Anda di halaman 1dari 5

Kebenaran menurut Falsafah Jawa

SETIAP bangsa atau masyarakat pasti memiliki tatanan nilai sosialnya masing-masing. Itu
tidak bisa berlaku universal, karena seperti kata pepatah lama Lain lubuk, lain pula
ikannyamaka tatanan nilai sosial kemasyarakat pun juga berbeda dari satu wilayah
dengan wilayah lainnya. Lain ladang, lain belalangbegitu bunyi pepatah lain dengan
makna sama.
Orang Barat biasa dan bahkan menganggap biasa menggunakan tangan kiri untuk salaman,
memberi kartu nama, dan bahkan menerima hadiah. Tentu, tradisi berkidal ini tak berlaku
di Indonesia nah apalagi di kalangan masyarakat Jawakarena salah-salah bisa dianggap
melanggar tata nilai sopan-santun. Bahkan, untuk memberikan kartu nama pun, orang Jawa
dipastikan akan menggunakan tangan kanan disertai gerakan tubuh sedikit membungkuk:
tanda memberi hormat kepada lawan bicara.

Belajar hidup benar
Ada empat hirarki kebenaran menurut filsafat jawa dan 10 tuntunan hidup agar hidup benar.
Empat butir kebenaran menurut falsafah jawa sesuai hirarkinya:
1. Hirarki yang pertama adalah
Benar sebenarnya benar
Kebenaran yang hakiki itu ada hanya ada pada Tuhan Yang Maha Esa, kebenaran ini
mutlak dan tidak bisa dibantah lagi.
Kebenaran ini bisa dijabarkan sebagai berikut :
Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan
karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak
hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur,
karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendakNYA.
Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalahsumber yang dapat memberikan
penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan
penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa
disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti, yaitu pandangan yang beranggapan bahwa
kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada
kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gusti Allah.
2. Hirarki yang kedua adalah
Benar menurut pandangan orang banyak
Sesuatu itu akan Kelihatan Benar apabila menjadi keyakinan orang banyak.
Suatu pendapat atau pemikiran yang melawan arus orang banyak biasanya akan ditolak
dimasyarakat karena kurang lazim, sebaliknya pendapat orang banyak biasanya dianggap
benar padahal belum tentu kebenaranya.

3. Hirarki yang ketiga adalah
Benar menurut pendapat orang lain
Hirarki Kebenaran ini ada pada urutan ketiga karena kebenaran menurut orang lain atau
menurut pendapat orang lain sangatlah tidak obyektif dan pasti akan menimbulkan banyak
pertentangan selama tidak ada argumentasi yang kuat. Sebuah contoh sederhana apabila
kita sedang mencari alamat rumah kepala desa kita akan bertanya pada seseorang dimana
orang tersebut belum tentu tahu rumah kepala desa yang kita kemudian orang tersebut akan
menjawab sekenanya ini berarti akan menyesatkan kita. Dalam kehidupan juga demikian
kalo kita beranggapan kebenaran orang lain itu sudah benar tanpa ada pendapat orang lain
lagi sebagai second opiniion bisa jadi kita akan tersesat.

4. Hirarki yang keempat adalah
Benar menurut penadapat kita
Kebenaran ini berada pada posisi yang paling rendah karena sangat tidak obyektif dimana
sebuah kebenaran hanya kita sendiri yang bisa menilai tanpa pertimbangan pendapat orang
lain bahkan cenderung egois. Hal ini akan sangat menyesatkan.
Kebenaran semacam ini biasa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai jabatan dan
kekuasan, mereka beranggapan bahwa apa yang sudah dia lakukan dan dia ucapkan sudah
benar dan wajib diikuti, hal ini sangat menyesatkan.

Filsafat Kebenaran yang lain yang muncul dari para pendahulu dan pemikir filsof jawa ada
kurang lebih 10 butir yang menjadi semacam tuntunan laku kehidupan oraang Jawa antara
lain
1. Urip Iku Urup (Hidup itu Nyala)
Kurang lebih, butir filosofi ini bermakna dan mengandung pesan moral sebagai berikut.
Hidup kita itu hendaknya memberi manfaat bagi segenap orang lain yang berada di sekitar
kita. Semakin besar kita bisa memberikan manfaat dan berguna bagi khalayak ramai, maka
kwalitas hidup kita pun juga akan menjadi lebih baik.

2. Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta dur Hangkara (Manusia hidup di dunia harus
mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat
angkara murka, serakah dan tamak).
Tugas kita selagi hidup di alam fana ini tak lain adalah mengusahakan bonum
commune yang dalam bahasa politik sering diterjemahkan sebagai kebaikan atau
kesejahteraan bersama untuk segenap masyarakat. Ke kanan, kita mengusahakan
kebaikan dan kesejahteraan umum; ke kiri, kita berusaha meminimalisir segala bentuk
kejahatan dan wujud keserakahan.
3. Sura Dira Jaya Jayaningrat, Lebur Dening Pangastuti (Segala sifat keras hati, picik,
angkara murka, hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar).
Cinta tanpa pamrih akan mengalahkan segala bentuk kekerasan hati. Dalam bahasa Latin
ada ungkapanCaritas Christi urget nos yang kurang lebih bisa diartikan kasih Tuhan
mendorong kita untuk berbuat banyak bagi sesama. Bisa juga kita artikan kasih
mengalahkan segala angkara murka.
Pelayanan penuh kasih tanpa pandang bulu yang dilakukan almarhum Ibu Teresa dari
Calcutta adalah contoh paling jelas dan mutakhir yang bisa ditunjukkan Gereja sebagai
bentuk penghayatan iman secara konkret dan nyata.
4. Ngluruk Tanpa Bala; Menang Tanpa Ngasorake; Sekti Tanpa Aji-Aji; Sugih Tanpa
Bandha
(Berjuang tanpa perlu membawa massa; Menang tanpa harus merendahkan atau
mempermalukan orang lain; Berwibawa tanpa harus mengandalkan kekuasaan, kekuatan,
kekayaan atau keturunan; Kaya tanpa didasari kebendaan).
Apalah artinya hidup ini bila kita dimusuhi orang lain karena ulah kita sendiri? Rasa-rasanya
tiada guna kita memuja diri dengan segala atribut duniawi berbentuk kekuasaan, kekayaan,
penampilan fisik, kalau nyatanya kita tidak punya kawan.
Pun pula tidak perlu juga kita membuat orang lain malu atau sakit hati hanya karena kita
ingin balas dendam. Jauh lebih bermartabat, kalau kita berani mengampuni orang lain dan
memberikan maaf, sekalipun yang bersangkutan barangkali tidak mau mengaku salah dan
tidak mau berdamai dengan kita. Kebesaran jiwa seseorang justru terbaca ketika berani
mengaku salah dan minta maaf; pun pula rela mengampuni mereka yang bersalah kepada
kita.

5. Datan Serik Lamun Ketaman, Datan Susah Lamun Kelangan (Jangan gampang sakit
hati manakala musibah menimpa diri; Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Apalah artinya benda dan harta material kita? Dalam sekejap semua milik kita bisa musnah
dan hilang ditelan bencana alam seperti tsunami, gempa bumi tektonik, kebakaran, dan
masih banyak lagi. Memiliki benda itu perlu namun tidak perlu menumpuk. Benda atau harta
harus diperlakukan sebagai sarana dan bukan tujuan hidup.
Tujuan hidup kita tak lain adalah memuji kebesaran Tuhan, melayani sesama dan berbakti
kepada Sang Pencipta melalui karya-karya kasih kepada sesama.

6. Aja Gumunan; Aja Getunan; Aja Kagetan, Aja Aleman (Jangan mudah terheran-heran;
Jangan mudah menyesal; Jangan mudah terkejut-kejut; Jangan mudah kolokan atau
manja).
Banyak orang mengalami gegar budaya (culture shock) manakala menjadi kaya secara
tiba-tiba, entah itu melalui jalan benar atau tidak benar semisal korupsi. Harta berlimpah
mampu mengubah perilaku manusia. Makanya muncul istilah nouveau riche di kalangan
aristokrasi Perancis menjelang Revolusi Perancis yang akhirnya memporak-porandakan
tatanan sosial di Perancis.
Di Indonesia, banyak orang OKB (Orang Kaya Baru) mendadak berubah tingkah lakunya.
Selain suka berbelanja di pusat-pusat bisnis, caranya berdandan dan berbicara dengan
orang lain pun jadi berubah.
Jadi, untuk apa mesti berubah kalau yang terpenting dalam hidup kita adalah semangat hati
(spiritualitas) itu sendiri?

7. Aja Ketungkul Marang Kalungguhan, Kadonyan lan Kemareman (Janganlah terobsesi
atau terkungkung oleh keinginan untuk memperoleh kedudukan, kebendaan dan kepuasan
duniawi).
Harta, kekuasaan, dan kenikmatan adalah tiga hal yang sering kali membawa manusia pada
jurang dosa alias gampang digoda melakukan pelanggaran norma-norma sosial-hukum-
susila-agama-moral. Sekali gelap mata, maka gelap pula jalan yang akan kita tempuh
lantaran manusia mudah menjadi gila harta, gila kekuasaan, dan gila kenikmatan.
Hedonisme atau semangat memuja kenikmatan indrawi adalah godaan paling joss
gandhos bagi masyarakat modern. Mending makan enak daripada harus melakukan
praktik-praktik penguasaan diri melalui puasa atau bentuk lain.

8. Aja Kuminter Mundak Keblinger, Aja Cidra Mundak Cilaka (Jangan merasa paling
pandai agar tidak salah arah; Jangan suka berbuat curang agar tidak celaka).
Pintar dan cerdas sangat membuka peluang bagi kita menjadi sombong dan arogan. Kalau
kita merasa pintar sendiri, maka orang lain akan selalu kita pandang sebelah mata. Kalau
sudah begitu, maka kita meletakkan diri kita terlalu tinggi dan memandang orang lain terlalu
rendah. Akibatnya, kita bisa kesandung atau malah terjungkal oleh arogansi kita sendiri.
Apalagi kalau berani berbuat curang hanya untuk kepentingan diri sendiri. Itu namanya tega
rasa alias tidak berbelas kasih. Orang yang hanya peduli dengan dirinya sendiri akan
mudah sekali jatuh dalam dosa yang disebut main curang.

9. Ojo Milik Barang Kang Melok; Ojo Mangro Mundak Kendo (Jangan tergiur oleh hal-hal
yang tampak mewah, cantik, indah; Jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan
kendor semangat).
Hidup sederhana itu indah. Hidup menurut ukuran dan takaran kita sendiri adalah bijaksana
daripada harus hidup penuh kepalsuan layaknya bunyi pepatah lama Besar pasak,
daripada tiang. Sekarang ini, banyak orang lupa diri lantaran gena hipnotis akan hidup
enak, mewah, dan serba cepat.
Alih-alih beli rumah, orang sudah keburu kepengin membeli mobil atau barang- barang
sekunder lainnya. Itu pun tidak dibayar secara tunai, melainkan dibayar secara kredit melalui
program financing lain seperti kartu kredit, soft loan, dan seterusnya. Akibatnya, banyak
pula orang terjerumus pada hutang hingga menjadi sasaran para debt collector yang tanpa
henti memburunya agar cepat-cepat melunasi hutangnya kepada bank.
Apakah hidup macam ini memberi suasana nyaman dan tenang? Tentu saja tidak. Maka
dari itu, marilah kita hidup prasaja, apa adanya. Dalam bahasa rohani, kita mesti hidup
secara tantum quantum: sejauh butuh, kita usahakan, tapi kalau tidak ya mengapa harus
keburu nafsu.

10. Aja Adigang, Adigung, Adiguna (Jangan sok kuasa, sok besar, sok sakti).
Sombong adalah akar segala dosa. Merasa diri paling hebat biasanya menjadi awal untuk
melakukan segala bentuk penghinaan kepada orang lain. Sombong dan arogansi akan
bertambah hebat, kalau ditopang oleh kekayaaan. Menjadi lebih mengerikan lagi kalau
ditambahi dengan semangat mencari kekuasaan alias ambisius.
Ambisi jelas baik, namun ambisius sangat tidak baik. Hidup sederhana dan rendah hati
adalah sebuah perjalanan panjang; hasil pengolahan batin yang tidak serba instant. Doa,
refleksi dan mawas diri menjadi sarana batin untuk mengatur kehidupan kita agar kita
menjadi manusia bermartabat, sosial, penuh kasih, dan berguna bagi sesama.

Anda mungkin juga menyukai