Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Meningkatnya kesadaran perusahaan akan pentingnya melaksanakan CSR untuk
keberlangsungan hidupnya, sehingga konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan
sebagai sebuah keharusan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai
pemborosan. Berkaitan dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan
lingkungan yang menyebabkan semakin maraknya bentuk kegiatan sosial yang diklaim
sebagai wujud CSR mereka.
Program tanggung jawab sosial di Indonesia belum sepenuhnya memasyarakat.
Kesadaran praktik CSR di Indonesia tampaknya belum terbangun dengan baik. Hal ini
diperkirakan karena banyak perusahaan masih memandang CSR sebagai proyek buang-
buang uang. Selain itu sebagian pelaku bisnis di Indonesia juga memandang praktik
CSR hanyalah kewajiban bagi perusahaan besar, BUMN, dan multinasional asing yang
beroperasi untuk mengambil keuntungan di Indonesia.
Pelaku bisnis dan dunia usaha negara maju telah menyadari pentingnya program
CSR dalam mendukung kegiatan bisnis menaikkan citra perusahaan di masyarakat.
Kesadaran tersebut begitu sempurna karena mendapat dukungan masyarakat. Hal tersebut
dibuktikan melalui cara pandang dan tingkat pemakaian produk perusahaan terhadap
praktik CSR (Corporate Social Responsibility). Kondisi dukungan timbal balik baik dari
masyarakat, maupun kalangan bisnis yang disebabkan telah terbangunnya masyarakat
yang well educated memiliki perhatian tinggi terhadap masalah masalah sosial.
Dalam dunia bisnis di Indonesia, CSR masih merupakan sebuah paradigma baru.
Namun dalam perkembangannya, CSR mengalami sebuah perkembangan yang cukup
pesat. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, corporate social responsibility (CSR) atau
tanggung jawab sosial perusahaan dan ide-ide lain yang sejalan menjadi isu menonjol
dalam wacana etika, teoritik, sekaligus praktek bisnis perusahaan multinasional dan dunia
usaha umumnya. Perusahaan akan merasa kesulitan dalam menjalankan bisnisnya
apabila masih menggunkan paradigma lama, yaitu mencari keuntungan yang sebanyak-
banyaknya tanpa mempedulikan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Karena
demikian akan menimbulkan semacam kecemburuan social yang akan menjadi
penghalang bagi keberlangsungan hidup perusahaan tersebut.
Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan
saat ini telah menjadi konsep yang sering kita dengar. Sebagai sebuah konsep yang
berasal dari luar, tantangan utamanya memang adalah memberikan pemaknaan yang
sesuai dengan konteks Indonesia. Terdapat berbagai contoh keuntungan pelaksanaan
CSR yang dilakukan oleh berbagai perusahaan maupun instansi. Di Inggris, sebuah
survei membuktikan, bahwa 86% konsumen melihat suatu citra positif sebuah perusahaan
menjadikan dunia suatu tempat yang lebih baik (Acces Ommibus Survei 1997). Selain
itu, Di Amerika, tahun 1999, survei lembaga Environic menyatakan sepertiga konsumen
di Amerika Serikat menyukai produk-produk dari perusahaan yang memiliki visi bisnis
pembangunan masyarakat yang lebih baik (Arif Budimanta: 2008). Sedangkan di
Indonesia, data riset majalah SWA atas 45 perusahaan menunjukkan CSR bermanfaat
memelihara dan meningkatkan citra perusahaan (37,38 persen), hubungan baik dengan
masyarakat (16,82 persen), dan mendukung operasional perusahaan (10,28 persen) (Sinar
Harapan 16/03/2006). Hal ini membuktikan bahwa sudah saatnya bagi setiap perusahaan
maupun instansi untuk memperhatikan CSR karena banyak manfaat positif yang dapat
diperoleh. Diharapkan bagi seluruh stakeholders dapat bersama-sama bekerjasama
mengembangkan CSR, sehingga sustainability (human, economic, social maupun
environment) dapat terwujud.
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak awal 1970an,
yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan
dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat
dan lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan
secara berkelanjutan. Corporate social responsibility (CSR) tidak hanya terbatas pada
pemenuhan aturan hukum semata. Hal tersebut yang menjadi konsep dasar implementasi
program CSR yang lebih dikenal sebagai Tripple Bottom Line, Yaitu Profit,People dan
Planet. Profit merupakan unsur utama perusahaan, mencari keuntungan adalah tujuan
yang menjadi misi semua perusahaan. Namun tujuan dan misi perusahaan tidak akan
tercapai tanpa adanya sinergi dengan masyarakat dan lingkungannya. Karena itulah
perusahaan mau tidak mau harus memikirkan tiga komponen tersebut yang kerap disebut
dengan 3P (Profit, People and Planet), kedalam roda bisnis mereka.









BAB II
LANDASAN TEORI

I. Teori Triple Bottom Line

Dewasa ini konsep CSR semakin berkembang, dan dengan berkembangnya
konsep CSR tersebut maka banyak teori yang muncul yang diungkapkan mengenai CSR
ini. Salah satu yang terkenal adalah teori triple bottom line dimana teori ini memberi
pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan
hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P. Selain mengejar
keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan
kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet).
Istilah Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997
melalui bukunya Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business, Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic
prosperity, environmental quality dan social justice (Wibisono ,2007). Elkington
memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan haruslah
memperhatikan 3P. Selain mengejar profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan
terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif
dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Aspek-aspek yang terdapat dalam Triple Bottom Line, diantaranya
a. Profit (Keuntungan)

Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan
usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. karena inilah bentuk
tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang
dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas
dan melakukan efiisensi biaya. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang
tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat
tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya
serendah mungkin.
Profit sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan
yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup
perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk
mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan
melakukan efiisensI baiya, sehingga perusahaan mempunyai
keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah
semaksimal mungkin. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan
memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses,
mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan
pelayanan. Termasuk juga menggunakan material sehemat mungkin
dan memangkas biaya serendah mungkin


b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan)

People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi
perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan,
kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat.
Dan perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada
masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat
menyentuh kebutuhan masyarakat.


c. Planet (Lingkungan)

Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam
kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai
makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara
yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan.
Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar.
Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya.
Karena keuntungan merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang
wajar. Maka, manusia sebagai pelaku industri hanya mementingkan bagaimana
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya apapun untuk
melestarikan lingkungan. Padahal dengan melestarikan lingkungan, manusia justru akan
memperoleh keuntungan yang lebih, terutama dari sisi kesehatan, kenyamanan, di
samping ketersediaan sumber daya yang lebih terjamin kelangsungannya.
Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab
akibat, di mana jika manusia merawat lingkungan, maka lingkungan pun
akan memberikan manfaat kepada manusia. Sebaliknya, jika manusia
merusaknya, maka manusia akan menerima akibatnya. Dengan kata lain,
apa yang dilakukan manusia terhadap lingkungan tempat tinggalnya pada
Planet (Lingkungan) akhirnya akan kembali kepada manusia sesuai dengan
apa yang telah dilakukan manusia. Apakah manusia akan menerima manfaat
atau justru menderita kerugian, semuanya bergantung pada bagaimana
manusia menjaga lingkungan. Namun sayangnya, sebagaian besar dari
manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini antara lain
disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung di dalamnya. Keuntungan
merupakan inti dari dunia bisnis dan itu merupakan hal yang wajar. Maka,
manusia melihat banyak pelaku industri yang hanya mementingkan
bagaimana menghasilkan uang sebanyak-banyaknya tanpa melakukan upaya
apapun untuk melestarikan lingku
ngan. Padahal, Sebaliknya, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan kerap
harus dibayar dengan harga yang mahal dengan timbulnya beragam penyakit,
bencana lingkungan atau kerusakan alam lainnya.


Ide triple bottom line ini sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan
masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi
perusahaanbukan periferal, bukan tempelan, bukan kosmetik. Conventional wisdom
yang selama ini ada mengatakan: tumpuk profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit
yang menggunung itu sisihkan sedikit saja untuk kegiatan sosial dan pelestarian
lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda. Dari awal
perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistikEconomic, Environmental,
Socialtersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih.








Daftar Pustaka
http://digilib.uin-suka.ac.id
http://repository.usu.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai