Anda di halaman 1dari 3

Rumah Sejati Kita | by @SalimAFillah

Minggu, 30 Juni 2013




Asal dalam ke-mabni-an ialah dihukumi sukun.
(Ibn Malik Al Andalusy, Alfiyah: Bait XXI)

Ketika Jamaluddin ibn Abdillah ibn Malik Ath Thay menyusun seribu bait syair
menyejarahnya, tujuan beliau adalah untuk menghimpun semua Kaidah Nahwu (Tata-
Susun) dan Sharaf (Tata-Bentuk) Bahasa Arab; menjelaskan berbagai kerumitan
dengan bahasa yang ringkas, padat, dan indah; serta membuat pelajaran Lughah ini
menjadi asyik dan menarik.

Tetapi sebagaimana Adab yang dapat berarti Sastra menjadi kata dasar bagi
Peradaban, maka Alfiyah Ibnu Malik yang penuh berkah hingga disyarah lebih dari 40
Ulama itu tak hanya sekedar menjadi kaidah berbahasa, melainkan juga kaidah
berperadaban.

Di antara hal itu, kita kutip secuplik dari Bab Murab dan Mabni di awal tulisan ini.
Kutipan Wal ashlu fil mabniyyi an yusakkana bermakna bahwa bentuk asli dari Mabni
adalah tersukun pada akhir kalimah, sebab ia merupakan syakal yang paling ringan.
Oleh karena itu ia bisa masuk pada Kalimah Isim, Fiil, maupun Harf.

Bukan di sini agaknya tempat berkerut-dahi dengan kaidah berbahasa. Izinkan kami
meloncat ke pemaknaannya bagi hidup keseharian kita, bahwa dengan sedikit
mengubah harakatnya kita akan membaca kaidah ini teterjemahkan sebagai, Asal
dalam bangunan adalah agar ia ditempati.

Maka sungguh benar; ketika manusia hari ini membangun rumah, istana, dan gedung
bukan untuk ditempati melainkan sebagai investasi, ia menjadi bencana tak cuma di
akhirat, tapi telah tercicip kerusakan sejak di dunia. Tak ada ahli ekonomi yang
menyangkal bahwa krisis ekonomi 1997 terpicu dari soal properti di Korea dan
Thailand, lalu ada subprime morgage di Amerika, hingga Burj Dubai dan kredit hipotek
di Eropa. Semua terjadi karena manusia tak lagi menghayati Asal dalam bangunan
adalah agar ia ditempati.

Para pendahulu kita yang shalih bukan hanya mentaati kaidah ini. Bahkan terhadap
rumah yang benar-benar ditempati , tak lepas hati mereka dari was-was bahwa
kediaman perehatan di dunia yang sementara itu akan melalaikan dari kampung akhirat
yang abadi. Di hati mereka terus berdengung ayatNya, Bermegah-megahan telah
melalaikan kalian.

Aku tak suka memperindah rumahku kecuali sekadar memuliakan tamu, ujar
Abdullah ibn Umar suatu kali, Sebab ia membuatku mencintai dunia, melalaikan
akhirat, memberatkan langkah ke Masjid, dan memalaskan jiwa dari jihad fi sabiliLlah.

Imam Ath Thabrani mengetengahkan riwayat dari Abu Juhaifah, bahwa RasuluLlah
ShallaLlahu Alaihi wa Sallam bersabda, Dunia akan dibukakan kepada kalian, hingga
kalian menghiasi rumah sebagaimana Kabah dihias. Kalian pada hari ini lebih baik
dibandingkan pada hari itu. Syaikh Al Albani mengesahkan hadits ini dalam Shahih Al
Jami, no 3614.

Betapa jauh kita hari ini dari petunjuk RasuliLlah dan teladan orang-orang yang
diridhaiNya. Betapa bangga kita tentang seluas apa, sejumlah lantai, seharga berapa,
senyaman apa, dan bagaimana mempercantiknya. Tanpa sadar bahwa rumah abadi
kelak kita di akhirat belumlah dipasang batu pertamanya.

Kesimpulan dari para ahli ilmu tentang menghias dan memperindah rumah adalah,
tulis Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid dalam Akhthar Tuhaddidul Buyut, Bahwa
ia bisa makruh atau haram. Sebab di dalamnya, terdapat penyia-nyiaan harta dan
kebergayutan hati terhadap dunia.

Hari ini kita mengenang seorang wanita mukminah yang ditunjuk Allah menjadi
teladan sepanjang zaman. Dia yang memilih Allah sebagai tetangganya, sebelum
meminta padaNya rumah sejati. Dia yang memilih sebuah majlis kecil untuk bermesra
dengan Sesembahannya, ketika suaminya memimpin dunia dengan keangkuhan dan
kelaliman dari kemegahan mahligai istana dan singgasana. Hari ini kita merenungkan
doanya yang bersahaja.

Duhai Rabbi, bangunkan untukku di sisiMu, sebuah rumah di surga itu. (Qs. At
Tahriim [66]: 11)

Lebih dari Asiyah, hari ini kita amat berhajat memohon rumah sejati, rumah abadi.
Rumah yang sejak kini telah menjadi peraduan hati, memulihkan taat setiap kali kita
tertatih. Agar ia menjadi tempat berteduh jiwa kita dari terik dan derasnya dunia. Agar
kita yakin selalu bahwa hidup ini hanya persinggahan sejenak dan seberangan selintas.
Agar di sana tersimpan segala puji-puji yang orang beri, sedang kita tak layak
menerima. Agar ruh kita tentram dalam perjuangan ini, walau lelah-luka dan lara-duka
menyobek raga.

Hari ini kita amat berhajat memohon rumah sejati, rumah abadi, di sisi Rabb Yang
Maha Tinggi. Dan meminta pertolonganNya untuk mengetuk pintu rumah itu sejak
kini, dengan bakti tak henti-henti.

sepenuh cinta, {dimuat dalam Hidayatullah-Juni}

salim a. fillah

__
http://salimafillah.com/rumah-sejati-kita/

Anda mungkin juga menyukai