Anda di halaman 1dari 45

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Stroke masih menjadi masalah medis yang menjadi penyebab
kesakitan dan kematian terbanyak setelah penyakit jantung dan kanker di
Indonesia. Penyebab stroke adalah pecahnya (ruptur) pembuluh darah di
otak dan/ atau terjadinya trombosis dan emboli, yang menyebabkan
pembentukan gumpalan darah yang dapat menyumbat/menutup aliran
darah sehingga mengakibatkan suplai oksigen ke otak terganggu
(Batticaca,2008:56). Bila otak kekurangan oksigen maka metabolisme
serebral akan mengalami perubahan dan kematian sel serta kerusakan
permanen yang terjadi dalam waktu 3-10 menit (Widagdo et.al,2008:87)
Menurut data World Health Organization (WHO), sebanyak 20,5
juta jiwa terjangkit stroke pada tahun 2010. Yayasan Stroke Indonesia
memperkirakan 500.000 penduduk Indonesia terkena serangan stroke
setiap tahunnya. Di Jawa Timur penderita stroke mencapai 10.696 jiwa
pada tahun 2012 (Dinkes,2012)
Stroke hemoragik disebakan oleh ruptur pembuluh darah otak yang
dapat menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak
(Muttaqin,2008:235). Darah akan menjadi massa yang menempati ruang
(Space-occupying mass) sehingga terjadi penekanan pada jaringan otak
menyebabkan pembuluh darah terhimpit, sehingga aliran darah terganggu
2

(Kowalak,2011:335). Saat aliran darah ke otak terganggu, deprivasi
oksigen jaringan serebral mulai terjadi. Deprivasi selama 1 menit dapat
menyebabkan gejala reversibel, seperti kehilangan kesadaran. Jika terjadi
dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya infark cerebral
yang dapat mengakibatkan kematian (Morton,2013: 1027).
Untuk mengobati keadaan akut penderita stroke dengan
penanganan medis yang berguna untuk mengatasi infark serebral yaitu
berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan, mempertahankan saluran
nafas yang paten, pemberian oksigenasi yang adekuat, mengontrol tekanan
darah dengan berusaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi. Selain itu
juga bisa dilakukan terapi pembedahan ligasi arteri karotis komunis di
leher khususnya pada aneurisma (Muttaqin,2008:252). Penatalaksanaan
lain pada pasien stroke hemoragik meliputi pelaksanaan hemodilusi
hipervolemik untuk mencegah vasospasme dan pemberian preparat
penyekat saluran kalsium untuk mencegah kontraksi dinding pembuluh
darah (Chang.2010:291).

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah
adalah: Bagaimanakah asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan
oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral pada pasien dengan
Stroke Hemoragik di ruang stroke (Melati) RSUD dr Soebandi tahun
2014.
3

C. TUJUAN PENELITIAN
1. TUJUAN UMUM
Mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan
serebral pada pasien dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke
(Melati) RSUD dr Soebandi tahun 2014.

2. TUJUAN KHUSUS
a. Mahasiswa mengkaji asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan
oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral pada pasien
dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke (Melati) RSUD dr
Soebandi tahun 2014.
b. Mahasiswa merumuskan diagnosaasuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
pada pasien dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke (Melati)
RSUD dr Soebandi tahun 2014.
c. Mahasiswa merencanakan asuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
pada pasien dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke (Melati)
RSUD dr Soebandi tahun 2014.
d. Mahasiswa mengimplementasiasuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan
4

serebralpada pasien dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke
(Melati) RSUD dr Soebandi tahun 2014.
e. Mahasiswa mengevaluasiasuhan keperawatan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi: ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
pada pasien dengan Stroke Hemoragik di ruang stroke (Melati)
RSUD dr Soebandi tahun 2014.

D. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada proposal ini meliputi:
1. Bagian awal terdiri: halaman sampul, halaman judul, halaman
persetujuan, halaman pengesahan.
2. Bab 1 pendahuluan : pada bab ini membahas latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, manfaat, sistematika penulisan, pengumpulan data.
3. Bab 2 Tinjauan kepustakaan : pada bab ini membahas konsep medis
Stroke Hemoragik, konsep asuhan keperawatan Stroke Hemoragik.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
1. Observasi
Yaitu dengan cara mengamati langsung keadaan klien melalui
pemeriksaan fisik secara inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi pada
pasien dengan Stroke Hemoragik untuk mendapatkan data objektif.

5

2. Wawancara
Yaitu pengumpulan data dengan melakukan komunikasi lisan yang
didapat secara langsung dari klien (autonamnesa) dan keluaraga
(alloanamnesa) untuk mendapatkan data subjektif.
3. Studi dokumentasi
Yaitu pengumpulakan data yang didapatkan dari buku status kesehatan
klien yaitu meliputi catatan medic yang berhungan dengan klien.
4. Studi kepustakaan
Dilakukan dengan cara penggunaan buku-buku sumber untuk
mendapatkan landasan teori yang berkaitan dengan kasus yang
dihadapi, sehingga dapat membandingakan teori dengan fakta di lahan
praktik.
6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR MEDISSTROKE HEMORAGIK
1. Definisi
a. Stroke adalah keadaan yang timbul karena terjadi gangguan
peredaran darah di otak yang menyebabkan terjadinya
kematian jaringan otak sehingga mengakibatkan seseorang
menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008: 56).
b. Stroke Hemoragik adalah disfungsi neurologis fokal yang akut
dan disebabkan oleh perdarahan primer substansi otak yang
terjadi secara spontan bukan karena trauma kapitis, disebabkan
oleh karena pecahnya pembuluh darah arteri, vena, dan kapiler
otak (Muttaqin, 2008 : 237).
c. Stroke hemoragik adalah stroke yang karena pecahnya
pembuluh darah sehingga mengambat aliran darah yang normal
dan darah merembes ke dalam bagian otak dan merusaknya
(Pudiastuti, 2013: 203).

2. Klasifikasi
Menurut Batticaca (2008: 58), stroke hemoragik dibagi menjadi 2
berdasarkan perdarahan yang terjadi, yaitu:

6
7

a. Perdarahan intraserebral (parenchymatous hemorrahage).
Pecahnya pembuluh darah (microaneurisma) terutama
karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan
otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak dan
menimbulkan edema otak (Muttaqin, 2008: 237).
b. Perdarahan subarakhnoid (subarachnoid hemorrrhage).
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma barry.
Aneurisma ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi Willisi dan
cabang-cabangnya yang terdapat di luar parenkim otak
(Muttaqin,2008:238).

3. Etiologi
Menurut Muttaqin (2008:236), penyebab stroke hemoragik adalah
perdarahan otak yang terjadi karena aterosklerosis dan hipertensi.
Penyebab perdarahan otak yang paling umum terjadi adalah:
a. Aneurisma berry, biasanya defek kongenital.
b. Aneurisma fusiformis dari aterosklerosis.
c. Aneurisma mikotik dari vaskulitis nekrose dan emboli sepsis.
d. Malformasi arteriovena, terjadi hubungan persambungan
pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk
ke vena.
e. Ruptur arteriol serebri, akibat hipertensi yang menimbulkan
penebalan dan degenerasi pembuluh darah.
8

4. Patofisiologi
Stroke hemoragik disebabkan oleh ruptur pembuluh darah otak
yang dapat menyebabkan perembesan darah ke dalam parenkim otak
(Muttaqin,2008: 235). Darah akan menjadi massa yang menempati
ruang (Space-occupying mass) sehingga terjadi penekanan pada
jaringan otak menyebabkan pembuluh darah terhimpit, sehingga aliran
darah terganggu (Kowalak, 2011: 335). Saat aliran darah ke otak
terganggu, deprivasi oksigen jaringan serebral mulai terjadi. Deprivasi
selama 1 menit dapat menyebabkan gejala reversibel, seperti
kehilangan kesadaran. Jika terjadi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya infark cerebral (Morton, 2013: 1027). Selain
kerusakan parenkim otak perdarahan akan mengakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi
otak (Muttaqin, 2008: 242). Peningkatan intrakranial yang tidak
diobati akan mengakibatkan herniasi serebellum. Disamping itu terjadi
bradikardi, hipertensi sistemik, dan gangguan pernafasan
(Batticaca,2008:57).

9

Pathway.



Stroke hemoragik
Faktor-faktor resiko
Perdarahan
intraserebral
Ketidakefektifan pola
nafas
Herniasi falks serebri
dan foramen magnum
Hemiplegi dan
hemiparesis
RR
Kerusakan
komunikasi verbal
Resiko nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Sirkulasi
darah ke otak
Infark serebral, edema
dan herniasi otak
Kehilangan kontrol
volunter
Disartria, disfasia/afasia,
apraksia
Gangguan
mobilitas fisik
Reflek menelan
Disfungsi bahasa dan
komunikasi
Aneurisma, malformasi,
arteriovenous
Perembesan darah ke dalam
parenkim otak
Penekanan
jaringan otak
Kompresi
batang otak
Defisit
neurologis
Intake
inadekuat
Ketidakefektifan perfusi
jaringan serebral
Kelemahan fisik
Resiko kerusakan
integritas kulit
Depresi saraf
pernafasan
PTIK
imobilisasi
Penekanan jaringan kulit
Penurunan kesadaran
10

5. Manifestasi klinis
Gejala yang timbul tergantung dari jenis stroke hemoragik menurut
Batticaca (2008:58) yaitu:
a. Perdarahan intraserebral
Gejalanya:
1) Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
2) Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktivitas, dan emosi
atau marah.
3) Mual atau muntah pada permulaan serangan.
4) Hemiparesis atau hemiplegi terjadi sejak awal serangan.
5) Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65%
terjadi kurang dari
1
/
2
jam 2 jam; < 2% terjadi setelah 2 jam-
19 jam).
b. Perdarahan subarakhnoid
Gejalanya:
1) Nyeri kepala hebat dan mendadak.
2) Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
3) Ada gejala atau tanda meningeal.
4) Papiledema terjadi bila pada perdarahan subarakhnoid karena
pecahnya aneurisma pada arteri komunikans anterior atau
arteri karotis interna.

11

Gejala klinis pada stroke akut berupa:
1) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis)
yang timbul mendadak,
2) Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan
hemisensorik),
3) Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium,
letargi, stupor, atau koma),
4) Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara),
5) Disartria (bicara pelo atau cadel),
6) Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran),
7) Vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).
6. Pemeriksaan Penunjang.
Menurut Muttaqin (2008:249-250), pemeriksaan diagnostik yang
diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis klien stroke
meliputi:
a. Angiografi serebri.
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti
perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari
sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
b. Lumbal pungsi.
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Hasil pemeriksaan likuor yang merah
12

biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. Computer tomography-scan (ST-Scan).
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara
pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal,
kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke permukaan
otak.
d. Macnetic Imaging Resonance (MRI).
Dengan meggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi
serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan
biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari
hemoragik.
e. Ultrasonografi doppler (USG doppler).
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
f. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls
listrik dalam jaringan otak.
Menurut Batticaca (2008:62), pemeriksaan laboratorium untuk
stroke meliputi : pemeriksaan darah rutin, gula darah, urin rutin,
13

cairan serebrospinal, analisa gas darah (AGD), biokimia darah,
elektrolit.

7. Penatalaksanan.
Menurut Batticaca (2008:662-63), penatalaksanaan untuk stroke
hemoragik meliputi:
a. Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
b. Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat di bagian
bedah saraf.
c. Penalataksanaan umum dibagian saraf.
d. Penatalaksaan khusus pada kasus.
1) Subarachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage,
2) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid
hemorrhage,
3) parenchymatoushemorrhage.
e. Neurologis.
1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian
jaringan.
f. Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah.
1) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
a) Aminocapricoic acid 100-150 ml% dalam cairan isotonik 2
kali selama 3-5 hari, kemudian 1 kali selama 1-3 hari.
14

b) Antagonis untuk pencegahan permanen: Gordox dosis
pertama 300.000 IU kemudian 100.000 ATU x 2 perhari
selama 5-10 hari.
2) Natrii etamsylate (Dynone) 250 mg x 4 hari IV sampai 10 hari.
3) Kalsium mengandung obat; Rutinuim, Vicasolum, Ascorbicum.
4) Profilaksis Vasospasme.
a) Calsium-channel antagonist (Nimotop 50ml [10mg per hari
IV diberikan 2mg per jam selama 10-14 hari]).
b) Awasi peningkatan tekanan darah sistolik klien 5-20 mg,
koreksi gangguan irama jantung, terapi penyakit jantung
kormobid.
c) Profilaksis hipostatik pneumonia, emboli arteri pulmonal,
luka tekan, cairan purulen pada luka kornea, kontraksi otot
dini. Lakukan perawatan respirasi, jantung, penatalaksanaan
cairan dan eletrolit, kontrol terhadap tekanan edema jaringan
otak dan peningkatan TIK, perawatan klien secara umum,
dan penatalaksanaan pencegahan komplikasi.
d) Terapi infus, pematauan (monitoring) AGD,
tromboembolisme arteri pulmonal, keseimbangan asam basa,
osmolaritas darah dan urine, pemeriksaan biokimia darah.
e) Berikan dexason 8+4+4+4 mg IV (pada kasus tanpa DM,
perdarahan internal, hipertensi maligna) atau osmotik diuretik
15

(dua hari sekali Rheugloma (manitol) 15% 200 ml IV diikuti
oleh 20 mg lasix minimal 10-15 hari kemudian).
g. Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan
otak.
h. Pengaturan suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-20
o
C.
i. Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien (EKG, nadi, saturasi
O
2
, PO
2
, PC0
2
).
j. Pengukuran suhu tiap dua jam.

B. KONSEP OKSIGENASI: KETIDAKEFEKTIFAN PERFUSI
JARINGAN SEREBRAL
1. Definisi ketidakefektifan perfusi jaringan serebral.
Penurunan oksigen yang mengakibatkan kegagalan pengiriman nutrisi
ke jaringan otak/serebral (NANDA,2012:806-807)
2. Batasan karakteristik
Menurut NANDA (2012:806-807), batasan karakteristik dari
ketidakefeektifan perfusi jaringan serebral adalah:
Objektif
a. Perubahan status mental,
b. Perubahan perilaku,
c. Perubahan respon motorik,
d. Perubahan reaksi pupil,
e. Kesulitan menelan,
16

f. Kelemahan atau paralisis esktremitas,
g. Paralisis,
h. Ketidaknormalan dalam berbicara.
3. Faktor yang berhubungan
Menurut NANDA (2012:806-807),faktor yang berhubungan dari
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah:
a. Perubahan afinitas hemoglobin terhadap oksigen,
b. Penurunan hemoglobin dalam darah,
c. Keracunan enzim,
d. Ganggua pertukaran,
e. Hipervolemia,
f. Hipoventilasi,
g. Hipovolemia,
h. Gangguan transpor oksigen melalui alveoli dan membran kapiler,
i. Gangguan aliran arteri atau vena,
j. Ketidaksesuaian antara ventilasi dan aliran darah.

17

C. KONSEP ASKEP STROKE HEMORAGIK
1. Pengkajian
a. Identitas
Usia (kebanyakanterjadi pada usia 40-60 tahun, tetapi tidak
menutup kemungkinan terjadi pada usia muda), jenis kelamin lebih
banyak menyerang pada laki-laki daripada perempuan (Muttaqin,
2008: 242).
b. Keluhan Utama
Keluhan utama klien yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta bantuan kesehatan karena klien mengalami penurunan
kesadaran (Muttaqin, 2008: 242).
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Serangan stroke hemoragik sering kali berlangsung sangat
mendadak pada saat klien melakukan aktivitas. Biasanya gejala
yang terjadi nyeri kepala, mual, muntah, bahkan kejang sampai
tidak sadar. Sesuai perkembangan penyakit dapat terjadi letargi,
tidak responsif, dan koma (Muttaqin, 2008: 243).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, gagal ginjal, anemia, riwayat
trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, peggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan
kegemukan (Muttaqin, 2008: 243).
18

e. Riwayat Penyakit Keluarga
Biasanya ada keluarga yang menderita hipertensi, DM, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu (Muttaqin, 2008:
243).

2. PemeriksaanFisik
Menurut Muttaqin (2008:244), pemeriksaan fisik pada klien
dengan Stroke Hemoragikmeliputi pemeriksaan fisik umum per sistem
dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1
(Breathing), B2(Blood), B3(Brain), B4(Ballder), B5(Bowel), dan
B6(Bone) serta pemeriksaan yang fokus pada B3 (Brain).
a. Keadaan umum dan tanda-tanda vital.
Umumnya mengalami penurunan kesadaran. Suara bicara
kadang mengalami gangguan, yaitu sukar dimengerti, kadang tidak
bisa bicara, dan tanda-tanda vital: tekanan darah meningkat, denyut
nadi bervariasi (Muttaqin, 2008: 244).
b. B1 (breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan
frekuensi pernafasan. Auskultasi bunyi nafas tambahan seperti
ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk menurun yang sering didapatkan pada klien
stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
19

Pada klien dengan tingkat kesadaran composmentis pada
pegkajian inspeksi pernafasan tidak ada kelainan. Palpasi thoraks
didapatkan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi
tidak didapatkan bunyi nafas tambahan (Muttaqin, 2008: 244).
c. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan
(syok) hipovolemik yang sering terjadi pada klien stroke. TD
biasanya terjadi peningkatan dan bisa terdapat adanya hipertensi
masif TD >200 mmHg (Muttaqin, 2008: 244).
d. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurolgis bergantung pada
lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan aliran
darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang rusak
tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 merupakan
pemeriksaan terfokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian
pada sistem lainnya (Muttaqin, 2008: 244).
1) Tingkat kesadaran
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling
mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian.
Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk mendeteksi disfungsi sistem
persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran.
20

Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien biasanya
bekisar pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien sudah mengalami koma maka pengkajian GCS sangat
penting untuk menilai tingkat kesadran klien dan bahan
evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan (Muttaqin, 2008:
245).
2) Fungsi serebri
a) Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah
lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah,
dan aktivitas motorik di mana pada klien stroke tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
b) Fungsi intelektual: didapatkan penurunan dalam ingatan
dan memori baik jangka pendek mapun jangka panjang.
Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi. Pada
beberapa kasus klien mengalami kerusakan otak, yaitu
kerusakan untuk mengenal persamaan dan perbedaan yang
tidak begitu nyata.
c) Kemampuan bahasa: penurunan kemampuan bahasa
tergantung dari daerah lesi yang mempengaruhi fungsi dari
serebri. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada
bagian posterior dari girus temporalis superior (area
Wernicke) didapatkan disfasia reseptif, yaitu klien tidak
dapat memahami bahasa lisan atau bahasa tertulis.
21

Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis
inferior (area Broca) didapatka disfagia ekspresif di mana
klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat menjawab dengan
tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan
berbicara) ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti
yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab
untuk menghasilkan bicara. Apraksia (ketidakmampuan
untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya)
seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha
untuk menyisir rambutnya.
d) Lobus frontal: kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologis
didapatkan bila kerusakan lebih terjadi pada lobus frontal
kapasitas, memori, atau fungsi intelektual kortikal yang
lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukkan
dalam lapang perhatian terbatas, kesulitan dalam
pemahaman, lupa, dan kurang motivasi, yang menyebabkan
klien ini menghadapi masalah frustasi dalam program
rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin
diperberat oleh respons alamiah klien terhadap penyakit
katastrofik ini. Masalah psikologis lain juga umum terjadi
dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan,
frustasi, dendam, dan kurang kerja sama.
22

e) Hemisfer: stroke hemisfer kanan menyebabkan hemiparese
sebelah kiri tubuh, penilaian buruk, dan mempunyai
kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan
terjatuh pada sisi yang berlawanan tersebut. Stroke pada
hemisfer kiri, mengalami hemiparese kanan, perilaku
lambat dan sangat hati-hati, kelainan lapang pandang
sebelah kanan, disfagia global, afasia, dan mudah frustasi
(Muttaqin, 2008: 245).
3) Pemeriksaan saraf kranial.
a) Saraf I (olfaktorius).
Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b) Saraf II (optikus).
Disfungsi presepsi visual karena gangguan pada
jarak sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial)
sering terlihat pada klien dengan hemiplegia kiri. Klien
mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan
karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke
bagian tubuhnya.


23

c) Saraf III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen).
Apabila akibat stroke mengakibatkan paralisis sesisi
otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan
gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit.
d) Saraf V (trigeminus).
Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, didapatkan penurunan
kemampuan koordinasi gerakan mengunyah.
Penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan
kelumpuhan sesisi otot-otot pterigoideus internus dan
eksternus.
e) Saraf VII (fasialis).
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f) Saraf VIII (auditorius/vestibulokoklearis).
Tidak ditemukannya tuli konduktif dan tuli persepsi.
g) Saraf IX (glosofaringeus) dan X (vagus).
Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut.
h) Saraf XI (assesorius).
Tidak ada atrofi otot sternocleidomastoideus dan
trapezius.

24

i) Saraf XII (hipoglosus).
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan
fasikulasi. Indra pengecap normal (Muttaqin, 2008:
246).
4) Sistem motorik.
Stroke dalah penyakit motor neuron atas dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap
gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh
dapat menunjukkan kerusakan pada neuron motor atas pada
sisi yang berlawanan dari otak (Muttaqin, 2008: 247).
a) Inspeksi umum, didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuh adalah tanda yang lain.
b) Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c) Tonus otot didapatkan meningkat.
d) Kekuatan otot, pada penilaian dengan menggunakan
nilai kekuatan otot pada sisi yang sakit didapatkan nilai
0.
e) Keseimbangan dan koordinasi, mengalami gangguan
karenahemiparese dan hemiplegia.
25

f) Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periosteum derajat reflek pada respon
normal.
g) Pemeriksaan reflek patologis, pada fase akut reflek
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan patologis (Muttaqin, 2008: 247).
5) Gerakan ivolunter
Tidak ditemukannya adanya tremor, Tic (kontraksi saraf
berulang), dan distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya
menglami kejang umum, terutama pada anak dengan stroke
disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan dengan sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka (Muttaqin, 2008: 247).
6) Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi persepsi adalah
ketidakmampuan untuk menginterprestasikan sensasi.
Disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensorik
primer di antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan
visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area spasial) sering terlihat pada klien dengan
hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian
26

tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan
pakaian ke bagian tubuhnya.
Kehilangan sensorik akibat stroke dapat berupa kerusakan
sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
proprioseptif (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh) serta kesuliatan dalam menginterprestasikan
stimuli, taktil, dan auditorius (Muttaqin, 2008: 247-248).

e. B4 (bladder).
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensiaurine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal
karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang
kontrol sfingter urinarius eksternal hilang dan berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinesia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis yang luas (Muttaqin, 2008: 248).
f. B5 (bowel).
Didapatkan adanyya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
dihubungkan dengan peingkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan kebutuhan nutrisi. Pola defikasi
biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
27

Adanya inkontinesia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis yang luas (Muttaqin, 2008: 248).

g. B6 (bone).
Stroke dalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena
neuron motor atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada
salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan kerusakan pada neuron
motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi motor
yang paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu
sisi) karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda yang lain. Pada kulit,
jika klien kekurangan O
2
kulit akan tampak pucat dan jika
kekurangan cairan maka turgor kulit akan jelek disamping itu perlu
juga diikaji adanya tanda-tanda decubitus, terutama pada daerah
yang menonjol karena klien stroke mengalami masalah mobilitas
fisik. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensorik, atau paralisis/hemiplegia, mudah lelah
menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat (Muttaqin,
2008: 248).



28

3. Pemeriksaan Penunjang.
Menurut Muttaqin (2008:249-250), pemeriksaan diagnostik yang
diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis klien stroke
meliputi:
a. Angiografi serebri.
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
sseperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk
mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vaskuler.
b. Lumbal pungsi.
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan
lumbal menujukkan adanya hemoragik pada subarakhnoid atau
perdarahan pada intrakranial. Hasil pemeriksaan likuor yang merah
biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal
(xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
c. Computer tomography-scan (ST-Scan).
Memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya
secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens
fokal, kadang-kadang masuk ke ventrikel, atau menyebar ke
permukaan otak.

29

d. Macnetic Imaging Resonance (MRI).
Dengan meggunakan gelombang magnetik untuk menentukan
posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan
infark akibat dari hemoragik.
e. Ultrasonografi doppler (USG doppler).
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
f. Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls
listrik dalam jaringan otak.
Menurut Batticaca (2008:62), pemeriksaan laboratorium untuk stroke
meliputi : pemeriksaan darah rutin,gula darah, urin rutin, cairan
serebrospinal, analisa gas darah (AGD), biokimia darah, elektrolit.

4. Penatalaksanan.
Menurut Batticaca (2008:662-63), penatalaksanaan untuk stroke
hemoragik meliputi:
a. Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
b. Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawatdi bagian
bedah saraf.
c. Penalataksanaan umum dibagian saraf.
30

d. Penatalaksaan khusus pada kasus.
1) Subarachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage,
2) Kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid
hemorrhage,
3) parenchymatous hemorrhage.
e. Neurologis.
1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya.
2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian
jaringan.
3) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah.
4) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
a) Aminocapricoic acid 100-150 ml% dalam cairan isotonik 2
kali selama 3-5 hari, kemudian 1 kali selama 1-3 hari.
b) Antagonis untuk pencegahan permanen: Gordox dosis
pertama 300.000 IU kemudian 100.000 ATU x 2 perhari
selama 5-10 hari.
5) Natrii etamsylate (Dynone) 250 mg x 4 hari IV sampai 10 hari.
6) Kalsium mengandung obat; Rutinuim, Vicasolum, Ascorbicum.
7) Profilaksis Vasospasme.
a) Calsium-channel antagonist (Nimotop 50ml [10mg per
hari IV diberikan 2mg per jam selama 10-14 hari]).
31

b) Awasi peningkatan tekanan darah sistolik klien 5-20 mg,
koreksi gangguan irama jantung, terapi penyakit jantung
kormobid.
c) Profilaksis hipostatik pneumonia, emboli arteri pulmonal,
luka tekan, cairan purulen pada luka kornea, kontraksi otot
dini. Lakukan perawatan respirasi, jantung,
penatalaksanaan cairan dan eletrolit, kontrol terhadap
tekanan edema jaringan otak dan peningkatan TIK,
perawatan klien secara umum, dan penatalaksanaan
pencegahan komplikasi.
d) Terapi infus, pematauan (monitoring) AGD,
tromboembolisme arteri pulmonal, keseimbangan asam
basa, osmolaritas darah dan urine, pemeriksaan biokimia
darah.
e) Berikan dexason 8+4+4+4 mg IV (pada kasus tanpa DM,
perdarahan internal, hipertensi maligna) atau osmotik
diuretik (dua hari sekali Rheugloma (manitol) 15% 200 ml
IV diikuti oleh 20 mg lasix minimal 10-15 hari kemudian).
f) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian
jaringan otak.
g) Pengaturan suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-20
o
C.
h) Pemantauan (monitoring) keadaan umum klien (EKG,
nadi, saturasi O
2
, PO
2
, PC0
2
).
32

i) Pengukuran suhu tiap dua jam.

5. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul, yaitu :
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan
dengan perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan
edema serebri.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi
pernafasan.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegi, kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
d. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peurunan reflek menelan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
yang lama
f. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengankerusakan pada
area bicara pada hemisfer otak, kehilangan tonus otot fasial atau
oral, dan kelemahan secara umum.

33

6. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan
dengan perdarahan intra serebri, oklusi otak, vasospasme, dan
edema serebri (Muttaqin,2008:253).
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang
3) GCS 4-5-6, pupil isokor, reflek cahaya (+)
4) Tanda-tanda vital normal
Intervensi
Mandiri
1) Baringkan klien (tirah baring) total dengan posisi tidur
terlentang kepala ditinggikan 15-30
o
(head up).
Rasional: perubahan pada TIK dapat menyebabkan resiko
herniasi otak
2) Evaluasi perubahan pupil (dengan ukuran normal 4-5mm)
Rasional: reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata
merupakan tandadari gangguan saraf jika batang otak terkoyak.
Keseimbangan saraf antara simpatis dan parasimpatis
merupakan respon reflek saraf kranial.
3) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS
34

Rasional: penurunan GCS mengindikasikan kerusakan otak
lebih lanjut.
4) Monitor tanda-tanda vital, serta hati-hati dengan hipertensi
sistolik
Rasional: pada keadaan normal, otoregulasi mempertahankan
keadaan TD sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan
otoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebri yang
dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti
penurunan tekanan diastolik.
5) Monitor asupan dan keluaran cairan.
Rasional: hipertemi dapat meningkatkan IWL dan
meningkatkan resiko dehidrasi terutama pada klien yang tidak
sadar, mual yang menurunkan asuan peroral.
6) Anjurkan klien untuk mengeluarkan nafas apabila bergerak
atau berbalik di tempat tidur
Rasional: Mengeluarkan nafas sewaktu bergerak dapat
melindungi dari efek valsava.
7) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan.
Rasional: batuk dan mengejan dapat meningkatkan TIK dan
potensial terjadi perdarahan ulang.
8) Ciptakan suasana lingkungan yang tenang dan batasi
pengunjung.
35

Rasional: rangsangan aktivitas dapat meningkatkan Tik.
Istirahat total dan ketenangan diperlukan untuk pencegahan
terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik lainnya.
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian O
2
10 lpm
Rasional: tujuan utama adalah mengurangi hipoksia. Hipoksia
yang berat dapat mengakibatkan koma, aritmia kordis dan
hipotensi. Perlu segera dikoreksi untuk menghindari kerusakan
otak yang irreversible atau kematian.
2) Berikan terapi sesuai instruksi dokter seperti
Osmotik diuretik yang dikombinasikan denga adrenergik
blocker contohnya manitol 15 200ml IV diikuti dengan lasix
minimal selama 10-15 hari kemudian.
Rasional: untuk kontrol tekanan darahdan membantu
mengurangi TIK. Digunakan pada fase akut untuk mengalirkan
air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.
3) Kolaborasi tindakan operatifdengan dokter seperti craniotomy
atau endokterostomy karotis dan dekompresi hematom.
Rasional: digunakan untuk perdarahan cortical atau
lobarsuperfisial, perdrahan serebellumdengan diameter lebih
dari 3cm atau yang menyebabkan kompresi batang otak.

36

b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan depresi
pernafasan.
Tujuan:setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam
diharakan pola nafas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Klien tidak sesak.
2) RR 16-24 x/menit.
Intervensi
1) Airway manajemen : buka jalan nafas, posisikan klien dengan
kepala lebih tinggi 15-30
o
.
Rasional: mempermudah proses respirasi.
2) Evaluasi pergerakan dada
Rasional: pergerakan dada yang simetris dengan suara nafas
yang keluar menandakan jalan nafas tidak terganggu.
3) Observasi tanda-tanda vital klien tiap 4 jam sekali
Rasional: pemantauan secara teratur dapat mengetahui
perkembangan kondisi klien lebih dini.
4) Kolaborasi dalam pemberian oksigen
Rasional: memberikan pemenuhan oksigen yang adekuat.
5) Pemeriksaan AGD
Rasional: penurunan kadar O2 (PO2) dan/atau saturasi dan
peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi/perubahan program terapi
37

c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/
hemiplegi, kelemahan neuro muskular pada ekstremitas
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
diharapkan klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai
dengan kemampuannya.
Kriteria Hasil :
1) Tidak terjadi kontraktur sendi
2) Meningkatkan kekuatan otot
3) klien menunjukan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi :
Mandiri
1) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peingkatan
kerusakan. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas.
2) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
Rasional: menurunkan resiko terjadinya iskemia jaringan kibat
sirkulasi darah yang tidak lancar karena penekanan daerah
tubuh.
3) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit
Rasional: gerak aktif memberi massa, tonus dan kekuatan otot
serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
38

4) Lakukan gerak pasif pada daerah ekstremitas yang sakit.
Rasional: otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya
bila tidak dilatih untuk digerakkan.
5) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai
toleransi.
Rasional: untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan.
6) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
Rasional: peingkatan kemampuan dalam mobilisasi
ekstremitas dapat ditingkatkan dengan latihan fisik dari tim
fisioterapis.

d. Resiko Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
penurunan reflek menelan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan intake nutrisi klien terpenuhi
Kriteria Hasil :
1) Klien dapat mempertahankan status gizinya dari yang semula
kurang menjadi adekuat,
2) Saat perawatan klien menghabiskan porsi diit yang sudah
disediakan

39

Intervensi :
1) Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, berat badan, integritas
mukosa oral.
Rasional: Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
menetapkan pilihan intervensi yang tepat
2) Pantau intake dan output, timbang berat badan secara periodik
(sekali seminggu)
Rasional; Berguna dalam mengukur keefektifan intake gizi dan
dukungan cairan.
3) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah
makan serta sebelum dan sesudah intervensi/emeriksaan oral.
Rasional: Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa
sputum atau obat pada pengobatan yang dapat merangsang
pusat muntah.
4) Berikan diit TKTP dalam porsi kecil tapi sering
Rasional: Memaksimalkan intake nutrisi dan energi yang besar
serta menurunkan iritasi saluran cerna
5) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit yang tepat
Rasional: Merencanakan diit dengan kandungan gizi yang
cukup untuk memnuhi kebutuhan energi dan kalori sesuai
dengan status hipermetabolik klien

40

e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
yang lama.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam
diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil :
1) Klien mau beradaptasi dengan pencegahan luka.
2) Mengetahui penyebab dan penceghan luka
3) Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
Intervensi
1) Ajarkan untuk melakuakan latiha ROM dan mobilisasi jika
mungkin
Rasional: meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Rasional: menghindari tekanan dan meningkat kan aliran
darah.
3) Gunakan pengganjal lunak pada daerah yang menonjol
Rasional: menghindari tekanan yang berlebih pada daerah
yang menonjol.
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru
tertekan pada saat beruubah posisi.
Rasional: menghindari kerusakan kapiler.
41

5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area
sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap
megubah posisi
Rasional: hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan
jaringan.
6) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma,
panas terhadap kulit.
Rasional: mempertahankan keutuhan kulit.
f. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengankerusakan pada
area bicara pada hemisfer otak, kehilangan tonus otot fasial atau
oral, dan kelemahan secara umum.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah
komunikasi, mampu mengekspresikan perasaanya.
Kriteria hasil:
1) Terciptanya komunikasi di mana kebutuhan klien dapat
terpenuhi
2) Klien mampu merespon komunikasi secara verbal atau isyarat
Intervensi
1) Kaji masalah disfungsi misalnya, afasia
Rasional : dapat menentukan intervensi sesuai tipe gangguan.
2) Lakukan percakapan yang baik dan lengkap, beri kesempatan
klien untuk mengklarifikasi
42

Rasional: dengan melengkapi dapat merealisasikan pengertian
klien dan dapat membantu dalam mengklarifikasi.
3) Ucapkan langsung kepada klien dengan berbicara tenang dan
pelan, gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak
dan perhatikan respon klien
Rasional: mengurangi kebingungan dalam komunikasi,
memajukan stimulasi komunikasi.
4) Berbicara dengan nada yang normal dan tidak terlalu cepat.
Rasional: klien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak
menyebabkan klien marah, atau menyebabkan rasa frustasi.
5) Anjurkan keluarga untuk berkomunikasi
Rasional: menurunkan isolasi sosial dan meningkatkan
komunikasi
6) Bicarakan tentang keluarga, hobi atau pekerjaan
Rasional: meningkatkan pengertian percakapan dan
kesempatan untuk mempraktikkan praktis dalam komunikasi
7) Kolaborasi dengan ahli terapi bicara
Rasional: mengkaji kemampuan verbal dan sensorik motorik
dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi

43

7. Implementasi
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang telah
ditetapkan baik secara mandiri ataupun kolaborasi yang ditujukan
untuk mengembalikan perfusi cerebral (Muttaqin, 2008: 256).

8. Evaluasi
Menurut Muttaqin (2008: 256) Berdasarkan implementasi yang
dilakukan, maka evaluasi yang diharapkan untuk klien dengan
ketidakefektifan perfusi jaringan serebral adalah
S : Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, mual dan muntah.
O :
1) Klien tidak gelisah
2) Klien tidak kejang
3) GCS 4-5-6
4) Pupil ishokor, reflek cahaya positif
5) Tanda tanda vital dalam batas normal (TD <130/100 mmHg,
nadi 60-80 x/menit, RR 16-20x/menit, suhu 36,5-37,5
o
C)
A : Tujuan tercapai
P : Intervensi dihentikan

44

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther dkk. (2010). Patofisiologi Aplikasi pada Praktik
Keperawatan, Jakarta: EGC

Depkes. 2012. 15 Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur,
http://www.depkes.go.id/downloads/kunker/15_jatim.pdf. diunduh
tanggal 11 mei 2014, jam 18.00 WIB.

Herdman,T. Heather. (2012). Diagnosis Keperawatan Nanda Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014, Jakarta. EGC

Kowalak et.al.(2011).Buku Ajar Patofisiologi, Jakarta: EGC

Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia,
Jakarta: Salemba Medika

Morton, Patricia G., (2013). Keperawatan Kritis, Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif.(2008).Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta: Salemba Medika

Nugroho,Taufan.(2011).Asuhan Keperawatan Meternitas, Anak, Bedah,
Dan Penyakit Dalam,Yogyakarta: Nuha Medika

Pudiastuti, Ratna D., (2013). Penyakit-Penyakit Mematikan, Yogyakarta:
Nuha Medika

Rendy, M. Clevo. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam, Yogyakarta: Nuha Medika

45

Sutanto. (2010). Cekal Penyakit Modern Hipertensi, Stroke, Jantung,
Kolestrol, dan Diabetes, Yogyakarta: ANDI

Widagdo, Wahyu et.al. 2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta: TIM

Wilkinson, J.M. & Ahern, A.R., 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan
edisi 9, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai