Anda di halaman 1dari 3

Bangsa & Ideologi Transnasional

Dr KH A Hasyim Muzadi
Serangan terorisme yang meluluhlantakkan gedung terjangkung dunia, twin tower World Trade Center
(WTC), di AS, 11 September 2001, setidaknya menimbulkan dua model ancaman dunia.
Pertama, ancaman radikalisme dan fundamentalisme yang bisa timbul dari agama apa pun dan dari mana
saja. Kedua, ancaman liberalisme yang menghalalkan segala cara untuk meraih prestisius, kemewahan,
dan kekuasaan yang mesti berhadapan dengan kelompok pertama yang meneguhkan konservatisme
agama. Bangsa Indonesia sebenarnya sudah mempunyai jati diri bangsa, yaitu ideologi Pancasila. Karena
itu, dalam konteks menghadapi ancaman dua arus besar ini, mestinya kita harus mempertegas Pancasila
sebagai ideologi nasional.
Sebagai subkultur, NU sejak awal selalu mengawal dan memegang prinsip menegakkan jati diri bangsa.
Islam ala NU adalah Islam ahlusunnah waljamaah (aswaja) yang berkarakter nusantara. Secara usia
organisasi NU, memang mencapai 80-an tahun. Namun, secara kultur ia sudah sama tuanya dengan
masuknya Islam sejak pertama di nusantara ini. Semangat keagamaan NU adalah Islam seperti yang
diajarkan oleh Wali Songo. Maka, memelihara watak dan karakter bangsa dan negara bagi NU sama dan
sebangun dengan memelihara ajaran NU itu sendiri.
Ideologi Transnasional
Perbenturan peradaban (clash of civilizations) dalam istilah Samuel Huntington, sebenarnya adalah
perbenturan ideologi-ideologi besar di dunia yang pada awalnya merupakan gerakan pemikiran yang
kemudian diikuti dengan agenda aksi secara fisik.Terjadinya perbenturan ini adalah akibat buntunya
dialog yang dibangun oleh berbagai ideologi sehingga perbedaan pemikiran berlanjut menjadi perbedaan
lewat aksi kekerasan fisik.
Tersebarnya ideologi liberalisme Barat sejak abad pertengahan dibarengi dengan model-model
imperialisme di negara-negara Islam di Timur Tengah. Setelah sebelumnya liberalisme di Barat sendiri
berhasil menaklukkan agama-agama di Barat. Kesuksesan ini diekspor ke negara-negara Timur Tengah
sehingga Khilafah Islamiyah mulai dari Dinasti Umayyah, Abbasiyah hingga Turki Usmani tumbang satu
per satu. Termasuk terjajahnya Indonesia oleh Belanda hingga mencapai 350 tahun.
Muncul gerakan Islam ideologis di Timur Tengah, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tharir, Majelis
Mujahidin,Al- Qaeda,dan sebagainya adalah reaksi dari liberalisme berbalut penjajahan ini. Di Indonesia,
zaman prakemerdekaan ditandai dengan munculnya organisasi nasionalisme seperti Budi Utomo, Serikat
Dagang Islam,Muhammadiyah, dan NU serta lainnya, juga dalam rangka memperkuat nasionalisme
kebangsaan mengusir penjajah waktu itu.
Namun, sekarang ini setelah negaranegara jajahan ini merdeka,ideologi itu terus disebarkan sehingga
inilah yang membuat Samuel Hutington membuat suatu kesimpulan setelah Perang Dingin usai,akan
terjadi perbenturan peradaban. Padahal,yang terjadi sebenarnya bukanlah perbenturan peradaban, tetapi
perbenturan kepentingan hegemoni politik dan ekonomi.
NU berpikir, sekarang ini dunia perlu ideologi alternatif untuk menghindari perbenturan-perbenturan
global yang akan menimbulkan korban sia-sia. NU menawarkan Islam moderat (tawassuth wal itidal)
ahlussunna waljamaah. Pak Udpanggilan akrab almarhum KH Yusuf Hasyim pengasuh Pesantren
Tebuireng, Jombang putera Hadratus Syaikh Hasyim Hasyimari pendiri NUsebelum meninggal
berwasiat kepada NU lewat saya agar menghadang ideologi liberalisme dari Barat maupun ideologi
radikalisme dan kekerasan dari Timur.
Menurut Pak Ud, ideologi transnasional baik dari Barat maupun Timur sama berbahaya.Sebab,liberalisme
dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur toh sama-sama merusak. Masuknya ideologi transnasional
ke Indonesia dapat merusak tatanan NU dan Indonesia. Pemerintah harus menggunakan Pancasila
sebagai ideologi yang membatasi masuknya ideologi transnasional. Sedangkan NU harus terus
memperkuat pemahaman aswajanya ke seluruh struktur dan kultur di bawah NU. Kami sepakat dengan
Pak Ud, kami berkeliling ke Barat dan Timur Tengah untuk mengampanyekan NU sebagai ideologi
alternatif.
Kami dari NU adalah pemimpin Islam pertama di dunia yang datang ke ground zero di New York,AS
(lokasi pengeboman WTC pada 9/11/2001) untuk menolak kekerasan dari Islam ideologis. Demikian
juga kami datang ke Irak, Iran, dan Palestina untuk menolak kekerasandari liberalisme ala Barat. Kita
datang ke Timur Tengah dan melihat ternyata Irak, Iran, dan Palestina menjadi korban ideologi
liberalisme Barat.Mereka diibaratkan sebagai binatang aduan seperti jangkrik. Mereka diadu domba
intelijen asing agar penjajah dapat kemenangan secara gratis. NU datang ke sana dengan misi membuat
perdamaian dan mendorong agar mereka bersatu.
Kami mengampanyekan kepada mereka Islam ala NU kepada dunia bahwa NU melihat Islam adalah
agama, bukan ideologi, karena itu apa yang terjadi di Timur Tengah selama ini bukan Islam sebagai
agama, tapi ideologi Islam. Dalam mengampanyekan NU sebagai ideologi alternatif,kami meneladani
sikap yang telah dilakukan pendiri NU, Hadratusy Syaikh Hasyim Asari dan KH Wahab Hasbullah. Mereka
bertindak sebagai pengekspor ideologi,bukan pengimpor ideologi.
Penguatan Aswaja
Maraknya berbagai macam ideologi transnasional pascareformasi harus diantisipasi oleh seluruh jajaran
NU. PBNU menginstruksikan kepada seluruh jajarannya,mulai Lembaga, Lajnah dan Banom di seluruh
tingkatan mulai pusat hingga ranting terlibat dalam mempertahankan dan memperkuat ajaran
ahlusunnah wal jamaah (aswaja) yang selama ini dijalankan NU. Ini karena dewasa ini sudah banyak
anak-anak NU yang tidak mengetahui ajaran aswaja seperti yang diajarkan oleh Hadratussyaikh KH
Hasyim Asy- ari. Sehingga ada guyonan:
Dulu waktu zaman Pak Idham Cholid dan Buya Hamka, NU dan Muhammadiyah rukun karena sama-sama
mengertinya. Sekarang anak-anak muda NU-Muhammadiyah rukun karena sama tidak mengertinya. Jadi
yang anaknya orang NU tidak mengerti NU, anaknya orang Muhammadiyah tidak mengerti
Muhammadiyah. Akhirnya, hubungan antara NU dan Muhammadiyah mencair dan menyebabkan tradisi
yang sebelumnya hanya dilakukan oleh satu kelompok serta menjadi ciri khasnya.
Kini tradisi tersebut juga dilakukan oleh kelompok lain seperti yasinan dan tahlilan yang dulu menjadi ciri
khas orang NU, namun sekarang sudah mulai ada orang Muhammadiyah yang menjalankannya. Demikian
juga saat ini anak-anak NU lebih senang tarawih 11 rakaat, bukan 23 rakaat, karena didiskon 60% dari
jumlah yang seharusnya. Yang lucu dan aneh, ada Festival Salawat Badar di Jawa Timur, yang menang
ternyata dari Muhammadiyah. Karena grup NU suaranya jelek, rebananya tidak bunyi. Padahal, tradisi
salawat badar itu sejak dulu ciri khasnya NU. Namun, proses mencairnya kultur keagamaan seperti ini
mengandung implikasi yang perlu diwaspadai oleh warga nahdliyin karena menimbulkan kerawanan sosial
karena anak-anak muda tersebut tidak memahami ajaran seutuhnya sehingga ajaran-ajaran model baru
dengan gampang masuk dalam diri mereka.
Dalam konteks ini berlaku hukum: siapa yang lebih dahulu masuk adalah yang menang dan mendapatkan
anggota. Untuk itu, gerakan struktural dan kultural NU harus dilaksanakan secara terpadu untuk melawan
gerakan transnasional tersebut. Struktur NU mulai dari PBNU,Wilayah, Cabang hingga ranting harus
fungsional. Di tingkat ranting harus memiliki anak ranting yang berbasis masjid dan musala yang ada di
desa itu dan masing-masing bertanggung jawab untuk mengawasi masjid. Karena ideologi transnasional
ini akan bergerak dari tempat-tempat ini untuk merobohkan stelsel nasional kita: Aswaja dan ideologi
nasional Pancasila. Wallahu- alam bishshawab. *
Dr KH A Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, President World Conference on Regions for Peace (WCRP)
Dimuat di Koran Sindo, Rabu, 09/05/2007

Anda mungkin juga menyukai