Anda di halaman 1dari 9

1.

Analisis Sistem dan Pengembangan Kurikulum


Dalam pengembangan kurikulum ada dua sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang
perlu menjadi acuan, yaitu; sistem lingkungan dan sistem kurikulum. Sistem lingkungan terdiri atas
beberapa komponen yaitu; Alam, Sosial, Budaya, Politik, Ekonomi, dan Agama. Sedangkan sistem
kurikulum terdiri atas beberapa komponen juga yaitu; tujuan, metode, materi/isi, dan evaluasi.
Masing-masing dari kedua sistem tersebut harus ada relevansi atau kesesuaian antar satu dengan
yang lain. Kesesuaian sistem yang ada dalam kurikulum mengacu pada kesesuaian sistem yang
ada dalam lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus
disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, dan perkembangan yang ada di lingkungan
masyakarakat.

2. Azas Kurikulum
Ada beberapa landasan dalam pengembangan kurikulum;

1. Asas Filosofis
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti bahwa penyusunan kurikulum hendaknya
berdasar dan terarah pada falsafah yang dianut.

2. Asas Psikologi
Manusia adalah makhluk yang bersifat unitas multiplex yang terdiri atas sembilan aspek psikologi
yang kompleks tetapi satu.

3. Asas Sosial Budaya/Asas Sosiologi
Kurikulum sekolah dalam penyusunan dan pelaksanaan banyak dipengaruhi oleh kekuatan-
kekuatan social yang berkembang dan selalu berubah di dalam masyarakat.

4. Asas Teknologi
Kurikulum tidak boleh meninggalkan kemajuan teknologi pendidikan. Peningkatan penggunaan
teknologi pendidikan akan menyebabkna naiknya tingkat efektivitas dan efisien proses belajar
mengajar selalu menonjolkan peranan guru, terutama dalam memilih bahan dan penyampaiannya.

3. Model dan Langkah Pengembangan Kurikulum
Berbagai jenis kurikulum dari baik dari Separated Curriculum, Correlated Curriculum, Broad
Fields Curriculum, Integrated Curriculum semua itu bertujuan untuk mencapai sistem belajar
mengajar yang efektif dan efisien bagi pendidik dan peserta didik.
Model pengembangan kurikulum merupakan alternatif guna untuk mendesain (designing),
menerapkan (impelementation), dan mengevaluasi (evaliatoon) suatu kurikulum. Banyak macam
model pengembangan kurikulum yakni: The administrative model, The grass roots model,
Beauchamps system, The demonstration model, Rogers interpersonal relations model, Model
Hilda Taba.
Pengembangan kurikulum di Indonesia dari tahun 1964 sampai dengan tahun 2006/2007
yakni dari kurikulum sistem guru mengajarkan muridnya dengan sistem satu arah (guru aktif dan
murid pasif), mulai pengenalan sistem semesteran bagi SMP dan SMA dan cawu bagi tingkat
dasar (SD), adanya sistem wajib belajar 9 tahun, kemudian adanya sistem kurikulum berbasis
kopetisi (KBK), sampai pada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).

4. Telaah Kritis Pengembangan Kurikulum Sekolah Umum dan Madrasah di Indonesia dari
Tahun 1945 2004

Dalam realitas pendidikan Islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam,
selain pesantren, maka yang segera terbayang dibenak kita adalah madrasah. Instittusi pendidikan
ini lahir pada awal abad XX M, yang dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah
dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad XX M banyak orang Islam Indonesia
mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang
menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen, dan perjuangan untuk maju di
bagian-baggian lain di Asia, apabila mereka terus melanjjutkan kegiatan dengan cara-cara
tradisional dalam menegakan islam.

Munculnya kesadaran krisis di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak bisa dilepaskan dari
kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak semangat
pembaharuan (modernisme) di sana. Sekembalinya ke tanah air mereka melakukan
pengembangan institusi pendidikan baru yang lazim disebut dengan madrasah, menerapkan
metode dan kurikulum yang baru juga. Dari sini tidak mengherankan kemudian terjadi beberapa
perubahan mendasar dalam dinamika Islam Indonesia yang setidaknya di dorong oleh empat
faktor yang sangat penting, yaitu :
1. Di berbagai tempat di dunia Islam muncul kecenderungan kuat untuk kembali ke al Quran dan
hadits Nabi yang dijadikan titik tolak menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada;
2. Gejolak dan sifat perlawanan nasional terhadap penguasaan colonial Belanda;
3. Usaha yang kuat dari umat Islam untuk memperkokoh organisasinya di bidang sosial ekonomi,
demi kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan rakyat banyak;
4. Pembaharuan Pendidikan Islam yang disebabkan karena munculnya ketidakpuasan terhadap
pola tradisional.
Terkait dengan hal itu, kemunculan madrasah dipandang oleh para sejarah pendidikan
sebagai salah satu bentuk pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Argumen yang bisa
dikemukakan adalah bahwa secara historis, awal kemunculan madrasah dapat dikembalikan pada
situasi: pertama, adanya pembaharuan Islam di Indonesia, dan kedua, adanya respons pendidikan
islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia-Belanda. Dengan demikian jika dilihat dari sudut
pandang pesantren itu sendiri maka kehadiran madrasah mengandung dimensi kritik karena ia
adalah bagian dari upaya pembaharuan untuk menjembatani sistem tradisional yang
diselenggarakan oleh pesantren dengan sistem pendidikan modern. Selain itu, kehadiran
madrasah juga merupakan upaya penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu
sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama
dengan lulusan sekolah umum. Sementara itu, apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan
modern Barat colonial, kehadiran madrasah mengandung dimensi akulturatif karena ia merupakan
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam yang diinginkan oleh sebagian
umat Islam yang tengah menganggap positif sistem pendidikan Barat.
Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam dianaktirikan.
Pendidikan Islam dikategorikan sebagai pendidikan liar, bahkan pemerintah kolonial telah
memproduk peraturan-peraturan yang membatasi, atau justru mematikan sekolah-sekolah
partikelir, termasuk madrasah, dengan mengeluarkan peraturan yang disebut wilde schoolen
ordonantie pada 1933. Sebelum ini, pemerintah kolonial juga telah mengeluarkan peraturan yang
dikenal dengan ordonansi guru (ordonansi 1905 dan 1925) yang menyebutkan bahwa izin tertulis
untuk mengajar harus diberlakukan kepada Islam; bahwa daftar mata pelajaran dan murid-murid
harus diketahui; dan bahwa metode pengawasan pemerintah juga harus dibuat. Ordonansi itu
secara khusus dimaksudkan bahwa untuk membatasi gerakan guru-guru agama, dan secara
umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. Dengan kata lain, pemerintah koloonial
bersikeras, melalui berbagai kebijakannya, mennolak peranan Islam dalam kehidupan public.
Akibat kebijakan diskriminatif pemerintah colonial tersebut, pendidikan islam, termasuk madrasah,
menghadapi kesulitan-kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus modernisasi. Sebagai akibatnya,
muncul hal-hal berikut :
1. Pendidikan Islam, termasuk madrasah, terpinggirkan dari arus modernisasi. Kendatipun
keadaan ini tidak selamanya negatif, ternyata telah menjadikan pendidikan Islam cenderung
pada sifat ketertutupan.
2. Adanya kebijakan yang sangat diskriminatif dari pemerintah kolonial terhadap pendidikan Islam
sehingga lembaga pendidikan ini terkondisikan menjadi milik rakyat pinggiran (pedesaan).
3. Isi atau muatan pendidikan cenderung berorientasi pada praktik-praktik ritual keagamaan
dengan ilmu pengetahuan umum sama sekali terpisah.
4. Pendidikan Islam mengalammi berbagai kelemahan manajemen, meskipun tidak seluruhnya
harus dianggap sebagai sesuatu yang negative. Dalam hal ini kelemahan manajemen
ditunjukan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak berorientasi keluar sehingga perkembangan
madrasah pun menjadi lamban atau justru statis.
5. Pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dimasukan dalam sitem pendidikan nasional.

Paradigma dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial tetap mengakar kuat dalam dunia
pekndidikan di tanah air. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem pendidikan yang dualistis, yaitu:
(1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-skolah umum yang sekuler; dan (2) sistem
pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam,
baik yang bercorak isolatif tradisional maupun yang bercorak sintesis. Pada tahun 1950 terjadi
aksiden sejarah pada dunia pendidikan Islam kita, yaitu ketika Presiden Soekarno menetapkan
Unniversitas Gadjag Mada yang diperuntukan bagi kaum nasionalis dan dalam waktu itu
bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang
diperuntukan bagi umat Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, polarisasi kedua instusi pendidikan tersebut membentuk
polarisasi yang lebih menyeluruh. Implikasi lebih jauh dari polarisasi ini adalah (1) universitas
umum seakan-akan bukan milik golongan umat Islam; (2) dualisme dan dikotomi terus bertahan,
bahkan melebar; dan (3) sekolah/perguruan tinggi umum menjadi binaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, sementara perguruan tinggi agama Islam berada di bawah binaan Departemen
Agama. Setidaknya kenyataan ini mengakibatkan jatuhnya pendidikan Islam kedalam dikotomi
atau dualisme: pertama, dikotomi pendidikan yang sekuler dan pendidikan yang mempunyai ciri
khas keislaman; kedua, pendidikan Islam terperangkap kedalam dualisme pengelolaan, antara
pengelolaan pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan pendidikan Islam di
bawah Departemen Agama.
Selain persoalan di atas, persoalan pendidikan Islam juga masih dihadapkan pada persoalan
lain yang tidak kalah seriusnya. Pada saat itu, meskipun pendidikan Islam tetap eksis, ia masih
belum bisa memeroleh perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan
islam seakan dibiarkan hidup apa adanya kendati dalam keadaan sangat sederhana dan berjalan
sebisanya. Secara konstitusional, dalam hal ini pemerintah memang masih terikat dengan Undang-
Undang Pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954, yang belum memihak pada
pemberdayaan madrasah sebagai bagian dari program pendidikan nsional sehingga kebijakan
pemerintah yang terkesan gamang tampaknya masih terbatas pada penguatan struktur madrasah
itu sendiri.
Setidaknya terdapat dua langkah awal sehubungan dengan penguatan struktur madrasah: (1)
melakukan formalisasi yang ditandai dengan upaya meningkatkan status beberapa madrasah
swasta menjadi madrasah negeri, dan (2) strukturasi madrasah yang sesuai dengan tuntutan
pendidikan nasional, terutama menyangkut penyeragaman dan penyempurnaan kurikulum. Pada
sekitar pertengahan decade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai ditunjukan pada
pembinaan madrasah secara lebih sistematis, misalnya dengan lahirnya kurikulum 1973 dan SKB
3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang menegaskan bahwa kedudukan madrasah sejajar dengan
sekolah formal lain. Akan tetapi, langkah yang paling signifikan dalam upaya mengintegrasikan
madrasah kedalam Sistem Pendidikan Nsional adalah dengan diratifikasinya UU No. 2 tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui
sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam; madrasah mendapat pengakuan sebagai
subsistem pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam PP No. 28 tahun 1990 tentang
Pendidikan Dasar.
Masuknya madrasah kedalam subsistem pendidikan nasional memiliki berbgai konsekuensi,
antara lain: (1) dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada
sekolah-sekolah pemerintah; (2) madrasah mengikuti kurikulum nasional; (3) madrasah ikut serta
dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), dan berbagai peraturan yang diatur
oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Dengan demikian, keuntungan positif
yang diperoleh melalui UU tahun 1989 dan PP tahun 1990 ternyata juga melahirkan berbagai
kendala.
Dualisme antara Departemen Agama dan Departemen P dan K ini terus berlangsung. Hal yang
sama juga terjadi dalam pembinaan pendidikan dasar. Kesemrawutan manajemen pendidikan
dasar ini tentunya juga berdampak pada pembinaan sekolah-sekolah yang ada di bawah
Departemen Agama. Dengan sendirinya, terjadi dualisme dengan pembinaan sekolah tersebut
yang tidak selalu menguntungkan sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan Departemen
Agama. Integrasi dan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum baru terbatas pada aspek
struktur dan muatan kurikulumnya saja.
Selama sepuluh tahun lebih sejak UU No. 2/1989 dilahirkan, ia terbukti belum mampu
mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan altrenatif, kecuali beberapa madrasah
khusus yang berkualitas saja sebagai hasil binaan masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap
madrasah sejauh ini terasa masih diskriminatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila muncul
usulan agar UU Pendidikan Nsional (UUSPN) No. 2/1989 segera diganti supaya lebih sesuai
dengan upaya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan
efisiensi dalam manajemen. Sebab pelaksanaan UUSPN tersebut terasa amat sentralisasi, tidak
demokratis dan otoritas kekuasaan terlalu dominan. Paradigma-paradigma yang digunakan oleh
pemerintah selama ini dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, termasuk pendidikan
madrasah, dalam praktiknya telah menimbulkan berbagai anomaly, diantaranya:
Pertama, kecenderungan untuk menegerikan madrasah yang telah didirikan melalui prakarsa
masyarakat, meskipun dilihat dari porsentasenya relatif kecil. Seperti yang telah dijelaskan bahwa
madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Namun demikian
madrasah yang lahir dari strata masyarakat miskin ingin menegerikan madrasah-madrasah. Hal ini
memang mempunyai segi positif, yaitu adanya kucuran pemerintah melalui INPRES SD, INPRES
WAJIB BELAJAR dan sebagainya. Demikian juga manajemen madrasah mendapat bantuan, dan
mungkin pula memperoleh tenaga-tenaga guru yang diperbantuka.
Kedua, kecenderungan kearah sentralisasi kurikulum. Dengan adanya keinginan untuk
menyertakan pendidikan madrasah dengan sekolah negeri lain maka kurikulum diarahkan pada
kurikulum nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti kurikulum 1994. Kurikulum 1994
yang dikembangkan di MI, MTs, MA untuk mata pelajaran umum sepenuhnya mengacu pada
kurikulum SD, SLTP, SMU sehingga isi pendidikan madrasah tidak memiliki perbedaan yang
esensial dan substantive dengan sekolah umum. Akan tetapi dalam perkembangannya cirri khas
Islam pada madrasah menimbulkan keprihatinan dikalangan Departemen Agama karena dinilai
telah banyak bergeser, khususnya di Madrasah Aliyah yang berkembang dengan jurusan-jurusan
umum.
Ketiga, kecenderungan uniformitas dalam madrasah itu sendiri. Karakteristik madrasah
sebenarnya bersifat variatif karena sekolah masyarakat dari masyarakat untuk masyarakat.
Untuk mengelimir anomali-anomali dalam perubahan madrasah, menurut A. Malik Fadjar,
kerangka kebijakan perubahan madrasah hendaknya mempertimbangkan: (1) kebijakan harus
memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yaknni menjadikan madrasah
sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup Islami; (2) kebijakan harus memperjelas dan
memperkokoh keberadaan masyarakat sebagai ajang membina masyarakat yang cerdas,
berpengetahun, berkepribadian dan produktif sesuai dengan system sekolah; (3) kebijakan harus
bisa menjadikan madrasah mampu merespons tuntutan-tuntutan masa depan.
Selain masalah struktur kelembagaan, hal lain yang sering kali disoroti dari pengajaran dan
pendidikan Islam adalah: (1) masalah materi dan muatan pendidikan agama; (2) masalah yang
berkaitan dengan kerangka metodologi; (3) masalah kurang terintegrasikannya pendidikan agama,
dalam arti terjadi dualisme dikotomi dengan disiplin keilmuan lain.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rekontruksi pragmatis tujuan
madrasah. Tanpa adanya perbedaan rumusan yang jelas, semua jenjang pendidikan di madrasah
bertujuan untuk melahirkan lulusan yang berkepribadian muslim. Seolah-olah dengan tujuan
sementara itu lulusan madrasah sudah dijamin bisa menjadi orang yang berhasil karena ia akan
senantiasa mampu merujuk pada ajaran al Quran dan sunnah Nabi dalam mengatasi berbagai
problema kehidupan. Munculnya masalah ini disebabkan oleh ideologisasi dan teologisasi ilmu-
ilmu keislaman, senbagai ilmu yang memberi bekal kemampuan dal;am memahami kandungan al
Quran dan as Sunnah. Di sini ilmu agama Islam diidentikann dengan agama Islam itu sendiri
sehingga kebenarannya diyakini bersifat mutlak dan berlaku universal. Dengan demikian manakala
ilmu umum yang sekuler dianggap bertentangan dengan ilmu Islam maka ia harus ditolak, dinilai
sesat bahkan haram dipelajari.. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa hampir
tidak mungkin berbagai model pendidikan Islam, seperti madrasah bisa dikelola secara baik,
kecuali dengan memanfaatkan jasa-jasa ilmu sekuler tadi.

5. Sejarah Kurikulum PAI
A. Periode sebelum kemerdekaan
Pada periode ini system pendidikan dan pengajaran agama islam Al-quran dan pengajian
kitab yang diselenggarakan dirumah-rumah, surau,masjid, pesntren, dan lain-lain pada
perkembanganya selanjutnya mengalami perubahan bentuk baik dari segi kelembagaan,
maateri pengajaran atau kurikulum, metode maupun strutur organisasinya sehingga
melahirkan suatu bentuk yang baru yang disebut madrasah.

B. Periode setelah kemerdekaan
Pada periode ini setelah Indonesia merdeka maka dibentuklah Departemen Agama yang akan
mengurus masalah keberagamaan di Indonesia termasuk di dalamnya pendidikan, khusunya
madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, mdrasah walaupunsudah berada di
bawah naungan departemen agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan.
Sungguh pun pendidikan islam telah berjalan lama dan mempunyai jalan panjang. Namun
dirasakan pendidikan islam masih tersisih dari sitem pendidikan nasional. Keadaan ini
berlangsung sampai dikeluarkanya SKB 3 Menteri.

C. PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DI MADRASAH PADA MASA SKB 3 MENTERI
Dengan diterbitkanya SKB 3 Menteri itu bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu
pendidikan dilembaga-lembaga pendidikan islam, SKB 3 Menteri ini dikeluarkan pada 24 Maret
1975, yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan islam untuk memasuki
mainstream pendidikan nasional, kebijakan ini menjadikan madrasah setara dan sederajat dengan
sekolah umum lainya. Guna memenuhi tuntutan SKB 3 Menteri pelu diadakan pembinaan serta
pembaharuan kurikulum secara menyeluruh, untuk itu telah diadakan berbagai usaha, penyusunan
metode mengajar, standarisasi buku-buku madrasah dan alat-alat pelajaran.
Langkah-langkah pokok yang ditempuh dalam pengembangan kurikulum madrasah
adalah:
1. Perumusan tujuan-tujuan insttusional.
2. Penentuan struktur program kurikulum.
3. Penyusunan garis-garis besar program pengajaran, masing-masing dari setiap bidang studi,
perumusan tujuan-tujuan instruksionaldan identifikasi pokok-pokok bahan yang dijadikan
program pengajaran.
4. Penyusunan dan penggunaan satuan pelajaran, program penilaian, program bimbingan dan
penyuluhan, program administrasi serta supervisi.

D. PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DI MADRASAH PASCA UU No. 20/2003 dan UU No.
2 Tahun 1989
Setelah lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan Undang-
undang kependidikan sebelumnya, Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang semua
jalur dan jenis pendidikan. Jika pada Undang-undang pendidikan Nasional bdertumpu pada
sekolah, maka dalam UUSBN ini pendidikan nasional mencakup jalursekolah dan luar sekolah,
serta meliputi jenis-jenis pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan dan
pendidikan agama.[9]
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
salah satu bidang studi yang harus dipelajari oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan
agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Tingkat Satuan Pendidikan di Madrasah ada tiga tingkat yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Mata pelajaran Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah terdiri
atas empat, yaitu: Al-Quran-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Tarikh (Sejarah) Kebudayaan Islam.

6. Perbandingan isi Tujuan PAI dalam Kurikulum Sekolah umum dan Madrasah tahun 1945-
1994/ 1994-2004

7. Perencanaan Pengembangan Kurikulum PAI dimasa yang akan datang untuk tingkat dasar,
menengah pada sekolah umum dan madrasah

Kurikulum merupakan seperangkat/sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar mengajar.
Kurikulum juga diartikan sebagai aktivitas dan kegiatan belajar yang direncaknakan, diprogamkan
peserta didik dibawah bimbingan sekolah, baik didalam maupun diluar sekolah.
Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum,
yaitu:
a. Fungsi Penyesuaian (the adjustive or adaptive function)
b. Fungsi Integrasi (the integrating function)
c. Fungsi Diferensiasi (the differentiating function)
d. Fungsi Persiapan (the propaedeutic function)
e. Fungsi Pemilihan (the selective function)
f. Fungsi Diagnostik (the diagnostic function)
Kemudian ada 4 unsur komponen kurikulum yaitu: tujuan, isi (bahan pelajaran), strategi pelaksanaan
(proses belajar mengajar), dan penilaian (evaluasi)
a. Komponen Tujuan
Kurikulum merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan
itulah yang dijadikan arah atau acuan segala kegiatan pendidikan yang dijalankan. Berhasil atau tidaknya
program pengajaran di Sekolah dapat diukur dari seberapa jauh dan banyaknya pencapaian tujuan-
tujuan tersebut.
b. Komponen Isi/Materi
Isi program kurikulum adalah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik dalam kegiatan belajar
mengajar dalam rangka mencapai tujuan. Isi kurikulum meliputi jenis-jenis bidang studi yang diajarkan
dan isi program masing-masing bidang studi tersebut. Bidang-bidang studi tersebut disesuaikan dengan
jenis, jenjang maupun jalur pendidikan yang ada.
c. Komponen Strategi
Strategi merujuk pada pendekatan dan metode serta peralatan mengajar yang digunakan dalam
pengajaran. Tetapi pada hakikatnya strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja.
Pembicaraan strategi pengajaran tidak hanya terbatas pada hal itu saja. Pembicaraan strategi
pengajaran tergambar dari cara yang ditempuh dalam melaksanakan pengajaan, mengadakan penilaian,
pelaksanaan bimbiungan dan mengatur kegiatan, baik yang secara \umum berlaku maupun yang bersifat
khusus dalam pengajaran.

d. Komponen Evaluasi
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan
melalui kurikulum yang bersangkutan. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai
kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi,
efisiensi, kelaikan (feasibility) program.

Adapun dalam bahasa Arab, kata kurikulum bisa diungkapkan dengan manhaj yang berarti jalan terang
yang dilalui oleh manusia pada berbagai bidang kehidupan, sedangkan kurikulum pendidikan (manhaj al-
dirosah) dalam kamus tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan acuan oleh
lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuaan-tujuan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar dimaksudkan untuk meningkatkan potensi
spiritual peserta didik agar dapat mengenal dan membiasakan diri dalam menjalankan ajaran agama,
serta dapat memahami, meyakini, dan mengamalkan ajaran agama Islam dengan baik. Dengan
demikian, PAI pada jenjang pendidikan dasar ini lebih diarahkan pada pembinaan sikap keberagaman
dan pengembangan potensi spiritual siswa yang bersifat personal dan individual (kesalehan individual)
yang secara langsung atau tidak langsung akan memiliki dampak social.



8. Pengenalan Kurikulum KTSP dan Kurikulum 2013


No Kurikulum 2013 KTSP
1
SKL (Standar Kompetensi Lulusan)
ditentukan terlebih dahulu, melalui
Permendikbud No 54 Tahun 2013.
Setelah itu baru ditentukan Standar Isi,
yang bebentuk Kerangka Dasar
Kurikulum, yang dituangkan dalam
Permendikbud No 67, 68, 69, dan 70
Tahun 2013
Standar Isi ditentukan terlebih
dahulu melaui Permendiknas No
22 Tahun 2006. Setelah itu
ditentukan SKL (Standar
Kompetensi Lulusan) melalui
Permendiknas No 23 Tahun 2006
2
Aspek kompetensi lulusan ada
keseimbangan soft skills dan hard skills
yang meliputi aspek kompetensi sikap,
keterampilan, dan pengetahuan
lebih menekankan pada aspek
pengetahuan
3
di jenjang SD Tematik Terpadu untuk
kelas I-VI
di jenjang SD Tematik Terpadu
untuk kelas I-III
4
Jumlah jam pelajaran per minggu lebih
banyak dan jumlah mata pelajaran lebih
sedikit dibanding KTSP
Jumlah jam pelajaran lebih sedikit
dan jumlah mata pelajaran lebih
banyak dibanding Kurikulum 2013
5
Proses pembelajaran setiap tema di
jenjang SD dan semua mata pelajaran
di jenjang SMP/SMA/SMK dilakukan
dengan pendekatan ilmiah (saintific
approach), yaitu standar proses dalam
pembelajaran terdiri dari Mengamati,
Menanya, Mengolah, Menyajikan,
Menyimpulkan, dan Mencipta.
Standar proses dalam
pembelajaran terdiri dari
Eksplorasi, Elaborasi, dan
Konfirmasi
6
TIK (Teknologi Informasi dan
Komunikasi) bukan sebagai mata
pelajaran, melainkan sebagai media TIK sebagai mata pelajaran
pembelajaran
7
Standar penilaian menggunakan
penilaian otentik, yaitu mengukur semua
kompetensi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan berdasarkan proses dan
hasil.
Penilaiannya lebih dominan pada
aspek pengetahuan
8 Pramuka menjadi ekstrakuler wajib
Pramuka bukan ekstrakurikuler
wajib
9
Pemintan (Penjurusan) mulai kelas X
untuk jenjang SMA/MA Penjurusan mulai kelas XI
10
BK lebih menekankan mengembangkan
potensi siswa
BK lebih pada menyelesaikan
masalah siswa


Setelah lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan Undang-
undang kependidikan sebelumnya, Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan
jenis pendidikan. Jika pada Undang-undang pendidikan Nasional bdertumpu pada sekolah, maka dalam
UUSBN ini pendidikan nasional mencakup jalursekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis
pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan dan pendidikan agama.[9]
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari
oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.
Tingkat Satuan Pendidikan di Madrasah ada tiga tingkat yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Mata pelajaran Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah terdiri atas
empat, yaitu: Al-Quran-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Tarikh (Sejarah) Kebudayaan Islam.
Setelah lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan Undang-
undang kependidikan sebelumnya, Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan
jenis pendidikan. Jika pada Undang-undang pendidikan Nasional bdertumpu pada sekolah, maka dalam
UUSBN ini pendidikan nasional mencakup jalursekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis
pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan dan pendidikan agama.[9]
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari
oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.
Tingkat Satuan Pendidikan di Madrasah ada tiga tingkat yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Mata pelajaran Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah terdiri atas
empat, yaitu: Al-Quran-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Tarikh (Sejarah) Kebudayaan Islam.
Setelah lahirnya UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbeda dengan Undang-
undang kependidikan sebelumnya, Undang-undang ini mencakup ketentuan tentang semua jalur dan
jenis pendidikan. Jika pada Undang-undang pendidikan Nasional bdertumpu pada sekolah, maka dalam
UUSBN ini pendidikan nasional mencakup jalursekolah dan luar sekolah, serta meliputi jenis-jenis
pendidikan akademik, pendidikan professional, pendidikan kejuruan dan pendidikan agama.[9]
Di dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka salah satu bidang studi yang harus dipelajari
oleh peserta didik di Madrasah adalah pendidikan agama Islam, yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia.
Tingkat Satuan Pendidikan di Madrasah ada tiga tingkat yaitu: Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah. Mata pelajaran Pendidikan agama Islam (PAI) di Madrasah terdiri atas
empat, yaitu: Al-Quran-Hadits, Aqidah-Akhlak, Fiqh, Tarikh (Sejarah) Kebudayaan Islam.

Anda mungkin juga menyukai