Anda di halaman 1dari 10

ISSN 2337-3776

10 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013


Kesesuaian Peresepan Obat Penyakit Demam Tifoid dengan Standar Pengobatan Demam
Tifoid di Bagian Rawat Inap Puslesmas X Kota Bandar Lampung
Periode Mei-Oktober 2012
Ummi Kaltsum
1)
, Asnah Tarigan
2)
Email : ummibarchia@gmail.com
1)
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung,
2)
Staf Pengajar Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
ABSTRAK
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Peresepan
sesuai standar adalah mememberikan peresepan sesuai standar yang ada. Penyimpangan dari peresepan sesuai
standar akan memberikan berbagai kerugian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat
penyakit demam tifoid dengan standar pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di di bagian rawat inap
Puskesmas X Kota Bandar Lampung pada bulan Oktober-November 2012. Penelitian merupakan penelitian
dekskriptif terhadap 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid. Dari data peresepan yang didapatkan kemudian
dibandingkan antara kesesuaian dosis obat dan lama pengobatan dengan standar. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin merupakan antimikroba yang digunakan untuk demam tifoid
dengan kesesuaian dosis siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%,
sedangkan kesesuaian lama pengobatan ketiga antimikroba tersebut adalah sebesar 0%. Simpulan bahwa kesesuaian
dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7% dan
kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%.
Kata kunci: Demam Tifoid, Kesesuaian Peresepan Obat Terhadap Standar, Puskesmas X.
The Suitability of Drug Receipt for Typhoid Fever Based on Standard of Treatment for
Typhoid Fever in X Puskesmas Bandar Lampung City, Period of May October 2012
Ummi Kaltsum
1)
, Asnah Tarigan
2)
Email : ummibarchia@gmail.com
1)
Medical student of Lampung University,
2)
Lecturer of School of Medicine Lampung
University
ABSTRACT
Typhoid fever is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Treatment of the fever
should be standard receipt. Out of the standard receipt could be some disadvantage for patients. The purpose of this
research is to observe the suitability of receipt based on standard for treatment of typhoid fever patient. The
research was conducted in X Puskesmas, Bandar Lampung City, from October to November 2012. Descriptive
ISSN 2337-3776
11 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
method of the research was to evaluate data of 74 receipts for typhoid fever. Collected data of the 74 receipts,
further, was examined based on the standard treatment of typhoid fever, both dosage of drug and length of treatment.
Result of the research revealed contrimoxazol, ciprofloxacin, and amoxicilin were drugs for controlling
microorganisms causing typhoid fever. The suitability of dosage of ciprofloxacin was 100%, of contrimoxazol was
73%, and of amoxicilin, unfortunately, was 0%, respectively. Furthermore, the suitability of length of the treatment
for those of three drugs for controlling microorganisms was of 0%. In short, the suitability treatment of both the
receipts for dosage of drugs for typhoid fever patients based on the standard typhoid fever was of 80,7%, and the
suitability of the length of the treatment based on the standard typhoid fever, unfortunately was of 0%, respectively.
Keywords: The Suitability of drug receipt, Typhoid fever, X Puskesmas
I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan
masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat
endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar
di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0.6-5 % (Kemenkes RI,
2006). Prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%), dengan prevalensi di
provinsi Lampung adalah sebesar 0,67% (Depkes RI, 2007). Data pada Dinas Kesehatan
Provinsi Lampung memperlihatkan Puskesmas X Kota Bandar Lampung memiliki angka rata-
rata yang paling tinggi dibandingkan dengan 27 puskesmas lainnya di Kota Bandar Lampung
yaitu sebesar 125 pasien perbulan.
Pada tahun 2006, Menkes RI mengeluarkan suatu pedoman pengobatan demam tifoid
yang dapat dijadikan standar pengobatan demam tifoid di Indonesia. Standar tersebut mengatur
mulai dari tirah baring hingga pemberian antimikroba untuk demam tifoid. Selain itu, dalam
standar tersebut, diatur pula mengenai pemberian antimikroba demam tifoid, mulai dari jenis
obat, dosis obat, dan lama pemberian obat untuk demam tifoid.
Peresepan sesuai standar sesungguhnya merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, dimana terkait beberapa komponen, seperti pemilihan dan penentuan dosis obat, lama
pengobatan, jenis obat, dan lain-lain. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikan
berbagai kerugian. Menurut WHO (2010) bahwa sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak
sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar
terkait penyakitnya.
ISSN 2337-3776
12 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Penatalaksanaan yang tidak tepat untuk penyakit demam tifoid, khususnya dalam
peresepan obat seperti jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat, dapat menimbulkan kasus
komplikasi dan resistensi basil kuman terhadap obat yang beredar (Kemenkes, 2006).
Dari latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat kesesuaian peresepan
obat demam tifoid, yaitu kesesuaian dosis dan lama pengobatan yang dilakukan dibandingkan
dengan standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar
Lampung, periode Mei-Oktober 2012.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas X Kota Bandar Lampung. Puskesmas X Kota
Bandar Lampung dipilih karena data dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa penderita
demam tifoid memiliki prevalensi yang paling tinggi pada puskesmas ini. Penelitian dilakukan
pada bulan Oktober-November 2012.
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data peresepan penyakit demam tifoid pada
pasien rawat inap pada di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012
dengan jumlah 74 data peresepan penderita. Besar sampel yang dibutuhkan sama dengan
populasi (total sampling) yaitu sebesar 74 data peresepan penderita demam tifoid.
Kriteria inklusi:
1. Resep obat penyakit demam tifoid yang masuk pada tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan 30
Oktober 2012.
2. Resep dalam keadaan baik, tidak cacat fisik (rusak, robek, dan tidak terbaca).
3. Resep yang terdapat tanda PRW pada sudut atas resep.
Kriteria eksklusi:
1. Resep obat penyakit demam tifoid diluar periode yang telah ditentukan.
2. Resep obat yang rusak atau sulit dibaca.
3. Resep obat untuk hari pertama ketika rawat inap.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei retropektif dan
menggunakan data sekunder (data peresepan obat demam tifoid).
ISSN 2337-3776
13 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Data untuk penelitian memakai data sekunder yang diperoleh dari pencatatan kartu status (rekam
medik) serta resep obat untuk penderita demam tifoid pada di Puskesmas X Kota Bandar
Lampung periode Mei-Oktober 2012.
Pengobatan sesuai standar demam tifoid yaitu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006
tentang pengendalian demam tifoid adalah istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang,
serta antimikroba. Antimikroba yang terdapat pada standar pengobatan yang dikeluarkan oleh
Kemenkes RI adalah Kloramfenikol (dewasa: 4 x 500 mg (2 gr)/hari selama 14 hari, anak: 50-
100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gr, diberikan selama 10-14 hari), Seftriakson (dewasa: 2-4gr/hari
selama 3 -5 hari, anak : 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari), Ampisilin dan
Amoksisilin (dewasa: 3-4gr/hari selama 14 hari, anak: 100 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama
10 hari), Kotrimoksazol (dewasa: 2 x (160-800) selama 2 minggu, anak: TMP 6-10
mg/kgBB/hari atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari selama 10 hari), kuinolon (Siprofloksasin: 2 x 500
mg selama satu minggu), Cefixime (anak: 15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dibagi menjadi 2
dosis), dan Tiamfenikol (dewasa: 4x500 mg, anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari bebas
panas) (Kemenkes, 2006).
Resep yang memenuhi kriteria akan dibandingkan dengan standar pengobatan yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan RI no.364 tahun 2006. Peresepan yang baik seharusnya
mencantumkan identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep, jenis dan bentuk obat, dosis
dan jumlah, label, identitas pasien,serta tanda tangan pembuat resep (de Vries et al, 2000).
Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah peresepan obat penyakit
demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung.
1. Dosis obat adalah takaran obat untuk penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang
ditulis oleh tenaga kesehatan untuk pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakit
penyerta pada bagian rawat inap di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober
2012.
2. Lama pengobatan adalah lamanya pengobatan dilihat dari inscriptio dan signatura untuk
penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang dibuat oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012.
Dari penelitian yang telah dilakukan, seluruh data yang telah diperoleh dikumpulkan,
kemudian dilakukan deskripsi terhadap data-data tersebut, disusun dan dikelompokkan. Hasil
penelitian akan disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian kemudian
ISSN 2337-3776
14 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
dilakukan teknik analisa kualitatif melalui cara induktif, yakni penarikan kesimpulan umum
berdasarkan hasil survei yang dilakukan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan di bagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan 74
data peresepan untuk penyakit demam tifoid dan sebanyak 74 data peresepan yang terpilih
sebagai objek penelitian (total sampling). Dari 74 data peresepan, 77% (57 data peresepan)
mendapatkan pengobatan antimikroba untuk demam tifoid beserta pengobatan simptomatik
(parasetamol, antasida, domperidon, vitamin-vitamin), sedangkan 23% (17 data peresepan)
hanya diberikan pengobatan simptomatik tanpa antimikroba untuk demam tifoid.
Dari 57 data peresepan yang mendapatkan antimikroba, rinciannya adalah pasien dewasa
sebanyak 42 orang dan pasien anak sebanyak 15 orang. Penggunaan antimikroba terbanyak
untuk demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X adalah kotrimoksazol sebesar 37 data
peresepan pasien (64,9%), selanjutnya adalah siprofloksasin sebesar 19 data peresepan pasien
(33,3%) dan amoksisilin sebesar 1 data peresepan pasien (1,8%). Distribusi kesesuaian peresepan
dosis obat terhadap standar disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X
Berdasarkan Dosis Obat
No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1. Kotrimoksazol 27 73% 10 27%
2. Siprofloksasin 19 100% - 0%
3. Amoksisilin - 0% 1 100%
Total 46 80,7% 11 19,3%
Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa dari 57 pasien yang diberikan antimikroba untuk demam
tifoid, kesesuaian dosis kotrimoksazol terhadap standar adalah sebesar 73% atau 27 data
peresepan pasien, siprofloksasin sebesar 100% atau 19 data peresepan pasien dan amoksisilin
terhadap standar sebesar 0%.
ISSN 2337-3776
15 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Kesesuaian dosis obat untuk pasien anak disajikan pada Tabel 3 dan kesesuaian dosis obat untuk
pasien dewasa disajikan pada Tabel 4 serta kesesuaian lama pemberian obat disajikan pada Tabel
4.
Tabel 2. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X
Berdasarkan Dosis Obat untuk Pasien Anak
No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1. Kotrimoksazol 8 53,3% 6 40%
2. Siprofloksasin - 0% 1 6,7%
Total 8 53,3% 7 46,7%
Tabel 3. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X
Berdasarkan Dosis Obat untuk Pasien Dewasa
No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1. Kotrimoksazol 23 42,9% - 0%
2. Siprofloksasin 18 54,8% - 0%
3. Amoksisilin - 0% 1 2,3%
Total 41 97,6% 1 2,3%
Tabel 4. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X
Berdasarkan Lama Pengobatan
No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
1. Kotrimoksazol - 0% 37 100%
2. Siprofloksasin - 0% 19 100%
3. Amoksisilin - 0% 1 100%
Total - 0% 57 100%
Dari Tabel 4 terlihat bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol, siprofloksasin, dan
amoksisilin adalah sebesar 0%.
Pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung, penyakit demam tifoid
adalah peringkat 1 dari 10 besar penyakit-penyakit yang sering ditemukan disana. Dari penelitian
ISSN 2337-3776
16 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
yang telah dilakukan, didapatkan sampel sebanyak 74 data peresepan penyakit demam tifoid
dengan 57 data peresepan antimikroba untuk penyakit demam tifoid dan 17 data peresepan yang
tidak disertai dengan antimikroba disebabkan karena hasil laboratorium Widal menunjukkan
hasil titer O dibawah 1:160, sehingga hanya diberikan pengobatan simptomatik untuk
meringankan gejala yang ada (Kemenkes, 2006).
Pada penelitian yang dilakukan, dari data peresepan untuk demam tifoid di bagian rawat
Puskesmas X bahwa terdapat 46 data peresepan dengan dosis yang sesuai standar atau sebesar
80,7% dan 11 data peresepan (19,3%) dengan dosis yang tidak sesuai standar.
Peresepan untuk pasien dewasa menunjukkan kesesuaian terhadap standar sebesar 97,6%
sedangkan untuk pasien anak sebesar 53,3%. Rendahnya kesesuaian dosis anak terhadap standar
bila dibandingkan dengan dosis dewasa karena dosis pada pasien anak harus dihitung terlebih
dahulu sebelum diresepkan. Penghitungan dosis anak harus mempertimbangkan hal-hal seperti
berat badan, usia, atau luas permukaan tubuh sebelum memberikan peresepan obat. Dosis anak
berbeda daripada dosis dewasa karena anak-anak berbeda dengan orang dewasa dalam banyak
hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam
tubuh terhadap obat (Darmansjah, 2008).
Berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Puskesmas X
tahun 2012 sirup kotrimoksazol pada bulan Oktober mengalami kekosongan persediaan. Di
Puskesmas X juga tidak tersedia tablet kotrimoksazol anak yang mengandung 100 mg
sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim (120 mg). Persediaan/stok obat dengan dosis anak tidak
tersedia di Puskesmas X, sehingga hal ini memberikan kontribusi terhadap ketidaksesuaian dosis
obat anak dengan standar yang ada.
Pemberian dosis obat yang tidak sesuai standar, dapat memberikan dampak yang luas
bagi pasien. Pertama, bila dosis obat yang tertera pada resep tidak tepat/tidak sesuai standar,
maka pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya, hal ini
dapat menimbulkan komplikasi berkaitan dengan penyakit tersebut (WHO, 2010).
Kedua, pemberian dosis obat yang tidak tepat juga berkaitan dengan resistensi obat. Resistensi
terhadap kotrimoksazol berhubungan dengan overproduksi PABA (para-aminobenzoic acid)
atau perubahan pada dihidopteroat sintetase bakteri. Perubahan pada enzim tersebut disertai
peningkatan produksi PABA oleh bakteri menyebabkan penurunan afinitas kotrimoksazol,
sehingga obat ini menjadi kurang efektif sebagai kompetitor PABA (Mycek, 2001). Resistensi
ISSN 2337-3776
17 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
yang terjadi terhadap siprofloksasin selalu dihubungkan dengan adanya mutasi multipel pada gen
yang menjadi target intraselular dari siprofloksasin, yaitu girase (gyrA dan gyrB) dan
topoisomerase IV (parC dan parE). Mutasi-mutasi tersebut menyebabkan penurunan
permeabilitas membran luar bakteri terhadap obat (Giraud, 2000). Resistensi Salmonella
terhadap amoksisilin terjadi akibat adanya mutasi gen yang menyebabkan bakteri akan
menghasilkan -lactamase. -lactamase yang dihasilkan akan menghambat kerja -lactams
sehingga dinding sel bakteri tetap terjaga hal ini menyebabkan efek bakterisidal obat terganggu
(Mycek, 2001). Ketiga, konsekuensi dari pemberian dosis yang tidak sesuai standar adalah dari
segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, dan
masyarakat. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika
baru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal (Utami, 2012).
Dari 57 data peresepan untuk penyakit demam tifoid dengan antimikroba demam tifoid di
bagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol,
siprofloksasin, dan amoksisilin adalah 0%. Lama pemberian obat yang tidak sesuai hingga 100%
diakibatkan beberapa kemungkinan. Pertama, lama perawatan maksimal di bagian rawat inap
Puskesmas X adalah lima hari untuk semua pasien, khususnya pasien Jamkesmas dan Jamkesda
karena biaya perawatan dan pengobatan di bagian rawat inap puskesmas untuk pasien
Jamkesmas dan Jamkesda hanya ditanggung maksimal lima hari (Depkes, 2009). Dari 57 data
peresepan pasien yang diberikan antimikroba untuk demam tifoid, 55 pasien adalah pasien
Jamkesmas dan Jamkesda, sedangkan hanya 2 orang pasien yang merupakan pasien umum
(Puskesmas X
2
, 2012).
Kedua, berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala ruang rawat inap Puskesmas X, lama
pemberian antimikroba untuk demam tifoid adalah selama lima hari disertai dengan obat-obatan
simptomatik. Bila rawat inap kurang dari lima hari, maka antimikroba akan dilanjutkan ke
bagian rawat jalan hingga pemberian antimikroba mencukupi waktu lima hari. Secara umum,
pemberian antimikroba selama minimal lima hari dapat mencegah resistensi dan infeksi kembali
(Bowman dan Fraser, 2010). Namun, bakteri S.typhi merupakan bakteri gram negatif (memiliki
membran luar dan membran dalam) dan memiliki kapsul, sehingga lama pemberian obat
membutuhkan waktu yang lebih panjang agar antimikroba bisa menembus pertahanan bakteri
tersebut (Brooks, 2007).
ISSN 2337-3776
18 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Berdasarkan LPLPO Puskesmas X tahun 2012, persediaan obat untuk demam tifoid tetap
tersedia hingga bulan Oktober sehingga persediaan obat tidak mempengaruhi lama pemberian
obat.
Lama pemberian obat yang tidak sesuai ini dapat menyebabkan efek terapeutik yang
diinginkan tidak tercapai dan mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya resistensi seperti
pada ketidaksesuaian dosis obat tersebut.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian di bagian rawat inap Puskesmas X periode Mei-Oktober 2012 terhadap 74
data peresepan penyakit demam tifoid, dapat disimpulkan bahwa:
1. Kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid
adalah sebesar 80,7%, yaitu dengan rincian siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar
73%, dan amoksisilin sebesar 0%.
2. Kesesuaian lama pengobatan obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan
demam tifoid adalah sebesar 0%, baik untuk kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat dari
penelitian ini di masa yang akan datang.
2. Bagi puskesmas, agar dapat meningkatkan kegiatan supervisi dan evaluasi mengenai
peresepan obat khususnya demam tifoid dan penyakit lainnya pada bagian rawat inap secara
berkesinambungan, jika persediaan obat memungkinkan maka disarankan untuk tidak
menyamaratakan jumlah pemberian antibiotik untuk setiap penyakit.
3. Bagi peneliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang berbeda
seperti kesesuaian jenis obat dan biaya/harga dengan standar yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
ISSN 2337-3776
19 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Bowman, E., dan S. Fraser. 2010. Neonatal Handbook. Diakses dari: http://www.netsvic.
org.au/nets/handbook/index.cfm pada tanggal 21 November 2012.
Brooks, GF., S.J. Butel, S.A. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Darmansjah, I. 2008. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak. Majalah Kedokteran Indonesia
58(10): 368:369.
De Vries, T.P.G.M., R.H. Henning, H.V. Hogerzeil, D.A. Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to
Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva: WHO.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Petunjuk Teknis Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Depkes RI.
Ghasem, M.H. 2001. Typhoid Fever Clinical and Epidemiological Studies in Indonesia (Tesis).
Universitas Diponegoro: Semarang.
Giraud, E., A. Cloeckaert, D. Kerboeuf, E. Chaslus-Dancla. 2000. Evidence for Active Efflux as
the Primary Mechanism of Resistance to Ciprofloxacin in Salmonella enterica Serovar
Typhimurium. Antimicrob Agents Chemother 44(5): 12231228.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Mycek, M.J., R.A. Harvey, P.C. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2.
Jakarta: Widya Medika.
Puskesmas X. 2012. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Bandar
Lampung: Puskesmas X.
Puskesmas X
2
. 2012. Rekap Data Status Kesehatan dan Data Peresepan Pasien Demam Tifoid
di Bagian Rawat Inap Puskesmas X tahun 2012. Bandar Lampung: Puskesmas X
Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Yang
Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008
(Skripsi). Universitas Diponegoro: Semarang.
Soedarmo, S.S.P., H. Garna, S.R. Hadinegoro, H.I. Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan
Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis, 1 (1): 124-138.
WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid
Fever. Diakses dari: www.who.int/vaccines-documents/ pada 17 September 2012.
WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. Diakses dari: http://www. who.int/en/ pada
tanggal 24 Agustus 2012.

Anda mungkin juga menyukai