10 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013
Kesesuaian Peresepan Obat Penyakit Demam Tifoid dengan Standar Pengobatan Demam Tifoid di Bagian Rawat Inap Puslesmas X Kota Bandar Lampung Periode Mei-Oktober 2012 Ummi Kaltsum 1) , Asnah Tarigan 2) Email : ummibarchia@gmail.com 1) Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 2) Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Lampung ABSTRAK Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Peresepan sesuai standar adalah mememberikan peresepan sesuai standar yang ada. Penyimpangan dari peresepan sesuai standar akan memberikan berbagai kerugian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian peresepan obat penyakit demam tifoid dengan standar pengobatan demam tifoid. Penelitian dilakukan di di bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung pada bulan Oktober-November 2012. Penelitian merupakan penelitian dekskriptif terhadap 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid. Dari data peresepan yang didapatkan kemudian dibandingkan antara kesesuaian dosis obat dan lama pengobatan dengan standar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin merupakan antimikroba yang digunakan untuk demam tifoid dengan kesesuaian dosis siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%, sedangkan kesesuaian lama pengobatan ketiga antimikroba tersebut adalah sebesar 0%. Simpulan bahwa kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7% dan kesesuaian lama pengobatan terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%. Kata kunci: Demam Tifoid, Kesesuaian Peresepan Obat Terhadap Standar, Puskesmas X. The Suitability of Drug Receipt for Typhoid Fever Based on Standard of Treatment for Typhoid Fever in X Puskesmas Bandar Lampung City, Period of May October 2012 Ummi Kaltsum 1) , Asnah Tarigan 2) Email : ummibarchia@gmail.com 1) Medical student of Lampung University, 2) Lecturer of School of Medicine Lampung University ABSTRACT Typhoid fever is one of disease which still threatening health of Indonesian societies. Treatment of the fever should be standard receipt. Out of the standard receipt could be some disadvantage for patients. The purpose of this research is to observe the suitability of receipt based on standard for treatment of typhoid fever patient. The research was conducted in X Puskesmas, Bandar Lampung City, from October to November 2012. Descriptive ISSN 2337-3776 11 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 method of the research was to evaluate data of 74 receipts for typhoid fever. Collected data of the 74 receipts, further, was examined based on the standard treatment of typhoid fever, both dosage of drug and length of treatment. Result of the research revealed contrimoxazol, ciprofloxacin, and amoxicilin were drugs for controlling microorganisms causing typhoid fever. The suitability of dosage of ciprofloxacin was 100%, of contrimoxazol was 73%, and of amoxicilin, unfortunately, was 0%, respectively. Furthermore, the suitability of length of the treatment for those of three drugs for controlling microorganisms was of 0%. In short, the suitability treatment of both the receipts for dosage of drugs for typhoid fever patients based on the standard typhoid fever was of 80,7%, and the suitability of the length of the treatment based on the standard typhoid fever, unfortunately was of 0%, respectively. Keywords: The Suitability of drug receipt, Typhoid fever, X Puskesmas I. PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan masih mengancam kesehatan masyarakat di Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini bersifat endemik dan merupakan masalah kesehatan masyarakat. Dari telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun dengan rata-rata sekitar 500/100.000 penduduk dengan kematian antara 0.6-5 % (Kemenkes RI, 2006). Prevalensi tifoid klinis nasional sebesar 1,6% (rentang: 0,3% - 3%), dengan prevalensi di provinsi Lampung adalah sebesar 0,67% (Depkes RI, 2007). Data pada Dinas Kesehatan Provinsi Lampung memperlihatkan Puskesmas X Kota Bandar Lampung memiliki angka rata- rata yang paling tinggi dibandingkan dengan 27 puskesmas lainnya di Kota Bandar Lampung yaitu sebesar 125 pasien perbulan. Pada tahun 2006, Menkes RI mengeluarkan suatu pedoman pengobatan demam tifoid yang dapat dijadikan standar pengobatan demam tifoid di Indonesia. Standar tersebut mengatur mulai dari tirah baring hingga pemberian antimikroba untuk demam tifoid. Selain itu, dalam standar tersebut, diatur pula mengenai pemberian antimikroba demam tifoid, mulai dari jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat untuk demam tifoid. Peresepan sesuai standar sesungguhnya merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis, dimana terkait beberapa komponen, seperti pemilihan dan penentuan dosis obat, lama pengobatan, jenis obat, dan lain-lain. Penyimpangan terhadap hal tersebut akan memberikan berbagai kerugian. Menurut WHO (2010) bahwa sekitar 50 persen resep yang diberikan tidak sesuai, dan setengah dari semua pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya. ISSN 2337-3776 12 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Penatalaksanaan yang tidak tepat untuk penyakit demam tifoid, khususnya dalam peresepan obat seperti jenis obat, dosis obat, dan lama pemberian obat, dapat menimbulkan kasus komplikasi dan resistensi basil kuman terhadap obat yang beredar (Kemenkes, 2006). Dari latar belakang di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat kesesuaian peresepan obat demam tifoid, yaitu kesesuaian dosis dan lama pengobatan yang dilakukan dibandingkan dengan standar pengobatan demam tifoid pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung, periode Mei-Oktober 2012. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan dilakukan di Puskesmas X Kota Bandar Lampung. Puskesmas X Kota Bandar Lampung dipilih karena data dari Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa penderita demam tifoid memiliki prevalensi yang paling tinggi pada puskesmas ini. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober-November 2012. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh data peresepan penyakit demam tifoid pada pasien rawat inap pada di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012 dengan jumlah 74 data peresepan penderita. Besar sampel yang dibutuhkan sama dengan populasi (total sampling) yaitu sebesar 74 data peresepan penderita demam tifoid. Kriteria inklusi: 1. Resep obat penyakit demam tifoid yang masuk pada tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan 30 Oktober 2012. 2. Resep dalam keadaan baik, tidak cacat fisik (rusak, robek, dan tidak terbaca). 3. Resep yang terdapat tanda PRW pada sudut atas resep. Kriteria eksklusi: 1. Resep obat penyakit demam tifoid diluar periode yang telah ditentukan. 2. Resep obat yang rusak atau sulit dibaca. 3. Resep obat untuk hari pertama ketika rawat inap. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan metode survei retropektif dan menggunakan data sekunder (data peresepan obat demam tifoid). ISSN 2337-3776 13 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Data untuk penelitian memakai data sekunder yang diperoleh dari pencatatan kartu status (rekam medik) serta resep obat untuk penderita demam tifoid pada di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012. Pengobatan sesuai standar demam tifoid yaitu menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid adalah istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang, serta antimikroba. Antimikroba yang terdapat pada standar pengobatan yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI adalah Kloramfenikol (dewasa: 4 x 500 mg (2 gr)/hari selama 14 hari, anak: 50- 100 mg/kgBB/hari maksimal 2 gr, diberikan selama 10-14 hari), Seftriakson (dewasa: 2-4gr/hari selama 3 -5 hari, anak : 80 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari), Ampisilin dan Amoksisilin (dewasa: 3-4gr/hari selama 14 hari, anak: 100 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 10 hari), Kotrimoksazol (dewasa: 2 x (160-800) selama 2 minggu, anak: TMP 6-10 mg/kgBB/hari atau SMX 30-50 mg/kgBB/hari selama 10 hari), kuinolon (Siprofloksasin: 2 x 500 mg selama satu minggu), Cefixime (anak: 15-20 mg/kgBB/hari selama 10 hari dibagi menjadi 2 dosis), dan Tiamfenikol (dewasa: 4x500 mg, anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari bebas panas) (Kemenkes, 2006). Resep yang memenuhi kriteria akan dibandingkan dengan standar pengobatan yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan RI no.364 tahun 2006. Peresepan yang baik seharusnya mencantumkan identitas pembuat resep, tanggal pembuatan resep, jenis dan bentuk obat, dosis dan jumlah, label, identitas pasien,serta tanda tangan pembuat resep (de Vries et al, 2000). Pada penelitian ini, yang menjadi variabel penelitian adalah peresepan obat penyakit demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung. 1. Dosis obat adalah takaran obat untuk penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang ditulis oleh tenaga kesehatan untuk pasien dengan diagnosis demam tifoid tanpa penyakit penyerta pada bagian rawat inap di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012. 2. Lama pengobatan adalah lamanya pengobatan dilihat dari inscriptio dan signatura untuk penyakit demam tifoid yang tertera pada resep obat yang dibuat oleh tenaga kesehatan di Puskesmas X Kota Bandar Lampung periode Mei-Oktober 2012. Dari penelitian yang telah dilakukan, seluruh data yang telah diperoleh dikumpulkan, kemudian dilakukan deskripsi terhadap data-data tersebut, disusun dan dikelompokkan. Hasil penelitian akan disajikan dan dijabarkan dalam bentuk tabel. Hasil penelitian kemudian ISSN 2337-3776 14 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 dilakukan teknik analisa kualitatif melalui cara induktif, yakni penarikan kesimpulan umum berdasarkan hasil survei yang dilakukan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang telah dilakukan di bagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan 74 data peresepan untuk penyakit demam tifoid dan sebanyak 74 data peresepan yang terpilih sebagai objek penelitian (total sampling). Dari 74 data peresepan, 77% (57 data peresepan) mendapatkan pengobatan antimikroba untuk demam tifoid beserta pengobatan simptomatik (parasetamol, antasida, domperidon, vitamin-vitamin), sedangkan 23% (17 data peresepan) hanya diberikan pengobatan simptomatik tanpa antimikroba untuk demam tifoid. Dari 57 data peresepan yang mendapatkan antimikroba, rinciannya adalah pasien dewasa sebanyak 42 orang dan pasien anak sebanyak 15 orang. Penggunaan antimikroba terbanyak untuk demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X adalah kotrimoksazol sebesar 37 data peresepan pasien (64,9%), selanjutnya adalah siprofloksasin sebesar 19 data peresepan pasien (33,3%) dan amoksisilin sebesar 1 data peresepan pasien (1,8%). Distribusi kesesuaian peresepan dosis obat terhadap standar disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X Berdasarkan Dosis Obat No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. Kotrimoksazol 27 73% 10 27% 2. Siprofloksasin 19 100% - 0% 3. Amoksisilin - 0% 1 100% Total 46 80,7% 11 19,3% Dari tabel 1 juga dapat dilihat bahwa dari 57 pasien yang diberikan antimikroba untuk demam tifoid, kesesuaian dosis kotrimoksazol terhadap standar adalah sebesar 73% atau 27 data peresepan pasien, siprofloksasin sebesar 100% atau 19 data peresepan pasien dan amoksisilin terhadap standar sebesar 0%. ISSN 2337-3776 15 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Kesesuaian dosis obat untuk pasien anak disajikan pada Tabel 3 dan kesesuaian dosis obat untuk pasien dewasa disajikan pada Tabel 4 serta kesesuaian lama pemberian obat disajikan pada Tabel 4. Tabel 2. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X Berdasarkan Dosis Obat untuk Pasien Anak No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. Kotrimoksazol 8 53,3% 6 40% 2. Siprofloksasin - 0% 1 6,7% Total 8 53,3% 7 46,7% Tabel 3. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X Berdasarkan Dosis Obat untuk Pasien Dewasa No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. Kotrimoksazol 23 42,9% - 0% 2. Siprofloksasin 18 54,8% - 0% 3. Amoksisilin - 0% 1 2,3% Total 41 97,6% 1 2,3% Tabel 4. Distribusi Kesesuaian Peresepan Antimikroba untuk Demam Tifoid di Puskesmas X Berdasarkan Lama Pengobatan No. Antimikroba Sesuai standar Tidak Sesuai Standar Jumlah Persentase Jumlah Persentase 1. Kotrimoksazol - 0% 37 100% 2. Siprofloksasin - 0% 19 100% 3. Amoksisilin - 0% 1 100% Total - 0% 57 100% Dari Tabel 4 terlihat bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin adalah sebesar 0%. Pada bagian rawat inap Puskesmas X Kota Bandar Lampung, penyakit demam tifoid adalah peringkat 1 dari 10 besar penyakit-penyakit yang sering ditemukan disana. Dari penelitian ISSN 2337-3776 16 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 yang telah dilakukan, didapatkan sampel sebanyak 74 data peresepan penyakit demam tifoid dengan 57 data peresepan antimikroba untuk penyakit demam tifoid dan 17 data peresepan yang tidak disertai dengan antimikroba disebabkan karena hasil laboratorium Widal menunjukkan hasil titer O dibawah 1:160, sehingga hanya diberikan pengobatan simptomatik untuk meringankan gejala yang ada (Kemenkes, 2006). Pada penelitian yang dilakukan, dari data peresepan untuk demam tifoid di bagian rawat Puskesmas X bahwa terdapat 46 data peresepan dengan dosis yang sesuai standar atau sebesar 80,7% dan 11 data peresepan (19,3%) dengan dosis yang tidak sesuai standar. Peresepan untuk pasien dewasa menunjukkan kesesuaian terhadap standar sebesar 97,6% sedangkan untuk pasien anak sebesar 53,3%. Rendahnya kesesuaian dosis anak terhadap standar bila dibandingkan dengan dosis dewasa karena dosis pada pasien anak harus dihitung terlebih dahulu sebelum diresepkan. Penghitungan dosis anak harus mempertimbangkan hal-hal seperti berat badan, usia, atau luas permukaan tubuh sebelum memberikan peresepan obat. Dosis anak berbeda daripada dosis dewasa karena anak-anak berbeda dengan orang dewasa dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh terhadap obat (Darmansjah, 2008). Berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Puskesmas X tahun 2012 sirup kotrimoksazol pada bulan Oktober mengalami kekosongan persediaan. Di Puskesmas X juga tidak tersedia tablet kotrimoksazol anak yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 20 mg trimetoprim (120 mg). Persediaan/stok obat dengan dosis anak tidak tersedia di Puskesmas X, sehingga hal ini memberikan kontribusi terhadap ketidaksesuaian dosis obat anak dengan standar yang ada. Pemberian dosis obat yang tidak sesuai standar, dapat memberikan dampak yang luas bagi pasien. Pertama, bila dosis obat yang tertera pada resep tidak tepat/tidak sesuai standar, maka pasien tersebut gagal mendapatkan pengobatan yang benar terkait penyakitnya, hal ini dapat menimbulkan komplikasi berkaitan dengan penyakit tersebut (WHO, 2010). Kedua, pemberian dosis obat yang tidak tepat juga berkaitan dengan resistensi obat. Resistensi terhadap kotrimoksazol berhubungan dengan overproduksi PABA (para-aminobenzoic acid) atau perubahan pada dihidopteroat sintetase bakteri. Perubahan pada enzim tersebut disertai peningkatan produksi PABA oleh bakteri menyebabkan penurunan afinitas kotrimoksazol, sehingga obat ini menjadi kurang efektif sebagai kompetitor PABA (Mycek, 2001). Resistensi ISSN 2337-3776 17 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 yang terjadi terhadap siprofloksasin selalu dihubungkan dengan adanya mutasi multipel pada gen yang menjadi target intraselular dari siprofloksasin, yaitu girase (gyrA dan gyrB) dan topoisomerase IV (parC dan parE). Mutasi-mutasi tersebut menyebabkan penurunan permeabilitas membran luar bakteri terhadap obat (Giraud, 2000). Resistensi Salmonella terhadap amoksisilin terjadi akibat adanya mutasi gen yang menyebabkan bakteri akan menghasilkan -lactamase. -lactamase yang dihasilkan akan menghambat kerja -lactams sehingga dinding sel bakteri tetap terjaga hal ini menyebabkan efek bakterisidal obat terganggu (Mycek, 2001). Ketiga, konsekuensi dari pemberian dosis yang tidak sesuai standar adalah dari segi ekonomi baik untuk klinisi, pasien, health care administrator, perusahaan farmasi, dan masyarakat. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring dengan dibutuhkannya antibiotika baru yang lebih kuat dan tentunya lebih mahal (Utami, 2012). Dari 57 data peresepan untuk penyakit demam tifoid dengan antimikroba demam tifoid di bagian rawat inap Puskesmas X, didapatkan bahwa kesesuaian lama pengobatan kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin adalah 0%. Lama pemberian obat yang tidak sesuai hingga 100% diakibatkan beberapa kemungkinan. Pertama, lama perawatan maksimal di bagian rawat inap Puskesmas X adalah lima hari untuk semua pasien, khususnya pasien Jamkesmas dan Jamkesda karena biaya perawatan dan pengobatan di bagian rawat inap puskesmas untuk pasien Jamkesmas dan Jamkesda hanya ditanggung maksimal lima hari (Depkes, 2009). Dari 57 data peresepan pasien yang diberikan antimikroba untuk demam tifoid, 55 pasien adalah pasien Jamkesmas dan Jamkesda, sedangkan hanya 2 orang pasien yang merupakan pasien umum (Puskesmas X 2 , 2012). Kedua, berdasarkan hasil wawancara terhadap kepala ruang rawat inap Puskesmas X, lama pemberian antimikroba untuk demam tifoid adalah selama lima hari disertai dengan obat-obatan simptomatik. Bila rawat inap kurang dari lima hari, maka antimikroba akan dilanjutkan ke bagian rawat jalan hingga pemberian antimikroba mencukupi waktu lima hari. Secara umum, pemberian antimikroba selama minimal lima hari dapat mencegah resistensi dan infeksi kembali (Bowman dan Fraser, 2010). Namun, bakteri S.typhi merupakan bakteri gram negatif (memiliki membran luar dan membran dalam) dan memiliki kapsul, sehingga lama pemberian obat membutuhkan waktu yang lebih panjang agar antimikroba bisa menembus pertahanan bakteri tersebut (Brooks, 2007). ISSN 2337-3776 18 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Berdasarkan LPLPO Puskesmas X tahun 2012, persediaan obat untuk demam tifoid tetap tersedia hingga bulan Oktober sehingga persediaan obat tidak mempengaruhi lama pemberian obat. Lama pemberian obat yang tidak sesuai ini dapat menyebabkan efek terapeutik yang diinginkan tidak tercapai dan mempunyai potensi yang besar untuk terjadinya resistensi seperti pada ketidaksesuaian dosis obat tersebut. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian di bagian rawat inap Puskesmas X periode Mei-Oktober 2012 terhadap 74 data peresepan penyakit demam tifoid, dapat disimpulkan bahwa: 1. Kesesuaian dosis obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 80,7%, yaitu dengan rincian siprofloksasin sebesar 100%, kotrimoksazol sebesar 73%, dan amoksisilin sebesar 0%. 2. Kesesuaian lama pengobatan obat dalam resep demam tifoid terhadap standar pengobatan demam tifoid adalah sebesar 0%, baik untuk kotrimoksazol, siprofloksasin, dan amoksisilin. B. Saran Saran yang dapat penulis berikan setelah dilakukannya penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, agar dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat dari penelitian ini di masa yang akan datang. 2. Bagi puskesmas, agar dapat meningkatkan kegiatan supervisi dan evaluasi mengenai peresepan obat khususnya demam tifoid dan penyakit lainnya pada bagian rawat inap secara berkesinambungan, jika persediaan obat memungkinkan maka disarankan untuk tidak menyamaratakan jumlah pemberian antibiotik untuk setiap penyakit. 3. Bagi peneliti lain, agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan variabel yang berbeda seperti kesesuaian jenis obat dan biaya/harga dengan standar yang ada. DAFTAR PUSTAKA ISSN 2337-3776 19 | Medical Journal of Lampung University Volume 2 No 1 Februari 2013 Bowman, E., dan S. Fraser. 2010. Neonatal Handbook. Diakses dari: http://www.netsvic. org.au/nets/handbook/index.cfm pada tanggal 21 November 2012. Brooks, GF., S.J. Butel, S.A. Morse. 2007. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Darmansjah, I. 2008. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak. Majalah Kedokteran Indonesia 58(10): 368:369. De Vries, T.P.G.M., R.H. Henning, H.V. Hogerzeil, D.A. Fresle. 1994 reprinted 2000. Guide to Good Prescribing: A Practical Manual. Geneva: WHO. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar: Laporan Nasional 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Petunjuk Teknis Program Jaminan Kesehatan Masyarakat di Puskesmas dan Jaringannya. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Ghasem, M.H. 2001. Typhoid Fever Clinical and Epidemiological Studies in Indonesia (Tesis). Universitas Diponegoro: Semarang. Giraud, E., A. Cloeckaert, D. Kerboeuf, E. Chaslus-Dancla. 2000. Evidence for Active Efflux as the Primary Mechanism of Resistance to Ciprofloxacin in Salmonella enterica Serovar Typhimurium. Antimicrob Agents Chemother 44(5): 12231228. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Mycek, M.J., R.A. Harvey, P.C. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya Medika. Puskesmas X. 2012. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Bandar Lampung: Puskesmas X. Puskesmas X 2 . 2012. Rekap Data Status Kesehatan dan Data Peresepan Pasien Demam Tifoid di Bagian Rawat Inap Puskesmas X tahun 2012. Bandar Lampung: Puskesmas X Santoso, H. 2009. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotik Pada Kasus Demam Tifoid Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di Rsup Dr.Kariadi Semarang Tahun 2008 (Skripsi). Universitas Diponegoro: Semarang. Soedarmo, S.S.P., H. Garna, S.R. Hadinegoro, H.I. Satari. 2010. Buku Ajar Infeksi Pediatri dan Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. Utami, E.R. 2012. Antibiotika, Resistensi, dan Rasionalitas Terapi. Saintis, 1 (1): 124-138. WHO. 2003. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. Diakses dari: www.who.int/vaccines-documents/ pada 17 September 2012. WHO. 2010. Medicines: Rational Use of Medicines. Diakses dari: http://www. who.int/en/ pada tanggal 24 Agustus 2012.