Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita
perhatian masyarakat luas, karena selain interval waktu yang berdekatan dan
melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot
perhatian publik adalah timbulnya korban jiwa dalam kecelakaan tersebut.
Kepercayaan masyarakat atas kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan
moda transportasi udara tersebut semakin berkurang, meskipun kebutuhan atas
penggunaannya sangat tinggi. Perusahaan penerbangan selaku operator, oleh
masyarakat dianggap lalai dan tidak profesional dalam pengelolaan perusahaan,
disisi lain Pemerintah selaku regulator juga dianggap lamban dalam mengambil
tindakan atas kondisi yang terjadi di lapangan serta tidak memiliki ketegasan
dalam Pengaturan atas perusahaan-perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi
standar keselamatan.
Secara garis besar, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sektor
penerbangan di Indonesia terkait kualitas dari sumber daya manusia operator
penerbangan dan pembuat regulasi sangat rendah. Lemahnya kualitas sumber
daya manusia itu menjadi bahaya laten dalam industri penerbangan. Kelemahan
itu diduga merupakan tindakan melanggar hukum dan atau tidak sesuai dengan
norma etika kerja dari industri penerbangan secara mayoritas.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi kritis pada sektor penerbangan di Indonesia terjadi karena para
pengelola di tingkat regulator dan operator bukanlah merupakan orang-orang
profesional yang lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan umum daripada
kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang sangat diuntungkan oleh regulasi
penerbangan yang ada. Pelanggaran hampir terjadi di semua level, baik di tingkat
manajemen perusahaan maskapai, regulator, awak pesawat, maupun operator di
lapangan. Kurangnya sikap profesionalisme tersebut membahayakan keselamatan
pengguna jasa penerbangan, rendahnya sumber daya manusia industri
penerbangan itu sebagai akibat dari penyederhanaan kebijakan (deregulasi)
industri penerbangan. Pemerintah diharapkan dapat merespon kondisi tersebut
dengan membentuk dan/atau melakukan pembenahan atas regulasi yang berkaitan
dengan penerbangan sehingga moda transportasi tersebut dapat memberikan
keamanan dan kenyamanan.
Salah satu contoh adalah kasus kecelakaan pesawat yang menimpa
pesawat terbang Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 jenis Airbus A300-B4-
200 yang jatuh pada tanggal 26 September 1997 sekitar pukul 13.30 WIB di
kawasan perladangan warga di Desa Buah Nabar Kecamatan Sibolangit
Kabupaten Deli Serdang, sekitar 50 kilometer dari Medan yang mengakibatkan
222 penumpang dan 12 awak pesawat tewas. Penyebab jatuh diduga karena
kesalahan petugas Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC)
saat membimbing pilot Hance Rahmowiyogo keluar dari kabut asap 15 menit
sebelum mencapai Bandara Polonia dalam penerbangannya dari Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
Bukannya keluar dari kabut, pesawat justru menabrak perbukitan dan
menewaskan seluruh penumpang dan awak berjumlah 234 orang.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
pasal 431 dan 437 maka kelalaian yang dilakukan oleh Pengatur Lalu Lintas
Udara atau Air Traffic Controller (ATC) tersebut adalah tindak pidana, yang juga
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 479g huruf a
dan b. Namun penuntutan pidana terhadap Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air
Traffic Controller (ATC) terkait kecelakaan pesawat terbang tersebut dapat
menimbulkan polemik baru di dalam masyarakat, khususnya masyarakat
penerbangan yang memiliki pandangan bahwa tindakan tersebut merupakan suatu
bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pengatur Lalu Lintas Udara atau Air Traffic
Controller (ATC) di Indonesia. Apalagi dengan mendasarkan pada ketentuan
Convention Chicago 1944 sebagai regulasi penerbangan internasional.
Ditambahkan lagi, penggunakan data yang terdapat dalam black box pesawat
sebagai alat bukti di dalam persidangan, memicu reaksi yang semakin keras dari
para personel penerbangan dan pakar penerbangan, karena hal itu bertentangan
juga dengan Annex 13 sebagai standar ketentuan pelaksanaan atas regulasi
penerbangan internasional yang berlaku secara universal bagi negara-negara
anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil
Aviation Organization (ICAO).
Peraturan perundang-undangan baru tentang penerbangan, yaitu Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 melakukan suatu pembenahan terkait
pemeriksaan terhadap personel penerbangan sipil yang diindikasikan melakukan
Universitas Sumatera Utara
suatu pelanggaran etika dalam profesi dan berpotensi melanggar ketentuan hukum
pidana. Mekanisme pemeriksaan atas personel penerbangan dilaksanakan melalui
majelis profesi penerbangan seperti yang ditegaskan dalam Pasal 364 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2009 yang menentukan bahwa untuk melaksanakan
penyelidikan lanjutan, penegakan etika profesi, pelaksanaan mediasi dan
penafsiran penerapan regulasi, komite nasional membentuk majelis profesi
penerbangan, dengan tugas pokok sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 365
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009, yaitu:
1. menegakkan etika profesi dan kompetensi personel di bidang
penerbangan;
2. melaksanakan mediasi antara penyedia jasa penerbangan, personel dan
pengguna jasa penerbangan; dan
3. menafsirkan penerapan regulasi di bidang penerbangan.
Terkait dengan dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana yang ditemukan
dalam hasil penyidikan lanjutan majelis profesi penerbangan, maka dapat
dilimpahkan kepada instansi yang memiliki kompetensi terkait dengan hal
tersebut seperti yang ditentukan dalam Pasal 368 Undang-Undang RI Nomor 1
Tahun 2009 bahwamajelis profesi penerbangan berwenang:
1. memberi rekomendasi kepada Menteri untuk pengenaan sanksi
administratif atau penyidikan lanjut oleh PPNS;
2. menetapkan keputusan dalam sengketa para pihak dampak dari
kecelakaan atau kejadian serius terhadap pesawat udara; dan
3. memberikan rekomendasi terhadap penerapan regulasi penerbangan.
Universitas Sumatera Utara
Pembenahan terhadap prosedur investigasi atas kecelakaan pesawat
terbang dan para personel penerbangan merupakan langkah yang ditempuh
pemerintah selaku regulator untuk mendapatkan kepastian hukum dalam
pemeriksaan kondisi yang sering terjadi didalam lingkungan penerbangan dengan
didasarkan pada ketentuan-ketentuan penerbangan internasional, khususnya ICAO
Annex 13 tentang Aircraft Accident and Incident Investigation (Investigasi
Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang) yang berlaku secara universal
dikalangan penerbangan dunia dan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam
Civil Aviation Safety Regulation (CASR) atau Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil (PKPS) sebagai ketentuan standar keselamatan penerbangan.
Berdasarkan pada realita di lapangan dan dengan menitikberatkan pada
pertanggungjawaban dalam aspek hukum pidana melalui mekanisme penyelidikan
dan penyidikan atas seorang personel penerbangan sipil khususnya Pengatur Lalu
Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang di Indonesia terkait dengan diberlakukannya Undang-
Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, penulis mengangkat
sebuah judul guna penyusunan suatu penulisan skripsi, yaitu:
Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas
Kecelakaan Pesawat Terbang Dalam Perspektif Undang-Undang RI Nomor
1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.



Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut,
maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Perbuatan-perbuatan apakah yang termasuk lingkup tindak pidana di
bidang penerbangan dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu Lintas
Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dalam melakukan penulisan ini adalah untuk
mengetahui perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana di bidang penerbangan
dalam perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
dan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi Pengatur Lalu
Lintas Udara Sipil terhadap kecelakaan pesawat terbang.
Hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat teoritis, yaitu:
1. Memberikan sumbangan pengetahuan, pemikiran atau masukan
terhadap perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana terkait
dengan pertanggungjawaban pidana terhadap personel penerbangan
sipil yang menyebabkan terjadinya kecelakaan pesawat terbang di
Indonesia;
2. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap profesi Pengatur Lalu
Lintas Udara atau Air Traffic Controller (ATC) di Indonesia, agar dapat
Universitas Sumatera Utara
mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan kecelakaan
pesawat terbang serta pertanggungjawabannya dalam hukum pidana;
3. Memberikan sumbangan pengetahuan terhadap masyarakat luas,
khususnya masyarakat penerbangan di Indonesia sehingga dapat
memahami dan menjawab polemik seputar regulasi penerbangan dan
aturan hukum pidana yang berlaku di Indonesia dalam kaitannya
dengan pertanggungjawaban pidana personel penerbangan sipil dalam
kecelakaan pesawat terbang;
Di samping itu juga memberikan manfaat praktis yaitu memberikan
masukan bagi aparat penegak hukum terkait penegakan hukum dalam bidang
penerbangan yang dalam dinamika hukum di Indonesia mengalami perkembangan
yang sangat signifikan serta dapat menjunjung tinggi sikap profesionalitas dalam
penegakan aturan hukum di Indonesia.

D. Keaslian penulisan
Skripsi ini merupakan karya tulis yang asli dimana belum ada penulis yang
menulis skripsi tentang hal yang sama, khususnya di Falkutas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan, keaslian penulisan ini ditunjukan dengan adanya
penegasan dari pihak administrasi bagian/jurusan hukum pidana.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana (strafbaarfeit)

Universitas Sumatera Utara
a. Pengertian
Istilah tindak pidana sendiri digunakan sebagai pengganti istilah
bahasa Belanda, yaitu strafbaarfeit. Strafbaarfeit terdiri dari kata strafbaar
yang bermakna dapat dihukum dan kata feit yang berarti sebagian dari suatu
kenyataan, dengan demikian secara harafiah istilah strafbaarfeit itu dapat
diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.
Pengertian yang lebih mendasar terkait istilah tindak pidana (strafbaarfeit)
sangatlah beragam dan merupakan pengertian yang terbatas pada pendapat
teoritis dari para ahli hukum pidana. Beberapa ahli hukum pidana
memberikan pandangan-pandangannya terkait dengan pengertian dari tindak
pidana (strafbaarfeit).
D. Simons mengatakan bahwa strafbaarfeit merupakan kelakuan
yang diancam pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab
2
,
disisi lain van Hamel menyatakan bahwa strafbaarfeit adalah kelakuan
orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum,
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan
3
2
Sianturi, S.R., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHAEM-PTHAEM, Jakarta, 1986, hlm. 205.
3
Ibid.
. Schaffmeister juga
memiliki pendapat sendiri tentang strafbaarfeit, beliau menyatakan bahwa
strafbaarfeit merupakan perbuatan manusia yang termasuk dalam ruang
lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela, dimana
yang dimaksud dengan dapat dicela disini memiliki makna yang sama
dengan kesalahan.
Universitas Sumatera Utara
Ahli-ahli hukum pidana Indonesia juga memiliki definisi yang
beragam terkait istilah tindak pidana (strafbaarfeit) tersebut. Komariah E.
Sapardjaja menyatakan bahwa tindak pidana sebagai suatu perbuatan
manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat
bersalah melakukan perbuatan itu
4
, bahkan Wirjono Prodjodikoro
memberikan suatu pemahaman singkat tentang tindak pidana dengan
menyatakan bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya
dapat dikenakan hukuman pidana
5
. Pompe sendiri memiliki definisi
mengenai strafbaarfeit dengan mendasarkan pada dua perspektif
pemahaman yang berbeda, yaitu
6
1) definisi menurut teori, adalah suatu pelanggaran terhadap norma
yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam
dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan
menyelamatkan kesejahteraan umum;
:

2) definisi menurut hukum positif, adalah suatu kejadian (feit) yang
oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai
perbuatan yang dapat dihukum.

Moeljatno mengartikan suatu tindak pidana dalam bahasa yang
berbeda, beliau mengatakan bahwa :
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang
dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu perlu diingat bahwa larangan
ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan
kepada orang yang menimbulkan kejadian itu
7
4
Sapardjaja, Komariah E., 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel dalam Hukum
Pidana Indonesia: Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi,
Alumni, Bandung
5
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Dahlia Indonesia, Jakarta, 1997, hlm.
89.
6
Ibid.
7
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana,cetakan ke-VIII, Rineka Cipta, Jakarta.
.

Universitas Sumatera Utara
Pandangan-pandangan dari para ahli hukum pidana tersebut
memiliki perbedaan terkait substansi materi dari pengertian akan tindak
pidana (strafbaarfeit), namun secara garis besar dari beberapa pendefinisian
akan tindak pidana tersebut terdapat beberapa kesamaan penekanan terkait
dengan unsur-unsur dari suatu tindak pidana.

b. Unsur-unsur tindak pidana
Pada hakikatnya, setiap tindak pidana terdiri dari unsur-unsur
lahiriah yang berdasarkan fakta dari tindakan yang dilakukan, mengandung
perbuatan dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Selain
kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan
juga adanya unsur keadaan yang menyertai perbuatan tersebut. Unsur
keadaan yang menyertai perbuatan tersebut, oleh van Hamel dibagi dalam
dua aspek, yaitu aspek dari dalam diri si pelaku dan aspek diluar dari si
pelaku yang memiliki pengaruh terhadapnya
8
Aspek dari dalam diri si pelaku yang dimaksud oleh van Hamel
merupakan: aspek yang terkait dengan keinginan batin dari pelaku terkait
dengan jabatan yang dimiliki oleh yang bersangkutan seperti dalam Pasal
413 KUHP, dimana apabila jabatan yang dimaksud tidak ada, maka
kejahatan tersebut tidak akan ditimpakan kepada si pelaku. Aspek yang
berasal dari luar diri si pelaku, seperti yang terdapat dalam Pasal 332
KUHP, dimana keinginan dari si pelaku yang ingin membawa lari wanita
.
8
Ibid., hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
tersebut, mendapat persetujuan dari wanita yang dilarikan, namun karena
adanya faktor dari luar diri para pihak, yakni orang tua dari wanita tersebut
yang tidak menyetujui dari tindakannya, maka tindakan itu merupakan
sebagai salah satu bentuk tindak pidana
9
2. Pertanggungjawaban Pidana
.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan
criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku tindak
pidana dengan terlebih dahulu melihat pelaku tindak pidana tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawabannya atau tidak, terkait dengan tindak pidana
yang dilakukannya. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau
serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dilihat dari
istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak
pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut
menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.
Karakteristik orang yang melakukan tindak pidana berhubungan dengan
penentuan dapat dipertanggungjawabkannya yang bersangkutan.
Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai
penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika
dijatuhi pidana. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan
saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka
yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya
9
Ibid., hlm. 70.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana bukan merupakan
standar perilaku yang wajib ditaati masyarakat, tetapi regulasi mengenai
bagaimana memperlakukan mereka yang melanggar kewajiban tersebut.

a. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
Penentuan dapat dipidananya seseorang sebagai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya, tidak lepas dari
unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan tindak pidana serta faktor-faktor
yang dapat mengakibatkan hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana.
Lebih lanjut, segi psikologis kesalahan juga harus dicari di dalam batin
pelaku yang menunjukkan adanya hubungan batin dengan perbuatan yang
dilakukan sehingga pelaku dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Seseorang yang memiliki kelainan jiwa tidak dapat dikatakan memiliki
hubungan batin antara dirinya dengan perbuatan yang dilakukan, karena
orang tersebut tidak menyadari akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
Persoalan dalam aspek psikologis adalah ketika mencari tahu
mengenai sikap batin seseorang yang melakukan tindak pidana karena
seseorang tersebut tentu saja dapat melakukan kebohongan dan tidak ada
yang dapat menjamin seseorang tersebut jujur atau tidak, oleh karena itu
harus dipakai cara untuk mengetahuinya dengan menggeserkan kesalahan
dalam pengertian psikologis menjadi pengertian secara normatif yuridis,
yaitu menurut ukuran yang biasa dipergunakan oleh masyarakat dalam
menilai apakah perbuatan tersebut meruapakan suatu kesalahan atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Rumusan tindak pidana, pada umumnya mengedepankan unsur
kesengajaan sebagai salah satu unsur yang terpenting. Apabila dalam suatu
rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja (opzettelijk),
maka unsur dengan sengaja ini akan menguasai atau meliputi semua unsur
lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan. Sengaja berarti
juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan
kejahatan tertentu, maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan
yang dilakukan tersebut merupakan perbuatan yang disengaja, terkandung
pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens
en wetens, yaitu seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja
itu harus memenuhi rumusan menghendaki (willens) dari apa yang diperbuat
dan memenuhi unsur mengetahui (wettens) dari apa yang diperbuat.
Unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam
kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas
secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang tersebut
sulit untuk dibuktikan secara materiil, maka pembuktian adanya unsur
kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga
perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan kepada pelaku seringkali
hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan dari pelaku pada saat
melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan.
Disamping unsur kesengajaan, terdapat juga unsur kelalaian atau
kealpaan (culpa) yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai
kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) dan kealpaan yang disadari
Universitas Sumatera Utara
(bewuste schuld). Dalam unsur ini faktor terpenting adalah pelaku dapat
menduga terjadinya akibat dari perbuatanya atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa terletak antara sengaja dan kebetulan.
Kelalaian dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan
sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka
walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat
berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang, atau pelaku dapat untuk tidak melakukan perbuatan
tersebut sama sekali. Unsur terpenting dalam culpa atau kelalaian adalah
pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku
seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa
akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat
dihukum dan dilarang dalam undang-undang.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada
hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena
perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan causal
antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang tersebut, maka
hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada pelaku tersebut, tetapi jika
hubungan causal tersebut tidak ada, maka pelaku tidak dapat dijatuhkan
suatu hukuman pidana.

Universitas Sumatera Utara
b. Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Hal penting lainnya yang terkait dengan masalah
pertanggungjawaban pidana adalah mengenai peniadaan dan pengecualian
atas pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana, maksudnya adalah dimana seseorang tidak dapat dipidana meskipun
telah memenuhi semua rumusan unsur-unsur pidana, baik unsur obyektif
maupun unsur subyektif sebagaimana yang telah ditentukan.
Alasan-alasan pembenar atau alasan-alasan pemaaf atas tindak
pidana yang dilakukan merupakan sesuatu hal yang dapat dianggap sebagai
alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan itu,
sehingga hal itu menjadi sesuatu yang bukan sebagai tindak pidana
meskipun tindakan atau perbuatan tersebut sesuai dengan rumusan yang
dilarang oleh undang-undang.
Alasan-alasan pemaaf yang dimana kesalahannya ditiadakan
(straffuitsluiting grand) dan alasan-alasan pembenar yang sifat melawan
hukumnya ditiadakan (rechtsuaar diging grand) yang dasar-dasarnya
ditentukan dalam KUHP, sebagai berikut:
1) Alasan pemaaf / kesalahan
a) Pasal 44 ayat (1)
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena
jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling)
atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak
dipidana.


Universitas Sumatera Utara
b) Pasal 48
Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya
paksa, tidak dipidana.

c) Pasal 49 ayat (2)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung
disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

2) Alasan pembenar / peniadaan sifat melawan hukum
a) Pasal 49 ayat (1)
Barangsiapa terpaksa melakukan perbuatan untuk
pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan
ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri
maupun orang lain, terhadap kehormatan kesusilaan
(eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain,
tidak dipidana.

b) Pasal 50
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

c) Pasal 51 ayat (1)
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang, tidak dipidana.

Berkaitan dengan unsur-unsur kesalahan yang bersifat psikologis
dan normatif, unsur-unsur pertanggungjawaban dalam pidana serta dasar
untuk di hapusnya suatu pertanggungjawaban pidana seperti yang telah
dipaparkan diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Universitas Sumatera Utara
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan kepada pelaku tindak
pidana apabila secara mutlak dan tidak terpisahkan dapat memenuhi
beberapa unsur-unsur, yaitu:
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab pada diri si pelaku,
dalam arti jiwa si pelaku dalam keadaan sehat dan normal;
2) Adanya hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatannya
baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa);
3) Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.

3. Aturan Pidana dalam Regulasi Penerbangan terhadap Kecelakaan
Pesawat Terbang

a. Konvensi Chicago 1944
Wilayah penerbangan bersifat internasional, hal ini terjadi karena
moda transportasi udara tidak hanya bergerak dalam lingkup domestik
dalam negeri saja, melainkan menembus batas wilayah negara. Berdasarkan
atas kondisi tersebut, maka regulasi terkait dengan penerbangan tidak hanya
menggunakan aturan-aturan yang bersifat nasional, melainkan juga bersifat
internasional dan disusun berdasarkan kesepakatan negara-negara yang
tergabung dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International
Civil Aviation Organization / ICAO). Aturan penerbangan yang berlaku
secara internasional tersebut tertuang dalam Konvensi Chicago 1944 beserta
Annexes dan dokumen-dokumen teknis operasional lainnya.
Annexes merupakan ketentuan standar dan petunjuk pelaksanaan
internasional (international standards and recommended practices) atas
Universitas Sumatera Utara
aturan yang terdapat dalam Konvensi Chicago 1944. Secara substansi,
aturan internasional lebih menitik beratkan aturan-aturan privat dalam
ketentuan-ketentuan yang dihasilkan. Hal ini didasarkan pada konsep
perjanjian antara penyedia jasa dan pengguna jasa, yang dimana hal tersebut
merupakan bagian dari ketentuan aturan privat (perdata).
Terkait dengan kecelakaan pesawat udara, berdasarkan Artikel 26
Konvensi Chicago 1944 menentukan bahwa petunjuk pelaksanaan atas
prosedur investigasi kecelakaan pesawat udara didasarkan dalam
ketetentuan ICAO Annex 13 about Aircraft Accident and Incident
Investigation (Investigasi Kecelakaan dan Kejadian Pesawat Terbang).
Lebih lanjut, seperti yang ditentukan dalam artikel 3.1 ICAO Annex 13,
menekankan bahwa investigasi yang dilakukan bertujuan untuk mencari
penyebab timbulnya suatu kecelakaan pesawat udara sehingga dapat
digunakan untuk mencegah kecelakaan sejenis terulang kembali (shall be
prevention of an accident and incident). Lebih lanjut, dan patut untuk
menjadi perhatian bahwa di lain sisi, tujuan dari investigasi bukanlah untuk
mencari siapa yang salah atau siapa yang harus bertanggungjawab (it is not
the purpose of this activity to apportion blame or liability) atas kecelakaan
yang terjadi.
Selain ICAO Annex 13, ketentuan khusus yang mengatur tentang
keselamatan penerbangan tertuang dalam suatu Peraturan Keselamatan
Penerbangan Sipil (Civil Aviation Safety Regulation / CASR) yang dalam
penerapannya secara nasional ditentukan berdasarkan kemampuan masing-
Universitas Sumatera Utara
masing negara dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang.
Penggunaan CASR di Indonesia diatur dengan menggunakan Keputusan
Menteri Perhubungan.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Aturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang
penerbangan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Regulasi ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 yang merupakan regulasi penerbangan sebelumnya. Regulasi ini dapat
dikatakan sebagai suatu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam hal
Pengaturan terhadap bidang penerbangan di Indonesia. Pembaharuan secara
besar-besaran dilakukan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang
terjadi di dalam dunia penerbangan Indonesia, khususnya permasalahan
yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan dalam penerbangan,
karena hal tersebut merupakan suatu hal yang menjadi masalah besar dalam
sistem penerbangan nasional Indonesia yang berimbas pada larangan
terbang maskapai Indonesia ke wilayah Eropa.
Disadari bahwa penerbangan merupakan sistem transportasi yang
mempunyai karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan moda
transportasi lainnya, sehingga didalam Pengaturannya pun memiliki
kekhususan tersendiri. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam konsideran
undang-undang ini yang mempertimbangkan bahwa penerbangan sebagai
sistem transportasi yang menggunakan teknologi tinggi sehingga
Universitas Sumatera Utara
diperlukannya suatu jaminan keselamatan yang optimal. Teknologi tinggi
yang menjadi dasar dalam penerbangan tidaklah dapat dipandang sebelah
mata saja. Hal ini merupakan suatu sistem yang tidak mungkin untuk
dipelajari dalam waktu yang singkat serta tanpa adanya kredibilitas dan
komitmen yang tinggi. Sistem navigasi, instrumen-instrumen dasar dan
lanjut dalam ruang kemudi, sistem aerodinamika dan avionik, serta sistem-
sistem pendukung lainnya, membutuhkan suatu pelatihan yang ketat dan
berkelanjutan sehingga dapat menghasilkan personel-personel penerbangan
yang profesional dalam bidang tugasnya masing-masing.
Undang-undang ini secara garis besar mengalami perubahan yang
sangat signifikan dan merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang RI
Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan terdahulu yang dirasakan sudah
tidak sesuai dengan dinamika yang terjadi di lapangan. Hal ini terlihat dari
pasal-pasal yang terdapat dalam undang-undang ini yang dimana
sebelumnya hanya berjumlah tujuh puluh enam pasal, menjadi empat ratus
enam puluh enam pasal, yang secara keseluruhan terbagi dalam dua puluh
empat bab. Materi ataupun substansi dalam undang-undang ini memberikan
Pengaturan secara komprehensif mulai dari perancangan pesawat udara
hingga sertifikasi kelaikudaraannya, sarana dan prasarana penunjang
penerbangan, investigasi kecelakaan pesawat udara yang bersifat
independen, pembentukan majelis profesi penerbangan, serta tanggung
jawab pengangkut selaku operator.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjamin terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang
memenuhi standar keselamatan dan keamanan, undang-undang ini mengatur
penerapan program keselamatan dan keamanan penerbangan nasional, serta
program budaya tindakan keselamatan yang mengacu pada regulasi
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation
Organization / ICAO).

4. Kecelakaan Pesawat Udara
a. Independensi dalam investigasi
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
melakukan pembenahan dalam hal Pengaturan terhadap kecelakaan dan
investigasi atas kecelakaan pesawat udara. Hal tersebut dapat terlihat dalam
ketentuan Bab XVI yang menentukan bahwa investigasi terhadap
kecelakaan adalah tanggung jawab dari pemerintah yang berdasarkan
ketentuan Pasal 357 ayat (2) membentuk komite nasional selaku satuan
kerja khusus investigator kecelakaan yang dalam pertanggungjawabannya
bersifat langsung kepada Presiden.
Komite nasional tersebut merupakan lembaga yang bersifat
independen dengan anggota yang dipilih berdasarkan standar kompetensi
serta melalui uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh Menteri
Perhubungan dengan tugas yang dimiliki berupa :
1) Investigasi kecelakaan pesawat udara;
Universitas Sumatera Utara
2) Melakukan penelitian atas penyebab timbulnya kecelakaan
pesawat udara;
3) Mengadakan penyelidikan lanjutan terkait kecelakaan pesawat
udara;
4) Menyusun laporan akhir atas investigasi yang dilakukan;
Sebelum laporan akhir atas investigasi dilaporkan kepada Menteri
Perhubungan, terlebih dahulu komite nasional menyusun suatu konsep
laporan akhir yang diserahkan kepada negara dimana pesawat tersebut
terdaftar, operator penerbangan, serta pabrikan pesawat yang bersangkutan.
Konsep laporan akhir tersebut diserahkan kepada pihak-pihak terkait dalam
kurun waktu dua belas bulan terhitung sejak dilakukannya investigasi
kecelakaan tersebut. Apabila investigasi yang dilakukan belum dapat
diselesaikan dalam batas waktu dua belas bulan, maka komite nasional
wajib memberikan laporan perkembangan (intermediate report) setiap
tahunnya kepada pihak-pihak tersebut. Laporan akhir yang disusun nantinya
akan berbentuk sebuah rekomendasi kepada Menteri Perhubungan untuk
ditindak lanjuti, karena investigasi yang dilakukan tersebut bertujuan untuk
mencegah terjadinya kecelakaan pesawat terbang dengan penyebab yang
sama dan digunakan untuk menjadi tolak ukur untuk melakukan perbaikan
di masa mendatang.
Ketentuan dalam artikel 27 Konvensi Chicago dan ditindak lanjuti
dalam Pasal 361 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, menentukan bahwa
komite nasional memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi
Universitas Sumatera Utara
terhadap kecelakaan pesawat, baik pesawat udara nasional maupun pesawat
udara asing yang mengalami kecelakaan di wilayah hukum negara
Indonesia, dengan melibatkan personel-personel yang berasal dari negara
pesawat tersebut didaftarkan (accredited representative), operator
penerbangan yang bersangkutan, serta pabrikan pesawat udara yang
mengalami kecelakaan.
Patut untuk menjadi perhatian adalah hal-hal yang berkaitan
dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh komite nasional, berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 359, bahwa hasil investigasi tidak dapat dapat
dijadikan sebagai alat bukti dalam proses peradilan baik perdata maupun
pidana, kecuali informasi-informasi yang tidak tergolong sebagai informasi
yang bersifat rahasia. Informasi yang dikategorikan sebagai informasi
rahasia (non disclosure of records) antara lain:
1) pernyataan dari orang-orang yang diperoleh dalam proses
investigasi;
2) rekaman atau transcript komunikasi antara orang-orang yang
terlibat di dalam pengoperasian pesawat udara;
3) informasi mengenai kesehatan atau informasi pribadi dari orang-
orang terlibat dalam kecelakaan atau kejadian;
4) rekaman suara di ruang kemudi (Cockpit Voice Recorder / CVR)
dan catatan kata demi kata (transcript) dari rekaman suara
tersebut;
Universitas Sumatera Utara
5) rekaman dan transcript dari pembicaraan petugas pelayanan lalu
lintas penerbangan (Air Traffic Services / ATS); dan
6) pendapat yang disampaikan dalam analisis informasi termasuk
rekaman informasi penerbangan (Flight Data Recorder / FDR).
Masalah kerahasiaan informasi merupakan tindak lanjut dari
ketentuan ICAO Annex 13 yang mengatur secara khusus tentang investigasi
kecelakaan dan kejadian atas pesawat udara yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia, yang dalam ketentuannya menekankan bahwa apabila
negara yang melakukan suatu investigasi kecelakaan pesawat udara
berkeyakinan bahwa dengan melakukan penyebarluasan terhadap hasil
investigasi akan berdampak negatif pada dunia penerbangan, maka negara
tersebut tidak perlu menyebarluaskan hasil investigasi kepada publik.

b. Penyelidikan lanjutan
Pasal 364 mengatur bahwa selain melakukan investigasi atas
penyebab terjadinya kecelakaan pesawat, komite nasional juga melakukan
penyelidikan lanjutan terkait kecelakaan yang terjadi. Penyelidikan lanjutan
yang dimaksud merupakan suatu proses lanjutan yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi personel penerbangan
atas tindakan, keputusan dan pengabaian yang dilakukannya berdasarkan
hasil pelatihan serta pengalaman yang dimilikinya (actions, omissions or
decisions taken by them that are commensurate with their experience and
training) serta penentuan dari sisi profesi perilaku mana yang dapat diterima
Universitas Sumatera Utara
dan tidak dapat ditoleransi (the role of domain expertise be in judging
whether is acceptable or unacceptable).
Penyelidikan lanjutan memiliki peranan yang sangat penting sekali
terkait dengan kecelakaan pesawat terbang. Dalam penyelidikan lanjutan
dapat dicapai suatu kepastian hukum terkait dengan kecelakaan yang terjadi,
apakah kecelakaan tersebut murni sebagai suatu kecelakaan yang
disebabkan oleh faktor di luar kesengajaan ataupun kelalaian dari personel
penerbangan, atau memang ada unsur kesalahan dan/atau kelalaian dalam
prosedur yang tertuang dalam Standar Operating Procedure (SOP).
Penyelidikan lanjutan dilaksanakan oleh majelis profesi
penerbangan yang dibentuk oleh komite nasional. Tugas pokok yang
dimiliki oleh majelis profesi penerbangan adalah:
1) menegakkan etika profesi dan kompetensi yang berkaitan
dengan penerbangan;
2) sebagai mediator antara penyedia jasa penerbangan, personel
dan pengguna jasa penerbangan; serta
3) penafsir dalam penerapan regulasi penerbangan yang berlaku
internasional dan nasional.
Penegakan etika profesi di bidang penerbangan memiliki arti yang
sangat penting guna menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum bagi
personel penerbangan dalam melaksanakan tugasnya seperti layaknya
seorang profesional pada umumnya. Penafsiran atas penerapan regulasi
penerbangan juga merupakan suatu hal yang patut untuk menjadi perhatian
Universitas Sumatera Utara
khusus, karena pada umumnya regulasi dalam penerbangan memiliki
pengertian yang berbeda dengan regulasi dalam bidang lainnya. Hal ini
disebabkan karena regulasi penerbangan yang selalu mengacu pada
ketentuan dan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
(International Civil Aviation Organization / ICAO) yang terdapat dalam
Konvensi Chicago 1944 beserta Annexes dan ketentuan operasional lainnya
yang berlaku secara internasional.
Majelis profesi penerbangan sebagaimana ketentuan Pasal 367,
terdiri dari unsur profesi, pemerintah, dan masyarakat yang memiliki
kompetensi dalam bidang :
1) hukum;
2) pesawat udara;
3) navigasi penerbangan;
4) bandar udara;
5) kedokteran penerbangan; dan
6) Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Majelis profesi penerbangan yang ditentukan dalam undang-
undang ini bukanlah sebagai lembaga yudikatif layaknya Pengadilan Negeri,
dan kewenangan dari lembaga ini hanya memberikan rekomendasi kepada
Menteri Perhubungan terkait dengan pengenaan sanksi administratif atau
penyidikan lanjut oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan kecelakaan penerbangan dan tindak pidana
penerbangan.
Universitas Sumatera Utara

5. Tindak Pidana Penerbangan
a. Perluasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Konvensi internasional negara-negara anggota Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization /
ICAO) di Tokyo pada tahun 1963 melakukan pembahasan terkait offences
and certain other acts on board aircraft
10
atau pelanggaran-pelanggaran
dan tindakan-tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat
udara. Konvensi kemudian dilanjutkan di Hague pada tahun 1970 untuk
membahas hal-hal yang terkait dengan suppresion of unlawful seizure of
aircraft
11
atau pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan
hukum, hingga pada akhirnya konvensi di Montreal pada tahun 1971
kembali membahas mengenai suppresion of unlawful act againts the safety
of civil aviation
12
10
Prakoso, Djoko, Tindak Pidana Penerbangan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1984, hlm. 39.
11
Ibid., hlm. 39.
12
Ibid., hlm. 39.
atau hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan
tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam keamanan
penerbangan sipil. Disepakati bahwa negara-negara anggota memiliki
kewajibkan untuk turut serta dalam pencegahan atas tindakan-tindakan yang
dapat membahayakan keselamatan penerbangan sipil secara global serta
membentuk ketentuan atau aturan perundang-undangan nasional yang
berkaitan dengan substansi dari konvensi tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Republik Indonesia selaku anggota Organisasi
Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization /
ICAO), dengan mendasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976
tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970 dan
Konvensi Montreal 1971 menyusun serta menetapkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan
Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan
dan Kejahatan Terhadap Sarana / Prasarana Penerbangan yang berlaku pada
tanggal 26 April 1976 serta menambahkan sebuah bab baru setelah Bab
XXIX dalam KUHP dengan Bab XXX yang dengan terperinci mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana / prasarana penerbangan. Dengan adanya penambahan
dalam KUHP tersebut menimbulkan suatu istilah baru dalam pengertian
suatu delik pidana, yaitu tindak pidana penerbangan, dimana setiap
perbuatan yang memenuhi rumusan pasal yang termuat dalam Bab XXX
atau Pasal 479 huruf a sampai dengan Pasal 479 huruf r KUHP tersebut
dinyatakan sebagai bentuk dari tindak pidana penerbangan
13
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi tindak
pidana menjadi dua jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Delik-delik yang
termasuk kejahatan dimuat dalam Buku II dan yang termasuk pelanggaran
dimuat dalam Buku III, akan tetapi dalam KUHP tidak disebutkan kriteria
.
13
Ibid., hlm. 39.
Universitas Sumatera Utara
yang digunakan dalam membedakan antara kedua jenis delik tindak pidana
tersebut.
Terdapat beberapa pendapat dalam membedakan kedua jenis delik
tersebut, yakni secara kualitatif dan secara kuantitatif. Secara kualitatif,
kedua delik tersebut dibedakan menjadi rechtdelicten dan wetsdelicten.
Yang dimaksud dengan rechtdelicten ialah perbuatan yang bertentangan
dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
undang-undang atau tidak, namun yang menjadi tolak ukur adalah apakah
perbuatan tersebut oleh masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang
bertentangan dengan rasa keadilan, maka perbuatan tersebut dianggap
sebagai suatu kejahatan. Sedangkan yang disebut dengan wetsdelicten
adalah apabila suatu perbuatan yang oleh suatu aturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai suatu delik yang diancam dengan pidana, maka
perbuatan tersebut dianggap sebagai pelanggaran.
Sudarto memiliki pandangan terkait dengan pembedaan secara
kualitatif tersebut, dimana beliau menyatakan bahwa: perbedaan secara
kualitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari
sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa
keadilan. Sebaliknya ada pelanggaran yang memang benar-benar dirasakan
bertentangan dengan rasa keadilan
14
14
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 10.
.
Universitas Sumatera Utara
Pendapat kedua, yang membedakan antara kedua jenis delik
tersebut secara kuantitatif, hanya dengan meletakkan kriteria pada
perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, yaitu pelanggaran merupakan
perbuatan yang lebih ringan daripada kejahatan
15
b. Ketentuan pidana dalam regulasi penerbangan
.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 yang memuat tentang
kejahatan dalam penerbangan dan sarana / prasarana penerbangan dalam
KUHP menunjukkan dengan tegas dalam pasal-pasalnya bahwa tindak
pidana penerbangan termasuk dalam jenis kejahatan, terlebih lagi karena
dimuat dalam buku II KUHP.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan
perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan
tindak pidana. Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang
melanggar ketentuan dalam undang-undang ini disamping sanksi
administratif yang juga berlaku dan ditentukan dalam undang-undang ini.
Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab XXII, yang
terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum menekankan bentuk-
bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari tindak pidana
penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur dalam
15
Ibid., hlm. 44.
Universitas Sumatera Utara
Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak
mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.
Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun
ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi
setiap orang, sesuai dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat
pengecualian dalam pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang
memiliki hubungan kerja dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur
dalam Pasal 411 ayat (1) yang menentukan dengan tegas bahwa tindak
pidana penerbangan yang dilakukan oleh orang yang bertindak, baik untuk
dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk kepentingan dari
perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan
lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara
sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh
korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada
perusahaan ataupun pengurusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang
penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang
luas, karena tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda
dengan tindak pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang
mengatur tentang tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa
kekhususan yang bersifat menyimpang dari ketentuan umum KUHP.
Penyimpangan terhadap ketentuan umum dalam KUHP dapat terlihat pada
subyek delik yang dimana berdasarkan ketentuan undang-undang ini
Universitas Sumatera Utara
dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum, yang dalam KUHP tidak
mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi, undang-undang
tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus, karena
sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai daya
paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.
Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan,
undang-undang ini menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas
setiap bentuk tindak pidana penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri
Sipil tertentu yang instansinya berada dalam lingkup tugas dan
tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang ditentukan dalam
Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut tetap
melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta
meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut
terhadap tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut
didasarkan karena penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan
memerlukan suatu keahlian khusus dalam bidang penerbangan sehingga
perlu adanya penyidik khusus untuk melakukan penyidikan disamping
penyidik Polri.

c. Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana
Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan
dengan tiga faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error),
faktor pesawat terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll.
Universitas Sumatera Utara
Menurut statistik, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar,
disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor
penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan
gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus.
Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya
kecelakaan telah diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan
berkala bagi para personel penerbangan, khususnya bagi para personel yang
berkaitan langsung dengan aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara
berkala tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap personel
penerbangan yang telah memiliki sertifikat kecakapan ataupun lisensi sesuai
dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut lebih dipertegas dalam Pasal
223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Tujuan dari
pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah agar
dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi
kinerja dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat
membahayakan keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.
Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap
personel penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa
suatu penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan
dibutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang
berkaitan, sehingga apabila dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan
yang telah ditetapkan secara khusus tersebut, maka dapat disimpulkan
Universitas Sumatera Utara
bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada timbulnya kecelakaan
yang fatal.
Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat
dalam Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah
memberikan Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan
penerbangan. Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam
ketentuan aturan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP), telah diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik
dengan unsur sengaja, melawan hukum, ataupun karena kealpaan yang
dapat menyebabkan suatu pesawat udara celaka (incident), hancur serta
tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan sebuah peristiwa
pidana.
Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan
kecelakaan yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga
dapat dimintakan pertanggungjawaban secara aspek pidana kepada pelaku
tindak pidana tersebut. Agar dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu
penyelidikan secara komprehensif yang dilakukan oleh Kepolisian selaku
penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki indikasi pidana serta
menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam ketentuan pidana, baik
dalam KUHP maupun dalam KUHAP.



Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yang menitik
beratkan pada pengkajian norma-norma hukum yang berlaku, baik dalam aspek
hukum pidana maupun dalam aspek hukum terkait bidang penerbangan.

2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, berupa aturan-aturan hukum mengikat yang
meliputi:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan
Keselamatan Penerbangan;
6) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 20 Tahun 2009 tentang
Peraturan Keselamatan Penerbangan Penerbangan Sipil terkait
Sistem Manajemen Keselamatan (Safety Management System);
7) International Civil Aviation Organization (ICAO) Annex 13 about
Aircraft Accident and Incident Investigation.
Universitas Sumatera Utara
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan terkait bahan-bahan hukum primer yang meliputi bukum-buku
literatur, artikel-artikel media cetak dan elektronik, serta pendapat-
pendapat hukum dari ahli-ahli hukum.
c. Bahan hukum tertier.

3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan (library
research) berupa mengumpulkan, menganalisa, mempelajari buku-buku
literatur dan peraturan perundangan-undangan yang terkait serta melakukan
pembandingan terhadap laporan yang dihasilkan dalam studi kasus yang
dilakukan di lapangan.

4. Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif non-
statistika, yaitu dengan memberikan penafsiran ataupun interprestasi terhadap
data-data yang diperoleh dari berbagai sumber.
Guna membantu menganalisa data yang telah dihimpun, digunakan
metode berfikir deduktif, dimana langkah pemikiran yang ditarik merupakan
pemikiran atas hal yang bersifat umum menjadi hal yang bersifat khusus.



Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan
Data yang terkumpul disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan.
Bab Pendahuluan terdiri dari latar belakang, permasalahan, disertai dengan tujuan
dan manfaat penelitian, kemudian dilanjutkan dengan keaslian penelitian dan
tinjauan pepustakaan serta metodologi penelitian yang terdiri dari bahan hukum
yang digunakan, metode pengumpulan data, dan metode analisis.
Bab II Perbuatan-Perbuatan Yang Termasuk Lingkup Tindak Pidana Di
Bidang Penerbangan Dalam Perspektif Undang Undang RI Nomor 1 Tahun
2009 Tentang Penerbangan.
Bab Pembahasan ini menyampaikan pembahasan umum mengenai tindak pidana
yang diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
dan dilanjutkan dengan ketentuan pidananya.
Bab III Pertanggungjawaban Pidana Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil Atas
Kecelakaan Pesawat Terbang Dari Perspektif Undang-Undang Ri No 1
Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Dalam Bab ini berisi pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana bagi
Pengatur Lalu Lintas Udara Sipil (Air Traffic Controller/ATC) yang
menyebabkan terjadinya suatu kecelakaan dalam penerbangan.
Bab IV Kesimpulan Dan Saran.
Dalam Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang dikemukakan oleh penulis
sebagai jawaban dari permasalahan yang timbul.


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai