Anda di halaman 1dari 9

ANALISA KASUS

1. Diagnosis pasien
Diagnosis pada pasien ini adalah penurunan kesadaran e.c sepsis e.c ulkus
diabetikum dengan Diabetes Melitus tipe II, AKI derajat IV dan anemia
derajat III.

Berdasarkan anamnesa, Pasien masuk ke ICU dengan keluhan tidak sadar
sejak pagi hari setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter ruangan. Keluarga
mengaku bahwa pada jam 6 sore sebelum pasien tidak sadarkan diri, pasien
sempat mengeluhkan nyeri pada lukanya dan mengalami demam kemudian
meminta untuk mengatur posisi tidur pasien. Saat malam harinya, keluarga
mengira bahwa pasien sedang tertidur pulas karena saat dipanggil dan diberi
rangsangan pasien tidak memberikan respon apapun. Pasien memiliki riwayat
diabetes melitus sejak 4 tahun yang lalu dan mengaku rutin kontrol ke dokter
dan meminum obatnya yaitu glimepirid dan metformin. Keluarga pasien juga
mengaku bahwa pasien sempat mengeluhkan rasa gatal pada kaki kirinya
yang sering digaruk pasien hingga akhirnya menjadi luka yang semakin
meluas sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu juga terdapat luka pada
selangkangannya sejak 1 bulan yang lalu. Berdasarkan data diatas pasien
berarti mengalami diabetes sejak 4 tahun lalu dan memiliki luka bernanah
pada kaki kirinya. Selain itu pasien mengalami penurunan kesehatan yang
mendadak dalam waktu yang singkat. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, didapatkan leukosit 45100/ul, hemoglobin 7,2 gr/dl, ureum 75
mg/dl, kreatinin 2,17 mg/dl.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan laboratorium pasien didiagnosis
sebagai diabetes melitus tipe II. Definisi diabetes melitus, kriteria dm
Selain itu karena pasien juga memiliki luka pada kaki kirinya sehingga
ditambahkan diagnosis ulkus diabetikum. Definisi ulkus diabetikum

Pada pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai ureum dan
kretinin adalah 75 dan 2,17. Hal ini didasarkan dari nilai ureum dan creatinin
yang tinggi dan staging berdasarkan laju filtrasi glomerulus. Berdasarkan
staging, pasien ini mengalami kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang
ringan. Kondisi ini makin memperberat keadan pasien sehingga memerlukan
pengawasan terhadap tanda tanda vital dan keadaan umum pasien.


( )

( )





2. Indikasi Rawat ICU
Berdasarkan kementrian kesehatan RI tahun 2011, seorang pasien dapat
diindikasikan masuk dalam icu harus berdasarkan kriteria kriteria yang
disebut dibawah ini :
A. Pasien Prioritas 1
Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, tidak stabil yang
memerlukan terapi intensif seperti dukungan / bantuan ventilasi, infus,
obat-obatan vasoaktif kontinue, dan lain-lainnya. Contoh :
Pasien gagal nafas oleh sebab apapun
Pasien gagal sirkulasi oleh sebab apapun
Pasien syok septic
Pasien pasca bedah kardiotorasik
B. Pasien Prioritas 2
Pasien ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih dari ICU, jenis
pasien ini beresiko sehingga memerlukan terapi intensif segera. Contoh :
Pasien pasca pembedahan mayor
Pasien yang menderita penyakit dasar jantung, paru atau ginjal akut
dan berat.
C. Pasien Prioritas 3
Pasien jenis ini sakit kritis dan tidak stabil dimana status kesehatan
sebelumnya, penyakit yang mendasarinya atau penyakit akutnya baik
masing-masing atau kombinasinya sangat mengurangi kemungkinan
kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi di ICU. Contoh:
Pasien dengan keganasan metastatik disertai penyulit infeksi
pericardial temponade atau sumbatan jalan nafas atau pasien
menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai komplikasi
penyakit akut berat.
Pasien prioritas 3 mungkin mendapat terapi intensif untuk mengatasi
penyakit akut tetapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan
intubasi atau resusitasi kardiopulmoner.

Diagnosis lebih spesifik yang umumnya memenuhi kriteria inklusi perawatan
ICU:
1. Semua pasien yang membutuhkan bantuan ventilasi mekanik dan/atau
proteksi jalan nafas (guedel/mayo,emergensi trakheostomi atau intubasi).
2. Pasien-pasien pasca operasi yang memerlukan monitoring intensif yaitu :
- Operasi lama > 6 jam dan/atau beresiko perdarahan.
- Beresiko tinggi (ASA 3 seperti : hipoalbumin, anemia berat,
gangguan koagulasi serta aritmia intraoperatif).
- Riwayat henti jantung (cardiac arrest), hipoksemia, atau aspirasi
pneumonia selama operasi.
3. Semua pasien yang membutuhkan obat-obat inotoprik dan anti aritmia
yang memerlukan monitoring invasif.
- Pasien-pasien syok
- Pasien-pasien pasca resusitasi
4. Pasien-pasien yang memerlukan monitoring hemodinamik invasive
seperti kateter swan ganz dan kateter tekanan darah arteri.
5. Pasien-pasien yang potensial mengalami gagal organ (tidak stabil) dari
Unit Gawat Darurat dan ruang rawat Inap :
a. Pasien-pasien traumatic brain injuri (TBI) dengan GCS < 8 dan atau
disertai trauma facial (masalah airway).
b. Pasien-pasien cerebrovaskuler disease (stroke) dengan GCS < 8 atau
disertai dengan pneumonia.
c. Asidosis metabolic berat (dehidrasi, ketosis, intoksikasi, pankreatitis
akut).
d. Pasien-pasien multiple trauma dengan syok (anemia berat).
e. Pasien-pasien yang memenuhi kriteria spesis berat : HR > 90, RR >
25 hipo/ hipertermia atau leukositosis atau lekopenia dengan satu
tanda disfungsi organ :
- Gangguan koagulasi / hemostase
- Penurunan kesadaran (somnolen, gelisah)
- Trauma paru akut (ARDS / ALI)
- Peningkatan kadar ureum / kreatinin
- Hipotensi
- Pasien yang memenuhi syarat kriteria rawat ICCU / PICU,
namun karena ICCU / PICU penuh dapat dirawat di ICU
(dengan persetujuan dokter konsultan ICU).

Pada pasien didapatkan didapatkan beberapa kriteria yang memenuhi sesuai
kriteria diatas, yaitu:
Pada saat pasien masuk ke UGD, tekanan darahnya adalah 80/60 mmHg.
Kemudian pasien sempat diberi infus untuk mengatasi hipotensinya dan
tekanan darahnya naik menjadi 90/60 mmHg. Setelah dirawat di ruang bedah
karena keluhan luka dikaki dan daerah selangkangannya, saat diperiksa
dokter ternyata pasien tidak sadar dan mengalami demam. Berdasarkan
beberapa hal tersebut, pasien termasuk dalam prioritas 1 dan setelah
dilakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium pasien memenuhi kriteria
inklusi masuk ICU karena memenuhi kriteria sepsis berat.

Pada pasien ini didapatkan juga diagnosa tambahan yaitu CKD (Chronic
Kidney Disease). Hal ini didasarkan dari nilai ureum dan creatinin yang
tinggi dan staging berdasarkan laju filtrasi glomerulus. Berdasarkan staging,
pasien ini mengalami kerusakan ginjal dengan penurunan LFG yang ringan.
Kondisi ini makin memperberat keadan pasien sehingga memerlukan
pengawasan terhadap tanda tanda vital dan keadaan umum pasien.

Pada pasien ini diberikan terapi :
IVFD NaCl 20 tpm
Meropenem 3 x 1 gram
Ranitidin 2x50mg
Insulin 8-8-8 IU
Pemasangan NGT
GV pedis sinistra

Pemberian cairan pada pasien ini didasarkan dengan penghitungan :







Pada pemeriksaan laboratorium, pada tanggal 24 mei 2014 dan 25 mei 2014
didapatkan nilai leukosit sebesar 45100/l dan 27800/l, maka pada pasien
ini dilakukan pemeriksaan kultur darah dan diberikan antibiotik meropenem.

Meropenem berasal dari Streptomyces cattleya, struktur kimia mirip dengan
beta laktam. Dosis pemberian meropenem:

Neonatus
Postnatal usia 0-7 hari: 20 mg/kg/dosis setiap 12 jam, >7 hari: berat 1,2
kg-2 kg: 20 mg/kg/dosis setiap 12 jam; berat > 2 kg: 20 mg/kg/dosis
setiap 8 jam.
Anak 3 bulan: IV: 60 kg/kg/hari dibagi dalam setiap 8 jam, maksimum
6 g/hari. Anak 3 bulan: IV: infeksi intra abdomen: 20 mg/kg setiap 8
jam, maksimum 1 g setiap 8 jam; Meningitis: 40 mg/kg setiap 8 jam
maksimum 2 g setiap 8 jam.
Dewasa: IV: 1,5-6 g/hari dibagai dalam setiap 8 jam. Dosis pada indikasi
khusus: Anak 3 bulan: IV: infeksi intra abdomen: 20 mg/kg setiap 8
jam, maksimum 1 g setiap 8 jam; Meningitis: 40 mg/kg setiap 8 jam
maksimum 2 g setiap 8 jam. Infeksi kulit dan struktur kulit (komplikasi):
10 mg/kg setiap 8 jam, maksimum 500 mg setiap 8 jam.
Penyesuaian dosis pada gagal ginjal: Dewasa: Clcr 26-50 ml/menit: dosis
yang direkomendasikan sesuai indikasi setiap 12 jam; Clcr 10-25
ml/menit: setengah dosis yang direkomendasikan setiap 12 jam; Clcr <10
ml/menit: setengah dosis yang direkomendasikan setiap 24 jam; Dialisis:
meropenem dan metabolit mudah didialisa; berikan obat sesudah
didialisis.

Distribusi: Vd: dewasa: 0,3 L/kg, anak : 0,4-0,5 L/kg; penetrasi ke sebagian
besar cairan tubuh dan jaringan baik; konsentrasi di cairan serebrospinal
kurang lebih sama dengan di plasma. Ikatan protein: 2%; Metabolisme: hati:
menjadi cincin betalaktam terbuka yang tidak aktif; waktu paruh eliminasi:
fungsi ginjal baik: 1-1,5 jam; Clcr 30-80 ml/menit: 1,9-3,3 jam; Clcr 2-30
ml/menit: 3,82-5,7 jam; Tmaks: jaringan: 1 jam sesudah pemberian infus;
ekskresi: urin (25% sebagai metabolit tidak aktif).

Serbuk kering harus disimpan pada suhu ruang yang terkontrol : 20-25C.
Meropenem infus dapat dicampur dengan larutan KCL, NaCl atau dektrosa
fisiologis.Meropenem 500 mg dicampur dengan 10 ml dan 1 g dengan 20 ml.
Kemudian dapat diencerkan dengan larutan yang sesuai untuk infus.
Konsultasikan detail dari pencampuran dengan label dari pabrik. Kestabilan
dalam larutan KCL: sampai 2 jampada suhu ruang dan sampai 12 jam pada
lemari pendingin. Kestabilan dalam larutan NaCL: sampai 2 jam pada suhu
ruang dan sampai 128jam pada lemari pendingin. Kestabilan dalam larutan
dekstrosa: sampai 1 jam pada suhu ruang dan sampai 8 jam pada lemari
pendingin.

Hipersensitif terhadap meropenem , komponen formal atau karbapenem lain
(imipenem); pasien yang mempunyai riwayat reaksi alergi dengan beta
laktam.

Efek samping meropenem antara lain 1-10%: Kardiovaskuler: Gangguan
pembuluh darah perifer (<1%). SSP: Sakit kepala (25-8%), nyeri (5%).
Dermatologi: ruam /92-3%, termasuk moniliasis daerah diaper pada anak),
pruritis (1%). Saluran cerna: Diare (4-5%), mual/muntah (1-8%), konstipasi
(1-7%)moniliasis oral (sampai 2% pada pediatri), glositis. Hematologi:
anemia (sampai 6%). Lokal Inflamasi pada tempat suntikan (2%),
flebitis/tromboplebitis (1%), reaksi temapt suntikan (1%). Pernafasan: apnea
(1%). Lain-lain: Sepsis (2%), shok sepsis (1%). <1% terbatas yang penting
dan mengancam jiwa: Agitasi/delirium, agranulositosis, angioedem, aritmia,
peningkatan bilirubin, bradikardia, peningkatan BUN, peningkatan kreatinin,
kolestatik, jaundis, penurunan waktu protrombin, dispepsia, dispnea,
eosinofilia, epistaksis, eritema multiform, perdarahan saluran cerna,
halusinasi, hilang pendengaran, gagal jantung, hemoperitoneum, gagal hati,
hiper/hipotensi, ileus, leukopenia, efusi, udem pulmonal, emboli pulmonal,
gagal ginjal, seizure, Steven Johnson Syndrome, sinkop, trombositopenia,
epidermalnekrolisis, urtikaria, moniliasis vagina.

Interaksi obat meropenem, antara lain:
Peningkatan efek: Probenesid dapat meningkatkan konsentrasi serum
meropenem. Penurunan efek: Meropenem dapat menurunkan konsentrasi
serum asam valproat sampai dibawah kadar terapetik. Antibitiotik dapat
menurunkan Ty21a, melemahkan vaksin tifoid; tunda vaksinasi selama 24
jam sesudah pemberian antibiotic. Bentuk sediaan meropenem yaitu vial
serbuk injeksi mengandung 0,5 g dan 1g Meropenem yang dicampur dengan
Natrium karbonat.

Peringatan
Reaksi hipersensitivitas serius termasuk anafilaksis terjadi, beberapa
diantaranya terjadi tanpa ada riwayat reaksi alergi sebelumnya dengan beta
laktam. Penggunaannya berhubungan dengan ROTD SSP, termasuk keadaan
bingung, serangan kejang; gunakan hati-hati pada pasien dengan gangguan
SSP seperti lesi otak, riwayat serangan kejang, atau gagal ginjal. Penggunaan
jangka panjang dapat menimbulkan superinfeksi bakteri atu jamur, termasuk
Clostridium difficile yang terkait dengan diare (CDAD) dan pseudomembran
colitis; CDAD terjadi <2 bulan setelah terapi antibitotik. Gunakan hati-hati
pada pasien dengan gagal ginjal, sesuaikan dosis pada gagal ginjal sedang-
berat. trombositopenia dilaporkan terjadi pada pasien dengan gangguan
ginjal.Dosis lebih rendah (berdasarkan fungsi ginjal) sering dibutuhkan pada
pasien tua. Keamanan dan efikasi belum ditetapkan pada anak <3 bulan.

Informasi pasien
Laporkan segera bila terjadi: lidah yang kehitaman, sulit bernafas/ nafas
pendek, tinja berbau bacin, ruam, gatal, pada kulit, gatal pada vagina atau
berlendir, plak putih di mulut. Bila tinja bmengandung darah atau nanah
adalah hal yang serius segera hubungi dokter, jangan di terapi di rumah.

Mekanisme aksi
Menghambat biosintesa dinding sel bakteri dengan berikatan pada beberapa
penicillin-binding protein, yang selanjutnya terjadi penghambatan sintesa
peptidoglikan di dinding sel. Bakteri lisis karena aktivitas enzim otolisis
dinding sel ( autolysin dan murein hydrolyses) pada saat penyusunan dinding
sel terhenti.

Monitoring
Monitor respons pasien terhadap terapi. Secara periodik monitor fungsi
ginjal, hati dan darah pada terapi jangka panjang.

Pasien juga mendapatkan ranitidin tablet 2x50 mg/hari, ranitidin merupakan
golongan antagonis H2 yang dapat mengurangi pembentukan asam lambung
sehingga dapat mengurangi keluhan nyeri pada ulu hati.

Pemberian insulin pada pasien ini dikarenakan hasil pemeriksaan GDS yang
high (>600 mg/dl). Pada pasien ini diberikan 8 iu/8 jam secara infus. Dosis
pemberian insulin pada keadaan SHH ataupun KAD 0,1 iu/BB/jam, dimana
dosis ini dapat menurunkan glukosa plasma sebanyak 50 -75 mg/dl per hari.
Ketika kadar glukosa 250 mg/dl untuk KAD dan 300 mg/dl untuk SHH maka
dosis insulin diturunkan 0,05 0,1 iu/BB/jam.

Anda mungkin juga menyukai