Ladang itu bernama Sawah Gunung, letaknya kurang lebih lima kilometer dari Dusun
Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Purbalingga. Di sana jagung sedang menghijau.
Suasana sunyi sekali. Di ladang inilah Pak Gepuk melewatkan hari-harinya. Siang ia mencangkul dan mengolahnya. Di gubug reyot itu tak ada dipan, apalagi kasur. Yang terlihat hanyalah daun-daun pisang kering (klaras). Klaras itulah kasur buat Pak Gepuk. Kini Pak Gepuk sudah berusia 87 tahun (Mbah Gepuk meninggal sekitar tahun 2002-red). Badannya sudah kelihatan renta, namun m asih kuat dan giat mencangkul ladangya. Siang hari ia mendapat kiriman makanan d ari anak perempuannya berupa nasi, sebungkus sayur dan tempe tahu. Pak Gepuk suka bermalam di gubugnya dan jarang pulang ke rumahnya. Paling-paling seminggu sekali. Pak Gepuk enggan pulang ke rumah, bukan hanya karena jalannya yang sudah mulai repot dan susah. Ia memang suka menyendiri dan menyepi dalam ke sunyian sejak masa mudanya. Pernah ia tinggal di gubugnya 40 hari 40 malam tanpa pulang sekalipun. Kesunyian itulah yang mewarnai dan melingkupi hidup Pak Gepuk. Kesunyian itu mem berinya kekuatan agar ia tabah mengolah tanahnya. Kesunyian itu memberinya penge tahuan bahwa alam ini adalah guru bagi kehidupannya. Kesunyian itu mengajarinya bahwa keindahan itu ada dimana-mana, bahkan di dalam rumput. Karena itu, di tang an Pak Gepuk rumput-rumput itu bisa dianyam menjadi karya seni berupa wayang. Pak Gepuk itu petani sekaligus seniman. Pada dirinya hidup bertani dan hidup ber seni itu adalah hal yang tak terpisahkan. Tanah, tempat ia mencangkul dan menete skan keringatnya, adalah tanah tempat ia memperoleh rasa seni dan bahan keindaha n. Tanah itu memberinya jagung dan ketela untuk dimakan dan menyambung hidup. Ta nah itu juga memberinya rumput untuk berkesenian dan mengungkapkan keindahan. Tak ada orang mengajarinya bagaimana ia bertani. Sebagai anak petani, kemampuan bertani itu datang dengan sendirinya. Demikian pula ikhwal keseniannya. Waktu itu Pak Gepuk masih berusia lima belas tahun. Sehari-hari ia menjadi bocah angon. Padang rumput adalah dunia Pak Gepuk. Dengan rumput-rumput itulah kambing-kambin gnya mengenyangkan diri. Bukan hanya kambing, kehidupan manusia pun tergantung p ada rumput. Bagaimana ia dapat hidup sebagai bocah angon jika tiada rerumputan. Tiba-tiba ia merasa, dalam rerumputan, tanaman alam yang sederhana, itu terkandu ng kehidupan. Rumput, yang gunanya hanya untuk pengenyang binatang dan diinjak-i njak manusia ternyata mengandung makna yang dalam. Pak Gepuk merenungi kekayaan rumput itu. Ia mencoba masuk ke dalam alam kesunyian rumput-rumput itu, kemudian muncullah keinginan dari benaknya, mungkinkah ia membuat wayang dari rumput? Oleh: Sindhunata