Anda di halaman 1dari 17

1

PARADIGMA BARU PEMBINAAN TERITORIAL TNI/TNI-AD


DALAM MENUNJANG KETAHANAN NASIONAL *)








Oleh : M. Enoch Markum


1. PENGANTAR

Makalah ini diawali dengan mengetengahkan suatu permasalahan
kemanusiaan yang besar : kemiskinan. Di dunia saat ini diperkirakan terdapat 1,4
milyar penduduk miskin dengan tolok ukur pendapatan 1.25 dolar A.S. per hari
(World Bank, Agustus 2008). Menghadapi kenyataan ini komunitas internasional
telah membuat kesepakatan dan menyatakan komitmennya (termasuk Indonesia)
yang dituangkan dalam Deklarasi Millenium tahun 2000 di New York. Tujuan
Deklarasi ini dijabarkan dalam naskah Millenium Development Goals (MDGS)
yang salah satu butir tujuannya adalah menanggulangi kemisikinan dan
kelaparan yang harus dicapai pada tahun 2015. Indonesia sebagai salah satu
negara penandatangan Deklarasi Millenium tentu saja menyadari bahwa gejala
kemiskinan merupkan salah satu permasalahan besar yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini ternyata berbagai program dan
pendanaannya yang dilaksanakan secara lintas sektoral /departemen / lembaga
belum berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna (Brodjonegoro,
2007).
2
Hal ini disebabkan oleh pendekatan penanggulangan kemiskinan yang
tidak terpadu, pola berpikir linier (linear thinking) pada para pengambil keputusan,
ego sektoral, dan program pengentasan kemisikinan yang menekankan pada
bantuan teknis dan kucuran dana serta tidak memberdayakan seluruh komponen
bangsa. Dengan mengangkat isu (issue) kemiskinan, makalah ini mencoba
menjawab dua tujuan Seminar Nasional tentang

* Disampaikan pada Seminar Nasional tentang Pemberdayaan Wilayah
Pertahanan melalui Binter bersama Seluruh Komponen Bangsa dalam rangka
Mendukung Kepentingan Nasional tanggal 26 Februari 2009 di Auditorium
Widya Sabhan UNUD, Bali.

Pemberdayaan Wilayah Pertahanan melalui Binter (dalam hubungan
dengan topik : Implementasi Pembinaan Teritorial (Binter) Dalam Rangka
Mewujudkan Ketahanan Nasional), yakni:

a. Terwujudnya rumusan pokok-pokok pikiran tentang sinkronisasi
penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan
komponen bangsa lainnya dalam rangka mewujudkan ketahanan
nasional.

b. Terwujudnya konsepsi pemberdayaan wilayah pertahanan melalui
Binter dalam membantu pemerintah untuk menyiapkan potensi wilayah
menjadi kekuatan pertahanan.


2. KEMISKINAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KETAHANAN NASIONAL

J umlah penduduk miskin di Indonesia saat ini 34,9 juta orang (Biro Pusat
Statistik, Maret 2008). Bila kita membandingkan gambaran jumlah penduduk
miskin tahun 2005 (35,10 juta) dan tahun 2006 (39,10 juta) (Susenas BPS, 2006
dalam Brodjonegoro, 2007) dengan gambaran jumlah penduduk miskin tahun
2008, memang terjadi penurunan jumlah penduduk miskin. Namun, dampak
krisis ekonomi global 2008 yang mulai dirasakan oleh Indonesia akan berdampak
juga terhadap kenaikan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi 2009 yang
3
semula diperkirakan 6%, dengan krisis ekonomi global 2008, menurut
perhitungan Pemerintah hanya akan mencapai 4,5% (Kompas, Februari 2009).
Demikian pula jumlah orang miskin tahun 2009 yang semula diperhitungkan oleh
Pemerintah 32,38 juta orang akan meningkat menjadi 33,714 juta orang (setara
dengan 14,87% jumlah penduduk Indonesia). Dalam hubungan dengan
kemiskinan ini, Fadhil Hasan (2009) mengemukakan bahwa dengan
melambatnya pertumbuhan ekonomi akan mengakibatkan pengangguran. Dalam
perhitungannya setiap 1% pelambatan ekonomi akan menyebabkan 300.000
orang kehilangan kesempatan kerja. J ika ini dikalikan dengan empat anggota
keluarga maka akan ada 1,2 juta orang yang tidak ternafkahi yang berarti 1,2 juta
orang akan jatuh miskin. Belum lagi sekitar 600.000 tenaga kerja Indonesia (TKI)
yang dipulangkan dari luar negeri (Kompas, Februari 2009).
Gambaran mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia dapat dirinci
menjadi jumlah penduduk miskin di perkotaan dan di pedesaan. Di perkotaan
jumlah penduduk miskin tahun 2005 (11,40%) dan tahun 2006 (13,4%) dari total
jumlah penduduk kota (Brodjonegoro, 2007). Sedangkan jumlah penduduk
miskin di pedesaan, pada tahun 2005 (19,5%) dan tahun 2006 (21,9%) dari total
jumlah penduduk miskin di pedesaan (Brodjonegoro, 2007). Implikasi persentase
jumlah penduduk miskin di pedesaan yang lebih tinggi daripada di perkotaan
dalam kurun waktu dua tahun itu adalah terjadinya arus urbanisasi dari daerah
pedesaan ke perkotaan dengan segala permasalahannya, seperti menjamurnya
pedagang kaki lima, rumah liar di bantaran kali dan sepanjang rel kereta-api,
serta meningkatnya kriminalitas.

Dampak dari kemiskinan terhadap urbanisasi dengan segala
permasalahannya ini hanyalah salah satu konsekuensi dari kondisi kemiskinan.
Dalam membicarakan masalah sosial (social problems) di Amerika Serikat,
antara lain kemiskinan, Farley (1967) mengemukakan berbagai konsekuensi dari
kemiskinan.

Pertama, dampak kemiskinan terhadap pendidikan. Akses anak-anak
orang miskin terhadap lembaga pendidikan yang bermutu sangat terbatas.
Demikian pula prestasi sekolah anak-anak miskin secara keseluruhan lebih
rendah dari anak-anak Amerika yang beruntung pada umumnya. Akibatnya di
4
kemudian hari setelah mereka dewasa, anak-anak miskin ini akan menduduki
posisi yang rendah di dunia kerja. Demikianlah siklus seperti ini terus berjalan,
dengan akibat kemiskian diturunkan dari generasi ke generasi. Barangkali
dinamika kemiskinan yang diturunkan dari generasi ke generasi ini berlaku juga
di Indonesia.

Kedua, kemiskinan juga berdampak pada perumahan. Dibandingkan
dengan warga-negara Amerika Serikat umumnya, orang-orang miskin menempati
rumah yang kurang layak huni dalam ukuran Amerika. Baik pada musim dingin
maupun musim panas, orang-orang miskin tidak mampu membayar tagihan listrik
untuk penggunaan alat pemanas ruangan (heater) dan pendingin udara (air-con).
Akibatnya, kondisi rumah yang tidak mendukung kondisi fisik mereka ini adalah
rendahnya tingkat kesehatan orang-orang miskin. Masalah lain berkenaan
dengan perumahan adalah banyaknya penghuni dalam satu rumah
(overcrowded) yang disebabkan oleh keterbatasan pendapatan, sehingga untuk
mengatasi sewa rumah yang mahal, beberapa keluarga bergabung untuk
menyewa rumah.

Ketiga, Konsekuensi yang lain dari kemiskinan menurut Farley adalah ada
sejumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal (homelessness; di Indonesia :
gelandangan). Mereka yang tidak memiliki rumah ini tidur di taman, pinggir jalan,
tenda, atau di tempat-tempat yang disediakan oleh lembaga sosial/gereja.
Penyebab dari gejala homelessness ini adalah pengangguran, tidak memiliki
keluarga yang menampung/merawat, dan dikeluarkannya pasien penyakit jiwa
dari rumah sakit. Yang ironis, menurut Farley adalah beberapa pemerintahan
kota mengeluarkan aturan yang melarang orang tidur di taman kota dan tempat-
tempat umum (di Indonesia hal seperti ini juga terjadi berupa penggusuran
penghuni liar yang tinggal di lahan pemerintah atau swasta, di kolong jalan
layang, dan di bantaran kali).

Keempat, kemiskinan juga berdampak terhadap kriminalitas. Penduduk
miskin bisa menjadi korban kejahatan, seperti diperas, dirampok, dan diperkosa
karena umumnya mereka tidak cukup mempunyai akses terhadap perlindungan
wilayah pribadi. Statistik nasional berkenaan dengan kejahatan di Amerika saat
5
itu menunjukkan bahwa korban kejahatan dua kali lebih banyak menimpa orang
miskin daripada orang yang tergolong beruntung (advantage people). Di sisi lain
orang miskin juga bisa menjadi pelaku kejahatan yang secara umum disebabkan
oleh terbatasnya pendapatan mereka. Berbeda dengan tindak kejahatan yang
dilakukan oleh mereka yang tergolong beruntung, kejahatan yang dilakukan oleh
orang miskin ini lebih mudah diditeksi dan ditangkap pelakunya. Oleh karena baik
jenis, tindakan, maupun lokasi kejahatannya sangat jelas, yaitu terjadi di tempat
umum. Misalnya, perampokan di toko, penyalahgunaaan narkoba di jalan, dan
pekerja seks yang menawarkan diri di jalan umum. Demikianlah, pada intinya
menurut Farley : poverty breeds crime.

Kelima, dampak kemiskinan terhadap kondisi mental. Farley
mengemukakan sejumlah hasil penelitian (Dohrenwend, 1972 : Warheit, Holzer,
dan Schwab, 1973) yang pada intinya menunjukkan bahwa orang-orang
berpenghasilan rendah atau miskin kurang merasa bahagia (less happiness) dan
bahkan mengalami gangguan mental yang serius (depresi, skizoprenia, dan
gangguan kepribadian). Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell, Converse,
dan Rogers (1976) juga menunjukkan rendahnya derajat kebahagiaan orang
miskin di Amerika. Dengan demikian, dapat disimpulkan adanya hubungan yang
erat antara kemiskinan dan gangguan mental.

Telah dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa kemiskinan merupakan
suatu siklus yang terus-menerus berjalan dari generasi ke generasi yang
penyebab utamanya adalah taraf pendidikan anak-anak orang miskin yang
rendah. Selain faktor pendidikan yang rendah, faktor mental orang miskin juga
merupakan siklus yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kondisi
kemiskinan dan sulit bangkit ke kondisi yang lebih baik. Dengan kata lain, mereka
terus-menerus berada dalam lingkaran kemiskinan (cycle of poverty).






6
Gambar 1 : Lingkaran Kemiskinan


Sumber : Poverty revisited (2000 : 43)


Carkhuff (1972) sebagai pencetus lingkaran kemiskinan beranggapan
bahwa dilihat dari perspektif psikologi, orang miskin adalah orang yang berada
dalam kondisi deprivasi (deprivation). Artinya, akses orang-miskin terhadap
fasilitas dan lembaga pelayanan umum (kesehatan, air, sanitasi, pendidikan, dan
perekonomian) sangat terbatas. Orang miskin juga tidak bisa mengendalikan
lingkungannya (uncontrollability) karena posisi tawar (bargaining position) mereka
yang lemah. Petani, misalnya, tidak dapat menentukan harga gabah dan beras,
sedangkan penjual pupuk atau sepeda motor dapat mendikte harga komoditas
yang mereka kehendaki kepada petani. Dengan demikian, sebagai akibat
ketidakmampuan mengendalikan lingkungannya (peraturan atau hukum yang
tidak memihak rakyat miskin dan kaum minoritas dalam kekuasaan/power), maka
mereka tidak tahu lagi upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki taraf
hidupnya dan merasa tidak berdaya (helpless).
Selanjutnya, kondisi mental yang serba tidak berdaya ini akan diikuti oleh
perasaan tertekan, lesu, dan tidak bergairah (depression). Tidak mengherankan
apabila akibat dari kondisi depresi ini orang miskin bersikap pasif (passivity) dan
7
tidak acuh atau tidak peduli terhadap llingkungan sekitarnya (apathy), dan
akhirnya orang miskin akan tetap berada dalam deprivasi.

Pelajaran apa yang kita peroleh (lesson learned) dari kondisi orang miskin
dengan keterbatasan akses ke berbagai layanan umum dan ketidakmampuan
mereka memotong lingkaran kemiskinan?. Pertama, upaya mengentaskan
kemiskinan tidaklah sesederhana seperti yang kita pikirkan karena melibatkan
berbagai pihak. Kemiskinan bukanlah suatu fenomen yang berdiri sendiri,
melainkan melibatkan sejumlah lembaga pemerintah dan swasta dalam
penanggulangannya (lintas sektoral). Kemiskinan bukan menjadi monopoli
Departemen Sosial, atau Departemen Kesehatan, ataupun Departemen
Pendidikan dan seterusnya. Singkatnya pengentasan kemiskinan tidak hanya
menjadi tugas Pemerintah, melainkan menjadi tugas segenap komponen
bangsa, termasuk TNI/TNI-AD.

Only with the assistance of local governments,
NGOS, community organizations, and the
beneficiaries themselves will the National
Government have a high chance of success in
meeting the challenge of poverty alleviation over
the coming years ..NGOs, private sector,
and communities hold the potential for shifting the
ride of resources and staffing in favor of the needs
of the unfortunate (World Bank, 1996 dalam
Ortegas, 2000:8)

Pelajaran kedua yang kita peroleh adalah bahwa kelompok miskin
merupakan kelompok rentan yang sangat potensial untuk dilibatkan atau
dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan. Hal ini terbukti dari dilibatkannya
mereka dalam aksi massa, unjuk rasa, dan bentuk-bentuk protes lainnya serta
dalam proses perekrutan pembentukan pasukan khusus suatu partai dan
organisasi kemasyarakatan. Bukti lain mengenai betapa rentannya kelompok
masyarakat yang tergolong miskin ini ditunjukkan juga oleh Malik (2003) pada
saat mengimplementasikan gerakan Bakubae pada konflik antar kelompok yang
terjadi di Maluku. Malik mengemukakan bahwa selain kondisi dan situasi di
Maluku yang sangat kondusif untuk terjadinya konflik antarkelompok, juga kondisi
sosial-ekonomi yang buruk (masyarakat miskin) memberi sumbangan yang besar
8
terhadap terjadinya konflik antarkelompok. Keberhasilan Malaysia merekrut
warga negara Indonesia di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia untuk
dijadikan pasukan Wataniah Malaysia merupakan bukti lain lagi mengenai
menurunnya loyalitas warga negara Indonesia terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Untuk dimaklumi bahwa warga negara Indonesia
yang mendaftarkan diri dan berhasil direkrut oleh Pemerintah Malaysia itu
berasal dari sosial-ekonomi rendah Entikong, Kaltim. Pada kasus penjarahan
rame-rame hutan Ketapang juga terlibat warga masyarakat lokal miskin dan
berpendidikan rendah sebagai pelaku atau operator di lapangan, baik sebagai
penebang di hutan, buruh bongkar-muat, maupun pekerja di kilang-
kilang.(Tempo, April 2008).

Maka masalah kemiskinan mempunyai saling keterkaitan dengan berbagai
masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan kata lain, gejala
kemiskinan berdampak terhadap pelestarian lingkungan hidup (penebangan
hutan secara liar), ekonomi (melakukan penyelundupan), kebudayaan (penjualan
benda cagar-budaya), hubungan antar negara dan kedaulatan NKRI (menjadi
pasukan Wataniah Malaysia). Ini berarti, pada akhirnya gejala kemiskinan akan
mengakibatkan lemahnya ketahanan nasional (national resilience) dan bahkan
ancaman bagi keamanan nasional (national security).

3. CARA PANDANG KEMISKINAN

Berdasarkan uraian terdahlu dapat ditarik simpulan bahwa :
a. Kemiskinan di Indonesia berskala besar ( 35 juta penduduk
miskin).
b. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan masalah lain, seperti
pendidikan, lingkungan hidup, ekonomi, kriminalitas, keamanan,
pertahanan, dan ketahanan nasional.

c. Oleh karenanya penanganan kemiskinan harus melibatkan
segenap komponen bangsa.

9
d. Menyadari kompleksitas masalah kemiskinan di Indonesia dan
penanggulangannya, maka dari para pemangku kepentingan (stake-
holders) masalah kemiskinan dituntut untuk

1) Menempatkan masalah kemiskinan dan penanganannya
dalam skala prioritas yang tinggi. Yang dimaksud dengan skala
prioritas yang tinggi adalah adanya sense of urgency dan sense of
crisis dalam melihat masalah kemiskinan. Tanpa dilandasi oleh
kesadaran kegawatan masalah kemiskinan tidak mungkin
penyelesaian masalah kemiskinan memberikan hasil yang
bermakna. Dalam hubungan ini perlu diingatkan kembali bahwa
Indonesia adalah salah satu negara penandatangan Deklarasi
Millenium dan dari kedelapan tujuan MDGS yang di antaranya
menanggulangi kemiskinan dan kelaparan harus dirampungkan
pada tahun 2015.

2) Perubahan mindset para pengambil keputusan.
Selama bertahun-tahun para penentu kebijakan di Indonesia
terjebak pada mindset yang sektoral sifatnya. Artinya berbagai
masalah yang dihadapi oleh bangsa dan Pemerintah Indonesia
dibagi habis ke Departemen dan lembaga tertentu, misalnya, BBM
adalah ranah (domain) Pertamina, beras ranah Bulog, Narkoba
ranah Polri, perpajakan ranah Departemen Keuangan, bencana
alam ranah Departemen Sosial, pertahanan dan keamanan ranah
Departemen Pertahanan dan TNI, dan seterusnya. Sepintas
mindset seperti ini wajar karena memang setiap lembaga
Pemerintah mempunyai tugas pokok dan fungsi serta
tanggungjawabnya masing-masing. Namun, dalam era globalisasi
ancaman yang dihadapi oleh suatu negara tidak lagi bersifat
symmetry, melainkan asymmetry, sukar diprediksi, berlangsung
cepat dan bahkan mendadak, sehingga tidak mungkin lagi ditangani
dengan cara-cara tradisional, linear, dan sektoral (Markum, 2008).
Kenaikan harga BBM pada waktu yang lain tidak mungkin hanya
direspons oleh Pertamina, melainkan harus diikuti juga oleh
10
tindakan berbagai departemen pemerintah. Oleh karena kenaikan
harga BBM akan berdampak pada Departemen Keuangan
(penyesuaian APBN), Polri (penimbunan, pengoplosan, dan
penyelundupan BBM), Departemen Pertanian (intensifikasi dan
ekstensifikasi penanaman pohon jarak), Departemen Dalam Negeri,
ABRI dan BIN (mewaspadai gerakan separatisme) dan seterusnya.
Singkatnya harus ada alignment di antara departemen dan lembaga
pemerintah (lihat Kaplan dan Norton, 2006), disamping perlunya
ditanggalkan egoisme dan arogansi suatu unit kerja, angkatan,
profesi, dan perguruan tinggi apabila sungguh-sungguh bertekad
menyelesaikan masalah kemiskinan pada tahun 2015.

3) Berpikir lateral (lateral thinking).
Berpikir lateral dikemukakan oleh de Bono (1986) yang intinya
adalah melepaskan atau membebaskan diri dari pola pikir
tradisional yang biasa kita pergunakan. Dengan berpikir lateral kita
justru bergerak ke samping/lateral menjauhi pola berpikir linear
untuk memperoleh gagasan yang lebih baik. Menurut de Bono, agar
kita memperoleh gagasan baru, bila perlu kita melakukan
goncangan, mempermasalahkan, atau menggugat gagasan lama,
rutinitas, dan status quo. Upaya mengganggu stabilitas status quo
ini oleh de Bono disebut provocation. Dengan demikian, berpikir
lateral akan mendukung proses perubahan mindset sebagaimana
yang diuraikan di atas.

4) Kesediaan berbagi informasi. Kesediaan berbagi
informasi atau pengetahuan (information/knowledge sharing) antar-
lembaga secara timbal-balik merupakan prasyarat untuk terjadinya
sinergi. Dengan berbagi informasi ini bukan saja terjadi sinergi,
tetapi juga bisa menghasilkan kreasi baru atau terjadi inovasi.
Sebaliknya, ketidaksediaan berbagi informasi bukan saja tidak
menghasilkan inovasi, tetapi dapat juga menghasilkan kondisi
status quo, ketertinggalan, bahkan mungkin bencana. Keberhasilan
atau sukses berbagai perusahaan J epang karena dikembangkan
11
budaya perilaku berbagi pengetahuan di antara staf perusahaan.
Sebuah toko serba-ada dengan ukuran menengah, misalnya,
mewajibkan karyawannya untuk mencatat peristiwa atau
pengalamannya dengan pengunjung (mengapa harga barang
tertentu lebih mahal, barang tertentu sudah tiga hari tidak tersedia,
keluhan antri pembayaran di kasir yang panjang, dan lain-lain),
untuk dilaporkan kepada supervisor yang selanjutnya informasi ini
akan diteruskan dan diolah oleh knowledge management officer.
Inilah yang disebut sebagai tindakan routine-creative karena
dikerjakan secara rutin atau teratur setiap hari, namun
menghasilkan sesuatu yang baru.

4. PERAN TNI/TNI-AD

Sebelum mengemukakan pemikiran mengenai peran TNI/TNI-AD,
khususnya berkenaan dengan pokok pikiran sinkronisasi Binter TNI/TNI-AD
dengan pemerintah dan komponen bangsa lainnya, berikut dikemukakan
beberapa kutipan yang diambil dari .. Mengikuti J ejak Panglima Besar
Soedirman.

Tentara bukan merupakan suatu golongan di luar masyarakat,
bukan suatu kasta yang berdiri di atas masyarakat. Tentara
tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian masyarakat yang
mempunyai kewajiban tertentu. (Amanat yang tertuang dalam
maklumat TKR, Yogyakarta, 1 Januari 1946) (Mengikuti Jejang
Panglima Besar Soedirman, hlm. 5).

Pada situasi kritis dan sulit yang terjadi pada tanggal 19
Desember 1948, yaitu sewaktu ribuan tentara payung Belanda
diterjunkan dan menyerang Yogyakarta secara mendadak, para
pemimpin Republik memutuskan untuk tetap tinggal di
Yogyakarta, yang berarti mempunyai kemungkinan besar ditawan
oleh tentara Belanda. Tetapi Soedirman membuat keputusan
untuk tetap bersama prajurit dan rakyat melanjutkan perjuangan
dengan perang gerilya. (Mengikuti Jejak Panglima Besar
Soedirman, hlm. 6-7).


Kejuangan yang telah ditunjukkan oleh Panglima Besar Jenderal
Soedirman meliputi semangat pantang menyerah, rela
12
berkorban, patriotik dan kebersamaan dengan rakyat.
(Mengikuti Jejak Panglima Besar Soedirman, hlm. 8).


Kutipan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa dalam
sejarahnya TNI tidak dapat dipisahkan dari rakyat. Hal ini dipertegas lagi dalam
Order Harian Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia kepada segenap
anggota Angkatan Perang Republik Indonesia tanggal 4 Oktober 1949 (butir 2).


Empat tahun sudah kita menderita, kita berkorban. Dan dalam
pada itu Angkatan Perang maju dalam perjuangan Kemerdekaan,
ditengah-tengah revolusi. Karenanya Angkatan Perang adalah
tentara nasional, tentara rakyat, tentara revolusi. (Sardiman,
2008 : 249)



Namun, dalam perkembangannya ternyata TNI/TNI-AD pada masa Orde
Baru tidak sejalan dengan ucapan Panglima Besar Soedirman : Tentara tidak
berpolitik, tidak memihak kepada golongan, atau partai politik tertentu.
Politik negara adalah politik tentara . Ini berarti bahwa jauh sebelum Orde
Baru lahir, Panglima Besar Soedirman sudah mengingatkan bahwa tentara
harus bersikap netral. Kenyataan menunjukkan tentara atau militer justru
menjadi kepanjangan politik Orde Baru dan berpihak pada Partai Golkar.
Selanjutnya, karena salah satu bunyi trilogi pembangunan adalah stabilitas,
maka makin mempertegas keberadaan tentara sebagai alat pemerintah yang
dalam menjalankan tugasnya menggunakan pendekatan keamanan (security
approach). Akibatnya tentara bukan lagi tentara rakyat yang dicintai oleh rakyat.
Oleh kareanya tidak berlebihan kiranya apabila TNI/TNI-AD bermaksud
menjalankan fungsi pembinaan territorial (Binter) dengan menggunakan
pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) akan menghadapi sejumlah
kendala, yakni :

a. Sumber internal TNI/TNI-AD :
1) Tidak cukup pengalaman dan kompetensi untuk
menjalankan operasi militer dalam masa damai (Military Operation
Other than War). Perlu dikemukakan bahwa memang dalam
13
sejarah ABRI menunjukkan bahwa ABRI pernah melakukan civic
mission dan program ABRI masuk desa (AMD). Namun, selain
oleh kalangan ABRI sendiri dianggap hanya sebagai tugas
sampingan yang tidak meningkatkan reputasi ABRI, dibandingkan
dengan tugas tempur yang dilakukan oleh pasukan elit, juga
program itu tidak dikelola dengan baik (hit and run), sehingga tidak
mampu membuat rakyat mencintai tentaranya.
2) Kekhawatiran di dalam tubuh TNI/TNI-AD berkenaan
dengan anggapan masyarakat yang menuding TNI/TNI-AD akan
kembali berpolitik praktis, apabila menjalankan fungsi Binter.

b. Sumber eskternal
1) Kecurigaan kuat dari masyarakat terhadap TNI/TNI-AD
menyangkut kembalinya TNI/TNI-AD ke panggung politik melalui
fungsi Binter.
2) Merosotnya kepercayan dan kecintaan rakyat terhadap
TNI/TNI-AD karena dominasi peran TNI/TNI-AD di masa Orde
Baru.
3) Dianggap mengambilalih tugas pokok dan fungsi
departemen dan lembaga pemerintah yang sudah ada disebabkan
oleh mindset para pengambil keputusan yang tidak berubah, belum
bisa berpikir lateral, dan rendahnya kesediaan berbagi informasi
atau pengetahuan.

Sejauh ini naskah ini belum menyentuh secara khusus bagaimana
sinkronisasi penyelenggaraan Binter TNI/TNI-AD dengan pemerintah dan
komponen bangsa lainnya.

Pertama, TNI/TNI-AD dalam berpartisipasi meningkatkan kesejahteraan
bangsa harus memilih isu strategis yang berkenaan dengan pertahanan nasional
yang secara relatif tidak tersentuh oleh Departemen dan lembaga pemerintah
serta LSM. Dalam hubungan ini disarankan TNI/TNI-AD memprioritaskan tugas
Binter di wilayah perbatasan/terluar Indonesia dan daerah konflik dimana fungsi
pemerintahan tidak optimal, dalam hal pengentasan kemiskinan.
14
Kedua, TNI/TNI-AD harus mensosialisasikan secara menyakinkan
kepada berbagai pihak, khususnya DPR RI , bahwa tugas unit Binter TNI/TNI-
AD saat ini berbeda dengan tugas Binter di masa Orde Baru, yakni
mengedepankan pendekatan kesejahteraan daripada pendekatan keamanan.
Tugas Binter yang berorientasi pada kesejahteraan ini tidak perlu dikaitkan
dengan politik praktis karena militer AS yang bukan sebagai tentara rakyat juga
melakukan tugas Binter atau pengembangan masyarakat (Wilkinins, J :
Columbus, Georgia: Civilian-military relationships spawn economic development
(1999) ; Thanner, M.H. : Military base closure effects on a community : The case
of Fort Ritchie Army Garrison and Cascade, Maryland (2006) ; Chenault, J .C. :
The Armys community-based health care initiative : an innovative military case
management program (2006) dan lain-lain).

Ketiga, memberikan pencerahan mengenai berbagai pengertian atau
peristilahan yang berkenaan dengan kelekatan warga-negara terhadap negara
yang berkonotasi sempit. Misalnya, perang, bela-negara, dan heroisme yang
selama ini mengaitkannya dengan medan perang menggunakan persenjataan
(pengertian sempit), sebenarnya istilah-istilah tersebut dapat digunakan dalam
konteks non-militer, seperti memerangi kemiskinan, kebodohan atau
ketertinggalan ; pahlawan devisa untuk para TKI dan kalau ada orang yang
membonceng suatu upaya kebaikan yang dilakukan oleh orang lain, disebut
pahlawan kesiangan. Dengan demikian setiap warga-negara wajib menyatakan
perang terhadap narkoba, kemiskinan, kelaparan, dan lain-lain, termasuk
pernyataan perang TNI/TNI-AD terhadap berbagai masalah yang dihadapi
bangsa. Maka fungsi Binter TNI/TNI-AD harus kembali menjadi tentara rakyat
sesuai dengan order harian Panglima Besar Soedirman tahun 1949. Dengan
kata lain, tugas Binter TNI/TNI-AD adalah sebagai agent of change dengan
berorientasi pendekatan kesejahteraan pada kantong kantong kemiskinan, misal
sebagai konsultan UKM Korem Bali beberapa tahun lalu.

Implikasi bergesernya fungsi Binter TNI/TNI-AD menjadi agen pembaharu
(change agent) tentu sangat bermakna bagi pengembangan TNI/TNI-AD,
khususnya Binter di masa depan karena terutama menyangkut perubahan
mindset TNI/TNI-AD dari operasi tempur (destroy the enemy) ke operasi
15
kemanusiaan (People Security) dan Lingkungan Hidup (Environment). Dalam
hubungan ini Binter TNI/TNI-AD dapat berperan sebagai entreprenur sosial
(social entrepreneur) yang meskipun dalam beberapa hal memiliki karakteristik
yang sama dengan business entrepreneur, seperti selain ingin lebih baik, tidak
cepat puas, dan segala hal menjadi tanggungjawab pribadi, namun baik falsafah
maupun implementasinya berbeda. Bila para business entrepreneur tujuan
utamanya mencari untung sebanyak-banyaknya, sehingga modalnya
berkembang secara akumulatif, maka para social entrepreneur akan merasa
puas apabila banyak anggota masyarakat yang makin sejahtera. Dengan
demikian, tolok-ukur keberhasilan business entrepreneur adalah keuntungan
finansial, sedangkan tolok-ukur keberhasilan social entrepreneur adalah
kesejahteraan masyarakat. Salah satu tokoh social entrepreneur yang terkenal
dan peraih hadiah nobel adalah Muhamad Yunus dengan Grammeen Bank-nya
dari Bangladesh.

Khusus implikasi bagi intern TNI/TNI-AD berkenaan dengan pergeseran
fungsi Binter ini adalah pada SDM di lingkungan TNI/TNI-AD. Artinya, SDM
TNI/TNI-AD selain harus memiliki kompetensi profesional (strategi, taktis, dan
tehnis kemiliteran), juga kompetensi yang berkenaan dengan fungsinya sebagai
agen pembaharu, seperti keterampilan melakukan intervensi sosial, soft skill,
dan pengetahuan budaya lokal sebagai modal sosial dalam pengembangan
masyarakat (community development). Untuk memperjelas hal ini, berikut
dikemukakan Gambar 2.

Gambar 2 : Kompetensi Binter TNI/TNI-AD


16
Bila pemikiran pergeseran fungsi Binter TNI/TNI-AD ke Prosperity Approach ini
dapat diterima, maka konsekuensinya akan sangat bermakna bagi sistem
pendidikan dan pelatihan TNI/TNI-AD.

Implikasi yang juga penting adalah berkenaan dengan alokasi anggaran
karena satuan kesehatan atau satuan zeni, misalnya, tidak hanya beroperasi
tatkala ada bencana yang reaktif sifatnya, dan hanya untuk kepentingan intern
TNI/TNI-AD, tetapi harus merupakan operasi kekaryaan dalam rangka social
responsibility TNI/TNI-AD menuju ke Pembangunan yang Berkesinambungan
(Sustainable Development). Demikian pula harus tersedia anggaran untuk
pelatihan anggota TNI/TNI-AD yang bertugas di wilayah perbatasan dengan luar
negeri dan daerah daerah konflik serta daerah terpencil, baik berkenaan dengan
kesejahteraannya, maupun kompetensi pemberdayaan masyarakat.
Demikianlah beberapa pokok pemikiran mengenai paradigma baru fungsi
Binter TNI/TNI-AD. Mudah-mudahan bermanfaat bagi TNI/TNI-AD khususnya
menyangkut kepercayaan (trust) dan kecintaan rakyat terhadap TNI/TNI-AD
dalam rangka memulihkan jati diri dan citra TNI/TNI-AD

Depok UI, 20 Februari 2009















17
DAFTAR PUSTAKA

Bornstein, D. (2006). Mengubah dunia, kewirausahaan sosial dan kekuatan
gagasan baru, Yogyakarta : INSIST Press.

Brodjonegoro, B. P. S. (2007). Pencapaian MDGS dan prioritas pembangunan
ekonomi Indonesia. Depok : Panitia Lokakarya Dewan Guru Besar Universitas
Indonesia.

de Bono, E. (1986). Tactics the art and science of success. Great Britain :
Fontana/Collins.

Farley, J . E. (1987). American social problems : An institutional Analysis. New
J ersey : Printice Hall, Inc.

Kompas (13 Februari, 2009). Kemiskinan bertambah (hlm. 1 dan 15).

Malik, L, dkk (2003). Mematahkan kekerasan dengan semangat Bakubae.
J akarta : Yappika.

Markum, M.E. & Dahlan, W. (2008). Upaya meningkatkan ketahanan nasional
melalui pemberdayaan masyarakat. J akarta : Panitia Seminar Nasional
Menyiapkan Pertahanan Negara Melalui Pemberdayaan Wilayah Pertahanan.

Sardiman, A. M. (2008). Guru bangsa sebuah biografi Jenderal Soedirman.
Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Tempo, Edisi 14-20 April 2008. Jaringan cincai menjarah Ketapang.

Ortega, C. D. (2000). Poverty revisited. A social psychological approach to
community empowerment. Manila : Ateneo de Manila University Press.

Anda mungkin juga menyukai