Anda di halaman 1dari 28

PENANGANAN KASUS MALPRAKTIK MEDIS

Blacks Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai professional misconduct or


unreasonable lack of skill atau failure of one rendering proffesional services to exercise that
degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by
the average prudent reputable member of the proffesion with the result of injury, loss or damage
to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them.
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat
terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak
beralasan ( Sampurna, Budi, ).
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana
dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien,
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran
yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.
Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful
atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan
tindakan medis tersebut sudah improper. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya
melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan
tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan
dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi
keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu
mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung
menimbulkan dampak buruk .
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk
malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang
dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi
yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum,
kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak
hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain.
Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur
di bawah ini, yaitu:
Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak
melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu.
Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat
dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata.
Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan
kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut World
Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians failure to
conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of skill, or
negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.
WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis.
Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat
dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak
termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. An injury occurring in the
course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of
skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the
physician should not bear any liability. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable
dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas
yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse
events dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan
oleh error. Adverse events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila
preventable adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua
unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events Suatu
adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh
beberapa kemungkinan, yaitu :
Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang
dilakukan dokter.
Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya
(unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak
dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-
satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.
Hasil dari suatu kelalaian medik.
Hasil dari suatu kesengajaan.
Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga
harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian
sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima
(acceptable) sesuai dengan state-of-the-art ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat
diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut (Biben, Achmad, 2004 ).
a. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi,
diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi
pada pembedahan, dan lain-lain.
b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila
tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang
harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.
Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan outcome yang tidak
diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil (tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum
ada pembuktian adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical accident, yang
umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam kepustakaan Amerika lebih sering
digunakan kata-kata medical error sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident
atau medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang cocok atau yang
berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu apa penyebab kejadian yang tidak
diinginkan itu dan siapa yang bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah,
sampai kesalahan benar-benar terbukti.
Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM untuk mengurangi adverse
events dan kelalaian medik dapat dilakukan dengan manajemen risiko klinis.
Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik mengidentifikasi,
mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko
melalui suatu penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan meminimalkan
kemungkinan risiko.
Manajemen risiko klinis diperlukan untuk :
Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari pasien dan keluarga.
Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi, pemborosan waktu dan uang.
Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban kelalaian medik.
Mencegah publikasi buruk.
Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat tindakannya.
Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi dengan membuat RS sadar
keamanan.
Menganalisa derajat risiko.
Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma kebenaran.
Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan melalui rekam medis pasien rawat
inap dan pasien instalasi gawat darurat . Contoh masalah medis yang dibahas:
Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
Terlambat menegakkan diagnosis.
Salah menilai risiko .
Kehilangan / kekurangan informasi pada saat pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
Gagal mencatat peralatan yang rusak.
Lupa membawa checklist data-data preoperative.
Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
Mempergunakan protokol yang salah.
Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
Pemberian pengobatan yang salah
Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas mengenai
malpraktik medis. Memang pada UU tentang Praktik Kedokteran konsep DPR yang diusulkan,
ada bab dan pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis
yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan,
Kekuasaan Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi
Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan Kembali, dimana peradilan ini
merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan
terhadap sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam praktik
kedokteran. Namun dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah pasal peradilan ini
disepakati ditiadakan karena pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan
dokter gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman dimungkinkan
pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi kelalaian yang menimbulkan luka atau
mati pada pasien, maka akan tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri
dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi. Dalam UU tentang Praktik
Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom
dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran. Sedangkan MKDKI tidak dapat menetapkan semacam
uang tali kasih seperti hal nya Medische Tucht Raad di Belanda sehingga pasien tidak perlu
menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat sebagai kritikan bahwa UU
tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah
malpraktik didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati dari pengertian
malpraktik dan pencegahannya. Pengaturan kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian
memang tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan ganti rugi,
tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian, penetapan kewajiban dan standar-standar
telah diatur dalam UU ini sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan
dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik, pelaksanaan praktik, standar
pendidikan, hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan,
standar profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi (informed consent), rekam medis, rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya.
Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter dituntut secara pidana dan atau
perdata dapat membuat stress kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada
ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat dengan penerapan
defensive medicine dan kemungkinan pemeriksaan penunjang yang berlebihan. Sebagai
perbandingan di New Zealand untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya
kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident Compensation Corporation (ACC)
jadi tidak perlu melalui jalur pengadilan. Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke
pengadilan jika benar-benar melakukan tindak pidana misal mencuri uang pasien atau melakukan
perbuatan asusila kepada pasien. Jika terjadi dugaan kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa
terlebih dahulu ke Medical Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct
Committees atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang melindungi hak-hak
konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health
Practitioners Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap registrasinya
Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di Indonesia pasien dapat langsung ke
Pengadilan tanpa perlu melalui MKDKI terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat
digugat ke Pengadilan sekaligus ke MKDKI.
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan (professional
misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut :
Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, Pasal 361
KUHP );
Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien (
informed consent );
Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348
KUHP , Pasal 349 KUHP );
Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, , Pasal 345 KUHP);
Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP);
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan
profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang
dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula
berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359
KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau
dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur
:
Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
Adanya unsur kelalaian (culpa).
Adanya wujud perbuatan tertentu .
Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Berbagai kasus malpraktik medis yang diajukan gugatan secara perdata didasarkan pada
ketentuan perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad, tort) yang diatur dalam pasal 1365,
pasal 1366, pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur dalam pasal 55
UU Kesehatan sebagai berikut :
Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-
buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan
yang dilakukan sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, the thing speaks for itself ) sehingga
tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya.
Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian melalui jalan lain yang
dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan yang
bergerak di bidang kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak deal membayar
ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa ke pengadilan, sehingga dokter/dokter
gigi yang belum tentu melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar dan digugat ke
Pengadilan memilih deal dalam mediasi tersebut.
MALPRAKTEK

DEFINISI
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar profesi atau
standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum kriminal dan
hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal : (1) Tanggung jawab kriminal, (2)
Malpraktik secara etik, (3) Tanggung jawab sipil, dan (4) Tanggung jawab publik(5,9)
Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan lima
elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang
ditimbulkan, (4) Penyebabnya, dan (5) Antisipasi yang dilakukan. (2,3)
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon perkara
(pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung tuntutannya
tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut menjadi sebuah
kasus yang prima fasie dengan bukti bukti yang cukup dihadirkan di depan pengadilan dan di
hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama berdasar bukti itu
sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang dibawa pemohon
tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter atau rumah sakit)
lalu memberikan bukti bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan kepadanya.
Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah cukup.
Namun, terdapat sanggahan sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya lepas dari
tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan telah
diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui
dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada
terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar
pantangan pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak
ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis
tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap
sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat
dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini
merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang
berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam
menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah
praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang
berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka
badan hukum mulai menyelidiki tagihan tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan
penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan
terhadap prosedur prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan
secara hati hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan
tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan
dan persetujuan dokter pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya
peraturan peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran
yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta
dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.(3)
Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani sebuah
kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai tindakan
kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh
Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,
kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat obat narkotika, pelanggaran dalam
sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit
secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar
karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki
batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana
yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak
dapat dipercaya dan keadaan keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien
maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak
malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini
menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan
tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh
membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia
juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak
boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap
kesehatan pasien.(3,6)
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan pembedahan
dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan pembedahan pada
pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya), yang sebenarnya
tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi. Memang dalam
masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana kalangan dokter turut
terimbas, malpraktek diatas dapat meluas. (6,9)
Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat
mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar
hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau
keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi.
Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak
mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal
akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit
dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.(9)
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan prinsip
ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter-
dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan
kewajiban rumah sakit.(9)
Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga
pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan
menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait
dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada
terjadinya inklusi atau eksklusi orang orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian
dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak
terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi
keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan
reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien
karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang
dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan
komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan
praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin
praktek.(3)
Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya
penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan
kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage). (2,9,10)
a. Duty (kewajiban)
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada
hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka
implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan
standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.(2)
Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29
tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada
bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan
bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga
menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar
pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus
diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran. (6,10)
Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional
attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK
Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan
kesehatan dan situasi setempat.(9)
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus
diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana
penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
alternatif tindakan lain dan risikonya;
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik
kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek
kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima
pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.(6)
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus bertindak
sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan penyimpangan dari
apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat
diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti-
bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak
diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa Loquitur.
Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan
setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.(2,6,8)
c. Direct Causation (penyebab langsung)
Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi, yang
mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan
perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi
bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.(10)
Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus ada
hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage)
yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan
penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan
tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga
sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara
edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah
cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya. (2)
Damage (kerugian)
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien. Walaupun
seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai
menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat
dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga
termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi
pelanggaran terhadap hak privasi orang lain. (2)

Pasien/keluarga menaruh kepercayaan kepada dokter, karena: (6)
Dokter mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menyembuhkan penyakit atau
setidak-tidaknya meringankan penderitaan.
Dokter akan bertindak dengan hati-hati dan teliti
Dokter akan bertindak berdasarkan standar profesinya.
Dokter dikatakan melakukan malpraktek jika:
- Dokter kurang menguasai iptek kedokteran yang sudah berlaku umum dikalangan profesi
kedokteran
- Memberikan pelayanan kedokteran dibawah standar profesi (tidak lege artis)
- Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-hati
- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran, maka ia hanya
telah melakukan malpraktek etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian kerena kelalaian,
maka penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur berikut:
- Adanya suatu kewajiban bagi dokter terhadap pasien
- Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipergunakan
- Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
- Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar
Kadang-kadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian yang tergugat. Dalam
hukum terdapat suatu kaedah yang berbunyi Res Ipsa Loquitur, yang berarti faktanya telah
berbicara, misalnya terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien, sehingga
menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini maka dokter lah yang harus membuktikan
tidak adanya kelalaian pada dirinya.
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana (kriminil), kelalaian
menunjukkan kepada adanya suatu sikap yang sifatnya lebih serius, yaitu sikap yang sangat
sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap kemungkinan timbulnya resiko yang bisa
menyebabkan orang lain terluka atau mati, sehingga harus bertanggung jawab terhadap tuntutan
kriminal oleh Negara.
Menurut W.L. Prosser dalam buku The Law of Torts yang dikutip oleh Dagi, T.F dalam
tulisannya yang berjudul Cause and Culpability di Journal of Medicine and Philosophy Vol. 1,
No. 4, 1976, unsur malapraktik adalah (1) Adanya perjanjian dokter-pasien; (2) Adanya
pengingkaran perjanjian; (3) Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu
dengan musibah yang terjadi; (4) Tindakan pengingkaran itu merupakan penyebab utama dari
musibah dan; (5) Musibah itu dapat dibuktikan keberadaannya.(mlpraktek: kapan dokter disebut
malpraktek)
Adanya perjanjian. Unsur ini yang tersedia untuk digarap oleh pengacara kasus malapraktik.
Perjanjian dokter-pasien, oleh kalangan kedokteran di Indonesia disebut sebagai transaksi
terapeutik (TT) atau ikatan untuk pengobatan. Oleh karena perjanjian yang diatur oleh Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak menguntungkan pasien, Ikatan Dokter
Indonesia dengan SKB No. 319/88 yang dikuatkan oleh Menteri Kesehatan dengan Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 595/89 tentang Persetujuan Tindakan Medik.
Sahnya perjanjian menurut KUHPer pasal 1320:
Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri;
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
Suatu pokok persoalan tertentu; dan Suatu sebab yang tidak terlarang.
Namun, kalangan kedokteran menyadari bahwa pasien bukanlah dokter, sehingga setingkatnya
kecakapan itu hampir tidak mungkin. Oleh karena itu adalah suatu keharusan bagi dokter, untuk
memberikan keterangan yang lengkap kepada pasien tentang upaya penyembuhannya. Jelaslah
bahwa dasar tindakan medik adalah adanya perjanjian atau kesepakatan. Selain keadaan darurat,
tanpa persetujuan tindakan medik, melakukan pengobatan atau pun pembedahan adalah
kejahatan. Malapraktik terjadi bila persetujuan itu tidak lengkap seperti tidak memberitahukan
apa yang akan dilakukan, risiko melakukannya dan risiko bila tidak melakukannya. Membuka
perut (laparotomi) adalah suatu pokok persoalan yang umum, melakukan pengangkatan usus
buntu (apendektomi) adalah persoalan tertentu. Risiko melakukan tindakan dibicarakan dengan
jujur tanpa menakut-nakuti. Ia terbatas pada risiko yang lazim terjadi serta berhubungan dengan
tindakan ataupun fasilitas. Memindahkan anus ke perut (kolostomi) adalah risiko yang
berhubungan dengan tindakan medis misalnya kanker usus. Mati, bukan risiko yang akan
disampaikan karena dapat terjadi kapan saja, apa pun tindakan medis yang dilakukan serta
berada di luar wewenang dokter. Memberikan harapan yang berkelebihan juga malapraktik
seperti menjanjikan bisa bermain bola dalam waktu 3 bulan, bagi seorang patah tulang (Nova
684/XIV 8 April 2001).
Walaupun demikian, hal itu membuktikan tidak mudah karena pemberitahuan dapat dilakukan
secara lisan. Bila perawat bersaksi membantu dokter, maka perjanjian selalu akan benar. Adanya
pengingkaran perjanjian. Unsur ini adalah wewenang Komite Medik Rumah Sakit yang salah
satu tugasnya adalah menyusun standar pelayanan dan memantaunya (SK Dirjenyanmed
811/1993).
Pengingkaran perjanjian dapat terjadi di kedua pihak baik dokter atau pun pasien. Dokter
melakukannya bila ia tidak bertindak sesuai dengan kepatutan yaitu standar profesi dan
menghormati hak pasien (UU Kesehatan No. 23/92 Pasal 53). Pasien melakukannya bila ia tidak
konsisten berobat. Standar profesi merupakan topik yang terhangat di media. Ia adalah ukuran
tertentu yang dapat dipakai sebagai patokan upaya kedokteran (Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, 2001). Patokan itu adalah upaya dokter dalam melakukan pengobatan dan
menggunakan teknologi, sesuai dengan kemampuan yang seharusnya dipunyainya. Ia berbeda
untuk setiap komunitas dan domisili dokter, hingga memang tidak akan mungkin akan ada
standar Indonesia.
Standar di RSU tipe C yang hanya mempunyai spesialis umum tidak sama dengan RSU tipe B,
dengan berbagai superspesialis. Di RSU tipe C, patah tulang hanya akan ditarik (bone traction)
sedangkan di RSU tipe B dengan pen. Tumor yang dilihat dengan foto ronsen biasa, di RSU tipe
B akan disidik dengan alat canggih seperti MRI. Diagnosis usus buntu di Banda Aceh tahun
1986 dilakukan hanya dengan perabaan, sedangkan di saat yang sama di Jakarta dapat dibantu
dengan alat canggih seperti USG. Operasi usus buntu di Kalimantan, dilakukan dengan sayatan
pada perut, sedangkan di Jakarta dengan tusukan alat laparoskopi. Kecanggihan ini juga
bernuansa malapraktik bila dilakukan dengan membabi buta. Maka, yang paling berhak
menentukan pengingkaran atas standar profesi adalah Komite Medik di rumah sakit yang
bersangkutan. Mereka mengetahui seperti mengenal tapak jarinya, standar komunitas dokternya
dan teknologi yang tersedia. Adanya sanksi terhadap dokter tersangka, adalah bukti akan
pengingkaran perjanjian. Adanya hubungan sebab akibat antara tindakan pengingkaran itu
dengan musibah yang terjadi. Unsur ini juga wewenang Komite Medik. Ia tidak ada bila terjadi
pengingkaran perjanjian oleh pasien seperti tidak datang pada waktu yang ditetapkan, tidak
membeli obat yang diresepkan (pasien berhak meminta obat generik yang sama kandungannya),
menolak dirawat atau operasi, melanggar aturan yang ditetapkan seperti tidak boleh makan
garam, makan tatkala harus puasa dan sebagainya. Namun, ini bukan berarti tanpa kelalaian
pasien, memutuskan adanya malapraktik menjadi mudah. Komite medik harus memilah berbagai
faktor lainnya seperti salah memberikan obat yang merupakan tanggung jawab rumah sakit
(Pikiran Rakyat , 10 November 2002) ataupun malapraktik rekanan, yang kebanyakan tidak
memenuhi syarat (Pikiran Rakyat 14 Juni 2002). Pengingkaran perjanjian itu merupakan
penyebab musibah. Unsur ini adalah wewenang dokter lain yang setingkat dalam pendidikan dan
pengalaman, berada di rumah sakit dan kota yang setingkat. Hal ini adil karena ialah yang
mengetahui komunitas dan teknologi yang tersedia untuk tersangka. Kesaksian ahli bedah
konsultan plastik bagi ahli bedah umum tentu tidak adil, sebagaimana ahli penyakit dalam yang
bertugas di Irian dengan Surabaya.
Menurut Prosser, W.L. yang dikutip oleh Dagi, penyebab itu itu dapat berupa,
- Apakah tindakan medis itu yang paling mungkin menyebabkan musibah (the nearest cause).
Contohnya adalah kasus Ny. A yang meninggal karena perdarahan akibat memasukkan alat
pengukur tekanan pembuluh balik pusat (Central Vena Pressure-CVP) pada urat nadi besar (http
:/ /www. Suarapembaruan .com/ News /2004 /04 /04 /Utama /ut02 .htm) ;
- Apakah tindakan medis itu merupakan penyebab musibah yang terakhir (the last human
wrongdoer). Contohnya adalah kasus Tn. A yang meninggal sesudah dua kali operasi. Operasi
pertama yang meninggalkan kain kasa menyebabkan infeksi hingga dibutuhkan operasi kedua.
Operasi pertama adalah penyebab musibah sedangkan yang kedua upaya penyelamatannya
(Sinar, No. 4 tahun 1996).
- Apakah dokter tersangka menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah
(condition necessary for the injury). Contohnya adalah kasus Nn. S. Operasi pertama adalah
pengangkatan kista ovarium (indung telur). Operasi kedua adalah perbaikan usus yang bocor.
Operasi pertama menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya musibah (Gatra 3,
Februari 2001);
Apakah tindakan itu merupakan faktor penting dalam musibah (substantial factor). Contohnya
adalah kasus Ny. A karena penusukan urat nadi besar merupakan penyebab langsung kematian;
Tindakan itu hanya penyebab yang terkait (justly attachable). Contohnya adalah nyeri dan sakit
karena alat operasi ginjal tertinggal dalam perut (Pikiran Rakyat 27, Maret 2003); Dan (6)
tindakan itu menimbulkan pengaruh yang akan memicu pengaruh lainnya atau menimbulkan
pengaruh baru yang akhirnya menyebabkan musibah (created a force which has remained active
itself or created another force which remained active until it directly caused the result or created
a new active risk of being acted upon by active force which causes the result). Contohnya adalah
kasus Tn. A di mana kasa yang tertinggal menyebabkan infeksi yang memerlukan operasi
ulangan.

Musibah akan ditentukan oleh pengadilan. Ia ada bila berakhir dengan mati atau cacat. Maka,
bila kelima unsur ini ada, dokter yang bersangkutan patut dipersalahkan telah melakukan
malapraktik. Ia layak dituntut bila Anda mempunyai bukti tertulis adanya sanksi Komite Medik
atas dokter tersangka, kesaksian tertulis seorang dokter yang setingkat. Barulah sesudah itu Anda
harus mencari seorang pengacara yang amanah. Ia terlihat dari tidak mengumbar janji, tidak
meminta uang muka kecuali ongkos yang harus dikeluarkan dan cerewet sebelum memutuskan
untuk menerima kasus Anda. (malpraktek: kapan dokter disebut malpraktek
MEDIKOLEGAL
Akhir-akhir ini, karena maraknya kasus dugaan malpraktek medik atau kelalaian medik di
Indonesia, ditambah keberanian pasien yang menjadi korban untuk menuntut hak-haknya, para
dokter seakan baru mulai sibuk berbenah diri. Terutama dalam menghadapi kasus malpraktek.
Kesibukan ini terjadi sejalan dengan makin baiknya tingkat pendidikan dan keadaan sosial
ekonomi masyarakat, dan meningkatnya (7)
Demikian saktinya media, hingga berbagai pengadilan dirancang untuk mengadili dokter yang
melakukan malapraktik. Selain sudah mempunyai Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) dan Pengadilan Negeri, ada yang mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan
Profesi Dokter (MKPD) dan peradilan ad hoc. Dalam hal seorang dokter diduga melakukan
pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan
disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-
jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan
akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya
majelis profesi yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di
kalangan kedokteran. Di kemudian hari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI), lembaga yang dimandatkan untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi
majelis yang menyidangkan dugaan pelanggaran disiplin profesi kedokteran Di dalam praktek
kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih
pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran,
profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat
dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi
norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika. Aspek etik
kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian
perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang
memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. Keadaan menjadi semakin sulit sejak
para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap
sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar
profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran
standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah
dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional
berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan
kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek
kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang
dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya
atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan
etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis
memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical
ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.(4)
Pada banyak kasus medikolegal kompleks yang sampai ke pengadilan, banyak yang memerlukan
pendapat saksi ahli karena metodologi dan tata laksana standar kedokteran ada di luar
pengetahuan juri. Jika terdapat tuduhan tindakan malpraktik maka orang yang mengajukan
tuduhan tersebut disyaratkan untuk memberikan bukti adanya penyimpangan tersebut. Bukti
tersebut harus datang dari ahli yang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan subjek yang
dipermasalahkan. Karena itu, umumnya banyak didapatkan dokter enggan bersaksi melawan
teman sejawatnya. Alasan keengganannya tersebut bervariasi mulai dari stigma tuduhan
malpraktik, nama buruk yang didapat setelah bersaksi, ancaman pengeluaran dari komunitas
tempat dia bernaung, ancaman dari perusahaan asuransi dokter tersebut, ancaman pengadilan
profesi, dan adanya konspirasi untuk tutup mulut. Pembelaan yang lebih relevan dan dapat
diterapkan dalam praktik kedokteran sehari-hari termasuk : (1) Asumsi pasien mengenai resiko
berdasarkan surat persetujuan yang telah dibuat, (2) Faktor penyebab kelalaian terletak di tangan
pasien, (3) Kelalaian terletak pada pihak ke tiga. Terdapat pencegahan-pencegahan tertentu yang
dapat dilakukan secara rutin sehingga tuduhan malpraktik dapat dielakkan. Hal ini termasuk :
1. Mempekerjakan dan melatih asisten dengan arahan langsung sampai asisten tersebut dapat
memenuhi standar kualifikasi yang ada.
2. Mengambil langkah hati-hati untuk menghilangkan faktor resiko di tempat praktik.
3. Memeriksa secara periodik peralatan yang tersedia di tempat praktik.
4. Menghindari dalam meletakkan literatur medis di tempat yang mudah diakses oleh pasien.
Kesalahpahaman dapat mudah terjadi jika pasien membaca dan menyalahartikan literatur yang
ada.
5. Menghindari menyebut diagnosis lewat telepon.
6. Jangan meresepkan obat tanpa memeriksa pasien terlebih dahulu.
7. Jangan memberikan resep obat lewat telepon.
8. Jangan menjamin keberhasilan pengobatan atau prosedur operasi yang ada.
9. Rahasiakanlah sesuatu yang seharusnya menjadi rahasia. Jangan membocorkan informasi yang
ada kepada siapapun. Rahasia ini hanya diketahui oleh dokter dan pasien.
10. Simpanlah rekam medis secara lengkap, jangan menghapus atau mengubah isi yang ada.
11. Jangan menggunakan singkatan-singakatan atau simbol-simbol tertentu di rekam medis.
12. Gunakan formulir persetujuan yang sah dan sesuai Docu-books adalah alat bantu yang
penting dalam menyimpan surat persetujuan yang telah dibuat.
13. Jangan mengabaikan pasienmu.
14. Cobalah untuk menghindari debat dengan pasien tentang tarif dokter yang terlampau mahal.
Buatlah diskusi dan pengertian dengan pasien mengenai tarif dokter yang wajar.
15. Pada tiap kali pertemuan, gunakanlah bahasa yang dapat dimengerti oleh pasien. Jangan
pernah menduga jika pasien mengerti apa yang kita ucapkan.
16. Jalinlah empati untuk setiap masalah yang dialami pasien, dengan ini tata laksana akan
menjadi komprehensif.
17. Jangan pernah berbohong, memaksa, mengancam, atau melakukan penipuan kepada pasien.
Jangan mengakali pasienmu. Jangan mengarang-ngarang cerita mengenai penyakit pasien.
18. Jangan pernah melakukan pemasangan alat bantu, pengobatan atau tata laksana jika pasien
masih berada dalam pengaruh alkohol atau pengaruh pengobatan yang mengandung narkotika.
19. Jangan pernah menawarkan untuk membiayai pengobatan pasien dengan dana sendiri. Jika
pengobatan yang diberikan melebihi polis asuransi yang pasien miliki, maka jangan limpahkan
kepada polis asuransi yang kita miliki.
20. Jangan menjelek-jelekkan pasien atau teman sejawatmu.
21. Jangan pernah ikut serta dalam gerakan tutup mulut.
Pembelaan Dapat Dilakukan Seorang Dokter Jika Diisukan Melakukan Penelantaran. Meskipun
seorang pasien mengajukan kasus prima facie bahwa dokter telah melakukan penelantaran,
bahkan mengajukan bukti bahwa dokter tersebut tidak memberikan kenyamanan pelayanan
kesehatan sesuai standar media yang diharapkan oleh pasien pada waktu tertentu atau
berdasarkan kepercayaan pada doktrin res ipsa loquitur (Bukti bukti berbicara untuk dirinya
sendiri), hukum membolehkan seorang dokter untuk membela dirinya, selain penyangkalan
tindakan penelantaran. Pembelaan yang dapat dilakukan, antara lain :
Perkiraan resiko tindakan pada pasien
Keikutsertaan terjadinya penelantaran oleh pasien sendiri
Bahwa penelantaran tersebut bukan untuk melindungi dokter tersebut melainkan orang lain,
misal perawat
The Assumption of Risk, Violenti non fit Injuria. Biasanya, kenyataan bahwa pasien mengetahui
resiko dari tindakan medis dan mau mendapat terapi tersebut tidak melepas kewajiban dokter
tersebut dalam menangani pasien dengan baik. Bagaimanapun juga jika pasien bersikeras
mendapat penanganan yang dapat membahayakannya, melawan saran dari dokter, maka dokter
tersebut lepas dari tanggung jawabnya. Posisi ini dapat menjadi sangat rumit jika pasien yang
ditangani berada dalam kondisi mental yang kurang siaga dalam menerima tanggung jawab
menjalankan instruksi, dalam hal ini yang dimaksud adalah mengerti dan memahami penjelasan
sang dokter.(2)
Sikap dokter terhadap hukum. Dokter yang terlibat pada kasus hukum dan telah membaca
laporan kasus hukum sering kesal pada tatalaksana yang diterima oleh mereka sendiri atau
koleganya di tangan pengacara. Namun, terlihat jelas dari laporan kasus singkat pada bab ini,
bahwa pasien telah sering mengalami banyak kehilangan dan satu-satunya kesempatan
kompensasi untuk dirinya sendiri dan tergugat bergantung pada tindakan hukum. Juga jelas dari
laporan kasus bahwa pengadilan menjunjung tinggi reputasi dokter saat hal tersebut mungkin,
dan tidak boleh bersimpati terhadap disabilitas pasien yang berpengaruh pada keputusan hukum.
Sikap tidak memihak ini lebih dijelaskan pada kasus Roe and Woolley v. Minister of Health
dimana terdapat cedera berat pada penggugat, namun pengadilan mengatakan bahwa kami
seharusnya tidak menghukum kelalaian yang hanya merupakan kecelakaan. Kami seharusnya
selalu berada pada kehati-hatian terhadapnya, terutama pada kasus melawan rumah sakit dan
dokter.Untuk perlindungan diri, seorang dokter harus selalu memperhatikan kasus-kasusnya
dengan seksama, bersiap memberikan alasan untuk segala keputusan yang dibuatnya dan
menjaga pasien agar tetap diinformasikan dengan baik dan berada dalam kepercayaannya. Jika
pada saat tidak beruntung ia menjadi tergugat secara hukum, maka ia telah memiliki dasar yang
baik untuk pembelaan. Selama mendengarkan kasus, ia harus berpengetahuan penuh mengenai
semua kenyataan yang terjadi pada kasus, walaupun terkadang terlewat saat sesi pertanyaan, dan
harus bersiap untuk menjawab pertanyaan berdasarkan pemahamannya atas tatalaksana dan
pendapatnya. Ia harus mengingat bahwa kapanpun tindakannya dipertanyakan, ia harus selalu
terlihat mempunyai alasan yang tepat. Ia tidak pernah harus menunjukkan bahwa tindakannya
sempurna.(2)
Apabila seorang dokter telah terbukti dan dinyatakan telah melakukan tindakan malpraktek maka
dia akan dikenai sanksi hukum sesuai dengan UU No. 23 1992 tentang kesehatan. Dan UU
Praktek kedokteran dalam BAB X Ketentuan Pidana Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi Setiap
dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sehubungan dengan hasil keputusan Mahkama Konstitusi pasal tersebut telah mengalami revisi,
dimana salah satu keputusan dari Mahkama Konstitusi adalah ketentuan ancaman pidana penjara
kurungan badan yang tercantum dalam pasal 75, 76, 79, huruf a dan c dihapuskan. Namun
mengenai sanksi pidana denda tetap diberlakukan.
Ayat (2) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Surat tanda registrasi sementara
dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan
dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau
kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia
Ayat (3) berbunyi Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja. Surat
tanda registrasi yang dimaksud adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Selain pasal 75, masih ada beberapa pasal yang akan menjerat dokter apabila melakukan
kesalahan yaitu diantaranya Pasal 76, 77, 78, dan 79.
jika tertundanya penbedahan tersebut disebabkan kelalaian dokter, maka sikap dokter tersebut
bertentangan dengan lafal sumpah dokter, KODEKI Bab II pasal 10 dan KUHP pasal 304 dan
306
Lafal sumpah dokter:
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan penderita.
KODEKI Bab II pasal 10
Seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan
.KUHP pasal 304
Barang siapa yang dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan seseorang dalam
kesengsaraan, sedangkan ia wajib memberi kehidupan, perawatan dan pemeliharaan berdasarkan
hukum yang berlaku baginya atau karena suatu perjanjian, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-KUHP pasal 306(2)
jika salah satu perbuatan tersebut berakibat kematian, maka bersalah dihukum dengan hukuman
perjara selama-lamanya 9 tahun.
Praktik hukum disiplin.
Pengertian disiplin tidak dicantumkan secara tegas dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Namun kata disiplin dikaitkan dengan menegakkan disiplin seperti pada
pasal 55 ayat (1) yang merupakan alasan dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI), suatu organ atribusian baru di sisi hilir pengaturan praktik kedokteran
yang secara khusus kelak akan mengembangkan bentuk hukum baru, yakni hukum disiplin
(medik). Pada bagian penjelasannya tertulis:
yang dimaksud dengan penegakan disiplin dalam ayat ini adalah penegakan aturan-aturan
dan/atau ketentuan penerapan keilmuan dalam pelaksanaan pelayanan yang harus diikuti oleh
dokter dan dokter gigi
Dengan demikian penegakan disiplin yang merupakan sendi hukum disiplin kedokteran adalah :
a. Penegakan aturan-aturan dalam pelayanan kesehatan/kedokteran dan atau
b. Penegakan ketentuan penerapan keilmuan dalam pelayanan kedokteran/kesehatan
c. Wajib diikuti dokter/dokter gigi
Bertolak dari pengertian tersebut dapat diartikan secara sederhana bahwa disiplin adalah aturan
dan penerapan keilmuan yang wajib diikuti oleh dokter/dokter gigi (subyek hukum) dalam
menjalankan profesinya (obyek hukum) dalam konteks berada dalam wujud hubungan dokter
pasien (hubungan hukum). Dengan demikian hukum disiplin adalah hukum yang mempelajari
pelbagai hal yang berkaian dengan kewajiban (tentu saja termasuk hak-hak) dalam suatu
bangunan kesatuan hubungan profesional dokter pasien, yang meliputi aturan dan penerapan
keilmuan kedokterannya yang dimiliki selaku kaum profesi untuk mencapai tujuan kedokteran
tertentu demi kepentingan pasien sebagai bahagian dari masyarakat. Secara anatomis, hukum
disiplin akan menyorot mutu dokter sebagai profesi (dalam keadaan diam, sebelum
berhubungan dengan pasiennya) dan secara fisiologis, hukum disiplin menyorot hubungan dokter
pasien sebagai sesuatu yang bergerak atau dinamis). Dalam konteks UU Praktik Kedokteran,
hukum disiplin medik diam akan melingkupi kiprah Konsil Kedokteran Indonesia sebagai
lembaga atribusian baru di sisi hulu yang diamanatkan untuk memproduksi dokter lege artis
siap mengadbdi bagi perlindungan (kesehatan) masyarakat, memberdayakan kelembagaan
profesi serta membimbing sesama dokter untuk tetap atau bahkan lebih lege artis. Sedangkan
hukum disiplin bergerak akan memberi pekerjaan rumah bagi MKDKI untuk mengawasi
pelaksanaan praktik dokter/dokter gigi, termasuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggarnya.
Keterkaitan profesi.
Secara sosiologis, praktik kedokteran dan pelayanan kesehatan tak akan dapat terpisahkan dari
hal-hal sebagai berikut :
a. Profesi
b. Peran Organisasi profesi
c. Standar profesi.
Profesi kedokteran, sebagaimana menurut Goode memiliki dua ciri dasar (core characteristics )
yaitu :
1. A prolonged specialized training in a body of abstract thought.
2. A collectivity of service orientation
dan lebih lanjut ia menguraikan ciri-ciri tambahan sebagai berikut :
1. Profesi menentukan sendiri standar pendidikan mereka.
2. Pendidikan profesi meliputi pula pengalaman sosialisasi secara dewasa (adult socialization
experience) yang lebih lanjut daripada pendidikan okupasi umumnya.
3. Praktik profesi secara legal diatur melalui perijinan.
4. Badan penilai pemberi ijin tersebut beranggotakan orang-orang dari kelompok profesi itu
sendiri.
5. Sebagian besar pengaturan hukum yang berkenaan dengan atau mengenai profesi disusun
oleh kelompok profesi yang bersangkutan.
6. Pekerjaan profesi selain memberikan penghasilan dalam bentuk uang, prestise dan
wewenang, tetapi juga memerlukan orang yang berintegritas tinggi.
7. Pelaku praktek profesi secara relatif tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh orang awam.
8. Norma-norma yang berlaku biasanya lebih keras dibanding dengan pengaturan hukum.
9. Para anggota mempunyai identitas dan ikatan sesama yang kukuh
10. Pekerjaan tersebut mengikat seumur hidup.
Sedangkan peran organisasi profesi adalah sebagai lembaga untuk wahana
self-regulating dan self-disciplining para anggotanya yang pasti akan mempengaruhi pelbagai
peraturan Konsil Kedokteran Indonesia kelak (yakni melalui kiprah kerja atribusian &
delegasiannya), minimal melalui anggota KKI yang berasal dari IDI. IDI melalui Komite
Rekomendasi Ijin Praktek Dokter-nya lebih diakui eksplisit eksistensinya dalam UU Praktik
Kedokteran (UU Pradok). Rekomendasi IDI sebagai cikal bakal hukum disiplin medik selama
ini menentukan tiga hal yakni :
a. Prasyarat kompetensi dokter (searah dengan diberlakukannya standar profesi sebagai
standar kompetensi minimal dokter).
b. Prasyarat kesehatan dokter (belum diatur dalam UU Pradok).
c. Prasyarat etis (searah dengan ketentuan mendeteksi adanya profesionnal misconduct yang
tumpang tindih dengan permasalahan disiplin dalam UU Pradok).
Selain itu, melalui IDI berhak mengusulkan kuota tempat praktek kepada Dinas Kesehatan
setempat sebagaimana Permenkes No. 916/1997, yang juga merupakan cikal bakal dari
dibatasinya SIP hanya maksimal 3 tempat praktek dalam UU Pradok.
Dalam hal hukum disiplin medik, peran IDI/PDGI juga akan berimbas secara sosiologis kepada
ketentuan yang akan dipakai oleh MKDKI. Selama ini MKEK IDI merupakan lembaga quasi
peradilan internal IDI yang keberadaannya juga diakui masyarakat selama bertahun-tahun,
walaupun akhir-akhir ini ada sekelompok kecil yang meragukan kenetralannya. MKEK secara
rutin bersidang untuk menetapkan pelanggaran etik terhadap dokter yang diduga nakal
terhadap pasiennya yang umumnya akibat sengketa medik (miskomunikasi dokter pasien).
Karena hingga saat ini MDTK (majelis disiplin tenaga kesehatan) yang merupakan peradilan
disiplin di bawah bayang-bayang Depkes dan MAKERSI (majelis kehormatan etika rumah
sakit) di dalam organisasi PERSI belum lancar berrjalan dan mungkin kurang sosialisasi, maka
MKEK relatif lebih dikenal. MKEK yang selama ini juga mencakup hinga tingkat propinsi, juga
memerankan pemeriksaan disiplin medik, yang seharusnya kelak diperankan oleh MKDKI.
Melalui anggotanya, dengan kemampuan melakukan analisis etikolegal dalam hal peneraan
kompetensi minimal keputusan medik sekaligus rasionalitas keputusan etisnya terhadap pasien
yang ditanganinya, MKEK merupakan lembaga yang relatif paling profesional sekarang ini
untuk membuat putusan etis (dibandingkan dengan KODEKI) ataupun putusan disiplin
(dibandingkan dengan rata-rata praktisi selingkung yang setara situasi, kondisi dan upaya
mediknya).
Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia Budi Sampurna

Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering
tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia
kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali
tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah
diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai
etika.
Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan
dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan
keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan
standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik
dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter atau rumah
sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin tinggi
pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya dan lebih
asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran sebagai hasil dari
luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan kedokteran dan kesehatan
sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang tidak sempurna, dan (d)
provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.
Etik Profesi Kedokteran
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of
Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu
itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter
yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates
yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter
dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah
dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional
berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan
kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan
mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.[1]
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip
moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan
bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian
disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam
membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan
latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy
(menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat
keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan
untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien)
dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan
lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics),
sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat
mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya
bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik
profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK
(Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di
tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya,
yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat
perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar hanya akan membawa
akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai
sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti
kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan
pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam
rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai