Anda di halaman 1dari 8

I.

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADITS


Ilmu ini pada dasarnya telah tumbuh sejak zaman Nabi SAW masih hidup. Akan tetapi ilmu ini
terasa diperlukan setelah Nabi SAW wafat, terutama sekali ketika umat Islam memulai upaya
mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan yang mereka lakukan, sudah barang tentu
secara langsung atau tidak,memerlukan kaidah-kaidah guna menyeleksi periwayatan hadits. Pada
perkembangan berikutnya kaidah-kaidah itu semakin disempurnakan oleh para ulama yang
muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, baik mereka yang mengkhususkan diri dalam
mempelajari bidang hadits, maupun bidang-bidang lainnya, sehingga menjadi satu disiplin ilmu
yang berdiri sendiri.
Dalam sejarah dan perkembangannya para ulama Muhaditsin membagi sejarah hadits dalam
beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi
periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode, lima periode dan tujuh periode.
Mohammad Mustafa Azmi, yang secara garis besar hanya berkonsentrasi pada pengumpulan dan
penulisan hadits pada abad pertama dan kedua hijriah yang dinamainya Pre-Classical Hadits
Literature ( masa sebelum puncak kematangan pengkodifikasian hadits), membagi periodisasi
penghimpunan hadits menjadi empat fase.
Sedangakan M. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam bukunya membagi perkembangan hadits menjadi
tujuh periode, sejak periode Nabi Muhammad SAW hingga sekarang.
Urain berikut akan menitikberatkan pada proses penghimpunan hadits pada abad pertama, kedua
dan ketiga Hijriah, yaitu sampai pada fase dibukukan dan diklasifikasinya hadits-hadits Nabi
Muhammad SAW kepada yang Shahih dan yang tidak Shahih, yang diterima dan yang ditolak,
hingga masa kekinian.
II.HADITS BERDASARKAN KUANTITAS DAN KUALITAS
A.HADITS BERDASARKAN KUANTITAS
Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek
kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad.
Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak
termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti
diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua
diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam
(mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits ynag
berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka membagi
hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
B.HADITS BERDASARKAN KUALITAS
Hadits Shahih
Hadits Shahih menurut para ulama adalah hadits yang sanadnya sambung, dikutib oleh
orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasullah S.A.W,
atau kepada sahabat, atau kepada tabiin, bukan hadits yang syadz (kontroversial) dan
terkena illat, yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Dari definisi diatas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a.Sesunnguhnya hadits yang shahih ialah yang musnad, yakni sanadnya bersambung
sampai yang teratas. Hadits shahih dalam sifatnya juga disebut sebagai yang Muttashil
atau maushul (yang sambung). Hadits mursal tidak bisa disebut juga sebagai hadits
Shahih, karena kehilangan sanadnya yang sambung. Ia lebih tepat dikatakan sebagai
daif. Demikian pula dengan hadits yang munqathi, atau yang terputus, juga tidak bisa
disebut hadits shahih, karena salah seorang tokohnya gugur sanadnya, atau ada salah
seorang tokohnya yang belum jelas diketahui disebut-sebut dalam sanad tersebut. Tidak
diketahui dengan jelas identik dengan gugur. Sama seperti jenis itu ialah hadits
muadldlal yaitu hadits yang dalam sanadnya gugur dua orang atau lebih.
b.Sesungguhnya hadits shahih syadz. Rawi yang meriwayatkan memang terpercaya, akan
tetapi ia menyalahi rawi-rawi lain yang lebih tinggi.
c.Sesungguhnya hadits shahih bukanlah hadits yang terkena illat. Illat adalah sifat
tersmbunyi yang mengakibatkan hadits tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati
secara lahiriah hadits terbebas dari illat.
d.Sesungguhnya seluruh tokoh sanad hadits bukan hadits shahih itu bersifat adil dan
cermat, haditsnya dianggap daif dan tidak shahih lagi.
Hadits shahih dibagi menjadi dua, yaitu shahih murni dan shahih tidak murni. Shahih
murni adalah shahih yang memiliki sifat-sifat penerimaan hadits pada tingkat yang tinggi.
Sedangkan shahih tidak murni adalah yang menjadi shahih karena sesuatu yang lain.
Yakni apabila ia tidak memuat sifat-sifat diterimanya suatu hadits pada tingkat yang
tertinggi, seperti hadits hasan yang tingkat perawinya tidak dapat mencapai kedudukan
perawi hadits shahih.









III. MARTABAT HADITS SHAHIH
Martabat hadits shahih dibagi tiga:
1.Martabat rawi
Untuk menetapkan termasuknya seseorang perowi dalam satu-satu martabat, cukup kita
perhatikan kepada sifat yang disebutkan ulama untuk masing-masing rawi.
Sungguhpun begitu, sering di dalam kitab-kitab, kita dapati hal martabat itu ulama
singkatkan saja dengan sebutan Sianu lebih hafazh dari si anu, atau lebih teliti dari si anu, atau
lebih dlabit dari si anu, dan seumpamanya.

Seperti dikatakan:
Hisyam bin Abi Abdillah lebih teliti dan lebih dhobit dari Aban bin Yazid.
Abu Nuaim, Syaikh Bukhari, lebih hafazh dari Muhammad bin Katsir, Syaikh Abi Dawud.
Ibnu Aj-lan, tentang hafalannya, di bawah ibnu Abi Dzib.
2. Martabat sanad
Martabat sanad ini, sebenarnya bergantung kepada rawi-rawi. Kalau rawi-rawi
bermartabat tinggi, tentu sanadnya pun turut tinggi. Demikian juga, kalau rawi-rawinya
bermartabat pertengahan atau rendah.
Oleh karena itu, martabat bagi sanad hadits shahih juga boleh dibagi kepada tiga derajat, yaitu:
1. Ul-ya (yang tinggi).
2. Wush-tha (yang pertengahan).
3. Dun-ya (yang rendah).
4. 3. Martabat Matan
Karena melihat kepada ketelitian seseorang Mukharrij dalam memeriksa sifat-
sifat dan keadaan masing-masing rawi, terdapatlah beberapa tingkatan martabat bagi
matan Hadits-hadits shahih.
Maratabat pertama: hadits (matan) yag diriwayatkan oleh imam-imam Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, Turmudzi, NasaI dan Ibnu Majjah.).
Martabat kedua: hadits yang hanya diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bersama-sama. Atau
disebut dengan Muttafaq Alaih, artinya yang disetujui.)
Martabat ketiga: hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari saja.
Martabat keempat: hadits yang diriwayatkan oleh imama Muslim saja.
Martabat kelima: hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits lain menurut syarat Bukhari dan
Muslim.
Martabat keenam: hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits lain menurut syarat bukhari saja.
Martabat ketujuh: hadits yang diriwayatkan oleh ahli hadits lain menurut syarat Muslim saja.
Martabat kedelapan: hadits yang disahkan oleh imam-imam selain imam Bukhari dan Muslim.
Contoh Hadits Shahih:
Bermartabat pertama,

.( )
Artinya: telah bersabda Rasulullah Saw. : Lima perkara m,asuk bilangan agama; mencukur
ranbut kemaluan, berkhitan, menggunting misai, mencabut rambut ketiak, dan memotong kuku.
Hadits ini dikatakan matannya bermaratbat yang paling tinggi tentang sahnya,
karena diriwayatkan oleh imam-imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasai
dan ibnu Majah, bahkan ada juga diriwayatkan oleh iamm Ahmad.
Contoh Hadits Shahih:
Bermartabat delapan:

. ( )
Artinya; Telah besabda Rasullullah Saw: Tidak ada satupun perkara yang lebih berat dalam
timbangannya daripada kelakuan yang baik.
Hadits ini, matannya dikatakan paling rendah tentang sahnya, karena diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Turmudzi serta disahkan oleh Turmudzi.
IV. Klasifikasi Hadits Shahih
1. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari permulaan
sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang sempurna, serta tidak ada
syadz dan Illat yang tercela.
2. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas hasan li-
dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut meningkat
menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan hadits shahih li-ghairihi.



Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi. Hadits ini semula merupakan
hadits hasan, karena adanya mutabi dan syahid, maka kedudukannya berubah menjadi shahih
li-Ghairihi.

HADITS HASAN
Pengertian Hadits Hasan
Hadits hasan ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh seorang yang
adil tetapi kurang dhabit, tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan (syadz) dan tidak juga
terdapat cacat (Illat). Sehingga pengertian hadits hasan oleh para ulama mutahaddisin
didefinisikan sebagai berikut:


ialah hadits yang pada sanadnya tidak terdapat orang yang tertuduh dusta, tidak
terdapat kejanggalan pada matannya dan hadits itu diriwayatkan tidak dari satu jurusan
(mempunyai banyak jalan) yang sepadan maknanya.
Pada dasarnya, hadits hasan dengan hadits shahih tidak ada perbedaan, kecuali hanya
dibidang hafalannya. Pada hadits hasan, hafalan perawinya ada yang kurang meskipun sedikit.
Adapun untuk syarat-syarat lainnya, antara hadits hasan dengan hadits shahih adalah sama.

Klasifikasi Hadits Hasan
1. Hadits Hasan li-Dzatih
Hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhabit meskipun tidak
sempurna, dari awal sanad hingga akhir sanad tanpa ada kejanggalan (syadz) dan cacat (Illat)
yang merusak hadits.
2. Hadits Hasan li-Ghairih
Hadits yang pada sanadnya ada perawi yang tidak diketahui keahliannya, tetapi dia
bukanlah orang yang terlalu benyak kesalahan dalam meriwayatkan hadits, kemudian ada
riwayat dengan sanad lain yang bersesuaian dengan maknanya. Jumhur
ulama muhaddisin memeberikan definisi tentang hadist hasan li-Ghairihi sebagai berikut:
.
,
Yaitu hadits hasan yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur (tak nyata
keahliannya), bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikan
fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Hadist hasan li-Ghairihi pada dasarnya adalah hadits dhaif. Kemudian ada petunjuk lain
yang menolongnya, sehingga ia meningkat menjadi hadits hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang
menolong, maka hadits tersebut akan tetap berkualitas dhaif.



HADITS DHAIF
1. Pengertian Hadits Dhaif


hadits dhaif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan juga
tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.
Dengan demikian, jika hilang salah satu kriteria saja, maka hadits itu menjadi tidak
shahih atau tidak hasan. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka hadits
tersebut dapat dinyatakan sebagai hadits dhaiif yang sangat lemah. Karena kualitasnya dhaif,
maka sebagian ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hukum.



MAKALAH ILMU HADITS






DISUSUN OLEH :

SUCI SRIWIDYA ASTUTI

NIM :10700113160

JURUSAN ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM


UNIVESITAS ISLAM NEGERI UIN ALAUDDIN MAKASSAR







MAKALAH ILMU HADITS









Di susun oleh:

Nama : Rosmiati Dewi

Nim : 10700113171

Jurusan : Ilmu Ekonomi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

Anda mungkin juga menyukai