Anda di halaman 1dari 4

PELAYANAN KEDOKTERAN FORENSIK DAN KESEHATAN

SECARA MEDIKOLEGAL
Oleh : dr. R Soegandhi, Sp. F (K)

UUPK DAN MAL PRAKTEK
Dokterdalammelakukanpraktekkedokteran / kesehatansupayaterhindardaridugaan mal
praktekmakaharusmenerapkansebelasaturan, ialah:
1. Standarkompetensisesuaidenganilmubaikteorimaupunpraktektenagakesehatan
2. Mempunyaisuratijinpraktekdanatausuratijinbertugas yang
diakuiolehpemerintahdantenagaprofesi
3. Mengoperasionalkanstandarpelayanantenagakesehatantermasuktindakaninpansif
4. Mengoperasionalkanstandaroperasional (SOP) tenagakesehatan
5. Melaksanakanbuktitertulismengenaipersetujuantindakantenagakesehatan
6. Menulisberbagaihasilpemeriksaandantindakanterekam di dalamrekammedik
7. Merahasiakansegalasesuatuhasilpemeriksaantenagakesehatansesuaidenganaturan yang
berlaku
8. Tindakan tenaga kesehatan harus berdasarkan diagnose dan indikasi tenaga kesehatan
9. Memiliki sarana dan prasarana untuk pelayanan praktek tenaga kesehatan
10. Tindakan tenaga kesehatan di luar kompetensi harus dirujuk ke tenaga kesehatan lain
atau Rumah Sakit sesuai dengan aturan
11. Menerapkan etika profesi dan etika umum, termasuk etika instansi kesehatan (etika
rumah sakit)
Pada prinsipnya mal praktek adalah kesalahan dalam praktek, dan itu merupakan
suatu pelanggaran hukum, baik hokum kesehatan, pidana, perdata, maupun HAM.Dokter
untuk praktek sesuai dengan UUPK berhak di tiga tempat, antara lain di rumah sakit
mendapat satu atau dua tempat, serta satu tempat pribadi, atau dua tempat pribadi dan satu
rumah sakit. Apabila terjadi dugaan mal praktek maka di dalam pertanggungjawaban baik di
rumah sakit maupun profesi serta tanggung jawab di pengadilan perlu adanya suatu audit
yang disebut sebagai audit klinik. Audit klinik meliputi :
1. Audit manajerial mengenai berbagai aturan UU serta aturan-aturan rumah sakit
dan profesi
2. Audit medic terhadap semua dokter yang terlibat dalam pelayanan pasien
3. Audit keperawatan semua tenaga perawat yang terlibat dalam perawatan pasien
4. Audit administrasi menyangkut masalah keuangan, jasa medik, jasa perawat, dan
nama pasien (identitas pasien).
Di rumah sakit biasanya ada Satuan Pengawas Internal (SPI) khususnya menangani
pada audit manajerial dan audit administrasi. Semua audit harus adalah peran tertulis yang
ditanda tangani oleh tim audit maupun pihak direksi atau wakil-wakilnya yang ditunjuk.
Laporan ini dapat dipakai sebagai alat bukti di pengadilan tapi juga sebagai laporan formal
terhadap direksi apabila dilakukan peradilan internal, ialah peradilan di rumahsakit, dan
peradilan antar profesi kesehatan. Dari sebelas poin di atas semuanya dalam kepentingan alat
bukti sehingga semua tenaga kesehatan harus memperhatikan terkait dengan semua tindakan.
Dalam pelayanan kesehatana da pelayanan yang non forensic tetapi mungkin terjadi sesuatu
sehingga timbul sengketa kesehatan, sengketa rumah sakit, sengketa medis, dan sengketa
keperawatan. Untuk pelayanan kedokteran forensic sudah jelas terkait dengan hokum pidana
tetapi dalam operasionalnya perlu menerapkan standard anprotap pelayanan kedokteran
forensik. Dalam pelayanan kedokteran forensik, tim kedokteran forensic ada hubungan kerja
dengan penyidik kepolisian, korban, keluarga korban, dan saksi termasuk masyarakat
sekaligus wartawan. Untuk pelayanan kedokteran forensic atas surat permintaan penyidik dan
keluarga, ada berbagai macam alat bukti sesuai pasal 184 KUHAP ialah surat keterangan
medic visum et repertum, rekam medic, surat keterangan ahli dll. Tiap dokter yang
melakukan pemeriksaan kedokteran forensic dan menandatangani surat hasil pemeriksaan
dapat dikatakan sebagai saksi ahli untuk peradilan pidana. Tim kedokteran forensic harus
melakukan komunikasi dengan memperhatikan etika, komunikasi terhadap penyidik,
keluarga korban, jika korban masih hidup pada korban atau pasien, teman sekerja, dan jikadi
Tanya oleh wartawan. Untuk persetujuan tindakan kedokteran forensic (inform concent)
merupakan tanggung jawab penyidik dan keluarga korban, tetapi untuk pasien yang masih
hidup inform concentnya seperti inform concent pelayanan klinik pada umumnya.


KERAHASIAAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DAN KEDOKTERAN
FORENSIK
Rahasia kesehatan non forensic berbeda dengan rahasia kedokteran forensic. Pada
prinsipnya rahasia kedokteran forensic mencakup rahasia medis, profesi, rahasia hokum
kesehatan, rahasia pribadi (HAM), rahasia rumah sakit, dan rahasia hokum pidana. Untuk
rahasia pelayanan non forensic tidak memiliki rahasia hokum pidana yang tertuang pada
pasal 170 KUHP. Rahasia kedokteran pada umumnya yang diatur dalam wajib simpan
rahasia kedokteran itu tertuang dalam peraturan pemerintah no. 10 tahun 1966.
Rahasia kedokteran sejarahnya dari sumpah kedokteran di mana dalam salah satu bait
sumpah yang mengatakan saya akan merahasiakan segala sesuatu yang dilihat dan di
temukan pada pemeriksaan pasien atau korban. Jika dilihat dari sumpah maka pelanggaran
kerahasiaan hanya bersifat pelanggaran moral sehingga kurang kuat terhadap nilai
kerahasiaan. Maka kerahasiaan supaya pertanggung jawabannya berat dibuat dimasuk kan
dalam PP no 10 tahun1966. Dalam peraturan pemerintah itu bagi yang seenaknya melepas
kerahasiaan terkena sanksi pidana seperti tersebut di dalam pasal 322, 324 dan 522 KUHP,
jadi tidak hany aterkena sanksi moral tetapi mendapat sanksi hokum pidana. Apabila
pelayanan kedokteran forensic tidakmasuk di dalam PP 10 tahun 1966 tetapitertuangdalam
UU hukumacarapidanayaitupasal 170 KUHAP.

PERADILAN PIDANA
Semua surat-surat yang terkait dengan proses pidana ada kolom yang sifatnya pro
justicia atau sifat rahasia. Hal itu dapat dibaca pada surat-surat permintaan penyidik dan
surat-surat keterangan medic yang lain. Untuk proses peradilan pidana dalam siding pidana
setelah semua alat bukti masuk di kejaksaan yang dikirim ke hakim, dan pada prinsipnya ada
minimal dua alat bukti perkara pidana dapat berjalan. Pada siding awal pelapor dipanggil di
siding pengadilan untuk mengutarakan proses terjadinya tindak pidana dilampiri dengan
berbagai barang bukti. Pada siding kemudian ditambah dengan keterangan para saksi.Untuk
siding pidana pada prinsip nya pelapor tidak perlu adanya pengacara karena tuntutan sudah
diwakili jaksa penuntut umum, tapi seandainya diwakilkan pengacara juga bias. Minimal
sebagai pendamping pelapor. Pada siding kedua ada pihak yang berlawanan dengan pihak
pelapor juga membeberkan, menceritakan peristiwa yang terjadi, yang sekiranya masuk
pidana atau perkara lain misalnya merugi kan pihak pelapor. Pada sidang ketiga jaksa telah
mempelajari pihak pelapor dan yang lawan pelapor itu dianalisa dan diungkapkan di dalam
siding peradilan sekaligus tuntutannya.Dari aspek tuntutan jaksa pihak lawan pelapor
terutama pengacaranya dapat mendapat tuntutan jaksa.Dalam siding jika sudah terjadi
interaksi antara penuntut dan yang dituntut yang diutarakan oleh jaksa penuntut umum maka
siding berikutnya hakim dapat menentukan keputusannya.Jika putusan tidak diterima oleh
lawan pelapor (yang dituntut) dapat naik banding, hingga ada keputusan.Dalam praktek
siding pidana mungkin terjadi ketidakadilan dari pihak yang dituntut lewat pengacara
sehingga ini ditunda hingga pengacara yang dituntut siap.Jika dalam perkara ini ada pihak
yang ditahan itu ada maksud tertentu setelah proses penahanan yang dapat diperpanjang oleh
pihak kejaksaan sebagai penuntut umum. Hal ini terus terjadi sampai ada siding
keputusan.Jika dalam perkara sengketa medic atau sengketa rumah sakit maka rumah sakit
atau dokter yang dituntut dapat mewakilkan pengacara. Dan pihak yang dituntut dapat
menunjuk pengacara, sehingga antara dua pengacara dapat melakukan mediasi seperti proses
hokum perdata, tetapi dalam proses hokum pidana jarang terjadi mediasi.
Pada paparan di atas dari aspek medikolegal sudah tercakup tujuh poin, ialah
1. Mampu menjelaskan mal praktek, dan miskondak
2. Mampu menjelaskan isi UPK (UU 29 tahun 2004)
3. Mampu menjelaskan medical confidentiality, tatacara pembukuan, serta ancaman
pidana pembukaan
4. Mampu menjelaskan standar profesi dokter
5. Mampu menjelaskan prosedur penyelesaian kasus malpraktek
6. Mampu menjelaskan informed consent (tatacara, oleh dan kepada siapa, maksud
tujuan)
7. Mampu melakakukan komunikasi dengan kolega, keluarga, pasien, wartawan, dan
penyidik
Dalam proses peradilan pidana yang menyangkut visum et repertum pembuat visum
et repertum dan yang menandatangani dikatakan sebagai saksi ahli, dan dapat dipanggil ke
sidang peradilan sebagai saksi ahli untuk mempertanggungjawabkan visum et repertum
tersebut, karena saksi ahli tersebut (dokter) yang melakukan pemeriksaan korban sesuai
dengan permintaan penyidik dan pihak keluarga.

Anda mungkin juga menyukai