Anda di halaman 1dari 44

Oleh : Baidarus Muhammad

Etika dan Norma Ekonomi dalam Islam


Coba pikirkan bagaimana seharusnya kita
menjalankan kehidupan berekonomi.

Diskusikan dengan teman di samping anda.

Siapa yang mau berbagi pengetahuan ?
Etika dan Norma Ekonomi dalam Islam
Persoalan ekonomi adalah persoalan kemanusiaan
yang fundamental, karena segala tingkah laku
manusia dapat dinilai secara ekonomis atau bermotif
ekonomi. Kemajuan kebudayaan, pendidikan, ilmu
pengetahuan dan teknologi, politik dan lain
sebagainya mempunyai hubungan kausalitas dengan
kemajuan ekonomi. Karenanya wajar kalau kapitalism-
liberalis dan sosialis-komunis yang sampai sekarang
masih mendominasi ideologi dunia pada mulanya
adalah mazhab ekonomi.
Persoalan ekonomi sebenamya merupakan masalah
muamalah atau hubungan kemanusiaan. Persoalan
muamalah dalam Islam pada umumnya hanya dibahas
secara garis besar atau hanya diberi nilai etik dan
norma-norma saja, tetapi dalam masalah ekonomi
ada beberapa hal yang dibahas agak mendetail dan
rinci seperti masalah waris dan zakat. Lebih dari itu,
zakat sebagai cara efektif menegakkan keadilan dan
transformasi ekonomi dimasukkan sebagai salah satu
rukun Islam yang harus ditegakkan setiap muslim.
A. Hak Milik
Seluruh alam dengan segala isinya pada hakekatnya
adalah milik Allah (QS. 2:284) termasuk di dalamnya
adalah manusia. Manusia diberi amanat
memanfaatkan ciptaanNya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Karenanya upaya memenuhi
kebutuhan hidupnya -bagi seorang muslim- pada
hakekatnya adalah untuk memenuhi amanah Allah.
Statemen di atas mengandung pengertian bahwa
harta benda yang dimiliki dan yang terus dicari
bukanlah miliknya secara mutlak, melainkan sebagai
amanah agar dapat didayagunakan secara tepat dan
disampaikan kepada yang berhak secara adil sesuai
dengan pesan pemberi amanah, yaitu Allah.
Secara lebih rinci, dalam masalah hak milik ini
dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu hak milik
individu dan hak milik sosial. Islam mengakui hak
milik individu dari harta yang sah dan diperoleh
dengan cara yang sah pula. Akan tetapi hak milik
individu tidak dibenarkan mengganggu atau
merusak kepentingan sosial, misalnya memonopoli.
Hak milik individu dalam Islam harus dapat
berfungsi sosial dan mengembangkan dinamika
sosial. Karena itu norma Islam tentang kewajiban
zakat dan anjuran berinfak dan sedekah, agar harta
yang dimiliki dapat berfungsi sosial dan melahirkan
dinamika sosial, yang berarti dapat menghilangkan
kecemburuan, kedengkian, keirihatian yang pada
gilirannya dapat menciptakan keamanan dan
kemajuan.
Adanya pencurian, perampokan dan pengambilan
hak orang lain pada umumnya juga berakar pada
masalah ketidakadilan sosial, yakni adanya
sekelompok orang yang merasa tidak mempunyai
akses dalam tatanan sosio-ekonomi yang normal.
Sebaliknya hak sosial tidak dibenarkan menjajah
hak individu atau memasung kreativitas individu.
Masyarakat harus memberi peluang kepada individu
untuk berkreasi dan mengembangkan
kecakapannya secara maksimal dan mengakui hak
miliknya.
B. Keadilan Ekonomi.
Prinsip ekonomi dalam Islam adalah seseorang
dituntut bekerja sesuai dengan kemampu an
kumulatifnya dan diberikan hak sesuai dengan
kebutuhan dasarnya (basic need).
Dari prinsip di atas, Islam mengecam orang yang
miskin karena tidak mau mendayaguna kan
kemampuannya : malas berfikir, malas bekerja dan
berusaha. Orang yang demikian dianggap sebagai
dlulumun an nafs atau menganiaya diri sendiri.
Karenanya Dr. Mohammad Iqbal pernah berkata:
"Kafir yang aktif lebih baik daripada muslim yang
pasif."
Islam mengakui kenyataan adanya kemiskinan dan
memerintahkan supaya menyantuni dan mengasihi
mereka. Akan tetapi Islam menganggap kemiskinan
itu sebagai penyakit masyarakat dan karena itu
harus diobati.
Ali bin Abi Thalib mengatakan : "Seandainya
kemiskinan itu berupa seseorang niscaya
saya bunuh." Karenanya Islam tidak mentolerir
kemiskinan yang disebabkan karena kemalasan,
keteledoran, konsumtif atau karena perjudian.
Akan tetapi Islam sangat komitmen kepada
kemiskinan absolut, yaitu kemiskinan yang
disebabkan ketidak mampuan bekerja, kehilangan
syarat-syarat untuk bekerja, karena musibah atau
karena kemiskinan stuktural (mustadzafin).
Mustadz'afin adalah orang yang miskin karena
dimiskinkan atau orang yang lemah karena
dilemahkan oleh struktur.
Komitmen Islam terhadap mustadz'afin ini sangat
tinggi. Wujud dari komitmen ini diantaranya
ditetapkan nya norma kewajiban zakat atau pajak
sebesar 2,5 sampai 10 persen per tahun, dianjur
kannya infak; sedekah, hibah, wasiat, perintah
bekerja keras dan lain sehagainya. Islam juga
mewjibkan membayar kafarat (denda) bagi orang
yang karena keadaan tertentu tidak dapat
melaksanakan puasa Ramadhan, tidak dapat
menjalankan wajib haji, orang yang melakukan
dzihar, yaitu menyamakan isterinya dengan ibunya,
dan sebagainya.

Take a few minutes to compare notes with a
partner:

Summarize the most important
information.

Identify (and clarify if possible) any
sticking points.
C. Etos Kerja
Islam sebagai agama yang hanya menghendaki
kebaikan dan agama yang sesuai dengan fitrah
manusia, memerintahkan agar manusia mencari
harta. Harta adalah karunia Allah dan mencarinya
adalah bemilai ibadah. Islam memberi petunjuk
agar dalam kegiatan mencari harta itu menjadi
mudah dan menyenangkan serta tidak
menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah.
Di antara petunjuk Islam dalam hal mencari harta
adalah sebagai berikut:
a. Dalam Islam, motivasi dasar yang harus
diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalan
kan hidup ini adalah pengabdian kepada Allah
semata.
b. Alquran menegaskan bahwa cara yang terbaik
untuk mendapatkan kekayaan adalah dengan
bekerja. Karena pada dasamya seseorang tidak
akan memperoleh sesuatu selain yang ia
usahakan.
c. Dalam hidup dan bekerja, Islam mengajarkan
akan pentingnya berorientasi ke masa depan,
kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu,
penuh rasa tanggung jawab dan berorientasi
pada prestasi (achievement oriented) dan bukan
prestise semata. Artinya:
- Hidup harus punya cita-cita. Karena itu kerja
yang benar adalah kerja yang direncana kan dan
diperhitungkan masak-masak tentang untung
ruginya dan konsekuensi logis yang ditimbulkan
agar dapat menciptakan masa depan yang lebih
baik, lebih maju dan lebih sejahtera daripada
masa sekarang.
- Kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga,
waktu dan biaya adalah bertentang an dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Islam mengajarkan agar
setiap detik dari waktu harus diisi dengan tiga hal
yaitu : meningkatkan keimanan, beramal shaleh
(amal yang mensejahterakan) dan berkomunikasi
sosial.
- Semua masalah yang menjadi tanggung
jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa
tanggung jawab (responsibility) dan penuh
perhitungan (accountability).
- Hidup dalam Islam harus hemat dan berpola
kesederhanaan, tidak konsumtif dan berlebihan,
tetapi tidak kikir.
- Islam menilai bahwa sebaik-baik pekerjaan
adalah yang di kerjakan dengan sebaik-baiknya
(ahsanu amala)
D. Riba dan Bunga.
Berbicara tentang riba dan bunga dalam
hubungannya dengan pembangunan ekonomi,
dalam Islam ada beberapa asas ekonomi yang
berhubungan dengan hal itu, antaranya adalah
asas suka sama suka, tidak menganiaya diri sendiri
dan orang lain dan asas pemerataan. (lihat QS.
4:29, 59:6).
Persoalan riba juga sering dikaitkan dengan
masalah jual beli, misalnya ayat yang menyatakan
bahwa Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba (QS. 2:275). Ini menandakan
bahwa riba itu ada di mana-mana dan terutama
dalam jual beli atau aktivitas ekonomi pada
umumnya.
Dari surat al-Baqarah tersebut dapat difahami
bahwa walaupun riba itu jelas diharamkan dan jual
beli dihalalkan, tetapi dalam kenyataan batas
antara keduanya tidak mudah dideteksi disebebkan
kompleksitas permasalahannya.
Rasulullah bersabda : Yang halal telah jelas dan
yang haram pun jelas pula, dan di antara
keduanya adalah mutasyabihat (tidak jelas).
Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Bagi orang yang berhati-hati lebih condong
meninggalkan yang syubhat karena syubhat lebih
dekat kepada keharaman. Barang siapa yang
terjerumus kepada perkara syubhat, maka ia
hampir terjerumus kepada yang haram. (al-
Hadits). Sedang bagi orang kebanyakan, syubhat
itu merupakan kemurahan Tuhan. Kalau sudah
demikian, maka yang paling menentukan adalah
keyakinan atau hati nuraninya masing-masing.
Dalam QS. 30:39, Allah mempertentangkan
antara riba dengan zakat dan sedekah.
Riba juga dipertaruhkan dengan keimanan dan
ketaqwaan seseorang dan ancaman neraka bagi
pelakunya. (lihat QS. 2:278-280, 4:161).
Orang mukmin dan muttaqin secara kualitas tidak
akan mau mempraktekkan riba karena yakin
walaupun sepintas tampak menguntungkan,
tetapi sebenarnya rugi dan merugikan.
Uraian di atas menggambarkan bahwa riba itu
jelas diharamkan. Yang menjadi persoalan
sekarang adalah, apakah riba itu, apakah bunga
bank pemerintah dan swasta resmi yang
bunganya hampir sama dengan bunga bank
pemerintah juga termasuk riba, apakah indikasi
bahwa tambahan pada harta itu merupakan
riba ?.
Menurut bahasa riba berarti tambah dan
tumbuh. Sebagian ulama membagi riba menjadi
dua, yakni riba yang terjadi dalam akad hutang
piutang murni dan riba yang terjadi sebagai akibat
dari akad jual beli (perdagangan). Yang pertama
merupakan pengertian primer (asli) dari riba yang
didasarkan terutama atas beberapa ayat dalam Al-
Quran, sementara yang terakhir merupakan riba
dalam pengertian derivatifnya
yang didasarkan semata-mata kepada hadits-
hadits Nabi saw saja.
Riba dalarn hutang piutang dinamakan dengan
riba nasiah, sedangkan riba dalam jual beli masih
terbagi lagi menjadi dua, yakni riba fadl dan riba
nasa. Riba fadl adalah tambahan kuantitas atas
salah satu pihak dalam transaksi pertukaran
(barter) yang dilakukan secara tunai, semacam
riba nasa adalah riba yang terjadi dalam
transaksi jual beli (atau barter) karena penundaan
pembayaran atau penyerahan barang yang
dilakukan oleh salah satu pihak.
Para ulama umumnya memandang
bahwa riba, baik yang terjadi dalam
hutang piutang maupun yang terjadi
dalam jual beli, hukumnya haram dan
oleh karenanya harus dijauhi.
E. Riba dan Realitas Sosial di Indonesia.
Dalam realitas sosial apalagi kalau dihubungkan
dengan adanya kecenderungan terhadap
persoalan hidup yang semakin kompleks, orang
hampir tidak bisa melepaskan diri dari kegiatan
pinjam-meminjam baik dalam jumlah kecil atau
besar, untuk kepentingan konsumsi atau
produksi.

Tentang diterapkannya sistem bunga dalam bank
dapat dilihat dari berbagai aspek terutama dari
kajian etis dan norma Islam dalam berekonomi
dan hukum ekonomi. Menurut etika dan norma
ekonomi dalam Islam hukum bunga dalam bank
tidak dapat diberlakukan secara umum.
Bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan
untuk mendayagunakan jasa bank untuk
kepentingan produksi dengan laba bersih
melebihi besarnya bunga dalam satu tahun, lebih
baik belajar berekonomi terlebih dahulu agar
mereka tidak teraniaya karena pinjamannya itu.
Karenanya bagi golongan ini hukum meminjam
uang di bank adalah haram. Sedang bagi mereka
yang cakap dalam berperilaku ekonomi maka
dipersilahkan dan dalam beberapa pertimbangan
menjadi diharuskan.
Sedang bagi mereka yang meminjam uang di
bank untuk keperluan konsumsi pada dasarnya
tidak boleh kecuali dalam keadaan darurat dari
pada jatuh ke rente (lintah darat) dan apabila
yang bersangkutan dapat memperhitungkan
bahwa ia dapat mengembalikan pinjamannya itu
tentunya diperbolehkan.
Dilihat dari hukum ekonomi di antaranya adalah
hukum permintaan dan penawaran yang mana
meningkatnya permintaan terhadap uang kontan
sementara persediaan uang kontan terbatas,
maka nilai uang kontan itu menjadi naik.
Karenanya dalam kehidupan masyarakat di luar
lembaga perbankan, kita mengenal berbagai jenis
kredit atau sistem perkreditan.
Praktek-praktek kredit atau perkreditan di luar
lembaga perbankan resmi bahkan sampai
memberikan bunga antara 30-50 persen per
tahun. Walaupun bunga sistem rente dan
sebagainya ini cukup tinggi, akan tetapi banyak
masyarakat yang tidak dapat menhindari alias
terjerat di dalamnya disebabkan sedikitnya
pengetahuan dan pengalaman mereka, atau
karena mereka dalam kondisi terpaksa.
Sedangkan untuk lembaga perbankan resmi baik
yang didirikan oleh pemerintah atau swasta
mempraktikkan bunga berkisar antara 8-18
persen per tahun. Bunga sebesar itu kalau
dikaitkan dengan penurunan nilai uang (inflasi)
dan biaya operasional perbankan, maka bunga
(laba) yang diperoleh perbankan hanya berkisar
antara 5-10 persen per tahun.
Pertimbangan lain adalah, bahwa riba yang
secara tegas dilarang adalah riba yang berlipat
ganda (lihat QS. 3 : 130).
Persoalan selanjutnya adalah apakah praktik
bunga di lembaga perbankan resmi itu dianggap
sebagai bunga yang berlipat ganda ?.

Jawabnya, kalau dilihat dari etika dan norma
Islam dan hukum ekonomi sebagaimana
dikemukakan dengan singkat di atas, maka
bunga bank tidak dikatakan sebagai bunga
yang berlipat ganda.

Dalam pembahasan-pembahasan fiqih Islam, para
fuqaha telah berijtihad dan menawarkan beberapa
jenis usaha bersama yang tidak mengandung unsur
bunga. Apa yang dikemuka kan oleh para mujtahid
ini bukan merupakan sesuatu yang final melainkan
hanya sebuah ijtihad yang kebenarannya relatif,
temporal dan kondisional. Apalagi menyangkut
sistem perekonomian yang dari waktu ke waktu
mengalami perubahan cepat. Beberapa jenis usaha
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1.Wadiah, yaitu lembaga penitipan uang, barang,
surat-surat berharga dan deposito. Lembaga ini
dapat memanfaatkan barang titipan tersebut untuk
pengembangan produksi atau memberikan
pinjaman kepada orang yang membutuhkan dengan
tanpa memberikan bunga kepada yang menitipkan,
asal pada saat barang titipan tersebut dibutuhkan
kembali oleh yang menitipkan, lembaga dapat
mengembalikannya.
2.Mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik
modal dengan pengusaha dengan sistem bagi
hasil. Pemilik modal tidak mencampuri manajemen
tetapi mempunyai orang yang mengaw'asi jalannya
perusahaan, di samping pihak pengusaha secara
rutin melaporkan perkembangan perusahaan dari
waktu ke waktu menurut ketentuan yang
disepakati. Kalau terjadi kerugian, pemilik modal
yang menanggung kerugiannya dan kalau belum
tertutupi kekurangannya ditanggung bersama.
3.Musyarakah/persekutuan, yaitu usaha
bersama sejumlah orang yang sama-sama
mempunyai saham atau andil, dikelola secara
bersama-sama untung rugi ditanggung bersama
sesuai dengan besarnya saham dan fungsi kerja
masing-masing.
4.Murababah, yaitu jual beli barang dengan
menambah harga dari pembelian semula.
Murabahah ini pada dasamya adalah memindahkan
dari transaksi pinjam-meminjam kepada transaksi
jual-beli. Misalnya pada bulan Januari Si A membeli
2 gram emas 24 karat dengan harga Rp. 25.000,00
per gram dan di bayar dua bulan kemudian yaitu
bulan Maret. Pada bulan Maret, harga emas yang
sama naik menjadi Rp. 30.000,00 per gram,
dengan demikian A mengembalikan uang Rp.
60.000,00.

Which of the strategies weve
covered would you like to try in
your own classes?



Summarize the most important
points in todays lecture.

Anda mungkin juga menyukai