Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PKMRS

RSUD Dr. SOESELO SLAWI






Disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan Komprehensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro



Oleh :

Winda Agustina 22010112210120
Siti Aminah 22010112210131



KEPANITERAAN KOMPREHENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014


Konjungtiva
1.1. Anatomi
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior
kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera
menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di
forniks dan melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik (Vaughan, 2010).


Gambar. Anatomi konjungtiva

1.2. Histologi
Secara histologis, lapisan sel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel epitel
silindris bertingkat, superfisial dan basal (Junqueira, 2007). Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus yang diperlukan untuk
dispersi air mata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial
dan dapat mengandung pigmen (Vaughan, 2010).

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisialis) dan satu lapisan
fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan
penyambung yang melekat pada lempeng tarsus dan tersusun longgar pada mata (Vaughan,
2010).

1.3. Perdarahan dan Persarafan
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria siliaris anterior dan arteria palpebralis. Kedua
arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama dengan banyak vena konjungtiva
membentuk jaringan vaskular konjungtiva yang sangat banyak (Vaughan, 2010). Konjungtiva
juga menerima persarafan dari percabangan pertama nervus V dengan serabut nyeri yang
relatif sedikit (Tortora, 2009).


2. Konjungtivitis
2.1. Definisi
Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah penyakit mata
yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan oleh banyak
mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis
berat dengan banyak sekret purulen kental (Hurwitz, 2009).

Jumlah agen-agen yang pathogen dan dapat menyebabkan infeksi pada mata semakin banyak,
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan oat-obatan topical dan agen imunosupresif
sistemik, serta meningkatnya jumlah pasien dengan infeksi HIV dan pasien yang menjalani
transplantasi organ dan menjalani terapi imunosupresif (Therese, 2002).

2.2. Pembagian Konjungtivitis
2.2.1. Konjungtivitis Bakteri
Definisi
Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri. Pada
konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan
iritasi mata (James, 2005).

Etiologi dan Faktor Risiko
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan
kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria
kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk
konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan bentuk
kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau pada pasien dengan obstruksi
duktus nasolakrimalis (Jatla, 2009).

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai mata yang
sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada
orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi
(Marlin, 2009).

Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti streptococci,
staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme pertahanan tubuh
ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis.
Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran
dari organ sekitar ataupun melalui aliran darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik
topikal jangka panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan
mata, serta resistensi terhadap antibiotik (Visscher, 2009).

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel yang meliputi
konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya adalah sistem imun yang berasal
dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata,
mekanisme pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada
mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva (Amadi, 2009).

Gejala Klinis
Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai injeksi konjungtiva
baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya
lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai
edema pada kelopak mata (AOA, 2010).

Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri
namun mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata,
sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang
saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur. (James, 2005).

Diagnosis
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin saja penyakit
berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang lebih tua. Pada pasien
yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit menular seksual dan riwayat
penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat
penyakit yang sama sebelumnya, riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-
obat kemoterapi, riwayat pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit,
riwayat alergi dan alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak (Marlin,
2009).

Komplikasi
Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada pasien yang
sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling sering terjadi dan
dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal.
Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis
dan juga komponen mukosa karena kehilangan sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat
mengubah bentuk palpebra superior dan menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu
mata dapat menggesek kornea dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea
(Vaughan, 2010).

Penatalaksanaan
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen mikrobiologiknya. Terapi
dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas. Pada setiap konjungtivitis purulen
yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-negatif harus segera dimulai terapi topical
dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus
dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

2.2.2. Konjungtivitis Virus
Definisi
Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh berbagai jenis virus,
dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan cacat hingga infeksi ringan yang
dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih lama daripada konjungtivitis bakteri
(Vaughan, 2010).

Etiologi dan Faktor Risiko
Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus adalah virus
yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex virus yang paling
membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh virus Varicella zoster,
picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan human immunodeficiency virus
(Scott, 2010).

Penyakit ini sering terjadi pada orang yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular
melalu di droplet pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites)
dan berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).

Patofisiologi
Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis konjungtivitis
ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009). Mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

Gejala Klinis
Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan etiologinya. Pada
keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus biasanya dijumpai demam
dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang dijumpai pseudomembran. Selain itu
dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan
selama lebih dari 2 bulan (Vaughan & Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien
juga mengeluhkan gejala pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya
seperti sakit kepala dan demam (Senaratne & Gilbert, 2005).

Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV) yang
biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi, sekret mukoid, nyeri,
fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.

Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan coxsackie
virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing, hipersekresi airmata,
kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva dan kadang-kadang dapat terjadi
kimosis (Scott, 2010).

Diagnosis
Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena itu diagnosisnya
difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipe-tipe menurut penyebabnya.
Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik maupun ocular, keparahan
dan frekuensi gejala, faktor-faktor resiko dan keadaan lingkungan sekitar untuk menetapkan
diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010). Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan
onset, dan juga apakah hanya sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007).

Konjungtivitis virus sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala
klinisnya dan untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan
jarang dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).

Komplikasi
Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti blefarokonjungtivitis.
Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran, dan timbul parut linear halus
atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa umumnya
sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun antivirus topikal atau sistemik
harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea (Scott, 2010). Pasien konjungtivitis juga
diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan penyebaran infeksi (James, 2005).

2.2.3. Konjungtivitis Alergi
Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan disebabkan oleh
reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem imun (Cuvillo et al, 2009).
Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada alergi di konjungtiva adalah reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (Majmudar, 2010).

Etiologi dan Faktor Risiko
Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis alergi musiman
dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya dikelompokkan dalam satu grup,
keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis atopik dan konjungtivitis papilar raksasa
(Vaughan, 2010).

Etiologi dan faktor resiko pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan
subkategorinya. Misalnya konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya
disebabkan oleh alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi
serta timbul pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat
asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien dengan
riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar rak pada pengguna lensa-kontak
atau mata buatan dari plastik (Asokan, 2007).

Gejala Klinis
Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan sub-kategorinya. Pada
konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan keluhan utama adalah gatal,
kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan sering ditemukan kemosis berat. Pasien
dengan keratokonjungtivitis vernal sering mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran
mata yang berserat, konjungtiva tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva
tarsalis inferior.

Sensasi terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang
paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang
eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman penglihatan
menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda dan gejala yang
mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada
gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting
untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai
mata berair, kemerahan dan fotofobia (Weissman, 2010).

Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi
sekunder (Jatla, 2009).
Penatalaksanaan
Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres
dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala
lainnya (Vaughan, 2010).

2.2.4. Konjungtivitis kimia atau iritatif
Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan substansi
iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan yang masuk ke sakus
konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam, alkali, asap dan angin,
dapat menimbulkan gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan
blefarospasme.

Selain itu penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka panjang
seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang toksik
atau menimbulkan iritasi.

Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi penyebab dan pemakaian
tetesan ringan (Vaughan, 2010).
















DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan. Buku Ajar Opthalmologi. Edisi II. Jakarta. EGC: 2007.
2. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/Chapter%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai