Anda di halaman 1dari 23

RUMUS UNTUK MENGHITUNG HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)

HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)



1. Pengertian Harga Pokok Penjualan.
Yang dimaksud dengan harga pokok penjualan adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh barang yang dijual atau harga perolehan dari barang yang dijual.

Ada dua manfaat dari harga pokok penjualan.
1. Sebagai patokan untuk menentukan harga jual.
2. Untuk mengetahui laba yang diinginkan perusahaan. Apabila harga jual lebih besar dari
harga pokok penjualan maka akan diperoleh laba, dan sebaliknya apabila harga jual lebih
rendah dari harga pokok penjualan akan diperoleh kerugian.

2. Rumus Menghitung Penjualan Bersih.
Penjualan dalam perusahaan dagang sebagai salah satu unsur dari pendapatan Perusahaan.
Unsur-unsur dalam penjualan bersih terdiri dari:
- penjualan kotor;
- retur penjualan;
- potongan penjualan;
- penjualan bersih.

Untuk mencari penjualan besih adalah sebagai berikut:
Penjualan bersih = penjualan kotor retur penjualan potongan penjualan.

Contoh:
Diketahui penjualan Rp. 25.000.000,-
Retur penjualan Rp. 125.000,-
Potongan penjualan Rp. 150.000,-
Hitunglah penjualan bersih!
Penjulan bersih = Rp. 25.000.000,- Rp. 125.000,- Rp. 150.000,- = Rp. 24.725.000,-

3. Rumus Menghitung Pembelian Bersih.
Pembelian bersih adalah sebagai salah satu unsur dalam menghitung harga pokok penjualan.
Unsur-unsur untuk menghitung pembelian bersih terdiri dari:
- pembelian kotor;
- biaya angkut pembelian;
- retur pembelian dan pengurangan harga;
- retur pembelian;
- potongan pembelian.
Untuk menghitung pembelian bersih dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pembelian bersih = pembelian + biaya angkut pembelian retur pembelian potongan
pembelian.

4. Rumus Menghitung Harga Pokok Penjualan.
Untuk menghitung harga pokok penjualan harus diperhatikan terlebih dahulu unsur-unsur
yang berhubungan dengan harga pokok penjualan.
Unsur-unsur itu antara lain:
- persediaan awal barang dagangan;
- pembelian;
- biaya angkut pembelian;
- retur pembelian dan pengurangan harga;
- potongan pembelian

Rumus harga pokok penjualan:
HPP = Persediaan awal barang dagangan + pembelian bersih persediaan akhir
HPP = Barang yang tersedia untuk dijual persediaan akhir

Keterangan :
Barang yang tersedia untuk dijual = Persediaan awal barang dagangan + pembelian bersih.
Pembelian bersih = Pembelian + biaya angkut pembelian retur pembelian potongan
pembelian.
Atau
Barang yang tersedia untuk dijual = Persediaan awal + pembelian + beban angkut
Pembelian retur pembelian potongan pembelian

5. Pengertian Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi adalah laporan yang menyajikan sumber pendapatan dan beban suatu
perusahaan (dagang) selama periode akuntansi.
Untuk Menghitung laba rugi perusahaan adalah:
Laba bersih = laba kotor beban usaha.
Beban uasaha dalam perusahaan dagang ada dua kelompok.
1. Beban penjualan ialah biaya yang langsung dengan penjualan.
2. Beban administrasi/umum ialah biaya-biaya yang tidak langsung dengan penjualan.
Untuk menghitung laba kotor adalah:
Laba kotor = penjualan bersih harga pokok penjualan.
Sedangkan untuk menghitung penjualan bersih adalah :
Penjualan bersih = penjualan retur penjualan dan pengurangan harga potongan penjualan
Diposkan oleh vunixs di 17.12
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan ini sering saya
gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian accounting. Melalui tulisan ini
saya ingin sharecara mudah menghitung harga pokok penjualan, beserta alurnya,
dengan bagan grafis sederhana (agar mudah diingat). Mungkin tidak applicable untuk
segala kondisi, tetapi (mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih
perlu dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature.

Siapa Bilang Menghitung Harga Pokok Penjualan Hanya Urusan Cost
Accountant?
Kembali ke pertanyaan yang sering saya ajukan dalam test penerimaan staf accounting.
Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan ada yang salah. Tak sedikit juga
jawaban yang membuat saya tersenyum kecutprihatin persisnya.
Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar posisi cost
accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok penjualanpadahal perhitungan
harga pokok penjualan adalah fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting).
Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar posisi chief
accountant dengan penuh percaya diri bertanya:
Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?
Saya jawab, Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual
Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat terjadi
penjualan, dia menyampaikan pandangannya.
Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui saat barang
laku terjual. Tetapi saya tidak terlalu yakin jika dia benar-benar memahami konsep harga
pokok penjualan dengan baik. Untuk itu saya meminta dia membuat satu contoh.
Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:
[Debit]. Piutang Dagang
[Kredit]. Penjualan
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi
Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-masing
jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya), tetapi kurang-lebih sbb:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20
[Kredit]. Penjualan = Rp 20
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15
[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15
Saya bertanya lagi, Mengapa kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp 15? Apakah
boleh jika angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000 atau angka apa saja yang
saya suka?
Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan ekspresi yang
lebih tegas, Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari mana anda tahu harga
pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan dalam jurnal?
Biasanya sudah ada di system, pak, dia menjawab dengan jujur.
Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan, Dan, anda
PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?
Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.
Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-sungguh
memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan. Dan dia bukan orang yang tepat
untuk berada dalam team saya. Yang mungkin luput dari pertimbangannya adalah: seorang
cost accountant berada di bawah tanggungjawabnyasebagai seorang chief accountant.
Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin akurasi setiap
digit angka yang tersaji dalam laporan keuangantermasuk harga pokok penjualan yang
muncul di system. Nah, jika darimana datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu,
bagaimana bisa menjamin angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.
Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem (software)
akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan melalui perhitungan teknis
entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput ke sistem) atau melalui proses otomatisasi
dengan menggunakan variable-variable data yang dimasukan saat proses produksi
berlangsung.
Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan standard costing, perhitungan harga
pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan menggunakan input data yang dimasukan
pada saat suatu product (barang) dirancang di bagian Research and Development. Unit cost
(harga pokok satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah
distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan Bill of Materials
(BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang menggunakan konsep dasar
harga pokok penjualan.
Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah:
Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang akuntanterlepas
apakah dia seorang cost accountant atau bukan.
Bahkan seorang auditoryang nota benanya lebih banyak menggeluti akuntansi keuangan
(dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi manajemen)pun wajib tahu. Tidak menutup
kemungkinan, seorang auditor perlu menguji akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba
Rugi yang pastinya mengandung harga pokok penjualan.
Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan,
sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.

Perhitungan Harga Pokok Penjualan Sederhana
Perhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb:
Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) Saldo Akhir Persediaan
= Harga Pokok Penjualan
Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan dagang yang jenis
persediaannya hanya berupa barang jadiyang dibeli dari pemasok. Misalnya:
Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah sbb:
Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000
Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 3,000,000
Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000
Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras. Perhitungan
menjadi agak rumit untuk perusahan manufakturyang barang persediaannya dibuat sendiri
(baik itu sebagian atau keseluruhan).
Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan manufaktur?
Yuk kita pindah ke paragraph berikutnya

Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur
Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur menjadi sedikit
lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang, karena adanya persediaan
bahan baku (raw materials) yang diolah menjadi persediaan barang dalam proses
(work in processbiasanya disingkat WIP), lalu barang jadi (finished goodsbiasa
disingkat FG).
Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang jadi
menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: biaya tenaga kerja langsung (labor cost) dan
overhead produksi (production overhead).
Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb:
Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah menjadi
barang dalam proses (work in process) ==> Barang dalam proses diolah lagi menjadi
barang jadi (finished goods).
Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas. Berikut adalah
bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana
dan mudah dipahami:


Penjelasan:
Dari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan Harga Pokok Penjualan
perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur produksi, yang terdiri dari:
Tahap-1. Perhitungan Bahan Baku Yang Digunakan
Tahap-2. Perhitungan Total Biaya Produksi
Tahap-3. Perhitungan Harga Pokok Produksi
Tahap-4. Pergitungan Harga Pokok Penjualan
Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:

Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:
Saldo Awal Persediaan Bahan Baku Yang dimaksud dengan saldo awal persediaan bahan
baku adalah total nilai persediaan bahan baku di awal periode yang dihitung (awal bulan
untuk bulanan dan awal tahun untuk tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama
dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan
per jenis bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock.
Cakupan bahan baku dalam hal ini termasuk: bahan penolong/pembantu/apapun namanya.
Pembelian Bahan Baku Yang dimaksud dengan pembelian bahan baku dalam hal ini
adalah total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong) NETO selama periode yang
dihitung. Misalnya: Perhitungan HPP untuk bulan Juni 2012, berarti total pembelian bahan
baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika Perhitungan HPP untuk Tahun 2012, berarti total
pembelian bahan baku dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar
persediaan. Dan NETO dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan pengurangan dan
penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.
Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku Yang dimaksud dengan saldo akhir persediaan
bahan baku adalah total nilai persediaan bahan baku (yang tersisa) pada akhir periode yang
dihitungsetelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian.
Bahan Baku yang Digunakan Yang dimaksud dengan bahan baku yang digunakan
dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi) untuk menghasilkan produk
yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam contoh) diperoleh dengan menggunakan
formula perhitungan seperti yang terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku +
pembelian bahan baku saldo akhir persediaan bahan.

Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSI
Bahan Baku yang Digunakan Ini pindahan dari perhitungan tahap-1
Biaya Tenaga Kerja Langsung Yang dimaksud dengan biaya tenaga kerja langsung
adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi langsung terhadap volume
output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk
karyawan yang masuk dalam kelompok tenaga kerja langsung. Yang masuk dalam
kelompok tenaga kerja langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja
(yang ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan (biasa
disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria itu, tidak ikut
dihitung.
Overhead Produksi Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan simpang-siur.
Begini saja, yang dimaksud dengan overhead produksi adalah segala biaya yang
berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung
(lihat bahan penjelasan mengenai bahan baku di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini
adalah biaya yang timbul dari aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan
mesin dan peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin dan
peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.
Total Biaya Produksi Yang dimaksud dengan total biaya produksi dalam hal ini adalah
semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang berlangsung selama periode yang
dihitungtermasuk bahan baku yang digunakan (itu sebabnya mengapa biaya bahan baku
yang digunakan dari perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja
langsung dan overhead produksi.
Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala biaya/cost yang timbul
dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung, TETAPI belum mengikutsertakan
penggunaan persediaan barang dalam proses yang merupakan SISA (saldo akhir) periode
sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut Biaya
produksi sajaBELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3

Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSI
Total Biaya Produksi Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di tahap-1)
Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses Yang dimaksud dengan saldo awal
persediaan barang dalam proses adalah total nilai persediaan barang dalam proses di awal
periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode
sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per item/jenis
barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) persediaan barang dalam proses.
Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses Yang dimaksud dengan saldo akhir
persediaan barang dalam proses adalah total nilai persediaan barang dalam proses (yang
tersisa) pada akhir periode yang dihitungsetelah dilakukan penghitungan fisik dan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.
Harga Pokok Produksi Yang dimaksud denga harga pokok produksi adalah segala
biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang dihitung (itu sebabnya
mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan tahap-2 diikutsertakan) ditambah dengan
saldo awal persediaan barang dalam proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.
Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua biaya/cost yang
timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan). Dengan kata lain, mencerminkan
semua biaya/cost yang timbul akibat proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang
siap untuk dijual. Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil
dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan
persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil
perhitungan sampai tahap-3 ini disebut Harga Pokok Produksi sajaBELUM disebut
Harga Pokok Penjualan. (Untuk menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN,
perhitungan dibuat ditahap ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan
jumlah output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item produk.)

Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)
Harga Pokok Produksi Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di tahap-3)
Saldo Awal Persediaan Barang J adi Yang dimaksud dengan saldo awal persediaan
barang jadi adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode yang dihitung. Saldo
awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global
bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan
(inventory ledger) barang jadi dan kartu stock.
Barang Tersedia Untuk Dijual Yang dimaksud dengan barang tersedia untuk dijual
adalah total nilai persediaan barang jadiyaitu: barang jadi yang dihasilkan selama periode
yang dihitung ditambah dengan saldo awal persediaan barang jadi (alias sisa barang jadi dari
periode sebelumnya)yang tersedia atau siap untuk dijual.
Saldo Akhir Persediaan Barang J adi Yang dimaksud dengan saldo akhir barang jadi
adalah nilai persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode yang dihitungtentunya
setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi (antara fisik barang dan catatan), serta
adjustments yang diperlukan telah dimasukan.
Harga Pokok Penjualan (HPP) Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung alur proses
setelah melalui empat tahap penghitunganuntuk menentukan harga pokok penjualan
perusahaan manufaktur.
Tentu ini bukan panduan yang komprehensif, tetapi saya berharap ini bisa menjadi
panduan awal yang bisa membantu pembaca untuk memahami alur penghitungan
harga pokok penjualan (HPP) dengan lebih mudah. Untuk panduan yang lebih
komprehensif silahkan baca kembali buku-buku akuntansi manajemen dan akuntansi
biaya.

Dalam akuntansi persediaan, ada dua sistim yang lumrah digunakan, yaitu: sistim
periodik dan sistim perpetual. Bagi pegawai accounting, sistim persediaan periodik
atau perpetualyang diterapkan di dalam perusahaanmenentukan bagaimana
pencatatan transaksi persediaan dilakukan. Sedangkan bagi pengelola keuangan dan
pengelola usaha, sistim persediaan yang diterapkan menentukan seberapa efektif
persediaan bisa dikelolaterutama aspek pengawasannya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membahas mengenai sisim persediaan periodik dan perpetual,
mulai dari pebedaaan yang paling fundamental, perbadingan jurna-per-jurnal, hingga
implikasinya terhadap laporan keuangan dan pengelolaan persediaan.
Dengan kehadiran pembahasan ini, saya berharap pembaca memperoleh gambaran yang jelas
mengenai sistim persediaan periodik dan perpetual, dalam tataran inplementasi di perusahaan.
Namun sebelum itu, mari kita lihat sekilas; apa itu persediaan.

Persediaan dan Impilkasinya Terhadap Laporan Keuangan
Sebelum berpikir yang rumit-rumittermasuk implikasi (pengaruh) persediaan terhadap
laporan keuangan dan pengelolaan keuangan, APA ITU PERSEDIAAN?
Sederhananya, yang disebut persediaan adalah apa yang oleh masyarakat umum kenal dengan
istilah stok. Di Eropa, sampai sekarang masih menggunakan istilah stock. Tetapi secara
internasional persediaan disebut dengan istilah inventory, yang disebut stock justru saham.
Mau disebut inventory, mau disebut stock, silahkan. Yang lebih penting di sini: wujud
dari persediaan itu berupa apa?
Wujud fisik persediaan suatu perusahaan tergantung pada jenis usahanya. Meskipun pada
kenyataannya ada banyak jenis atau model usaha, dalam akuntansiuntuk tujuan
penyederhanaanjenis usaha biasanya hanya dibagi menjadi 3 kelompok saja.
Berikut adalah 3 jenis perusahaan beserta persediaannya:
Perusahaan Jasa (misal: konsultan, agen, broker, dll) Tidak memiliki persediaan
Perusahaan Dagang (misal: toko, mini market, dll) Persediaannya berupa barang
jadi
Perusahaan Manufaktur (misal: pabrik gula, pabrik pakaian jadi, dll) Persediaannya
berupa: (a) bahan baku; (b) bahan penolong; (c) barang dalam proses; dan (d) barang
jadi.
Persediaan berimplikasi luas terhadap pelaporan keuangan dan pengelolaan keuangan
perusahaan.
Apa implikasinya terhadap laporan keuangan? Persediaan berimplikasi langsung terhadap
Neraca dan Laporan Laba-Rugi:
Di Neraca, persediaan disajikan dalam kelompok Aktiva Lancar (current assets)
setelah akun Piutang (silahkan lihat contoh format Neraca), sehingga besar-kecilnya
nilai saldo persediaan yang disajikan berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai aktiva
(aset) secara keseluruhan.
Di Laporan Laba Rugi, besar kecilnya PENGGUNAAN persediaan (bahan baku,
bahan penolong dan barang jadi) menentukan besar kecilnya Harga Pokok
Penjualan (HPP), yang pada akhirnya juga akan menentukan besar kecilnya Laba
atau Rugi yang disajikan di dalam laporan laba-rugi. Pada akhirnya, besar-kecilnya
laba/rugi yang dibukukan pada suatu periode akuntansi berimplikasi terhadap besar-
kecilnya Laba Ditahan (Retained Earning) yang disajikan di Neracapersisnya di
kelompok akun Ekuitas.

Oke. Implikasi persediaan terhadap laporan keuangan sudah jelas terlihat. Pertanyaannya:
Apakah penerapan sistim persediaan periodik/perpetual berpengaruh terhadap laporan
keuangan? Maksud saya, apakah dengan menggunakan sistim perpetual membuat laporan
keuangan menjadi berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan sistim periodik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat perbandingan antara sistim persediaan
periodik dengan perpetual. Yuk pindah ke paragraf berikutnya

Perbedaan Paling Fundamental Antara Sistim Periodik dan Perpetual
Perbedaan paling mencolok antara sistim periodik dengan sistim perpetual ada pada 2 hal:
1. Penentuan Nilai Saldo Akhir Persediaan di Neraca:
(a) Sistim Periodik Jika perusahaan menerapkan sistim periodik, nilai saldo akhir
persediaan di Neraca ditentukan dengan cara melakukan penghitungan fisik persediaan yang
lumrah dikenal dengan istilah stok opname sederhananya; di akhir periode, fisik barang
bersediaan (bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses dan barang jadi) dihitung
jumlahnya. Jumlah fisik barang lalu dikalikan dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) satuan
barang.
(b) Sistim Perpetual Jika yang diterapkan adalah sistim perpetual, perusahan tidak perlu
melakukan penghitungan fisik untuk menentukan nilai saldo akhir persediaan., karena setiap
transaksi terkait dengan persediaanbaik kenaikan maupun penurunantelah dicatat
melalui penjurnalan. Meskipun demikian, penghitungan fisik tetap dilakukan untuk kemudian
dibandigkan dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku persediaan. Jika terjadi perbedaan
antara saldo akhir hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir yang ditunjukan oleh buku
persediaan, maka dibuatkan rekonsiliasi persediaan dengan memasukan jurnal penyesuaian
persediaan (inventory adjustment entry).
2. Penentuan Persediaan Digunakan (atau Terjual) dalam Harga Pokok Penjualan:
(a) Sistim Periodik Jika perusahaan menggunakan sistim periodik, maka nilai persediaan
yang digunakan (dan terjual)untuk dibebankan sebagai Harga Pokok Penjualan, dihitung
dengan cara menjumlahkan saldo awal persediaan dengan total pembeliaan (atau persediaan
masuk) lalu dikurangi dengan saldo akhir persediaan yang diperoleh melalui penghitungan
fisik. Misalnya: Data persediaan JAK Mart (perusahaan dagang) untuk tahun 2012 adalah
sbb:
Saldo awal = Rp 20,000,000
Pembelian Bersih Jan s/d Des 2012 = Rp 150,000,000
Saldo akhir 31 Desember 2012 (diketahui setelah penghitungan fisik) = Rp
22,000,000
Harga Pokok Penjualan = 20,000,000 + 150,000,000 22,000,000 = 148,000,000.
Selanjutnya harga pokok ini dimasukan dengan journal penyesuaian (sebentar lagi kita bahas
di perbandingan jurnal.)
(b) Sistim Perpetual Dengan sistim perpetual, perusahaan tidak perlu lagi membuat
perhitungan seperti pada sistim periodik karena penggunaan persediaan langsung diakui
setiap kali ada penjualan dengan mendebit akun Harga Pokok Penjualan dan mengkredit
Persediaan di sisi lainnya, seperti jurnal di bawah ini:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx
Oke. Dengan sistim perpetual setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau
penurunan volume persediaan selalu dicatat dengan memasukan jurnal begitu transaksi
terjadi. Apakah dengan sistim periodik transaksi-transaksi yang terjadi tidak dicatat
samasekali? Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Tentu saja dicatat. Hanya saja, biasanya, menggunakan nama akun berbeda dibandingkan jika
menggunakan sistim perpetual. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat transaksi-per-transaksi.
Lanjut

Perbandingan Sistim Periodik Vs Perpetual Transaksi-Per-Transaksi
Ada banyak transaksi yang mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat atau
menurun selama satu periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim periodik dan perpetual
transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.
1. Pembelian dan Penjualan Barang
Dalam sistim perpetual, pembelian dan penjualan barang persediaan dicatat langsung ke akun
Persediaan, dengan kata lain: perubahan nilai nominal dan volume persediaan langsung
terlihat dalam buku besar (ledger) persediaan setiap kali ada transaksi pembelian dan
penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik yang dicatat hanya kenaikan nilai dan volume
persediaan melalui akun yang disebut dengan Pembelian, sementara tidak mencatat adanya
penurunan pada setiap transaksi penjualan yang terjadi (penurunan persediaan diakui
sekaligus di akhir periode dengan melakukan pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnyanya,
kita lihat contoh berikut ini:
JAK Mart, Perusahaan Grossir, menunjukan data sbb:
(a) Saldo Awal Persediaan = 100 units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk menghindari penggunaan cost flowyang bisa membingungkan, kita
asumsikan cost per unit persediaan konstan dari awal hingga akhir periode)
Jika JAK Mart menggunakan sistim perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya akan
nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000 per unit dicatat dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory, 60,000 x 600 =
Rp 36,000,000.)
(d) Kecuali ada perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan buku, maka tidak ada jurnal
penyesuaian yang perlu dimasukan. Saldo akhir persediaan otomatis menunjukan nilai Rp
24,000,000.
Bagaimana jika JAK Mart menggunakan sistim periodik? Jurnalnya akan nampak
sebagai berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000 (menggunakan akun pembelian)
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Pada sistim periodik, penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000/unit dicatat hanya
dengan satu jurnal sajauntuk mengakui penjualan dan piutang dagang (Note: penurunan
persediaan dan pengakuan harga pokok penjualan dilakukan sekaligus di akhir periode):
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
(d) Di akhir periode, setalah dilakukan penghitungan fisik, JAK memasukan jurnal
penyesuaianuntuk mengakui persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus menghapus
saldo akun Pembeliansebagai berikut:
[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
Note: Dengan jurnal penyesuaian yang dimasukan di akhir periode ini, maka saldo akun
Pembelian menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca menjadi Rp 24,000,000 (=saldo
awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000), dan muncul Harga Pokok Penjualan di
Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000 (=6,000,000 + 54,000,000 24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian dan Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur pembelian atau diskon? Perusahaan yang menerapkan sistim
periodik, disamping menggunakan akun Pembelianyang bersaldo debit mereka juga
menggunakan 2 kontra-akun pembelian (bersaldo kredit) yang diberi nama Retur
Pembelian dan Diskon Pembelian. Jika ada pembelian yang dikembalikan (retur
pembelian) atau memeperoleh potongan, maka kontra akun ini menjadi pengurang nilai
Pembelian. Hasil silang saldo Pembelian dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa
yang disebut dengan Pembelian Bersih. Bagaimanapun juga, semua slado akun ini
(Pembelian, Diskon Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja, nantinya akan
dihapus degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti terlihat pada contoh jurnal
penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkoretnya, kita buat satu contoh transaksi:
Karena adanya kerusakan, JAK Mart mengembalikan pembelian barang sebesar Rp
7,000,000.
Jika JAK Mart menerapkan sistim perpetual, maka JAK akan mengakui penurunan nilai
utang sekaligus langsung mengakui penurunan nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
Jika JAK Mart menerapkan sistim periodik, maka jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian megurangi nilai pembelian)
Lanjut dengan diskon
Di lain kesempatan JAK Mart membeli barang sebesar Rp 10,000,000 dengan termin kredit
2/10, n/30. Karena JAK Mart bisa melakukan pelunasan seminggu setelah pembelian, maka
JAK Mart memperoleh diskon 2%. Bagimana jurnalnya?
Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian JAK Mart memasukan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Saat pelunasan, diskon Rp 200,000 tersebut sekaligus diakui sebagai pengurang nilai
persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian jurnal yang dimasukan adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Diskon yang diperoleh tidak diakui sebagai pengurang nilai persediaan (ingat: sistim periodik
tidak mencatat persediaan tetapi pembelian), melainkan dicatat sebagai Diskon
Pembelian. Sehingga jurnal yang dimasukan ketika melakukan pelunasan adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
3. Retur Penjualan dan Diskon Penjualan
Transkasi lainnya yang terkait dengan persediaan adalah retur penjualan dan diskon
penjualan. Pada transaksi ini, baik sistim perpetual maupun sistim periodik sama-sama
meggunakan akun yang diberi nama Retur Penjualan dan Diskon Penjualanyang
kedua-duanya merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo debit), bedanya hanya di
pengakuan Harga Pokok Penjualan. Pada sistim perpetual return penjualan, disamping
mengakui penurunan piutang dagang dan penurunan penjualan (dengan akun retur
penjualan) juga mengakui penurunan harga pokok penjualan dan persediaan. Sedangkan
pada sistim periodik, tidak. Misalnya:
JAK Mart menerima barang kembali dari pelanggan (karena cacat) senilai Rp 6,000,000.
Harga Pokok Penjualan barang yang diretur tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan
pengakuan penjualan menggunakan metode bruto/gross method)
Jika menggunakan perpetual, maka JAK Mart akan mencatat retur tersebut dengan
sepasang jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Dan;
[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus menguragi harga
pokok penjualan).
Sedangkan jika menggunakan sistim periodik, JAK Mart hanya akan memasukan satu
jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Catatan: Sistim periodik baru akan menghitung saldo persediaan dan mengakui harga pokok
penjualan di akhir periodesetelah penghitungan fisik dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana pencatatanya?
Oke. Anggap JAK Mart memberikan diskon Rp 200,000 atas pelunasan pembelian sebesar
Rp 10,000,000 dari pelanggan (masih menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross
method)
Sistim perpetual dan sistim periodik memasukan jurnal yang sama persis untuk
pelunasan yang mengandung diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
Secara keseluruhan, dari pebandingan jurnalantara sistim periodik dan perpetual,
jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang disajikan di setiap akhir periode, menggunakan sistim
perpetual atau periodik tidak berpengaruh apa-apa, dalam pengertian: nilai saldo akhir
persediaan (yang disajikan di neraca) dan harga pokok penjualan (yang disajikan di laporan
laba-rugi), akan menunjukan hasil yang sama.
Bedanya, hanya terjadi pada teknis pengakuan dan nama akun yang digunakan pada setiap
pengakuan transaksi. Sistim perpetual selalu mendebit/mengkredit akun Persediaan untuk
setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan persediaan. Sedangkan sistim
periodikuntuk sementaramenggunakan akun Pembelian untuk setiap penambahan
persediaan dan baru memperhitungkan penurunan persediaan di akhir periodesertelah
penghitungan fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang menerapkan sistim periodicterpaksa harus
menyajikan laporan padahal periode belum berakhirmisalnya: untuk pengajuan kredit?
Perusahaan bisa (a) menggunakan laporan periode sebelumnya, atau (b) melakukan
penghitungan fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur seperti yang dilakukan di akhir
periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap laporan
keuangan. Bagaimana dengan pengelolaan persediaan dan keuangan secara
keseluruhan? Mari kita lihat implikasinya Lanjut

Implikasi Penerapan Sistim Periodik dan Perpetual Terhadap Pengelolaan
Persediaan
Dari perbenadingan di atas, jelas terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan persediaan, sistim
perpetual jauh lebih baik dibandingkan sistim periodik. Dengan sistim perpetual,
management dapat mengetahui nilai persediaan sewaktu-waktutanpa perlu menunggu
hingga akhir periode.
Khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktur, pengawasan terhadap barang persediaan
sangat kompleksdengan adanya potensi barang scrap dan cacat yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perusahaan jenis lain. Dalam kondisi seperti ini, jika sistim persediaan
yang diterapkan adalah sistim periodikdimana penurunan (volume dan nilai persediaan)
baru diperhitungkan di akhir periode, maka kesempatan untuk mengetahui adanya
pemborosan bahan baku, bahan penolong dan kemungkinan adanya barang cacat saat dalam
proses produksi menjadi lebih sulit ditelusurikemungkinan baru diketahui setelah di akhir
periode, dengan kata lain: sudah terjadi.
Efektifitas pengawasan terhadap barang persediaan berimplikasi besar terhadap pengelolaan
keuangan perusahaan secara keseluruhan. Terutama di perusahaan dagang dan manufaktur,
sebagian besar kekayaan (asset) perusahaan ada di persediaanentah itu berupa bahan baku,
bahan penolong, barang dalam proses maupun barang jadi. Diantara banyaknya beban yang
ditanggung oleh operasional perusahaan, penggunaan persediaan cenderung mendominasi.
Jika scope-nya dipersempit, persediaan bahkan mengkonsumsi modal kerja (working capital)
paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang akan diterapkan
(apakah menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi sangat krusial.
Lalu, apakah sebaiknya saya menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik?
Mungkin ada yang berpikir demikian. Kita pindah ke paragraph selanjutnya

Apakah Sebaiknya Menggunakan Sisitim Persediaan Periodik atau
Perpetual?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi opersional perusahaan
anda sehari-hari.
Dari aspek pelaporan keuangan, menurut saya, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Menggunakan sistim perpetualpun, toh di akhir periode anda masih harus melakukan stock
opname (inventory physical count) untuk memverifikasi keakuratan data persediaan yang
diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika terjadi perbedaan antara hasil penghitungan fisik
dengan saldo akhir buku, toh anda masih harus membuat rekonsiliasi dan inventory
adjustment, iya kan?
Tetapi dari aspek pengawasan persediaan, sistim perpetual jelas lebih baik dibandingkan
sistim periodik. Tetapi perlu di sadari bahwa: menerapkan sistim perpetual artinya anda harus
siap melakukan pencatatan setiap kali ada transaksi sehubungan dengan persediaan.
Untuk perusahaan-perusahaan berskala besar, jelaslah bahwa sistim perpetual selalu lebih
baiklagipula tenaga untuk melakukan input data setiap saat selalu ada. Tetapi untuk
perusahaan berskala sedang dan kecil, menerapkan sistim perpetual bisa menjadi tantangan
tersediri. Masih perlu melihat kondisi operasional perusahaan sehari-hari.
Untuk mempermudah, saya buatkan 2 macam perusahaandengan karakter
opersional yang sangat berbeda, sebagai ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer Wholesaler Anda mengelola perusahaan yang
menjual komputer dalam jumlah besar, pangsa pasar perusahaan anda bisa jadi pengguna
akhir maupun pedagang computer eceran. Sebelum memilih apakah menggunakan sistim
persediaan periodik atau perpetual, anda perlu mempertimbangkan kondisi operasional
perusahaan anda. Bagaimana kondisinya?
Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
Iklan produk/perushaan anda muncul di TV atau suratkabar lokal setiap hari
Volume penjualan harian anda sangat tinggi
Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa jika mereka datang
berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan ternyata sudah habis terjual
Dengan kondisi operasional perusahaan seperti ini, apakah menggunakan sistim
perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda perlu mengetahui saldo persediaan barang
setiap haribahkan mungkin setiap jam atau menit, yang tidak mungkin bisa anda dapatkan
jika menggunakan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, setiap transkasi penjualan selalu
diikuti dengan pencatatan barang keluar, sementara dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada Di Stasiun Kereta Api Di sini anda mengelola
toko yang menjual berbagai macam barang, untuk orang-orang sibuk yang bepergian kesana-
kemari dengan kondisi yang selalu terburu-buru. Anda perlu mempertimbangkan kondisi
opersional toko anda sebelum memutuskan untuk menerapkan sistim persediaan perpetual
atau periodik. Bagaimana situasinya?
Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagisaat sebagian besar orang buru-buru
ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang harisaat sebagian besar orang buru-
buru pulang ke rumah setelah seharian bekerja.
Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas tisu, permen, koran/majalan,
gantungan kunci, stationary, minuman dingin, kue kotak, dll
Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani pembeli di waktu-waktu
padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering anda sendiri yang ikut membantu.
Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus mengantri untuk
membayarsementara mereka hanya membeli barang-barang kecil yang
sesungguhnya bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti ini, apakah menerapkan sistim persediaan perpetual
masuk akal? Jelas tidak. Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan aktivitas
administrative (termasuk accounting) yang dperlukan untuk menerapkan sistim perpetual.
Salah-salah, pelanggan tidak jadi belanjakarena malas menunggu proses.
Betul, kehadiran teknologi barcode dan infrared yang banyak digunakan di bisnis retail
sangat membantu proses input data penjualan. Alat yang sama juga bisa digunakan
dalam proses input data pembelian barang persediaan. Jika memungkinkan untuk
menggunakan teknologi ini, tentu, perusahaan atau toko sekecil apapun bisa
menerapkan sistim perpetual tanpa hambatan, dan anda bisa melakukan pengawasan
terhadap persediaan dengan lebih baik.

Contoh Laporan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Dagang
December 12, 2013 by M Mustafa
Berikut ini kita akan membahas tentang Harga pokok Penjualan atau HPP untuk perusahaan
dagang. Dan kita mencoba menyelesaikan soal dari perusahaan mitra mart yang mana dalam
soal tersebut kita di minta untuk melakukan penyelesaian perhitungan Harga Pokok
Penjualan.
Silahkan kihat artikelnya di Contoh Soal Perusahaan Dagang yang mana dalam artikel
tersebut ada soal tetang hitunglah harga pokok Penjualan dari mitra mart (Point 3).
Berdasarkan siklus akuntansi yang kita telah peroleh dari perusahaan Pak Jono (Mitra Mart)
kita telah memperoleh neraca lajur yang sudah bisa dijadikan dasar perhitungan harga pokok
penjualan. Tetapi sebelumnya silahkan baca artikel Harga Pokok Penjualan (HPP) untuk
melihat formatnya.
Dari transaksi pak jono kita melihat bahwa hal-hal yang mempengaruhi Laporan HPP adalah
:
1. Penjualan
2. Return Penjualan
3. Potongan Penjualan
4. Pembelian
5. Rerturn Pembelian
6. Potongan Pembelian
7. Ongkos Angkut Pembelian
8. Persediaan Awal
9. Persediaan Akhir
Ada beberapa perkiraan yang tidak ada dalam Usaha Dagang Milik Pak Jono tersebut.
Sehingga gambaran dari laporan perusahaan Mitra Mart milik pakjono adalah sebagai berikut
:

Contoh HPP Perusahaan Dagang
Kita melihat bahwa Posisi Harga Pokok Penjualan Pak Jono adalah Rp. 494.550.000. secara
singkat kami jelaskan cara menghitungnya.
1. Menghitung Penjualan Bersih
Rumusnya : Penjualan (Return Penjualan + Potongan Penjualan) = Penjualan Bersih
Ongkos Angkut Penjualan tidak termasuk dalam hitungan HPP dan menjadi biaya umum
saja.
2. Menghitung Pembelian Bersih
Rumusnya : (Pembelian + Ongkos Angkut Pembelian) (Return Pembelian + Potongan
Pembelian) = Pembelian Bersih
3. Menghitung Persediaan Barang
Rumusnya : Persediaan Awal + Pembelian Bersih = Persediaan Barang
4. Menghitung Harga Pokok Penjualan
Rumusnya : Persediaan Barang Persediaan Akhir = Harga Pokok Penjualan
5. Menghitung Laba Kotor
Rumusnya : Penjualan Bersih Harga Pokok Penjualan = Laba Kotor
6. Menghitung Laba Bersih Sebelum Pajak
Rumusnya : Laba Kotor Akumulasi Biaya = Labaa Bersih Sebelum Pajak.
Dari contoh kasus akuntansi mitra mart ini kita melihat bahwa laporan yang di hasilkan oleh
neraca lajur untuk nilai HPP adalah sama dengan nilai dalam Laporan HPP di atas. Ini
membuktikan bahwa perhitungan HPP Neraca Lajur adalah sudah benar dan sesuai dengan
Hasil laporan di atas.
Dalam Laporan ini kami tidak menampilkan laba bersih setelah pajak.
Demikian artikel kita kali ini tetang Contoh Laporan Harga Pokok Penjualan Perusahaan
Dagang. Jika ada kesulitan dalam memahami, silahkan jangan sungkan untuk bertanya !

Anda mungkin juga menyukai