapan dan penegakan strategi manajemen SDM yang berorientasi investasi sumberdaya manusia pada level organisasi sehingga mampu berkontribusi bagi peningkatan daya saing bangsa secara berkesinambungan. Penerapan praktik manajemen SDM strategik dalam organisasi, yaitu model manajemen SDM yang memiliki kesesuaian (fit) dengan orientasi strategi organisasi perlu dikedepankan sebagai solusi. Dengan demikian komitmen dan kontribusi SDM terhadap kinerja organisasi dapat ditingkatkan. MSDM yang berorientasi strategik (human capital investment oriented) memungkinkan SDMdapat berperan sebagai partner strategic bagi organisasi guna melakukan penyesuaian terhadap berbagai perubahan yang terjadi (Ulrich, 1998). Fungsi pokoknya adalah membantu pencapaian strategi umum perusahaan melalui kepastian adanya kemampuan manajerial dan karyawan yang kompeten (Pearce dan Robinson, 1997:409). Penerapan dan penegakan strategi manajemen SDM yang tepat dapat memunculkan kemampuan organisasi untuk mendorong proses kreasi praktik praktik SDM yang lebih inovatif, progresif dan berkinerja tinggi. Adanya kemampuan untuk mengalokasikan SDM kearah pemanfaatan yang lebih baik sehinga dapat menekan biaya tenaga kerja akibat penggunaan tenaga kerja yang tidak efisien. Produktivitas rendah dapat terjadi karena underutilized workers, rendahnya kepercayaan, resistensi karyawan terhadap perubahan, manajemen hubungan tenaga kerja yang antagonistik, masalah motivasional dan praktik- praktik-kerja yang terbatas (Greer, 2002). Teori berbasis sumberdaya (resource-baseviewatauRBV) menyatakan bahwa organisasi dapat menciptakan dan mempertahankan keunggulan kompetitifnya melalui proses penciptaan nilai (value creation process) yang langka dan sulit ditiru para kompetitor (Barney, 1998). Indikasinya dapat dinilai dari kemampuan organisasi untuk mengkreasikan kebijakan dan praktik-praktik MSDM yang unik dan sulit ditiru pesaing. Hal ini akan mendorong terjadinya interaksi antar individu yang menghasilkan pengetahuan (knowledge) dan modal sosial (social capital) serta menjadi pembeda organisasi atau perusahaan (corporate identity) dengan pesaingnya yang kemudian mampu memberikan keuntungan ekonomis positif serta tidak mudah ditiru. Strategi SDM hanya dapat bekerja dengan baik jika kebijakan dan praktik-praktik manajemen SDM yang diterapkan terintegrasi secara baik dengan strategi organisasi. Tingkat interaksi dan kecocokan (match atau fit) antara strategi organisasi dengan strategi SDM sesungguhnya mencerminkan kesungguhan dan komitmen organisasi dalam menempatkan dan menilai peran modal manusia (human capital) yang dimilikinya, lebih dari sekedar menempatkan SDM pada tataran retorika organisasional. Masalah pokoknya terletak pada upaya untuk menemukan strategi SDM yang tepat dan khas yang sesuai dengan potensi sumberdaya yang dimiliki, lingkungan sosial maupun kultural organisasi. Diperlukan strategi khusus untuk mengintegrasikan manajemen SDM sebagai sebuah proses yang bersifat multidimensional dengan strategi organisasi agar mampu memberikan kontribusi optimal bagi organisasi.
2.3 Hubungan Strategi Pengembangan Wilayah terhadap Strartegi MSDM
A. MSDM sebagai Instrumen Organisasi Dalam Mencapai Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) merupakan salah satu instrumen penting bagi organisasi dalam mencapai berbagai tujuannya. Bagi sektor publik, tanggung jawab besar birokrasi dalam memberi pelayanan kepada masyarakat harus didukung oleh Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur yang profesional dan kompeten. Dalam konteks reformasi birokrasi, MSDM merupakan salah satu pilar perbaikan di samping aspek kelembagaan dan sistem. Utilisasi SDM aparatur secara efektif dan efisien menjadi fungsi utama MSDM bagi birokrasi mulai dari perencanaan hingga tahap terminasi SDM. Sebagaimana terdapat dalam berbagai literatur manajemen, pencapaian tujuan organisasi secara manajerial diawali dengan fungsi perencanaan (Ivancevich et al. 2004:66-87). Keterlibatan aparatur dalam perencanaan memiliki peran signifikan terutama berkaitan dengan sikap dan perilakunya. Seperti telah diidentifikasi oleh Boyne & Gould-Williams (2003), sikap aparatur yang terlibat dalam perencanaan berperan penting bagi pencapaian kinerja organisasi sektor publik di samping adanya pengaruh sejumlah variabel teknis lainnya. Jika dalam tahap perencanaan SDM bermutu memiliki peran penting dalam mencapai target yang ditetapkan, maka proses manajerial birokrasi selanjutnya dalam bentuk pengarahan, pelaksanaan, dan evaluasi pun harus didukung oleh aparat yang bermutu. Dalam konteks yang demikian itulah, MSDM mendapat tantangan untuk menjawab masalah peningkatan mutu aparat. Hingga saat ini mutu aparat birokrasi dalam memberikan layanan publik di Indonesia masih menjadi persoalan yang sangat serius. Masyarakat sebagai pengguna layanan birokrasi acapkali mengeluhkan mutu aparat dalam menjalankan fungsinya. Berbagai bentuk keluhan muncul mulai dari proses pelayanan, waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian urusan, sikap dan perilaku aparat, hingga berkaitan dengan kualitas hasil layanan. Permasalahan serius yang tak kunjung teratasi tersebut pada ahirnya memposisikan Indonesia sebagai negara yang tidak kondusif bagi pelayanan publik. Peran MSDM di sektor publik menjadi sangat kritis dan berbeda kondisinya dengan sektor privat (lihat Boselie et al. 2003). Secara historis konsep- konsep yang berkembang dalam MSDM memang berawal dari kegiatan usaha sektor privat. Bagi perusahaan, MSDM tidak hanya sekadar merupakan instrumen utilisasi pegawai. MSDM di sektor privat sebagaimana dikatakan Stroh & Caligiuri (1998) sekaligus merupakan sumber kekuatan bagi perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing di era global seperti saat ini. MSDM dapat berfungsi secara efektif di sektor privat, sementara tidak demikian halnya di sektor publik. Salah satu faktor penentu efektifitas MSDM berkaitan dengan budaya organisasi sektor privat yang sangat kontras dengan sektor publik. Selain budaya, iklim organisasi yang tidak kondusif dan nilai-nilai manajerial yang tidak relevan dengan perubahan menjadi ganjalan birokrasi dalam mencapai efektifitas organisasi sebagaimana pernah diidentifikasi oleh Wallace et al. (1999) yang meneliti organisasi sektor publik dan kepolisian di Australia. Sangat penting artinya bagi dunia ilmu pengetahuan dan praktisi untuk menguraikan MSDM dalam budaya, iklim organisasi dan nilai-nilai manajerial khas birokrasi yang berbeda dengan perusahaan yang merepresentasikan sektor privat. Dengan keyakinan terhadap pandangan bahwa budaya dan iklim organisasi serta nilai-nilai manajerial dapat mendukung pencapaian keunggulan bersaing organisasi sebagaimana dikembangkan Glonaz & Lees (2001), maka tulisan ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan fenomena dan pengantar pengembangan model MSDM dalam sektor publik sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk membangun birokrasi yang kuat dalam memberi pelayanan yang mendukung peningkatan daya saing bangsa Indonesia.
B. Permasalahan Penerapan MSDM dalam Birokrasi Publik Masalah MSDM Sektor Publik Terdapat berbagai masalah yang ada dalam birokrasi di Indonesia khususnya berkaitan dengan pengelolaan SDM aparatur. Permasalahan tersebut dapat dilihat baik dari perhitungan statistik jumlah SDM aparatur atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), maupun dari sisi kualitatifnya. Dari sisi kuantitatif, jumlah PNS pada tahun 2010 sudah mencapai 4.598.100 (lihat: www.bkn.go.id). Menurut versi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan & RB) EE. Mangindaan, jumlah PNS tersebut termasuk dalam kategori cukup moderat. Dengan total jumlah penduduk Republik Indonesia (RI) saat ini yang mencapai sekitar 224 juta jiwa, maka rasio jumlahPNS terhadap jumlah penduduk adalah 1,94 persen. Persoalan PNS dalam birokrasi bukanlah sekadar terletak pada hasil perhitungan kuantitatif. Berbagai pertanyaan kritis yang patut dikedepankan sehubungan dengan perhitungan jumlah PNS tersebut diantaranya adalah: (1) Apakah beban kerja (work-load) PNS telah dianalisis secara benar sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan angka ketersediaan dan kebutuhan (supply and demand) PNS yang tepat?; (2) Apakah PNS telah tersebar secara merata dan proporsional baik dari sisi demografis maupun per satuan atau unit kerja?; (3) Apakah semua PNS telah benar-benar bekerja sesuai dengan kebutuhan organisasi?; dan (4) Apakah telah ada perhitungan secara eksak dan rasional atas kontribusi dan kinerja PNS terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan negara RI? Daftar pertanyaan skeptis tersebut dapat saja terus bertambah. Oleh karena itu respon strategis sangat diperlukan baik berupa kajian ataupun penelitian ilmiah secara terus menerus untuk mendapat menjawab semua permasalahan kepegawaian. Secara normatif semakin besar jumlahnya, PNS seharusnya mampu memberikan pelayanan yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan jumlah yang sangat besar, PNS harus pula dapat memposisikan diri secara lebih dekat lagi dengan (kepentingan) masyarakat. Namun demikian realitas menunjukkan bahwa meskipun jumlahnya besar, ternyata kualitas PNS berada pada tingkat yang rendah dan pada akhirnya mempengaruhi level efektifitas pemerintahan. Permasalahan kualitas SDM birokrasi di Indonesia tampaknya juga diperberat dengan perilaku menyimpang para aparat. Berbagai media massa baik tulis maupun cetak menyajikan pemberitaan yang sangat tidak sedap tentang perilaku negatif aparat dalam bertugas mulai dari kasus korupsi hingga kasus penggelapan pajak yang mewarnai mayoritas berita nasional serta bermacam- macam berita negatif lainnya. Sementara di sisi lain, ternyata negara ini juga telah banyak menyedot anggaran untuk menggaji aparatnya dalam jumlah yang sangat besar sehingga pembangunan berbagai sektor utama lain menjadi tersendat. Melihat upaya hukum pemerintah dengan menerbitkan sejumlah UU dan PP di bidang kepegawaian, tampaknya sudah cukup kuat bagi birokrasi untuk mengatur perilaku dan kinerja SDM aparatur. Namun demikian harus tetap diingat, bahwa sekadar pendekatan legal-formal tidaklah cukup komprehensif untuk mampu membentuk perilaku PNS yang disiplin, produktif, dan berkinerja tinggi. Oleh karena itu, pendekatan nonlegal-formal atau multi-perspectives approach harus dikedepankan dalam mengatur MSDM sektor publik untuk birokrasi di Indonesia. Perspektif strategis dan lingkungan menunjukkan adanya hubungan antara strategi MSDM dengan strategi organisasi secara keseluruhan dalam rangka menghadapi berbagai tekanan dari faktor-faktor politik, ekonomi, dan budaya yang mendeterminasi organisasi. Strategi MSDM dan strategi organisasi bersifat interaktif. Strategi MSDM menyajikan suatu kerangka kerja bagi organisasi untuk melakukan seleksi SDM, penilaian kinerja, penyusunan skema penghargaan dan pelatihan, serta tindakan yang harus dilakukan untuk merespon hasil penilaian kinerja.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam praktek organisasi dan pelayanan sektor publik dalam strategi pengembangan wilayah adalah pentingnya integrasi atau keterpaduan antara perencanaan regional dengan perencanaan SDM. Perencanaan regional yang diikuti dengan perencanaan SDM yang baik akan menghasilkan tingkat efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan. Sebaliknya, perencanaan wilayah yang tidak dibarengi dan diikuti perencanaan SDM yang baik akan mempengaruhi tujuan. Tidak sedikit wilayah hasi pemekaran dalam praktek perencanaan SDM yang kurang dalam memberi perhatian atau porsi pelibatan strategi MSDM terhadap pembuatan rencana-rencana yang akan dilakukan dalam kurun waktu tetentu. Strategi manjemen SDM yang berorientasi investasi SDM pada prinsipnya memberikan pengakuan dan penekanan bahwa keberadaan SDM organisasi sangat menentukan kualitas dan daya saing organisasi. Organisasi yang mempraktikkannya akan mendapatkan return berupa SDM berkualitas dan memberikan kontribusi signifikan bagi kinerja organisasi. Pengakuan ini tentu bukan sekedar pemanis bibir belaka, tetapi perlu diikuti langkah-langkah implementasi strategis dalam bentuk penegakan praktik-praktik manajemen SDM organisasi yang mencerminkan komitmen dan upaya yang sungguh-sungguh untuk menjunjung martabat manusia dan kemanusiaan. Karena dengan cara itulah seluruh potensi dan kemampuan organisasi dapat dieksplorasi dan menghasilkan kemaslahatan bagi seluruh stakeholder nya dan pada gilirannya dapat menjunjung cita-cita menjadi bangsa yang berdaya saing dan bermartabat. Praktik-praktik manajemen SDM yang mengabaikan rasa keadilan, diskriminatif dan hanya demi kepentingan itu semata apalagi jauh dari perspektif yang berorientasi jangka panjang semestinya dapat dihindarkan. Pertumbuhan organisasi atau perusahaan yang berbasis pada kinerja tinggi akan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan perekonomian bangsa melalui peningkatan kualitas dan daya saing. Perekonomian yang tumbuh dengan dukungan kualitas SDM akan lebih berkelanjutan sehingga memberikan ruang untuk terus melakukan upaya-upaya yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan mutu SDM bangsa.