PERFORMI NG FI NANCE PADA BANK SYARIAH MANDIRI KANTOR CABANG PEMBANTU JATINANGOR
1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu faktor penting dalam pembangunan suatu Negara adalah adanya dukungan dari sistem keuangan yang sehat dan stabil. Perkembangan perekonomian yang semakin kompleks tentunya membutuhkan ketersediaan dan peran serta lembaga keuangan. Kebijakan moneter dan perbankan merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang diarahkan untuk mencapai sasaran pembangunan. Oleh karena itu peranan perbankan dalam suatu negara sangat penting. Tidak ada suatu negarapun yang hidup tanpa memanfaatkan lembaga keuangan (Siamat, 1995: 47).1 Bentuk khusus kontrak keuangan yang telah dikembangkan untuk menggantikan mekanisme bunga dalam transaksi keuangan adalah mekanisme bagi hasil (Murinde, Naser dan Wallace, 1995). Mekanisme bagi hasil ini merupakan core product bagi lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah. Sebab bank syariah secara eksplisit melarang penerapan tingkat bunga pada semua transaksi keuangannya. Bank sebagai lembaga intermediasi antara pihak surplus dengan pihak deposit mempunyai sedikitnya 2 (dua) fungsi, yaitu sebagi lembaga penghimpun dana dan lembaga penyalur dana. Dalam penghimpunan dana,
khususnya di bank-bank konvensional itu biasanya dalam bentuk tabungan, sedangkan dalam bank syariah itu biasanya produk penghimpunan dana adalah produk wadiah. Dalam penyaluran dana di perbankan, adalah dengan pembiayaan-pembiayaan yang dilakukan oleh bank kepada para nasabahnya yang dalam bank konvensional pemberian pembiayaan itu dengan menggunakan agunan atau dengan prosentasi bunga, sedagkan pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dilakukan dengan lost and profit sharing (bagi hasil). Bank syariah dengan sistem bagi hasil dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana (sohibul mal) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (mudhorib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dan atau pengelola usaha (Muhammad, 2008 :13). Sistem bagi hasil yang digunakan oleh Bank Syariah ini berimplikasi pada pemerataan hasil dan risiko antara lembaga keuangan dan debitur. Risiko yang mungkin terjadi bisa merugikan pihak Bank jika tidak dideteksi dan di manage secara benar. Salah satu risiko yang dialami bank adalah risiko kredit yang tercermin dalam besarannya rasio kredit bermasalah (Non Performing Finance), yang juga menjadi salah satu indikator kesehatan sebuah bank. Pembiayaan merupakan unsur dalam suatu produk dalam lembaga keuangan, baik itu lembaga keuangan bank ataupun non bank yang melaksanakan fungsinya sebagai lembaga keuangan. 3
Menurut UU No. 10 tahun 1998 pasal 1 ayat 12 tentang Perbankan menyatakan Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut UU No. 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 11, menyebutkan bahwa: kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dalam jumlah bunga.
Dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 poin ke 25 menjelasakan bahwa: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain. Dalam pemberian pembiayaan, terdapat beberapa masalah, seperti adanya kredit macet atau bisa disebut dengan Non Performing Financing (pembiayaan bermasalah). Penilaian dan kekuatan proposal pengajuan pembiayaan sangat berperan penting dalam hal ini, guna kelancara usaha yang akan dibiyayai. Sehingga prospek kedepannya bisa dideteksi sekaligus meminimalisir 4
kemungkinan yang tidak diharapkan seperti kredit macet, yang berimplikasi pada kerugian bank; karena jika sudah macet, jangankan ada bagi hasil yang pokoknya saja tidak kembali. Pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut UU No. 10 tahun 1998 pasal 8 dilakukan berdasarkan analisis dengan menetapkan prinsip kehati-hatian agar nasabah (debitur) mampu melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan perjanjian sehingga resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasanya dapat dihindari. Adiwarman Karim (2010:260), menyatakan bahwa:
Pembiayaan yang diberikan kepada para nasabah tidak akan lepas dari resiko terjadinya pembiayaan bermasalah yang akhirnya dapat memengaruhi terhapat kinerja bank syariah tersebut. Dalam resiko pembiayaan merupakan risiko yang disebabkan oleh kegagaalan counterparty dalam memenuhi kewajiban.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijabarkan diatas, maka peneliti mengambil judul PENGARUH PEMBI AYAAN MUDHARABAH TERHADAP NON PERFORMING FINANCE PADA BANK SYARIAH MANDI RI KANTOR CABANG PEMBANTU J ATI NANGOR Berdasarkan tingkat fluktuasi Non Performing Finance yang cukup tinggi rentang intervalnya maka menarik untuk diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi NPF pada bank syariah mandiri kantor cabang pembantu jatinangor. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah yang akan diteliti yaitu: 1. Bagaimana mekanisme pembiayaan mudhorobah di Bank Syariah 5
Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor ? 2. Bagaimana pelaksanaan Non Performing Finance (NPF) di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor ? 3. Bagaimana pengaruh pembiayaan mudhorobah terhadap Non Performing Finance (NPF) di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor ? Dari pemaparan tersebut maka muncullah pertanyaan penelitian, sebagai berikut: Adakah pengaruh yang signifikan dari pembiayaan mudharabah terhadap pembiayaan bermasalah? 1.3 Tujuan Penelitian Dalam suatu penelitian tujuan merupakan salah satu alat kontrol yang dapat dijadikan petunjuk supaya penelitian ini dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui mekanisme pembiayaan mudhorobah di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor. 2. Mengetahui pelaksanaan Non Performing Finance (NPF) di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor. 3. Mengetahui pengaruh pembiayaan mudhorobah terhadap Non Performing Finance (NPF) di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Jatinangor. 1.4 Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi: 1. Kontribusi Teoretis 6
Dapat digunakan sebagai bahan referensi untuk penelitian lanjutan, dengan tema yang sama akan tetapi dengan metode dan teknik analisa yang berbeda, sehingga dapat dilakukan proses verifikasi demi kemajuan ilmu pengetahuan. 2. Kontribusi Praktis Bahan kajian bersama dalam melakukan pembiayaan terhadap pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan harus dilakukan berdasarkan analisis dengan menetapkan prinsip kehati-hatian agar nasabah (debitur) mampu melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan perjanjian sehingga resiko kegagalan atau kemacetan dalam pelunasanya dapat dihindari. Sesuai dengan Pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah menurut UU No. 10 tahun 1998 pasal 8. Sehingga dapat diambil langkah konkrit sebagai upaya meningkatkan prestasi perbankan dalam pembangunan suatu negara yang diharapkan. 1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Pembiayaan Mudharabah A. Pengertian pembiayaan Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain. 7
Menurut M. Syafii Antonio menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Sedangkan menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa: Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Kemudian di jelaskan lagi dalam UU no. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 1 poin ke 25 menjelasakan bahwa: Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.
Dalam pembiayaan, memiliki beberapa fungsi yang sangat beragam, karena Keberadaan bank syariah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, diantaranya : 1. Memberikan pembiayaan dengan prinsip syariah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur. 8
2. Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional. 3. Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan. B. Pengertian Mudharabah dan Mekanismenya Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya. Secra teknis, al-Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secra mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. (Muhammad Syafii Antonio, 2001: 95; Muhammad, 2005: 102) Menurut Hendi Suhendi (2010: 138) disebutkan bahwa:
Mudharabah adalah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut , dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.
Sedangkan pengertian mudharabah menurut para fuqoha (Hendi, 2010: 136) menyatakan bahwa: 9
Mudharabah adalah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Mudharabah sebagai sebuah kegiatan kerjasama ekonomi antara dua pihak mempunyai beberapa ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dalam rangka mengikat jalianan kerjasama tersebut dalam kerangka hukum. (Muhammad, 2005: 102) Dengan kata lain pemilik modal menyerahkan dananya 100% sebagai objek mudharabah dan pengelola modal menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang sudah dihitung dan dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, keterampilan dan sejenisnya. Laba mudharabah di bagi antara nasabah dan bank secara proporsional sesuai dengan nisbah yang disepakati pada saat kontrak. Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul maal dengan mudharib, dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimaukan ke dalam biaya operasional. Keutungan bersih harus dibagi antara shahibul mal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal.tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan equity shahibul mal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan 10
sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan di muka (Muhammad, 2011: 108) Menurut Adiwarman Karim (2010: 206), nisbah keuntungan merupakan: imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan Shahibul maal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya.
Adapun nisbah keuntungan mudharabah sebagaimana diintisarikan dari Adiwarman Karim (2010: 206), terdiri dari: 1. Persentase; nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk presentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Jadi nisbah keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan. Bukan porsi setoran modal. 2. Bagi untung dan bagi rugi; merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong kedalam kontrak investasi (uncertaninty contract). Bila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapatkan bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, kedua belah pihak mendapatkan bagian yang kecil pula. Bila bisnis dalam akad mudharabah ini mendatangkan kerugian, pembagian kerugian bukan berdasarkan atas nisbah, tetapi berdasarkan porsi modal masing-masing pihak. Dengan demikian, karena kerugian dibagi berdasarkan proporsi modal, dan karena proporsi modal (financial) Shahibul maal ini 100% maka kerugian financial ditanggung 100% pula oleh Shahibul maal. 11
Dilain pihak karena proporsi modal (financial) mudharib adalah 0% maka kerugian financial yang ditanggung mudharib juga 0%.namun ketentuan kerugian seperti diatas itu hanya berlaku bila kerugian yang terjadi murni diakibatkan bisnis (Business Risk) bukan karena karakter buruk mudharib (Character Risk). Shahibul maal dibolehkan meminta jaminan tertentu kepada mudharib. Untuk menghindari kemungkinan adanya moral hazard dari mudharib yang lalai atau mengyalahi kontrak. Jaminan ini akan disita oleh shahibul maal jika ternyata timbul kerugian karena mudharib melakukan kesalahan. Jadi tujuan pengenaan jaminan dalam akad mudharabah adalah untuk menghindari moral hazard mudharib, bukan untuk mengamankan nilai investasi jika terjadi kerugian karena faktor bisnis. Inti mekanisme bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerjasama yang baik antara shahibul mal dengan mudharib.2 Mudharabah atau Qiradh adalah kerjasama anatara pemilik modal atau uang dengan pemgusaha, pemilik keahlian atau keterampilan ataupun tenaga dalam pelaksanaan unit-unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui mudharabah atau qiradh kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga, tetapi bagi hasil atau profit and loss sharing dari proyek ekonomi yang telah disepakati bersama.
2 Muhammad, 2001, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta: UII Press. 12
C. Dasar Hukum 1) Al-Quran + .. 4pNOE=-474 4pO+)O;4C O) ^O- 4pO74-:4C }g` ;_ *.- .. ^g ...dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah... (Q.S Al-Muzammil: 20) Yang menjadi Wajhud-dilalah atau argumen dari Quran Surat Al-Muzammil: 20 di atas adalah adanya kata Yadhribun yang sama dengan akar kata Mudharabah, dimana berarti melakukan suatu perjalanan usaha. -O) ge41_~ 7E_OUO- W-NOg=4^ O) ^O- W-O74--4 }g` ;_ *.- W-NO7^O-4 -.- -LOOg1E 7^UE- 4pO)U^> ^ Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak- banyak supaya kamu beruntung (Q.S Al-Jumuah: 10) "^1 :^OU4N NEE4N_ p W-O74-> 1E;_ }g)` :)O _.. ^_g Tidak ada dosa (penghalang) bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu.. (Q.S Al-Baqarah: 198) 2) Hadits Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Sayyidina Abbas bin Abdul Muntalib jika memberikan dana kepada mitra usahanya 13
secara Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi aturan tersebut , maka yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-ayrat tersebut kepada Rasulullah, dan Rasulullah pun membolehkannya. (HR. Thabrani). 3) Ijma Imam zailai, dalam kitabnya Nasbu ar Rayah (4/13), telah menyatakan bahwa para Sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara Mudharabah, kesepakatan para Shahabat ini sejalan dengan spirit hadis yang dikutip Abu Ubaid dalam kitab Al-amwal (454). D. Jenis-Jenis Mudharabah Secara umum Mudharabah terbagi menjadi dua jenis sebagai mana yang diungkapkan oleh Muhammad Syafii Antonio (2001: 97) yaitu: a. Mudharabah Muthlaqah yakni bentuk kerja sama antara Shahibul Mal dan Mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah / dpecified mudharabah adalah kebalikan dari Mudharabah muthlaqah, yang dimana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.
E. Aplikasi dalam perbankan Al-Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, Al-Mudharabah diterapkan pada: 14
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang imaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya; deposito biasa; b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja. Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk: a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal perdagangan dan jasa; b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal. Secara umum, aplikasi perbankan al-Mudharabah dapat digambarkan dalam skema berikut ini. Sekma al-Mudharabah PERJANJIAN BAGI HASIL
KEAHLIAN MODAL KETERAMPILAN 100%
NISBAH NISBAH X% Y%
Pengambilan Modal Pokok
Nasabah (mudharib) PROYEK / USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN Nasabah (mudharib) Nasabah (mudharib) PROYEK / USAHA PROYEK / USAHA PROYEK / USAHA PROYEK / USAHA PROYEK / USAHA MODAL PROYEK / USAHA MODAL PROYEK / USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL PROYEK / USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL PROYEK / USAHA Bank (Shahibul Maal) PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL PROYEK / USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL PROYEK / USAHA PEMBAGIAN KEUNTUNGAN MODAL 15
F. Manfaat dan Risiko Mudharabah a. Manfaat al-Mudharabah 1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat. 2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread. 3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah. 4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan; karena keuntungan yang kongkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan. 5) Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musharakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi. b. Risiko al-Mudharabah 16
Risiko yang terdapat dalam mudharabah, terutama dalam pembiayaan relatif tinggi, diantaranya: 1) Side streaming, nasabah menggunakan dana itu buka seperti yang disebut dalam kontrak; 2) lalai dan kesalahan yang disengaja; 3) penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. 1.5.2 Pembiayaan bermasalah (Non Performing Finance) A. Pengertian Pembiayaan bermasalah (Non Performing Finance) Menurut Kamus Bank Indonesia, Non Performing loan (NPL) atau Non Performing Financing (NPF) adalah kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi kurang lancar , diragukan dan macet. Sejalan dengan Pedoman Akuntansi Pebankan di Indonesia menggolongkan kredit NPF menjadi kredit dengan kualitas kurang lancar (KL), diragukan (D) dan macet (M). Termin NPL diperuntukkan bagi bank umum, sedangkan NPF untuk bank syariah. Sedang menurut surat edaran Bank Indonesia No. 09/24/DPbs, 30 Oktober 2007 tentang sistem penilaian kesehatan bank berdasarkan prinsip syariah, Non Performing Financing adalah: Pembiayaan yang terjadi ketika pihak debitur (mudharib) karena berbagai sebab, tidak dapat memenuhi kewajiban untuk mengembalikan dana pembiayaan (pinjaman).
Non Performing Finance (NPF) atau kredit bermasalah merupakan salah satu indikator kunci untuk menilai kinerja fungsi bank. Salah satu 17
fungsi bank adalah sebagai lembaga intermediary atau penghubung antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana. Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu dari resiko dalam suatu pelaksanaan pembiayaan. Adiwarman A. Karim menjelaskan bahwa resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan oleh adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Dalam bank syariah, resiko pembiayaan mencakup resiko terkait produk dan resiko terkait dengan pembiayaan korporasi. Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko yang pasti diahadai oleh setiap Bank karena resiko ini sering juga disebut dengan resiko kredit. Robert Tampubolon menjelaskan bahwa resiko kredit adalah eksposur yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya. Luh Gede Meydianawathi (2007:138) menyatakan bahwa: Non Performing Loans (NPLs) menunjukkan kemampuan kolektibilitas sebuah bank dalam mengumpulkan kembali kredit yang dikeluarkan oleh bank sampai lunas. NPLs merupakan persentase jumlah kredit bermasalah (dengan kriteria kurang lancar, diragukan, dan macet) terhadap total kredit yang dikeluarkan bank. NPLs mempunyai hubungan negatif dengan penawaran kredit.
Oleh kebanyakan bank sentral, kredit bermasalah dikategorikan sebagai aktiva produktif bank yang diragukan kolektabilitasnya. Untuk menjaga keamanan dana para deposan, bank sentral mewajibkan bank umum menyediakan cadangan penghapusan kredit bermasalah. Dengan demikian, semakin besar jumlah saldo kredit bermasalah yang dimiliki bank, akan semakin besar jumlah dana cadangan yang harus segera disediakan, serta semakin besar pula biaya yang harus mereka tanggung untuk mengadakan 18
dana cadangan itu. Sudah barang tentu hal ini mempengaruhi profitabilitas usaha bank yang bersangkutan. Sebuah bank yang memiliki kredit bermasalah dalam jumlah besar cenderung menurun profitabilitasnya. Return on Assets (ROA) yang merupakan salah satu tolok ukur profitabilitas mereka akan menurun (Siswanto Sutojo, 2008). Bank Indonesia (BI) melalui surat edaran Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPF) adalah sebesar 5%. Rumus perhitungan NPF adalah sebagai berikut:
Misalnya: Suatu bank mengalami kredit bermasalah sebesar 50 dengan total kredit sebesar 1000, sehingga rasio NPF bank tersebut adalah: 5% (50 / 1000 = 0.05). Rasio diatas ditujukan untuk dapat mengukur tingkat pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh bank syariah. Dimana semakin tinggi rasio menunjukan kualitas bank syariah semakin buruk. Berkaitan dengan pembiayaan di bank Syariah, dalam melakukan penilaian permohonan pembiayaan bank syariah bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah, sehingga bisa mengurangi ringkat pembiayaan 19
bermasalah calon nasabah di dunia perbankan syariah prinsip penilaian dikenal dengan 5 C + 1 S , yaitu :3 a. Character Yaitu penilaian terhadap karakter atau kepribadian calon penerima pembiayaan dengan tujuan untuk memperkirakan kemungkinan bahwa penerima pembiayaan dapat memenuhi kewajibannya. b. Capacity Yaitu penilaian secara subyektif tentang kemampuan penerima pembiayaan untuk melakukan pembayaran. Kemampuan diukur dengan catatan prestasi penerima pembiayaan di masa lalu yang didukung dengan pengamatan di lapangan atas sarana usahanya seperti toko, karyawan, alat-alat, pabrik serta metode kegiatan. c. Capital Yaitu penilaian terhadap kemampuan modal yang dimiliki oleh calon penerima pembiayaan yang diukur dengan posisi perusahaan secara keseluruhan yang ditujukan oleh rasio finansial dan penekanan pada komposisi modalnya. d. Collateral Yaitu jaminan yang dimiliki calon penerima pembiayaan. Penilaian ini bertujuan untuk lebih meyakinkan bahwa jika suatu resiko kegagalan pembayaran tercapai terjadi , maka jaminan dapat dipakai sebagai pengganti dari kewajiban.
e. Condition Bank syariah harus melihat kondisi ekonomi yang terjadi di masyarakat secara spesifik melihat adanya keterkaitan dengan jenis usaha yang dilakukan oleh calon penerima pembiayaan. Hal tersebut karena kondisi eksternal berperan besar dalam proses berjalannya usaha calon penerima pembiayaan. f. Syariah Penilaian ini dilakukan untuk menegaskan bahwa usaha yang akan dibiayaai benar-benar usaha yang tidak melanggar syariah sesuai dengan fatwa DSN Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah. B. Faktor-faktor pembiayaan bermasalah Pembiayaan bermasalah merupakan sumber permasalahan bank. adanya pembiayaan bermasalah ini disebabkan banyak faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan kredit bermasalah menurut Suhardjono (Adnan, 2009: 154) disebabkan dari sisi debitur, sisi bank itu sendiri, dan ekstern debitur dan bank. Menurut Dahlan Siamat (2005:175) terjadinya kredit bermasalah disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat dibedakan sebagai berikut: Faktor internal: Kebijakan perkreditan/pembiayaan yang ekspansif Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan/ pembiayaan 21
Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit/ pembiayaan Itikad kurang baik dari pihak bank Faktor eksternal: Penurunan kegiatan ekonomi Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur Kegagalan usaha debitur Debitur mengalami musibah Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya pembiayaan bermasalah adalah sebagai berikut: 1) Faktor dari debitur Tidak semua debitur mempunyai itikad baik pada saat mengajukan kredit ataupun pada saat kredit yang diberikan sedang berjalan. Itikad tidak baik inilah memang sulit untuk diketahui dan dianalisis oleh pihak bank, karena hal ini menyangkut soal moral ataupun akhlak dari debitur. Bisa saja debitur saat mengajukan kredit menutup-nutupi kebobrokan keuangan perusahaannya dan hanya mengharapkan dana segar dari bank, atau debitur memberikan data keuangan palsu atau berbagai tindakan-tindakan lainnya. Kemampuan debitur dari sisi financial untuk melunasi pokok dan bunga pinjaman tidak akan ada artinya tanpa kemauan dan itikad baik dari debitur itu sendiri. 2) Faktor dari kreditor 22
Berbagai ketentuan perundang-undangan yang menjadi koridor bagi bank dalam melakukan kegiatan usaha penyaluran dana. Seperti ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau BMPK, rasio pemberian kredit dilihat dari nilai jaminan yang diberikan dan berbagai aturan lainnya. Namun kadang kala petugas dan pengambil keputusan pemberian kredit tidak memperhatikan hal tersebut, dimana untuk mengejar target, bank sangat agresif untuk menyalurkan dananya tanpa mempertimbangkan faktor risiko yang dapat muncul sewaktu- waktu. 3) Faktor Dari Luar Debitor dan Kreditor (Ekstern). Pembiayaan bermasalah bisa terjadi karena faktor diluar dari pihak debitur maupun kreditur. Faktor eksternal ini misalnya karena terjadinya krisis moneter, kerusuhan massal, terjadinya bencana seperti gempa bumi, banjir, kebakaran dan kejadian-kejadian lainnya. Pengaruh kondisi ekonomi global juga bisa berdampak terhadap perputaran perekonomian dalam negeri, seperti naiknya harga minyak dunia yang berimbas kepada mandeknya kegiatan usaha para pengusaha sehingga keadaan perekonomian menjadi lesu karena menurunnya daya beli masyarakat atau konsumen. Seperti juga Kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi tinggi rendahnya NPF suatu perbankan, misalnya kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM akan menyebabkan perusahaan yang banyak 23
menggunakan BBM dalam kegiatan produksinya akan membutuhkan dana tambahan yang diambil dari laba yang dianggarkan untuk pembayaran cicilan utang untuk memenuhi biaya produksi yang tinggi, sehingga perusahaan tersebut akan mengalami kesulitan dalam membayar utang-utangnya kepada bank. Demikian juga halnya dengan PBI, peraturan-peraturan Bank Indonesia mempunyai pengaruh lansung maupun tidak lansung terhadap NPF suatu bank. Misalnya BI menaikan BI Rate yang akan menyebabkan suku bunga kredit ikut naik, dengan sendirinya kemampuan debitur dalam melunasi pokok dan bunga pinjaman akan berkurang. 4) Kondisi perekonomian mempunyai pengaruh yang besar terhadap kemampuan debitur dalam melunasi utang-utangnya. Indikator- indikator ekonomi makro yang mempunyai pengaruh terhadap NPF diantaranya adalah sebagai berikut: 4 Inflasi: Inflasi adalah kenaikan harga secara menyeluruh dan terus menerus. Inflasi yang tinggi dapat menyebabkan kemampuan debitur untuk melunasi utang-utangnya berkurang. Kurs rupiah: Kurs rupiah mempunayai pengaruh juga terhadap NPF suatu bank karena aktivitas debitur perbankan tidak hanya bersifat nasioanal tetapi juga internasional. Menurut Siswanto Sutojo, ada dua puluh faktor intern bank penyebab kredit bermasalah, yaitu :
4 Enjang Khaizan, pengertian-non-performing-loan-npl1.html http://gunadarma.ac.id 10 Juni 2011 22:32 24
3. Taksasi nilai jaminan yang lebih tinggi dari nilai sebenarnya 4. Penarikan dana kredit oleh debitur sebelum dokumentasi kredit diselesaikan 5. Kredit diberikan tanpa pendapat dan saran dari komite kredit atau diusulkan oleh petugas bank yang mempunyai hubungan persahabatan dengan debitur 6. Kredit diberikan kepada perusahaan baru yang dikelola pengusaha yang belum berpengalaman 7. Penambahan kredit tanpa jaminan yang cukup 8. Berulangkali bank menigirimkan surat teguran tentang penunggakan pembayaran bunga, tanpa tindakan lanjutan yang berarti 9. Bank jarang mengadakan analisis cash flows dan daya cicil debitur 10. Account officer tidak sering meneliti status kredit 11. Tidak ada usaha bank untuk mengawasi penggunaan kredit, sehingga timbul kemungkinan debitur menggunakannya secara tidak sesuai dengan ketentuan perjanjian kredit. 12. Komunikasi antara bank dengan debitur tidak berjalan lancar 13. Tidak ada rencana dan jadwal pembayaran kembali kredit yang tegas, atau tidak dilampirkan pada perjanjian kredit 14. Bank tidak dapat menerima neraca dan daftar laba/rugi debitur secara teratur 25
15. Tidak dapat merealisir jaminan kredit karena debitur mengajukan berbagai macam argumen yurudis 16. Bank gagal menerapkan sistem dan prosedur tertulis mereka 17. Pimpinan puncak bank terlalu dominan dalam proses pengambilan keputusan pemberian kredit 18. Bank mengabaikan terjadinya cerukan, walaupun sadar bahwa cerukan adalah salah satu tanda terganggunya kondisi keuangan debitur 19. Bank tidak berhasil meninjau kondisi fasilitas produksi milik debitur 20. Daftar keuangan dan dokumen pendukung ayng diserahkan kepada bank, telah direkayasa sebelumnya, tidak diaudit atau diverifikasi 21. Bank tidak memperhatikan laporan dari pihak ketiga yang bernada kurang mengutungkan debitur 22. Bank tidak berhasil menguasai jaminan secepatnya, ketika mereka mencium tanda-tanda bahwa kredit yang diberikan berkembang ke arah kredit bermasalah C. Strategy pada Pembiayaan Bermasalah Sepandai apapun analisis pembiayaan dalam menganalisis setiap permohonan pembiayaan, kemungkinan pembiayaan tersebut macet pasti ada hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti yang telah dijelaskan di atas. Secara umum strategi yang dijalankan sebagai upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 26
1) Stay Strategy adalah strategi saat Bank masih ingin mempertahankan hubungan bisnis dengan nasabah dalam konteks waktu jangka panjang. a. Penagihan intensif b. Rescheduling Memperpanjang jangka waktu pembiayaan. Dalam hal ini si debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu pemiayaan misalnya perpanjangan jangka waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi satu tahun sehingga si debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikannya. Memperpanjang jangka waktu angsuran Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu pembiayaan. Dalam hal ini jangka waktu angsuran pembiayaannya diperpanjang pembayarannya pun misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah angsuran pun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran c. Reconditioning Dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti; Penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu. Dalam hal penundaan pembayaran marjin sampai waktu tertentu, maksudnya hanya marjin yang 27
dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa. Penurunan marjin; Penurunan marjin dimaksudkan agar lebih meringankan beban nasabah. Sebagai contoh jika marjin per tahun sebelumnya dibebankan 20 % diturunkan menjadi 18 %. Hal ini tergantung dari pertimbangan yang bersangkutan. Penurunan marjin akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah. Pembebasan marjin; Dalam pembebasan marjin diberikan kepada nasabah dengan pertimbangan nasabah sudah akan mampu lagi membayar pembiayaan tersebut. Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjamannya sampai lunas. d. Restructuring Dengan menambah jumlah pembiayaan Dengan menambah equity 2) Phase out Strategy adalah strategi saat pada prinsipnya Bank tidak ingin melanjutkan hubungan bisnis lagi dengan nasabah yang bersangkutan dalam konteks waktu yang panjang, kecuali bila ada faktor-faktor lain yang sangat mendukung kemungkinan adanya perbaikan kondisi nasabah. Strategi yang umumnya 28
dijalankan, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam pendekatan, yaitu: (1) Soft Approach; (2) Hard Approach. Apabila cara Soft Approach tidak dapat menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang terjadi, selanjutnya akan ditempuh cara Hard Approach yang melibatkan jalur hukum, yaitu dapat berupa: a. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional, penyelesaian tersebut dilakukan melalui keadaan setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. b. Pengadilan, dapat berupa: (i) Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas agunan; (ii) Eksekusi agunan yang diikat secara Fidusia yang didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia (KPF); Melakukan gugatan terhadap aset-aset lainnya milik nasabah; baik yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri; (iv) Pelaporan pidana terhadap nasabah, dan sebagainya. c. Melibatkan pihak kepolisian. Alternatif terakhir ini dilakukan apabila: Nasabah tidak dapat dihubungi. Nasabah melarikan diri. Nasabah tidak mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan kewajibannya sementara sesungguhnya nasabah memiliki kemampuan untuk itu. Nasabah tidak bersedia menyerahkan agunannya 1.6 Hipotesis 29
Secara etimologis, hipotesis dibentuk dari dua kata, yaitu kata hypo dan kata thesis. Hypo berarti kurang dan thesis adalah pendapat. Kedua kata itu kemudian digunakan secara bersama-sama menjadi hypothesis dan penyebutannya dalam dialek Indonesia menjadi hipotesa kemudian dirubah menjadi hipotesis yang maksudnya adalah suatu kesimpulan yang masih kurang atau kesimpulan yang masih belum sempurna. Ada beberapa pembagian jenis hipotesis lain yang lebih mudah dimengerti dan dipakai pada berbagai penelitian, yaitu Hipotesis Nol (Ho), Hipotesis Alternatif (Ha) dan Hipotesis Kerja (Hk). Berdasarkan kerangka berpikir diatas, hipotesis yang menjadi fokus penelitian ini adalah: Ho i = O (Faktor-faktor penyebab NPF tidak berpengaruh secara signifikan) Ho i O (Tidak demikian faktor-faktor penyebab NPF berpengaruh secara signifikan). 1.7 Metode Penelitian Made Wirantha (2006:76), menjelaskan bahwa: Metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk memperoleh pemecahan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Metode penelitian mencakup alat dan prosedur penelitian.
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode deskiptif yaitu suatu penelitian menguraikan data yang diperoleh dari lemabaga keuangan (bank syariah) itu sendiri, seperti melakukan wawancara, observasi, dan penelitian lainnya, maupun melalui studi kepustakaan dengan 30
mengumpulkan data-data dari buku literature yang berkaitan dengan objek penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Adnan, 2009, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi, Semarang: Mandiri Bungin, Burhan. 2006, Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana. Dajan, Anto. 1986, Pengantar Metode Statistik. Jakarta: LP3ES. J, Lexy Moleong, 2004, Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Karim Adiwarman. 2010, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Made, I Wirantha, 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Muhammad, 2001, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta:UII Press Muhammad, 2005, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN Muhammad, 2011, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN Muhammad, 2008, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Gema Insani Press 31
Muhammad, 2008, Metodologi Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press Siamat, Dahlan. 2005, Manajemen Lembaga Keuangan, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI Sudarsono, Heri. 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: Ekonisia Suhendi, Hendi. 2010, Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Surya, Muhammad 2009, Perhitungan Bagi Hasil Akad Mudharabah, Malang: Sang Surya Sutojo, Siswanto. 2000, Menangani Kredit Bermasalah Konsep, Teknik dan Kasus. Jakarta : Damar Mulia Pustaka. Syafii Antonio, Muhammad. 2001, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Tampubolon, Robert. 2004, Risk Mangement: Pendekatan Kualitatif Untuk Bank Komersial. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Undang-Undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan. Peraturan Bank Indonesia No 8/21/PBI/2006 tentang Pembiayaan Bermasalah. PSAK No.59 Tahun 2002 Tentang Akuntansi Perbankan Syariah UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Bani Pamungkas, 2011, penanganan-pembiayaan-bermasalah-bank.html, http://khanaqwa.blogspot.com Enjang Khaizan, pengertian-non-performing-loan-npl1.html http://gunadarma.ac.id 10 Juni 2011 22:32 http://im-niko.blogspot.com/