Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN AKHIR EKSPLORASI

SUMBERDAYA HAYATI LAUT DAN PESISIR



KEANEKARAGAMAN EKOSISTEM MANGROVE DI
PULAU PARI

Memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Konservasi Sumber Daya hayati dan
Lingkungan laut

KELOMPOK 4
Viky Fajrul (230210100002)
Desta Tansya (230210100028)
Eka Septiyawati (230210100034)
Ajeng Yuniar Ikhsani (230210100049)
Aurora Aprodhita (230210100052)
Eli Riswandi (230210100055)









UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
JATINANGOR

2013
KEANEKARAGAMAN HAYATI EKOSISTEM MANGROVE
DI PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, KONSERVASI DAN
PEMANFAATAN LESTARI

MANGROVE ECOSYSTEMS BI ODI VERSI TY I N THE I SLAND
PARI , THOUSAND I SLANDS, CONSERVATI ON AND
SUSTAI NABLE Utilization

Viky fajrul, Desta Tansya, Eka Septiyawati, Ajeng Yuniar, Aurora
Aproditha, dan Eli Riswandi
Universitas Padjdajaran, Jatinangor, Jawa Barat. Kelautan2010@gmail.com

ABSTRACT


I. PENDAHULUAN
Ekosistem mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu hidup
beradaptasi pada lingkungan pesisir yang sangat ekstrim, tapi keberadaannnya
rentan terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan tersebut disebabkan
adanya tekanan ekologis yang berasal dari alam dan manusia. Bentuk tekanan
ekologis yang berasal dari manusia umumnya berkaitan dengan pemanfaatan
mangrove seperti konversi lahan menjadi pemukiman, pertambakan, pariwisata
dan pencemaran.
Pulau Pari berada di tengah gugusan pulau yang berderet dari selatan ke
utara perairan Jakarta. Dengan pantainya yang berpasir putih dan berair bening
kehijauan, Pulau Pari menjadi salah satu objek wisata di Kepulauan Seribu.
Ekosistem mangrove di pulau ini terbiang cukup rapat dan baik karena hampir
tidak ada penebangan liar yang terjadi dikawasan ini, tetapi permasalah lain yang
terjadi adalah sampah yang menumpuk dan menggenang disekitar mangrove.
Hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ekologis ekosistem
mangrove sebagai daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah asuhan
(nursery ground) bagi hewan-hewan yang hidup di daerah mangrove. Perlu
adanya suatu upaya rehabilitasi dan konservasi ekosistem beserta biota yang
terdapat dimangrove. Pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari juga perlu
dilakukan agar tidak terjadi degradasi ekosistem yang akan menyebabkan
kepunahan bota khas mangrove dan mangrove itu sendiri.
Ekosiste mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan ciri khas yang
berada dipesisir. Percampuran kondisi darat dan laut menjadikan ekosistem ini
ditempati oleh berbagai macam biota baik bita tawar laut maupun payau. Biota
yang berasal dari tawar dan laut akan melakukan adaptasi fisiologi, morfologi dan
tingkah laku untuk bertahan hidup di ekosistem ini sehingga diperkirakan terdapat
banyak bita baru ataupun kandungan-kandungan baru serta hal-hal baru lainnya
yang dapat ditemukan di ekosistem ini. Oleh karena itu perlu dilakukan eksplorasi
yang mendalam mengenai setiap biota dan kandungan dilamanya untuk
menekukan hal baru yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dan
alam. Berdasarkan alasan di atas, maka tujuan dari praktikum ini adalah untuk
mengetahui hal-hal baru yang dapat ditemukan di ekosistem mangrove ini serta
bagaimana cara pemanfaatan yang lestrai untuk hal baru tersebut.

II. METODE PENELITIAN
2.1 Waktu dan Tempat Praktikum
Praktikum ini dilaksanakan pada Senin, 16 Desember 2013 pukul 10.00
WIB. Posisi koordinat pengambilan sampe stasiun adalah S 05
0
51 40,6 E 106
0

36 46,4. Pengambilan sampel berada dikawasan mangrove sebelah timur pulau
Pari dengan menggunakan metode transek garis 3 petak untuk penghitungan
kerapatan mangrove. Ukuran petak pada transek adalah 10X10, 5X5 dan 2X2.


Gambar 1. Peta Lokasi Pulau Pari (google map)

Untuk pengamatan keberadaan biota dilakukan pada sekitar daerah transek
dan penghitungan kualitas perairan disekitar transek. Alat yang digunakan
diantaranya tali rapia, spektrofotometer, termometer, meteran, plastik sampling
dan GPS serta kamre untuk dokumentasi.
Waktu Praktikum yaitu pada bulan desember yang merupakan bulan
penghujan menyebabkan perairan daerah sekitar mangrove memiliki kedalaman
yang cukup tinggi sekitar 70-120 cm sehingga menyebabkan pengamatan subtrat
tidak dapat dilakukan walaupun pada saat surut. Pengaruh bulan penghujan juga
menyebabkan pasang yang terjadi cukup tinggi sehingga TPS di sekitar ekosistem
meluber dan sampah terbawa kedalam perairan dan mengapung di ekosistem.

2.2 Pengamatan di lapangan
2.2.1 Pengukuran Parameter Fisik Perairan
Pengukuran parameter Fisik Perairan dilakukan secara insitu dengan 3 kali
pengulangan pada satu stasiun yang telah ditentukan sebelumnya. Parameter yang
diukur antara lain Suhu, Salinitas, dan Kecerahan. Sebelum dilakukan
pengukuran, terlebih dahulu alat pengukuran dikalibrasi agar saat pengukuran
tidak terjadi eror dan data yang diukur valid.
Pada pengukuran salinitas dengan mengunakan spektrofotometter, setelah
kalibrasi awal alat yang telah digunakan pada pengulangan pertama, dikalibrasi
ulang dengan aquades sebelum digunakan untuk pengukuran diulangan ke-2 dan
seterusnya. Saat pengukuran salinitas, praktikan harus berhati-hati karena jika
keadaan lumpur bercampur pasir yang berada dibawah perairan teraduk oleh
langkah kaki praktikan dapat membuat perubahan pada salinitas perairan. Untuk
pengukuran suhu dengan termometer, cara penggunaan adalah dengan memegang
bagian ujung(tali) pada termometer. Hal ini bertujuan agar suhu insitu yang diukur
tidak tercampur dengan suhu tubuh praktikan. Pengukuran kecerahan didasarkan
pada dasar kedalaman perairan yang masih bisa terlihat oleh mata.



2.2.2 Mangrove
Pengamatan vegetasi mangrove dilakukan menggunakan metoda Buckland et
al. (1993) dalam Yosmina (2012), yaitu dengan melakukan identifikasi jenis dan
jumlah mangrove di lapangan. Pengukuran kerapatan, tinggi vegetasi mangrove yang
tergolong pada kategori pohon (diameter batang setinggi dada > 10 cm),
belta/pancang (2-5 cm) dan anakan/semai atau seedling (< 2cm). Pertama tarik garis
lurus terhadap garis pantai. Tarik garis secara horizontal sejauh 30 meter dengan
tali rapia. Data vegetasi untuk setiap titik transek diambil dengan menggunakan
kwadran berukuran 10 x 10 m untuk pohon (berdiameter 10 cm atau keliling 33 cm)
yang terletak di sebelah kiri dan kanan transek. Pada setiap petak tersebut dibuat
petak yang lebih kecil dengan ukuran 5 x 5 m. Di dalam petak ini dikumpulkan data
tentang belta/anak pohon (berdiameter 2-10 cm, atau keliling 7-32 cm), sedangkan
untuk tingkat semai data dikumpulkan dari setiap petak yang berukuran 1 x 1 m2 yang
ditempatkan dalam petak ukuran 5 x 5 m2. Pada kwadran tersebut semua tegakan
diidentifikasi jenisnya, serta dihitung jumlah masing-masing jenis. Data jumlah
pohon dan semai pada tiap kuadaran dihitung dan dicatat secara keseluruhan
2.2.3 Pencarian organisme perairan yang berada di sekitar lokasi
Setiap organisme yang terdapat dalam perairan dicatat baik moluska,
bivalve, crustacean, seagrass maupun yang lainya yang berasosiasi dengan
mengrove tersebut. Kemudian sampel yang dapat diambil dengan persayaratn
melimpah di lokasi pengambilan sampling dapat diambil dengan menggunakan
plastik sampling untuk dilakukan uji laboratorium.

2.3 Analisis Data
Untuk analisis mangrove Data mangrove yang diperoleh dianalisis dengan
persamaan yang diusulkan oleh Cox (1967) dan meliputi:
2.3.1 Analisi Metode transek
a. Kerapatan


(

)







b. Frekuensi








x100%

c. Dominansi

(

)
(

)






2.3.2 Uji Fitokimia
Untuk mengetahui potensi dan kandungan yang terdapat dala biota dan
mangrove di ekosistem ini, maka dilakukan uji fitokimia standar untuk
menganalisis kandungan senyawa metabolit sekunder dari setiap biota. Bahan
Hayati yang akan di uji fitokimia di maserasi dan diekstraksi kemudia di uapkan
dengan rotary evaporator untuk menghasilakn ekstrak pekat. Hasil ekstraksi bahan
kemudian diuji komponen bioaktifnya melalui uji fitokimia. Uji fitokimia terdiri
dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,
molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.
a. Uji Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N
kemudian diuji dengan tiga peraksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi
Meyer, dan perekasi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif jika adanya endapan
putih kekuningan untuk pereaksi Meyer, endapan coklat untuk Wagner dan
endapan merah jingga untuk pereaksi Dragendorff.
b. Uji Steroid/triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung rekasi
yang kering. Lalu 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat
ditambahkan ke dalamnya. Larutan berwarna merah yang terbentuk untuk pertama
kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukan reaksi positif.
c. Uji Flavonoid
Sejumlah sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak
0,1 mg dan 0,40ml amil alkohol dan 4 ml alkohol (campuran asam klorida 37%
dan etanol 95% dengan volume yang sama ). Warna merah, kuning, atau jingga
yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.
d. Uji Saponin (Uji busa)
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes HCL 2 N
menunjukkan adanya saponin.
e. Uji Fenol hidrokuinon (Pereaksi FeCl3)
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan
yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes
larutan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang terbentuk menunjukkan
adanya senyawa fenol dalam bahan.
f. Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes peraksi Molish dan 1 ml asam
sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan
cairan.
g. Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna hijau,
kuning, atau endapan merah bata yang terbentuk menunjukkan adanya gula
pereduksi.
h. Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Larutan berwarna ungu yang terbentuk
menunjukkan hasil uji positif adanya peptida.
i. Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan ninhidrin 0,1%,
kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna biru menunjukkan
hasil positif asam amino.


III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3. 1 Hasil
Pengamatan Biota yang dilakukan dilokasi transek ekosistem mangrove,
diantanya ditemkan ikan glodok (Periopthalmus sp), kepiting batu (Scylla sp),
sargassum sp, Enhalus acoroides dan kelas gastropoda. Pengukuran kualitas air
pada lokasi pengamatan meliputi parameter fisik dan parameter kimia. Parameter
fisik yang diukur diantaranya adalah suhu dan substrat sedangkan parameter kimia
yang diukur hanya salinitas. Hal ini dikarenakan keterbatasan alat sehingga untuk
parameter fisik kedalaman dan kecerahan hanya diamati dengan panca indra
secara langsung sedangkan parameter kimia DO dan pH tidak diukur. Hasil
pengukuran parameter fisik dan kimia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kualitas Air
Keterangan Sampling Parameter
Pengulangan
Rata-rata
I II III
Waktu 10.00 WIB Fisik
Tempat Perairan
mangrove
Suhu (
o
C) 29 29 30 29,33
Posisi
S : 05
o
5140,6
E : 106
o
3646,4
Substrat
Pasir
berlumpur
Pasir
berlumpur
Pasir
Pasir
berlumpur
Kimia
Salinitas
(ppt)
25 26 30 27

Dari Hasil Pengamatan dilokasi, ekosistem mangrove di Pulau Pari
didominasi oleh genus Rhizophora sp. Lokasi yang kami amati merupakan
ekosistem mangrove dengan jenis Rhizophora mucronata (gambar 2) dilihat dari
akarnya yang berupa akar sangga, gagang daun berwarna hijau, bentuk daun elips
melebar hingga bulat memanjang, ujung daun meruncing, tumbuh berkelompok,
dan terletak di daerah pasang surut.

Gambar 2. Rhizopora mucronata

Mangrove yang diamati merupakan mangrove yang terlewati oleh garis
transek 10x10 meter untuk tiang, 5x5 meter untuk pancang, dan 2x2 untuk semai.
Hasil dari pengamatan diperoleh bahwa di dalam transek 10x10 m terdapat 1
individu tiang mangrove dengan diameter 47 cm, di dalam transek 5x5 m
terdapat 174 individu pancang mangrove dengan diameter 9 cm, dan di dalam
transek 2x2 m terdapat 113 individu semai mangrove. Hal ini menunjukkan
bahwa pada lokasi pengamatan ekosistem mangrove didominasi oleh pancang
mangrove.

Perhitungan Data Mangrove
1. Kerapatan
a.

(

)


()
(



b.





2. Frekuensi
a.





b.


x100%



3. Dominansi
a.
(

)
(

)


(

)
(

)

b.





Uji Fitokimia

3.2 Pembahasan
Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa suhu perairan cukup
normal karena pengukuran dilakukan pada waktu mulai menuju siang sehingga
suhu perairan cukup tinggi yaitu 29,33
o
C (hasil rata-rata). Substrat pada lokasi
pengamatan mangrove merupakan pasir berlumpur sedangkan pada lokasi
pengamatan biota lain yang berasosiasi dengan mangrove yaitu pasir sehingga
ditemukan pula biota lamun. Nilai salinitas pada pengukuran ke-1 hingga ke-3
mengalami kenaikan, hal ini dikarenakan pada saat pengukuran praktikan
bergerak-gerak di perairan tersebut sehingga unsur kimia dalam perairan yang
awalnya mengendap di bagian bawah menjadi teraduk dan naik ke permukaan
sehingga nilai salinitas mengalami kenaikan dari pengukuran 1 hingga 3 sehingga
setelah dirata-ratakan nilai salinitas perairan tersebut adalah 27 ppt.
Hasil pengukuran kualitas air tersebut sesuai dengan literatur bahwa
mangrove hidup pada salinitas 22-38 ppt, suhu perairan tropis rata-rata 27-30
o
C,
dan Rhizophora mucronata hidup pada substrat pasir berlumpur (Bengen 2004
dalam Lestarina 2011). Kualitas air seperti ini memungkinkan pada ekosistem
mangrove tersebut hidup biota lain. Biota lain yang hidup di ekosistem mangrove
diantaranya adalah mamalia, reptil dan amfibi, burung, crustacea dan molusca,
serta ikan (Dedi 2007). Pengamatan di lapangan ditemukan beberapa biota lain
yang hidup berasosiasi dengan mangrove diantaranya adalah ikan glodok,
molusca yang diantaranya adalah gastropoda, kepiting, dan lamun ketika
memasuki substrat pasir. Rumput laut Sargassum sp juga ditemukan namun
kemungkinan rumput laut ini hanya terbawa arus karena hanya menempel pada
ranting yang patah dan tersangkut di batang-batang mangrove tersebut.
Hasil perhitungan data diperoleh bahwa kerapatan mangrove pada lokasi
pengamatan adalah 4,6 ind/m
2
yang didapatkan dari hasil pembagian jumlah
individu yang ditemukan di dalam transek 10x10 m
2
atau 100 m
2
. Kerapatan
relatif yang diperoleh adalah hasil dari perbandingan antara kerapatan satu spesies
dengan kerapatan seluruh spesies, namun karena pada pengamatan di lapangan
hanya satu spesies mangrove yang ditemukan dalam area transek maka kerapatan
relatifnya adalah 100%.
Berdasarkan hasil identifikasi, salah satu biota yang ditemukan di
ekosistem mangrove ini adalah ikan glodok (Periopthalmus sp). Ikan ini hidup di
wilayah pasang surut, gelodok biasa menggali lubang di lumpur yang lunak untuk
sarangnya. Lubang ini bisa sangat dalam dan bercabang-cabang, berisi air dan
sedikit udara di ruang-ruang tertentu. Ketika air pasang naik, gelodok umumnya
bersembunyi dilubang-lubang ini untuk menghindari ikan-ikan pemangsa yang
berdatangan. Bila air surut ikan glodok banyak terlihat keluar dari air, merangkak
atau melompat lompat di atas lumpur dan jika air pasang ia masuk ke hutan bakau,
baru turun kembali ke lumpur-lumpur pantai bila air telah surut atau ia
bersembunyi pada lubang-lubang sarangnya. Ikan ini kadang-kadang bergerombol
bertengger pada akar-akar tunjang pohon bakau Rhizophora atau berada di antara
akar-akar tunjang pohon bakau Sonneratia. Di Indonesia, ikan glodok ditemukan
oleh Harden Berg pada tahun 1935 di Sumatera dan Kalimantan dari jenis
Periophtalmus sp dan sekarang telah tersebar luas di sepanjang Pantai Utara Jawa,
Segara Anakan Cilacap dan Nusakambangan, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara dan Maluku. Mereka dapat di temukan di Taman Wisata Alam Angke
Kapuk hingga ke Hutan Lindung Angke Kapuk dan hidup diantara tumpukan
sampah dan bahan pencemar lain yang menumpuk di muara Jakarta.
Untuk jenis hewan molusca yang ditemukan adalah molusca menempel
(teririp) dalah satunya yaitu Cerithidea decollata (gambar 3). Jenis mollusca ini
adalah jenis yang dapat dikonsumsi. Biasanya mollusca ini hidup menempel pada
akar dan batang dari mangrove yang hidup didaerah zona pertama pasang surut.
Bivalvia atau Pelecyopoda dan Gastropoda merupakan kelas moluska terbanyak
yang ditemukan pada ekosistem mangrove. Kedua moluska ini hidup dalam
ekosistem daerah pantai dan estuari yang berada di daerah pasang surut sehingga
mempunyai kemampuan beradaptasi terhadap kekeringan dan perubahan salinitas
serta derajat keasaman (pH) dari tanah mangroveyang berkisar antara asam
rendah, netral atau basa rendah akibat pengaruh air laut, dan air tawar juga proses
biologi kimia tanah.

Gambar 3. Cerithidea decollata
Salah satu Jenis crustacea yang ditemukan dipulau pari ini adalah kepiting
batu (gambar 4). Dibeberapa tempat di kawasan mangrove P.pari ini ditemukan
beberapa perangkap bubu dan hampir sebagian telah terisi oleh jenis kepiting batu
ini. Setiap kepiting mempunyai tempat hidup yang spesifik dan mungkin berbeda
satu dengan yang lainya. Oleh karena itu kepiting sering dinamai sesuai dengan
kebiasaan atau lokasi yang disukainya. Salah satu kepiting tersebut adalah
kepiting batu. Kepiting batu memiliki perisai pertahanan tubuh yang relative tebal
meskipun mempunyai badan yang kecil. Kepiting ini memiliki warna kehijau-
hijauan yang sangat menarik dan sebagian dadanya keputih-putihan. Gerakan
kepiting batu sangat lincah karena di lengkapi kaki yang sangat panjang.

Gambar 4. Kepiting Batu
Selain mangrove, abiota lain yang ditemukan adalah lamun dan rumput
laut. Jenis lamun yang ditemukan adalah Enhalus acoroides dan jenis rumput laut
adalah Sargassum sp. Untuk Sargassum sp sendiri, kemungkinan besar bukan
berasal dari ekosistem ini tetapi hanya terbawa arus hingga terhanyut. Hal ini
dapat dilihat dari keberadaanya yang tersangkut akar mati dan hanya terdapat
sedikit, sedangkan rumput laut sendiri merupakan tanaman air yang hidup
mengerombol.
Enhalus acoroides yang ditemukan, banyak terdapat dibagian subtrat pasir
yang berada di pinggir pantai. Sedangka untuk subtrat lumpur lamun ini sudah
tidak ditemukan. Keberadaanya di stasiun ini tidak terlalu banyak dikarenakan
dominasi mangrove pada sisi bagian pantai P.Pari sebelah barat.

Kandungan Metabolit Sekunder
Rhizophora mucronata memiliki kandungan metabolit sekunder yang
sangat bermanfaat. Menurut penelitian Priyanto (2012), ekstrak kasar metanol
daging buah Rhizophora mucronata mengandung alkaloid, steroid, flavonoid,
fenol hidrokuinon dan tanin. Ekstrak kasar etil asetat mengandung komponen
bioaktif diantaranya alkaloid, steroid, flavonoid, fenol hidrokuinon dan tanin.
Ekstrak n-heksana hanya mengandung komponen bioaktif steroid. Menurut
penelitian Diastuti et al. (2008), ekstrak etanol daun Rhizophora mucronata
mengandung triterpenoid dan alkaloid, sedangkan menurut penelitian Diastuti et
al. (2009), ekstrak etanol daun Rhizophora mucronata mengandung flavonoid,
triterpenoid dan alkaloid. Menurut Ludyahantoro dan Tukiran (2012), ekstrak
kulit batang Rhizophora mucronata mengandung alkaloid, saponin, tanin dan
flavonoid. Menurut penelitian Kariem (2002), akar Rhizophora mucronata
mengandung senyawa tanin.
Kandungan metabolit sekunder dalam Rhizophora mucronata sudah
banyak diteliti dan memiliki banyak potensi dalam pemanfaatannya. Menurut
penelitian Priyanto (2012), ekstrak kasar metanol daging buah Rhizophora
mucronata berpotensi sebagai antioksidan yaitu dapat menghambat oksidasi
lemak dengan batas nilai bilangan peroksida untuk penyimpanan 7 hari sebesar
3,00 Meq/Kg minyak pada konsentrasi 31,25 ppm. Menurut penelitian Diastuti et
al. (2008), ekstrak daun Rhizophora mucronata berpotensi sebagai antikanker
khususnya terhadap sel kanker Myeloma. Sitotoksisitas tertinggi ditunjukkan oleh
fraksi kloroform dengan nilai LC
50
sebesar 28,72 g/mL. Menurut penelitian
Diastuti et al. (2009), ekstrak daun Rhizophora mucronata berpotensi sebagai
antikanker. Aktivitas antikanker tertinggi ditunjukkan oleh fraksi kloroform
dengan nilai LC
50
sebesar 290,92 g/mL terhadap A. salina dan nlai IC
50
sebesar
105,56 g/mL terhadap sel Raji. Menurut Suciati et al. (2012), ekstrak daun
Rhizophora mucronata berpotensi sebagai antibakteri terutama dalam
menghambat pertumbuhan Aeromonas salmonicida dan Vibrio harveyi. Menurut
Ludyahantoro dan Tukiran (2012), ekstrak kulit batang Rhizophora mucronata
berpotensi sebagai bioinsektisida terhadap ulat grayak. Menurut penelitian Kariem
(2002), kandungan tanin dalam Rhizophora mucronata berpotensi sebagai racun
bagi organisme perairan disekitarnya.
Utuk ikan glodok sendiri, potensi ikan ini selain sebagai filter feeder, juga banyak
dikonsumsi terutama di negara Jepang. Karena ikan ini mengandung 7,91%
protein, 0,46% lemak, 3,82% abu dan 72,80% air. Sedangkan bila sudah
dipanggang ikan glodok ini mempunyai kandungan 24,31% protein, 0,85% lemak,
5,17% abu dan 43,73% air. Hal ini dibuktikan oleh BBPMP pada tahun 1990.
Selain menjadi santapan, ikan ini juga digunakan sebagai obat tradisional,
terutama sebagai peningkat tenaga lelaki dan juga untuk kesehatan terutama janin
ibu hamil. Nilai ekonomi dari ikan ini di Indonesia belum optimal. Namun
didaerah seperti Karawang dan Cilacap ikan ini sudah diperjual belikan dengan
harga Rp. 3.000/kg dengan pemanfaatan sebagai ikan kering dan ikan asap.
Namun di Tiongkok dan Jepang, ikan gelodok menjadi santapan, selain juga
digunakan sebagai obat tradisional, terutama sebagai peningkat tenaga lelaki dan
juga untuk kesehatan terutama janin ibu hamil.
Untuk kandungan metabolit sekunder dari ikan glodok ini masih jarang
diteliti karena dilihat dari kandungan gizinya, ada komunitas biota ;ain yang ebih
bermanfaat untuk dikonsumsi dan dibuat produk olehan. Ikan glodok ini memiliki
fungsi ekologi yang penting sehingga keberadaanya dialam tidak boleh punah dan
sebaiknya tidak dimanfaatkan sebagai biota konsumsi. Ikan ini memiliki peranan
penting dalam menjaga keseimbangan rantai makanan. Ikan glodok yang
membuat lubang-lubang galian. Lubang-lubang yang digali tersebut selain
berfungsi sebagai tempat berlindung juga berguna sebagai media untuk
melewatkan oksigen agar dapat masuk kebagian subtrat yang lebih dalam
sehingga dapat memperbaiki kondidi anoksi dalam subtrat hutan mangrove.
Berdasarkan hasil uji laboratorium dapat diketahui nilai gizi makro per
100 gram Siput Gonggong antara lain karbohidrat 4,1% dengan nilai gizi 16,4
kalori, Protein 31,19 dengan nilai gizi 124,8 kalori dan lemak 24,9% dengan nilai
gizi 224,1 kalori. Selain Itu Sebagian masyarakat ditanjungpinang menyakini
gonggong bermanfaat untuk pertumbuhan hormon, meningkatkan stamina. Karena
mengandung protein yang tinggi dan rendah lemak maka gonggong dapat menjadi
pilihan seafood anda yang kaya gizi dan sehat
Untuk Jenis mollusca, umumnya menguntungkan bagi manusia, namun
ada pula yang merugikan. Peran mollusca yang menguntungkan adalah sebagai
berikut:
Sumber makanan berprotein tinggi, misalnya tiram batu (Aemaea sp.), kerang
(Anadara sp.), kerang hijau (Mytilus viridis), Tridacna sp., sotong (Sepia sp.),
cumi-cumi (Loligo sp.), remis (Corbicula javanica), dan bekicot (Achatina
fulica).
Perhiasan, misalnya tiram mutiara (Pinctada margaritifera).
Hiasan dan kancing, misalnya dari cangkang tiram batu, Nautilus, dan tiram
mutiara.
Bahan baku teraso, misalnya cangkang Tridacna sp.
Pakan ternak (Vivipara)
Vektor berbagai penyakit (Lymnaea trunchatula, l. Rubiginosa, dsb)
Hewan peliharaan (Octopus bimaculoides)
Mollusca yang merugikan bagi manusia, misalnya bekicot dan keong
sawah yang merupakan hama dari tanaman (Helix astrea dan Achantina fulica),
perusak kayu (Tredo navalis) dan siput air yang merupakan perantara cacing
Fasciola hepatica.
Kepiting sendiri memiliki banyak potensi yang masih belum disadarai oleh
masyarakat luas. Kepiting ini memiliki peranan penting dalam menjaga
keseimbangan rantai makanan. Selain itu, kepiting ini memiliki peran yang sama
sepeti ikan glodok yang membuat lubang-lubang galian.
Kepiting juga memiliki kandungan gizi yang tinggi, diantaranya
Kandungan protein yang tinggi berfungsi vital bagi tubuh sebagai pembentuk
enzim, pembentukan sel organ dan otot, pembentuk hormon, perbaikan sel yang
rusak, pengatur metabolisme, dan pembentuk sistem kekebalan tubuh. Kandungan
vitamin B12 sangat baik untuk menghasilkan energi dan pertumbuhan,
meningkatkan metabolisme asam amino dan asam lemak, produksi sel darah
merah, serta meningkatkan kesehatan syaraf dan kulit. Asam lemak omega-3
dalam kepiting berfungsi menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah sehingga
mencegah penyakit kardiovaskular (jantung), meningkatkan kekebalan tubuh,
meningkatkan fungsi sistem syaraf dan kesehatan mata, dan meningkatkan
kecerdasan otak bila diberikan sejak dini. Mineral selenium berperan sebagai
antioksidan untuk mencegah kerusakan sel dari radikal bebas penyebab kanker
dan penyakit jantung. Selenium diyakini berperan dalam mencegah kanker dan
pengrusakan kromosom, juga meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi
virus dan bakteri serta mencegah peradangan. Mineral copper berfungsi sebagai
komponen enzim redox, pembentukan selda rah merah, otot, syaraf, tulang dan
otak, serta mencegah penyakit tulang dan syaraf. Mineral zinc berfungsi untuk
komponen pembentuk enzim-enzim tubuh, sel darah merah, sistem kekebalan
tubuh, mencegah pembesaran prostat, mencegah kerontokan rambut. Kerang
sangat cocok untuk menu diet yang tinggi protein karena mengandung lemak
jenuh yang sangat rendah hanya 0,2 gram/ 100gram.
Selain itu kandungan kithin dan kithosan dalam cangkang kepiting dapat
digunakan sebagai bahan pengawet alami, anti bakteri dan bahan kosmetik. Dalam
erni (2009) Manfaat kulit kepiting tersebut, untuk pertamakalinya ditemukan para
ilmuwan dari Jepang, setelah mereka melakukan penelitian bertahun-tahun.
Bahkan menurut Dr. Matsunaga dari Asta Clinic, Nagoya yang juga menjadi
Presiden Association of Chitosan, manfaat kulit kepiting itu, sudah menjadi
perhatian mereka sejak 10 tahun lalu. Dari hasil penelitian yang dilakukan para
ilmuwan Jepang tersebut diketahui dalam kulit kepiting, terkandung
zat kithin yang dikenal sangat efektif untuk menekan pertumbuhan kanker dan
menurunkan kolesterol dalam tubuh. Pimpinan PT Kosmojaya Pandu Nusa
Semarang H Nugroho Koesno menjelaskan zat kithin juga dapat digunakan
sebagai bahan untuk kulit sintetis. Berdasarkan penelitian di Jepang, zat tersebut
juga bisa diurai menjadi benang maupun sebentuk selaput yang dapat digunakan
untuk benang operasi ataupun kulit sintetis. Dari percobaan itu, kulit sintetis
dari zat kithin ini mempunyai beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan
kulit sintetis biasa yang umunya terbuat dari kulit babi atau selaput collagen sapi.
Kulit sintetis ini, mempunyai keunggulan dapat menghaluskan kulit, tidak
meninggalkan bekas, tidak menimbulkan efek sampingan, seperti radang dan lain
sebagainya.
Selain untuk kulit sintetis, zat kithin atau Kitosan tersebut, juga sering
dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam produk kosmetik dan makanan.
Dengan kemampuannya yang dapat mencegah pembusukan dan timbulnya jamur,
maka zat kithin sangat efektif untuk bahan tambahan dalam produk makanan
asinan maupun menjaga kelembaban kosmetik ataupun shampo. Di samping itu
dengan kemampuannya yang bersifat menyerap kotoran, zat ini juga sering
digunakan untuk memproses air bersih ataupun untuk memproduksi lensa kontak,
kristal cair dan lain sebagainya.

VI. SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Manfaat Cangkang Kepiting. http://tips-tips-
kesehatan.blogspot.com/2009/08/cangkang-kepiting-bisa-jadi-obat.html.
Diakses pada tanggal 22 Desember 2013 pada pukul 20.18 WIB
Anonim. Manfaat Kepiting Untuk Kesehata. http://apotik-
hidupku.blogspot.com/2011/11/manfaat-kepiting-untuk-kesehatan.html.
Diakses pada tanggal 22 Desember 2013 pada pukul 20.26 WIB
Budidayanto, Dwi. 2010. Ikan Mudskiper. http://dwibudiyanto.blogspot.com/
2010/08/mengenal-ikan-glodok-mudskipper-dan.html. Diakses pada
tanggal 22 Desember 2013 pada pukul 15.13 WIB
Elhaq & Satria. 2011. Persepsi Pesanggem Mengenai Hutan Mangrove Dan
Partisipasi Pesanggem Dalam Pengelolaan Tambak Mangrove Ramah
Lingkungan Model Empang Parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi,
Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 5 (1): 97-103.
Indriani, Y. 2008. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Api-
Api (Avicennia marina forssk. vierh) di Desa Lontar, Kecamatan Kemiri,
Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor 73 hlm.
Jabarsyah, Abdul, DKK., 2008. Laju Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla
Serrata) Dengan Pemberian Jenis Bahan Pakan Yang Berbeda. FPIK
Universitas Borneo.
Joesidawati, ST, M.Si. Marita Ika. 2007. Struktur Komunitas Moluska Pada
Habitat Mangrove Di Kawasan Mangrove Center Jenu Tuban.
http://ejournal.unirow.ac.id/ojs/files/journals/2/articles/4/public/Moluska%
20di%20Mangrove%20Jenu%20Marita%201.pdf. Diakses pada tanggal 22
Desember 2013 pada pukul 20.18 WIB
Wijiyono. 2009. Keanekaragaman Bakteri Serasah Daun Avicennia marina yang
Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Teluk Tapian
Nauli. Sekolah Pasca Sarjana USU. 77 hlm.
Yosmina, T . 2012. Biota Penempel Yang Berasosiasi Dengan Mangrove Di
Teluk Ambon Bagian Dalam. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan Tropis,
Vol. 4, No. 2, Hal. 267-279.
Diastuti et al. 2008. Uji Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Daun Rhizopora
mucronata terhadap Sel Myeloma. Jurnal Molekul. 3 (2): 63-70.
Diastuti et al. 2009. Aktivitas Antikanker Ekstrak Etanol Daun Rhizopora
mucronata terhadap Larva Udang Artemia salina Leach dan Sel Raji. Jurnal
Molekul. 4 (1): 12-20.
Kariem, I. 2002. Distribusi Kandungan Zat Ekstraktif Tanin Terkondensasi pada
Tegakan Rhizophora mucronata pada Ekosistem Tambak Tumpangsari di
Blanakan, Purwakarta. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor, 41 hlm.
Ludyahantoro dan Tukiran. 2012. Formulasi Bioinsektisida dari Ekstrak
Kloroform Batang Tumbuhan Bakau Hitam (Rhizophora mucronata
Lamk.). UNESA Journal of Chemistry. 1 (1): 14-18.
Priyanto, R.A. 2012. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Buah
Bakau (Rhizophora mucronata Lamk.). Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 54 hlm.
Suciati et al. 2012. Efektifitas Ekstrak Daun Rhizophora mucronata dalam
Menghambat Pertumbuhan Aeromonas salmonicida dan Vibrio harveyi.
Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 1 (1): 1-8.

Anda mungkin juga menyukai