Anda di halaman 1dari 17

KELEMBAGAAN AGRARIA

Masalah agraria pertanahan di masa kolonial


Untuk memenuhi tugas mata kuliah kelembagaan agraria




Kelompok 2
Disusun oleh :
Rizki Martha Dwi C 150610100077
Medina Juniar Djauhari 150610100086
Siti N F Mayangsari 150610100103
Destiani Annisa 150610100104
Wildan Setiawan 150610100125









PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2013
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanawataala
karena berkat rahmat serta hidayah-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada Nabi Muhammad
Sawlawlohualaihiwasalam beserta para sahabat-Nya.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah pilihan
Kelembagaan Agraria. Makalah ini berisi tentang masalah agraria pertanahan di
masa kolonial.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah kelembagaan
agraria, serta semua pendukung dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari
banyak sekali kekurangan dalam makalah ini, maka dari itu kami senantiasa
menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan makalah ini.


Tim Penyusun

Jatinangor, Maret 2013









BAB I
PENDAHULUAN

Tanah merupakan faktor utama dalam usaha pertanian maupun
perkebunan. Tanah diperlukan sebagai tempat tumbuh bagi komoditi-komoditi
yang diusahakan. Apalagi Indonesia sebagai negara agraris, memiliki tanah subur
yang sangat mendukung bagi berkembangnya usaha perkebunan maupun
pertanian. Dengan faktor tanah yang kaya dan faktor tersedianya penduduk
sebagai tenaga kerja inilah yang menarik kaum penjajah untuk menguasai tanah di
IndonesIndonesia, yang memberi keuntungan dan kemudahan pihak Belanda
dalam mengembangkan keia.
Pada masa penjajahan, hampir setiap peraturan yang dibuat kaum penjajah
terfokus pada soal tanah. Perundang-undangan di bidang agraria (pertanahan)
dibuat sedemikian rupa sehingga sehingga mendatangkan keuntungan yang
sebesar-besarnya bagi negeri penjajah. Sebaliknya rakyat Indonesia sangat
dirugikan dan menderita. Misalnya, dengan diterapkannya UU Agraria 1870 di
giatan ekonominya di tanah jajahan. Dengan adanya UU tersebut pemerintah
kolonial bisa memperluas tanah yang dikuasai terutama untuk dijadikan areal
perkebunan. Cara yang dilakukan salah satunya adalah dengan mengalihkan
fungsi tanah penduduk yang semula dijadikan lahan pertanian menjadi areal
perkebunan, seperti tebu dan tembakau.
Sepanjang perjalanan sejarah manusia dari pola hidup yang paling sederhana
hingga kehidupan yang modern, tanah sering merupakan penyebab terjadinya
konflik antar golongan yang satu dengan lainnya yang berbeda persepsi dan
kepentingan. Dalam konteks kehidupan dunia modern, tampaknya ada dua hal
yang kerapkali menjadi pemicu lahirnya konflik antara penguasa (pemerintah)
dengan rakyat dalam hal kepemilikan tanah;
(1) perbedaan persepsi mengenai konsep penguasaan dan pemanfaatan
tanah. Pemerintah di satu sisi dengan berbagai program
pembangunannya ber-anggapan bahwa bumi (atau tanah), air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, karena itu
mereka berhak melakukan perubahan atas setiap tanah untuk
kepentingan bersama. Di sisi lain masyarakat terutama yang masih
berhaluan konvensional menganggap bahwa tanah merupakan hak milik
dan alat produksi, sehingga wajar jika mereka rela mempertaruhkan
nyawanya sekalipun demi mempertahan-kan tanah miliknya tersebut;
(2) Kedua, menyangkut perbedaan kepentingan antara penguasa (ekonomi
dan politik) dengan rakyat. Penguasa atau pemerintah menganggap
bahwa tanah merupakan sarana untuk mencapai tujuan pembangunan.
Sebaliknya rakyat (atau petani) memiliki persepsi bahwa tanah adalah
segala sesuatu yang diusahakan untuk kehidupan mereka. Hidup dan
matinya keluarga mereka sedikit banyak ditentukan oleh tanah tersebut,
demikian pula masa depan generasi mereka tergantung pada tanah yang
dimilikinya (Scott, 1976).
Perbedaan persepsi dan kepenting-an mengenai kepemilikan tanah antara
penguasa (pemerintah) dan rakyat (petani), kelihatannya mewarnai dan
memberikan suatu corak khas bagi lembaran sejarah Indonesia khususnya sektor
agraria. Fenomena sosial seperti itu tampak sejak masa VOC dan tanam
paksa (cultuur stelsel) hingga masa pemerintahan orde baru, bahkan masa
sekarang ini masih tetap menggejala meski dalam wujud yang berbeda. Men-
cermati fenomena konflik kepentingan antara penguasa dengan rakyat dengan
menggunakan hampiran teori sosial dan ekonomi, akan diperoleh suatu ke-
terangan bahwa masalah agraria tersebut merupakan hal yang wajar. H.D. Evers
(1991: 4) dalam buah penanya Shadow Economy, Subsistence Production and
Informal Sector: Economic Activity Outside of Market and State, menjelaskan
bahwa produksi subsistensi adalah aktivitas ekonomi yang tidak berorientasi
komersil tetapi bernilai konsumsi pribadi (keluarga).
Produksi model inilah yang dimiliki oleh sebagian besar petani di Indonesia
untuk mempertahankan hidup tanpa akumulasi modal. Pada kondisi ekonomi
subsistensi petani yang non profit oriented tersebut, lalu muncul pihak luar yang
hendak membangun struktur ekonomi berhaluan bisnis atau mengejar ke-
untungan (profit oriented) melalui modal yang disediakan pada masyarakat yang
sama, akan terjadi krisis subsistensi seperti kata James Scott (1976). Bukan hanya
itu, implikasi sosial yang ditimbul-kan juga mengarah pada terjadinya dualisme
ekonomi seperti kata J.H. Boeke dalam Dualism Colonial Societies-nya(1980).
Lalu bagaimana sesungguhnya masalah agraria di Indonesia berdasarkan sejarah
perkembangannya?.
Mubyarto, dkk (1992) dengan hampiran teori sosial ekonominya, mem-bagi
sejarah pertanahan Indonesia dalam tiga periode yakni:
(1) periode per-kebunan besar asing yang ditandai oleh munculnya
konflik antara pemilik kebun asing dengan petani,
(2) periode pasca kemerdekaan dengan penciri berupa reformasi
agraria, menciptakan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
Tahun 1960, mengatasi penyakit lapar tanah melalui program
transmigrasi, dan
(3) periode pemerintahan orde baru yang ditandai oleh suksesnya
program trans-migrasi, berhasilnyaland reform dalam wujud
pembangunan Program Perusaha-an Inti Rakyat (PIR).
Untuk memperoleh gambaran secara kronologis mengenai kondisi agraria
(sektor pertanian) pada masa kolonial, maka pembahasan berikut akan diuraikan
tentang berbagai masalah yang muncul mulai dari zaman Belanda hingga Jepang
dengan orientasi kepentingan yang berbeda sekaligus mewarnai bentuk
kebijakannya di sektor ini.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Singkat Hukum Pertanahan di Indonesia
Pada masa penjajahan Hindia Belanda, hak-hak atas tanah di Indonesia
dikelompokkan kedalam 3 jenis hak, yaitu:
1. Hak-hak asli Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah menurut hukum adat;
2. Hak-hak Barat, yaitu hak-hak atas tanah menurut Hukum Barat, yaitu
hukum yang dibawa oleh Pemerintah Hindia Belanda ke Indonesia
bersamaan dengan Hukum Eropa. Dalam hal ini, Pemerintah Hindia
Belanda memberlakukan asas konkordansi dengan menerapkan aturan
yang berlaku di Negeri Belanda di Indonesia serta
3. Hak-hak atas tanah daerah yang di atasnya masih ada penguasaan dari
kerajaan setempat, misalnya Yogyakarta, Surakarta, Sumatera Timur dan
daerah-daerah swapraja lainnya
Di masa pemerintahan Hindia Belanda, semua pemberian hak atas tanah yang
berkaitan dengan hak-hak barat mempunyai data tanah yang lengkap dengan peta
kadasternya yang sudah didaftarkan. Hal ini masih dapat dilihat di sejumlah
wilayah di Indonesia, misalnya di D.I.Yogyakarta, yang sampai saat ini peta
tanahnya masih tersimpan dan terpelihara dengan baik.
Pada masa pemerintahan Jepang, melalui Pasal 10 Osamu Serei No. 4 Tahun
1944, aturan tentang kepemilikan serta penguasaan tanah lebih ditujukan bagi
warga negara Jepang, bangsa asing, badan hukum Jepang dan badan hukum WNI.
Namun sejak berlakunya undang-undang Bala Tentara Pendudukan Jepang tahun
1992, terjadi penggarapan dan pendudukan terhadap tanah-tanah perkebunan serta
perhutanan untuk kepentingan Jepang, sehingga kondisi ini mempersulit
penggunaan serta pemanfaatan tanah oleh penduduk pribumi. Kondisi ini berakhir
pada tahun 1945, yaitu saat Jepang menyerah kepada sekutu.
Sebelum UUPA diberlakukan, hukum tanah yang berlaku di Indonesia masih
merupakan hukum tanah warisan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa ini,
filosofi hukum tanah yang dianut adalah: Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Filosofi ini masih berlaku hingga UUPA diundangkan,
yaitu pada tanggal 24 September 1960.
Sesudah berlakunya UUPA, hukum tanah nasional yang berlaku adalah
hukum tanah yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah dalam aspek perdata dan
dalam aspek administrasi yang berisi politik pertanahan nasional yang semuanya
itu bertujuan akhir pada penciptaan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.
UUPA sebagai hukum agraria nasional. disaneer dari hukum adat. Sebagai hukum
tanah nasional, UUPA merupakan peraturan dasar bagi ke-44 aturan
pelaksanaannya, baik yang berupa undang-undang maupun peraturan pemerintah.

2.2. Sengketa Lahan
Tanah di Indonesia yang awalnya merupakan tanah adat yang semua orang
bisa menggunakan tanah/lahan tersebut sesuka hatinya tanpa harus adanya surat-
surat tanda kepemilikan ini lah yang kadang menjadi konflik di kemudian hari.
Seperti misalnya ada 3 orang orang laki-laki (misalkan bapak A, bapak B, dan
bapak C) yang tinggal di suatu daerah pada zaman dahulu menanam tanaman
perkebunan jenis tebu dengan luas yang cukup besar di lahan daerah rumahnya,
lahan tersebut diwariskan dan ditanami tanaman yang sama secara turun temurun
namun tanpa adanya akta tanah dan batas-batas kepemilikan yang jelas dari setiap
lahan yang diklaim milik pribadi tersebut, hingga pada suatu saat keturunan
kesekian dari bapak A akan menjual hampir seluruh lahan perkebunan tersebut,
keluarga dari bapak B dan bapak C marah dan mengklaim bahwa tanah tersebut
adalah milik keluarganya. Hal seperti ini sering terjadi karena ketidak tahuan
mengenai hukum agraria yang sudah berlaku dan faktor-faktor lain yang dianggap
benar oleh masing-masing pihak.
Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, antara
lain:
a. Peraturan yang belum lengkap;
b. Ketidaksesuaian peraturan;
c. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan
jumlah tanah yang tersedia;
d. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
e. Data tanah yang keliru;
f. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan
sengketa tanah;
g. Transaksi tanah yang keliru;
h. Ulah pemohon hak atau
i. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang
tindih kewenangan.
Di daerah-daerah yang belum berkembang, penyelesaian sengketa tanah
umumnya dilakukan oleh tokoh-tokoh komunitas yang disegani warga setempat
yaitu kepala adat, kepala suku, kepala kampung atau kepala marga. Selain itu,
peran tokoh komunitas juga membantu untuk menentukan peruntukan serta
pengawasan terhadap penggunaan tanah oleh warga setempat. Ini disebabkan
karena kepala/ketua adat setempat umumnya memiliki data tanah yang ada di
wilayahnya masing-masing, baik yang menyangkut jumlah, batas maupun
penggunaan tanah oleh warga setempat. Walaupun data tanah tersebut jarang yang
tertulis, namun kepala/ketua adat yang bersangkutan mengetahui riwayat
kepemilikan tanah yang ada di wilayahnya. Pengetahuan tokoh komunitas tentang
sejarah penguasaan tanah yang didukung oleh kepercayaan dan solidaritas yang
tinggi dari para warganya inilah yang membuat keputusan kepala/ketua adat
dalam menyelesaikan sengketa tanah dipatuhi oleh para pihak yang bersengketa.
Berkurang atau bahkan hilangnya keberadaan kepala/ketua adat membuat
banyak sengketa tanah yang tidak terselesaikan. Karena tanah erat kaitannya
dengan pembangunan yang merupakan salah satu faktor penunjang perekonomian
di Indonesia, maka sengketa-sengketa tanah yang timbul harus dicarikan solusinya
sehingga sengketa tersebut tidak mengganggu laju pertumbuhan perekonomian
yang sedang atau akan dilaksanakan. Keterbatasan perangkat adat yang dapat
menyelesaikan sengketa tanah mau tidak mau harus ditutupi dengan peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah, yang daya lakunya dapat
bersifat regional maupun nasional.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tanah digolongkan dalam
hukum privat. Namun pada kenyataannya, pengaturan tanah sarat dengan campur
tangan Pemerintah. Hal ini dapat dilihat pada perundang-undangan pokok yang
menjadi landasan pengaturan hukum tanah di Indonesia, antara lain Pasal 33 Ayat
(3) Undang-undang Dasar 1945, TAP MPR RI No. IV Tahun 1973 tentang Garis-
garis Besar Haluan Negara atau yang biasa disingkat GBHN, Pasal 2 Ayat (1)
UUPA beserta sejumlah peraturan pelaksananya. Dalam praktik, penyelesaian
sengketa tanah tidak hanya dilakukan melalui Pengadilan Negeri (PN), namun
juga melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bahkan tidak jarang
penyelesaian sengketa tanah merambah ke wilayah hukum pidana karena dalam
sengketa tersebut erkandung unsur-unsur pidana.
Meningkatnya kebutuhan manusia akan tanah membawa dampak
meningkatnya jumlah sengketa tanah yang terjadi di Indonesia. Dalam tahun 1992
hingga 1996, jumlah sengketa tanah meningkat 17% dibandingkan dengan tahun-
tahun sebelumnya, dimana sekitar 40% diantaranya diajukan ke PN, 20% diajukan
ke PTUN, sedangkan sisanya diselesaikan secara musyawarah, mediasi atau
bahkan tidak diselesaikan sama sekali.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan,
peruntukan serta penyelesaian sengketa tanah tidak murni merupakan hukum
privat, namun juga termasuk dalam wilayah hukum publik, hanya saja perlu
ditelaah berapa persen muatan materi pengaturan tanah di dalam kedua stelsel
hukum tersebut.
Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang
berkaitan dengan:
1. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
2. Peralihan hak atas tanah;
3. Pembebanan hak dan
4. Pendudukan eks tanah partikelir.
Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat
dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :
1. Sengketa tanah antar warga;
2. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat dan
3. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam.
Jumlah sengketa tanah yang berhasil diselesaikan oleh Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Tata Usaha Negara umumnya lebih sedikit dibandingkan
dengan jumlah sengketa yang diajukan ke masing-masing pengadilan. Bahkan
dari jumlah keputusan yang ditetapkan pengadilan, hanya sedikit yang dapat
dieksekusi. Akibatnya, banyak tanah menjadi terlantar dan status
penguasaannyapun menjadi terkatung-katung.
Berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa pertanahan di lembaga
peradilan, Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Mahkamah Agung RI mengatur
supaya peradilan dilakukan dengan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Hal ini
dimaksud agar pihak yang bersengketa maupun warga masyarakat yang terlibat
dalam sengketa tanah tidak dirugikan serta tidak dibebani dengan biaya yang
mahal demi mendapatkan kepastian hukum atas tanah yang disengketakan. Waktu
penyelesaian yang panjang dan bahkan disertai dengan segala macam prosedur
administrasi yang berbelit-belit justru akan meningkatkan jumlah sengketa tanah.
Konsep, asas serta lembaga-lembaga hukum adat yang menjadi sumber utama
pembentukan hukum agraria nasional harus dipandang sebagai sumber pelengkap,
terutama dalam menyelesaikan persoalan- persoalan konkrit dibidang pertanahan
yang ada di lembaga peradilan. Berfungsinya perangkat hukum adat inilah yang
nantinya akan mewujudkan konsep hukum pembangunan yang meningkatkan laju
pertumbuhan perekonomian nasional. Pemikiran ini didasarkan pada kenyataan
bahwa tanah merupakan syarat utama bagi kelangsungan pembangunan. Tanpa
ketersediaan tanah yang memadai, proses pembangunan akan terhambat.
Konsep hukum pembangunan yang melandasi pengembangan hukum tanah
nasional sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan pendapat Mochtar
Kusumaatmadja, yaitu bahwa hukum tidak cukup berperan sebagai alat untuk
memelihara ketertiban dalam masyarakat, tetapi dapat berfungsi sebagai sarana
untuk mewujudkan perubahan-perubahan dibidang sosial. Pendapat Mochtar
tersebut dilandasi oleh pokok-pokok pikiran bahwa:
1. Keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan itu
merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang (mutlak) perlu;
2. Hukum dalam arti kaedah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi
sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti dapat
mengarahkan kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh
pembangunan atau pembaruan.
Menurut Mochtar, sebelum hukum nasional dikembangkan hendaklah
dilakukan penelitian guna mengetahui bidang-bidang hukum yang harus
diperbaharui dan bidang-bidang hukum yang perlu dibiarkan supaya berkembang
dengan sendirinya. Bidang-bidang hukum yang semestinya dibiarkan berkembang
dengan sendirinya pada umumnya adalah bidang-bidang hukum yang berkaitan
erat dengan kelangsungan hidup budaya dan spiritual masyarakat. Kalaupun
bidang-bidang hukum ini dikembangkan, pengembangannya dilakukan setelah
seluruh aspek perubahan dan akibat yang ditimbulkan perubahan tersebut
diperhitungkan secara matang. Bidang-bidang hukum yang termasuk dalam
kelompok ini antara lain hukum kekeluargaan, hukum perkawinan, hukum
perceraian dan pewarisan. Sebaliknya, bidang-bidang hukum lain seperti hukum
perjanjian, perseroan dan perniagaan pada umumnya merupakan bidang-bidang
hukum yang lebih menjadi incaran pembaharuan.

2.3. Konflik Agraria Warisan Kolonial
Data HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat
dan Ekologis) menunjukkan terdapat 232 konflik sumberdaya alam dan agraria
selama tujuh tahun terakhir sejak 2006 yang berlangsung di 98 kabupaten/kota di
22 provinsi. HuMa menyatakan, konflik agraria yang saat ini marak terjadi di
sejumlah daerah merupakan warisan masa kolonial. Luasan area konflik mencapai
2,043 juta hektare atau lebih dari 20 ribu kilometer persegi. Sebanyak 91.968
orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam
dan agraria tersebut. Dari jumlah tersebut konflik di sektor perkebunan merupakan
konflik terbanyak yaitu 119 kasus dengan luasan 415 ribu hektare. Sementara
konflik kehutanan sebanyak 72 kasus di hampir 1,3 juta hektare lahan di 17
provinsi. Sedangkan konflik pertambangan sebanyak 17 kasus dengan luasan
lahan 30 ribu hektare.
Salah satu point penting dari UUPA adalah mencabut Domein Verklaring
yang merupakan pelaksanan dari hukum agraria pada masa penjajahan Belanda
yang biasa disebut Agrarische Wet (Staatsblad 1870 No. 55). Pernyataan dari
Domein Verklaring itu berbunyi :
Semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikannya, bahwa itu
eigendomnya adalah domein atau milik Negara.
Pernyataan tersebut dapat dikatakan sangat tidak menghargai hak-hak rakyat
atas tanah yang bersumber pada hukum adat. karena hak-hak rakyat atas tanah
yang sudah turun temurun akan tetapi tidak dapat dibuktikan eigendomnya
dianggap domein atau milik negara.
Dengan lahirnya UUPA maka seharusnya Domein Verklaring harus benar-
benar dihapuskan, akan tetapi apakah dalam penerapannya hal-hal tersebut sudah
benar-benar dilaksakan dengan baik? Jika dilihat lebih mendalam terdapat celah-
celah yang sering tidak kita sadari bahwa asas Domein Verklaring ini masih
sering terjadi di beberapa kasus pendaftaran tanah di Indonesia, namun karena hal
ini tidak disadari maka seringkali hanya dianggap sebagai masalah klasik, atau
bahkan justru lebih dianggap mempermudah pelaksanaan percepatan pendaftaran
tanah di Negara kita ini.
Adanya keterkaitan antara Domein Verklaring dengan Pemberian hak atas
tanah yang menyimpang dalam proses pendaftaran tanah. Pemberian hak atas
tanah yang menyimpang karena seringkali tidak sesuai dengan kenyataannya.
Dalam pendaftaran tanah terdapat dua jenis cara dalam pembuktian hak, yaitu
pemberian hak atas tanah dan konversi hak-hak lama. Dalam pemberian hak atas
tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah tanah negara yang
dimohonkan haknya. Dalam konversi terdapat tiga tingkatan pendaftaran, yang
pertama adalah konversi hak-hak lama dengan alat bukti yang lengkap, yang dua
adalah penegasan hak dengan alat bukti yang kurang lengkap dan yang ketiga
adalah pengakuan hak untuk objek yang tidak memiliki alat bukti sama sekali.
Dari penjelasan diatas sudah dapat ditemukan dimana letak penyimpangan
pemberian hak atas tanah tersebut. Dalam menguasai tanah secara turun temurun
seringkali pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti sama sekali, dengan
demikian alternatif pendaftaran tanah manakah yang dapat dilakukan untuk
penguasaan tanah seperti itu? Jika tanah yang dikuasai tersebut merupakan tanah
negara maka proses yang dilakukan adalah pemberian hak atas tanah oleh negara.
Akan tetapi penguasaan diatas tanah tersebut sudah turun temurun dan dalam
jangka waktu yang cukup lama (lebih dari 30 tahun) dan tidak dapat dibuktikan
bahwa tanah tersebut adalah tanah negara, maka proses yang seharusnya
dilakukan dalam pendaftaran tanahnya adalah pengakuan hak.
Di beberapa daerah atau dalam suatu lingkup tata kerja kantor pertanahan,
pendaftaran tanah seluruhnya dilakukan secara pemberian hak, tanpa melihat asal-
usul tanah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah di seluruh
daerah terebut merupakan tanah negara. Banyak alasan yang menjadi dasar dari
penerapan pemberian hak atas tanah tersebut, salah satu diantaranya adalah
kemudahan. Akan tetapi dampak buruk yang ditimbulkan lebih banyak dan
tentunya sangat memberatkan rakyat, diataranya adalah dikenakakannya Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Namun yang lebih miris lagi
adalah tidak diakuinya hak-hak rakyat atas tanah yang secara turun temurun dan
sudah berpuluh-puluh tahun.

2.4. Konflik Agraria Yang Terjadi
Seperti yang disebutkan sebelumnya terdapat 232 konflik sumberdaya alam
dan agraria selama tujuh tahun terakhir sejak 2006 yang berlangsung di 98
kabupaten/kota di 22 provinsi, namun disini kami hanya satu contoh konflik
agraria yang terjadi dan terekspos ke media.
Konflik lahan di Mesuji, Lampung
Sengketa lahan di di Kabupaten Mesuji terjadi di dua titik. Pertama,
sengketa lahan antara perambah hutan di Desa Moro-moro, Pelita Jaya,
dan Pekat Raya dengan PT Silva Inhutani. Mereka memperebutkan lahan
seluas 43.900 hektare di Kawasan Register 45. Kedua, sengketa lahan
antara warga di Desa Kagungan Dalam, Nipah Kuning, Tanjungraya di
Kecamatan Tanjung Raya, dan PT Barat Selatan Makmur Investindo yang
memperebutkan lahan tanah ulayat.
Sebelumnya lahan seluas 43.900 hektare Kawasan Register 45 (daerah
Pelita Jaya) dikelola oleh PT Inhutani V hingga pertengahan tahun 1990-
an. Perusahaan itu kemudian bergabung dengan PT Silva anak usaha
Sungai Budi Group dan berganti menjadi nama PT Silva Inhutani.
Belakangan, perusahaan gabungan itu murni dikelola oleh PT Silva.
Pada 1997 sejumlah warga mulai mendiami kawasan yang ditanam
sengon dan tanaman industri lain peninggalan PT Inhutani V. Mereka
menebangi tanaman yang ada di kawasan itu hingga gundul. Perambah
marak berdatangan setelah tahun 1999. Mereka datang dari berbagai
daerah sepeti Lampung Timur, Tulangbawang, Metro bahkan dari Jawa
Barat, Bali, dan Makassar.
Para perambah itu kemudian mendirikan Desa Moro-moro yang
terdiri dari Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-Moro.
Mereka mendirikan ladang singkong, permukiman, delapan sekolah dasar,
dan tempat ibadah. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat aktif
melakukan advokasi seperti Yabima dan Agra.
Dari sudut pandang pemerintah daerah bahwa warga mengambil dan
menggarap lahan yang bukan miliknya sehingga harus ada penertiban
agar lahan yang digunakan untuk pemukiman dan bercocok tanam bisa
difungsikan sebagaimana mestinya. Sehingga pemerintah Provinsi
Lampung membentuk Tim Gabungan Penertiban Perlindungan Hutan.
Anggota tim itu terdiri dari polisi, TNI, jaksa, pemerintah, satuan
pengamanan perusahaan dan pengamanan swakarsa.
Sedangkan dari sudut pandang petani dan masyarakat, pemerintah
telah berlaku tidak adil dan sewenang-wenang terhadap masyarakat adat
Lampung. Pemerintah memang diakui punya wewenang untuk mengatur
penggunaan tanah, tetapi wewenang itu bukan pemberian pemerintah
Hindia Belanda, tetapi pemberian rakyat, termasuk di dalamnya
masyarakat adat. Kalau Register 45 mau diserahkan pengelolaannya pada
PT, mestinya berunding dulu dengan masyarakat, khususnya masyarakat
adat yang berhak atas tanah tersebut. Mestinya masyarakat adat dilibatkan
dalam menentukan seberapa luas yang bisa dan boleh diserahkan kepada
PT.
Terdapat hamparan tanah luas yang diserahkan kepada perusahaan-
perusahaan perkebunan maupun HPHTI, padahal masih ada banyak petani
yang tidak memiliki lahan yang cukup untuk bertani. Kebijakan
pemerintah yang memberi ijin kepada perusahaan-perusahaan besar, telah
mengakibatkan para petani merosot martabatnya menjadi buruh tani
ataupun buruh-buruh di perusahaan dengan upah rendah dan kesempatan
kerja yang terbatas. Mestinya, masyarakat petani diutamakan dulu, baru
kalau memang masih ada tanahnya, bisalah itu diberikan haknya kepada
perusahaan. Anehnya, yang telah dikuasai oleh petani justru diberikan
kepada perusahaan. Sementara itu, petaninya digusur , diusir dari kawasan
tersebut dan dibiarkan terlantar.
UUPA rupanya tidak mampu menyelesaikan konflik agraria yang ada,
karena kasus yang begitu komplek dan penegakan hukum yang tidak tegas
menjadi penyebab utama konflik tidak pernah bertemu penyelesaiannya, hingga
harus terjadi bentrok antara aparat dan masyarakat, tidak sedikit berita yang
menyebutkan korban tewas dan luka-luka akibat bentrok antara aparat dan warga.


















BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah agraria di
Indonesia sesungguhnya tidak bermula sejak masa kolonial, akan tetapi jauh
sebelum itu telah banyak persoalan terkait dengan sektor yang maha vital dalam
kehidupan manusia ini. Betapa sebuah kekuasaan politik sangat dominan
pengaruhnya terhadap dunia agraris (sektor pertanian). Meskipun demikian, di
balik porak-porandanya sendi kehidupan ekonomi rakyat karena ulah kaum
kolonial, di sisi lain justru membawa efek positif. Sebut saja kedatangan kaum
kolonialis yang diiringi oleh kehadiran para ahli pertanian, kemudian dianggap
sebagai dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi pertanian (perkebunan) di
Indonesia.
Berpindahnya kepemilikan tanah dari rakyat pribumi atau pemerintah desa
menyebabkan perubahan dalam bidang sosial dan ekonomi. Dalam bidang
ekonomi tentu saja rakyat pribumi tidak bisa berkembang, dikarenakan mereka
tidak meiliki tanah yang dijadikan sebagai modal untuk berusaha. Sehingga pada
masa ini banyak sekali rakyat yang melakukan urbanisasi dari desa ke kota,
dikarenakan pemenuhan kebutuhan ekonomi di desa tidak mampu mencukupi
mereka. Bahaya kelaparan juga mengancam rakyat pribumi, pada umumnya tanah
yan dialih fungsikan dari lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan,
kemudian berubah fungsi menjadi perkebunan yang hanya memenuhi kebutuhan
komoditi ekspor.
Dengan terjepitnya posisi masyarakat pribmumi maka timbullah konflik
sosial yang tentu saja berusaha untuk mengembalikan eksistensi mereka ditengah
posisi mereka yang semakin terjepit. Seperti adanya praktek perbanditan,
pembakaran lahan-lahan perkebunan dan perkecuan. Akan tetapi dengan adanya
Undang-undang tanah tersebut maka dimulailah satu babak baru di nusasantara
mengenai adanya aturan-aturan mengenai birokrasi pertanahan yang berpengaruh
hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Konflik Agraria, Laten dan Warisan Kolonial,
http://www.vhrmedia.com/new/
Konflik agraria warisan masa kolonial, http://www.antaranews.com
Konflik Agraria Register 45, Mesuji-Lampung, http://politik.kompasiana.com
Mudjiono. Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia Melalui
Revitalisasi Fungsi Badan Peradilan. JURNAL HUKUM NO. 3 VOL.14
JULI 2007: 458 - 473
Masalah tanah pada masa penjajahan,
http://pristiwasaki1.blogspot.com/2012/06/masalah-tanah-pada-masa-
penjajahan.html
Masalah agraria di indonesia masa kolonial, http://ahmadin-
umar.blogspot.com/2012/06/masalah-agraria-di-indonesia-masa.html

Anda mungkin juga menyukai