Anda di halaman 1dari 2

irokrasi Ideal yang Efisien dan Efektif

PERSOALAN birokrasi, sebenarnya tidak melulu menjadi perhatian birokrat tetapi juga yang lebih
penting adalah bagi masyarakat yang menjalani proses birokrasi itu sendiri. Bukan rahasia lagi,
birokrasi di negeri ini memang njelmet, berbelit-belit. Ibarat tubuh ular, panjang dan berliku-liku.
Tanyalah mereka yang sering berurusan dengan perizinan ini dan itu.
Stigma buruk ini memang sudah mengakar dalam. Tidak begitu mudah
memperbaikinya. Ada memang beberapa pemerintah daerah yang sudah berusaha
memangkas birokrasi mereka yang berbelit. Kita juga harus objektif, banyak yang
berhasil dan sukses. Contoh, dalam pencarian KTP, tak perlu lagi antre berjam-
jam atau menunggu beberapa hari. Hanya dalam hitungan jam dan bahkan menit,
KTP itu sudah jadi. Gratis lagi.
Namun jangan lupa, masih banyak pula elite birokrat yang mempertahankan
gaya lama. Mereka masih saja percaya ungkapan, ''kalau bisa dipersulit, mengapa
harus dipermudah?'' Inilah yang justru merupakan salah satu penghambat utama
gerak maju suatu daerah. Sikap kontra produktif oknum pejabat ini harus segera
dikikis habis dengan memberikan pengertian bahwa paradigma sudah berubah.
Kalaupun ini tidak mempan, tentu pemuncak birokrat harus mengambil tindakan tegas, mengannti
pejabat itu ketimbang menambah stigma buruk yang lebih dalam.
Ini dalam konteks pelayanan kepada masyarakat. Dalam konteks mencari dan mempertahankan
kekuasaan lain lagi. Ketika pemerintahan berganti lewat proses pemilihan kepala daerah, baik di
tingkat kabupaten, propinsi dan bahkan presiden, setidaknya ada dua kemungkinan yang akan timbul
menyangkut alur birokrasi. Tentunya, sebagai pendatang baru dalam pemuncak elite politik, pejabat
baru tentu akan secara lantang menyuarakan akan segera memangkas jalur birokrasi dan akan
membuat pemerintahannya lebih ramping, efisien serta efektif. Benarkah demikian?
Bisa ya, bisa pula tidak.
Ketika pemerinah baru terbentuk, atau katakanlah beberapa daerah berganti pucuk pimpinannya,
muncul kekhawatiran di kalangan birokrat. Akankah kursinya aman? Tidakkah kepala daerah yang baru
akan melakukan perampingan birokrasi sehingga banyak elite yang akan kehilangan jabatan?
Kekhawatiran yang wajar dari sisi birokrat.
Namun harus diingat, birokrat itu, sepeprti yangs edring didengung-dengungkan, adalah pelayan rakyat.
Jadi otomatis orientasinya bukanlah jabatan. Jadi, ketika kepala daerah yang baru melakukan
perampingan agar pemerintahannya efisien, ramping dan fungsional, tentu harus didukung. Meskipun
hal itu harus dibayar mahal, setidaknya bagi kalangan birokrat. Banyak di antara mereka yang tidak
akan kebagian posisi.
Namun, jangan lupa pula, ini politik. Seni tentang bagaimana merebut dan mempertahankan
kekuasaan selama mungkin meskipunhal itu dibatasi oleh undang-undang. Para kepala daerah yang baru
tentunya berhitung dengan tidak serta merta melakukan pemangkasan birokrasi terlalu dini. Dia
seringkali merangkul pihak-pihak yang pada waktu pemilihan berseberangan. Bukan lantas serta merta
mendepaknya. Jadi dengan demikian, kemungkinan menciutnya jalur birokrasi kecil.
Alih-alih merampingkan birokrasi, pemerintah yang baru bukan tidak mungkin justru menambah pos-
pos baru sepanjang itu memungkinkan untuk para tim suksesnya yang belumkebagian kekuasaan. Jadi,
ketika seeorang itu di puncak, maka dia akan berterima kasih kepada orang-orang di sekeliluingnya
dengan memberikannya mereka jabatan baru.
Apa yang kemudian bisa diambil hikmahnya? Seringkali proses politik itu hanya menampilkan sisi
kekuasaannya saja. Para politi dan birokrat tampak sangat kompak dalam urusan bagi-bagi kekuasaan
ini. Di satu sisi, masyarakat yang seharusnya dilayani oleh sebuah jalinan birokrasi yang singkat dan
transparan semakin jauh tertinggal dan bahkan mungkin tersesat.

Anda mungkin juga menyukai