Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Departemen Kesehatan (2000) menyebutkan bahwa masalah gizi di Indonesia
masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di
antaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga. Krisis ekonomi yang dimulai
tahun 1997 lalu memberi dampak berupa penurunan kualitas hidup keluarga yang
menyebabkan rendahnya daya beli sehingga jumlah keluarga miskin dan anak-anak
kekurangan gizi bertambah.
Atmarita (2004), mengatakan akumulasi akibat krisis ekonomi di Indonesia
tergambar dari tingginya angka prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak. Hasil
pengukuran TBABS secara nasional 1999 menunjukkan prevalensi anak baru masuk
sekolah usia 6 9 tahun yang tergolong pendek/stunted sebesar 36,1 % (Jahari,
1999). Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak
pendek/stunted masih cukup tinggi, antara lain di Kalimantan Tengah tahun 2004
sebesar 50 54 % (Norliani, 2005)
Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan TB tidak seperti BB, relatif kurang sensitif
terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap TB baru
akan tampak dalam tempo yang lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi
Universitas Sumatera Utara

masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat menggambarkan tentang status gizi masa
lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu
indeks TB/U di samping digunakan sebagai indikator Status Gizi, dapat pula
digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
(Jahari, 1990)
Gagal tumbuh (growth retardation) merupakan salah satu masalah kesehatan
yang paling banyak terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Penelitian yang dilakukan Abunain (1988), menunjukkan status gizi khususnya
prevalensi gangguan pertumbuhan badan di daerah endemis GAKI berkaitan erat
dengan keadaan sosial ekonomi suatu daerah. Energi dan zat-zat gizi, seperti protein,
vitamin A, zat besi dan yodium, diketahui sebagai unsur-unsur gizi yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.(Atmarita, 2004)
Salah satu zat gizi yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah
konsumsi iodium. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah
gizi khususnya di daerah endemis GAKI dengan kategori berat. Penyebab utama
GAKI adalah kekurangan iodium. Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang
sangat dibutuhkan manusia, walau relatif sedikit (normal 100-150 g/hr) untuk
mensintesis hormon tiroksin (WHO, 2001). Hormon tiroksin berfungsi mengatur
proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh ; berperan pada metabolisme
umum ( metabolisme energi, lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem
kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan syaraf pusat dan hormon
pertumbuhan (Granner, 2003).
Universitas Sumatera Utara

Menurut WHO (2001) bila di suatu daerah ditemukan jumlah penderita
gondok (Total Goiter Rate /TGR 5% dari jumlah penduduk, maka daerah itu disebut
daerah endemik. TGR dilakukan dengan pemeriksaan kelenjar gondok (tiroid) dengan
metode palpasi. Adapun klasifikasi tingkat endemisitas adalah : daerah non endemik
jika TGR < 5%, endemik ringan jika TGR 5,0 19,9% , daerah endemik sedang jika
TGR 20,0 -29,9 dan daerah endemik berat jika TGR 30 %.
Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemik GAKI masih
cukup tinggi. Berdasarkan survey GAKI tahun 2003 diperkirakan 18,8 % penduduk
hidup di daerah endemik ringan, 4,2 %, di daerah endemik sedang dan 4,5 % di
daerah endemik berat. Dari 28 Propinsi, 17 propinsi tergolong endemik ringan
(60,8%), 2 propinsi tergolong endemik sedang ( 7,1 %), dan 2 propinsi tergolong
endemik ringan (7,1 %). Dari 342 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 122
kabupaten dalam kategori endemik ringan (35,7%), 42 kabupaten endemik sedang
(12,2 %) dan 30 kabupaten endemik berat (8,8%).
Propinsi Sumatera Utara termasuk yang dalam kategori endemik GAKI
ringan, yakni dengan TGR 5,3%, ; TGR tingkat nasional sebesar 11,1 % ( Depkes,
2003). Namun demikian, di wilayah Kabupaten Dairi (TGR 18,1%), terdapat dua dari
15 kecamatannya yang tergolong endemik GAKI berat, yakni Kecamatan Parbuluan
dengan TGR-nya tercatat sebesar 36,2 %, dan Kecamatan Siempat Nempu dengan
TGR 33,9%. Berdasarkan persentase ini, kedua kecamatan tersebut termasuk dalam
kategori endemik GAKI berat, karena angka TGR-nya 30 %.
Universitas Sumatera Utara

Kondisi wilayah di Kecamatan Parbuluan sebagian besar terdiri dari
perbukitan dan dataran tinggi, terletak 1.066 meter diatas permukaan laut, dengan
jumlah penduduk 276.489 jiwa.
Menurut teori yang ada dan ditunjang dengan penelitian yang dilakukan
(Djokomoeljanto, 1994 ; Kodyat 1996) pada umumnya penderita gondok banyak
ditemukan di daerah perbukitan/dataran tinggi karena daerahdaerah
ketinggian/pegunungan merupakan daerah endemis di mana kandungan iodium dalam
bahan pangan (sayuran) yang tumbuh di daerah tersebut, serta air minum yang
dikonsumsi penduduk setempat kadar iodiumnya memang rendah. Hal ini disebabkan
seringnya terjadi erosi, banjir, hujan lebat yang membawa iodium hanyut ke laut.
Akibatnya tanah, air, tanaman dan binatang yang hidup di wilayah tersebut sedikit
mengandung iodium, sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis berisiko
mengalami kekurangan iodium jika hanya tergantung pada hasil tanaman daerah
tersebut (Hetzel, 1996).Keadaan tersebut yang mendorong masalah gondok sering
dihubungkan dengan rendahnya konsumsi iodium.
Kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (<50 g/h) menyebabkan
produksi hormon tiroid kurang, metabolisme zat-zat gizi terganggu. Akibatnya
pembentukan organ dan fungsi organ-organ penting terganggu, proses tumbuh
kembang terganggu, sehingga terjadi hambatan tumbuh kembang dan kretin. Pada
anak dan remaja menyebabkan pertumbuhan fisik terhambat, tubuh terlihat
pendek/stunted (Hetzel, 1996).
Universitas Sumatera Utara

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti di Kecamatan Parbuluan Kabupaten
Dairi pada Januari 2008, terdapat sejumlah 444 anak SD yang duduk di kelas 1. Dari
hasil pengukuran yang dilakukan terhadap Tinggi Badan (TB) anak kelas 1 SD
didapatkan sebanyak 56,5% anak (251 orang) yang tergolong stunted atau pendek,
sedangkan yang tergolong TB normal sebanyak 193 (43,5 %).
Selanjutnya hasil penelitian Hanung (1996) di Kabupaten Purworejo pada 32
SD, menunjukkan bahwa prevalensi TBABS dan prevalensi gangguan pertumbuhan
TBABS 6 9 tahun, lebih tinggi dibanding tinggi badan anak Indonesia, rata-rata
TBABS anak laki-laki 114,3 cm, perempuan 112,5 cm dan prevalensi gangguan
35,8%, lebih tinggi dibanding angka nasional 30,1 %.
Penelitian Amigo et al, (2000) mengidentifikasi faktor risiko defisit
pertumbuhan pada anak baru masuk sekolah yang orang tuanya bertubuh pendek
dibanding dengan anak-anak yang orang tuanya bertubuh tidak pendek di distrik
miskin di Santiago, Chile. Hasilnya bahwa faktor utama yang berhubungan dengan
rendahnya tinggi badan anak sekolah pada populasi dengan tingkat sosial ekonomi
yang rendah adalah pendeknya tubuh orang tua, penghasilan rendah dan kekurangan
gizi.
Penelitian Norliani (2005), menunjukkan tingkat sosial ekonomi, tinggi badan
orang tua dan panjang badan lahir dengan TBABS di Palangkaraya berhubungan
dengan kondisi anak badan anak waktu lahir dengan TBABS yang stunted dan tidak
stunted. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga, tingkat
pendidikan orang tua yang rendah, tinggi badan ayah dan ibu yang pendek
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan risiko terjadinya stunted pada anak baru masuk sekolah. Demikian juga
terdapat hubungan antara panjang badan lahir dengan TBABS. Anak yang stunted
waktu lahir akan berisiko stunted pula pada usia masuk sekolah dan faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunted pada anak baru masuk sekolah yang paling
dominan dan berpengaruh adalah tingkat pendidikan ibu.
Akibat pengaruh kekurangan iodium di daerah endemis dan dampak adanya
krisis ekonomi yang terjadi, dikhawatirkan jumlah anak baru masuk sekolah dasar
yang mengalami gangguan atau hambatan tumbuh kembang meningkat. Berdasarkan
latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
sosial ekonomi, dan intake zat gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah
(TBABS) di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas apakah ada hubungan antara sosial
ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan), dan intake zat gizi (konsumsi
energi, konsumsi protein dan konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru
Masuk Sekolah (TBABS) di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan
Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi keluarga (pendapatan,
pendidikan, pekerjaan), dan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein,
Universitas Sumatera Utara

konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) dengan
endemisitas GAKI di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan Kabupaten
Dairi Propinsi Sumatera Utara 2008.

1.4. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, pekerjaan) dengan
TBABS
2. Ada hubungan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein, konsumsi
iodium) dengan TBABS.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pemecahan masalah
terhadap upaya penurunan prevalensi GAKI pada daerah endemis.
2. Upaya untuk memperbaiki pola makan masyarakat di Kabupaten Dairi.
3. Masukan bagi Dinas Kesehatan dan Lintas Sektoral dalam perencanaan program
penanggulangan GAKI.






Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai