Bagikan
Saya pernah mendapatkan cerita dari seorang teman dekat yang bisa saya
percaya kebenarannya, tentang pengayuh becah. Mendengar cerita itu,
orang seperti saya yang sehari-hari bekerja sebagai guru, sangat terkesan
dan bahkan juga terharu. Pengayuh becak yang umumnya dijadikan contoh
dari hal yang tidak menggembirakan, pada kali itu justru sebaliknya patut
dijadikan tauladan. Contoh yang kurang mengenakkan itu, misalnya jika
seseorang salah menggunakan jalan di jalan raya, maka akan segera disebut
seperti tukang becak saja. Kalimat itu menggambarkan bahwa penarik becak
selalu diidentikan dengan orang yang kurang bisa menjaga kedisiplinan dan
lain-lain.
Cerita tersebut adalah sebagai berikut. Ada seorang pengayuh becak, selalu
mangkal menunggu penumpang di gang sebelah masjid. Gang itu memang
ramai, sehingga sehari-hari dari tempat itu ia selalu mendapatkan
penumpang sehingga penghasilan yang didapat lumayan. Sejak lama,
tempat mangkal itu tidak pernah ditinggalkan. Karena dari tempat itu, dia
mendapatkan dua keuntungan sekaligus,yaitu selain selalu mendapatkan
penumpang, pada setiap datang waktu sholat, ia bisa menunaikan tugasnya
sebagai muadzin di masjid sebelahnya itu. Pengayuh becak ini kebetulan
suaranya bagus, sehingga banyak orang menyukai suara adzan yang
dikumandangkan.
Setiap hari, khususnya pada waktu sholat dhuhur dan asyar, pengayuh becak
tersebut bertugas mengumandangkan adzan. Tugas itu ditunaikan secara
disiplin dan istiqomah. Kedisiplinan pengayuh becak ini sudah diketahui oleh
seluruh jama’ah masjid itu. Begitu konsistennya menjalankan tugas itu,
sekalipun ada penumpang misalnya, jika sekiranya mengganggu tugasnya
sebagai muadzin, ia menolak rizki itu sekalipun sesungguhnya sangat
membutuhkan. Pengayuh becak ini tidak mau kehilangan kesempatan sholat
berjama’ah, hanya sekedar harus memburu rizki. Jika ada penumpang, tetapi
sudah masuk waktu dhuhur atau ashar, maka ia lebih memilih meninggalkan
becaknya, mengambil air wudhu, kemudian adzan tepat waktunya dari pada
melayani penumpang.
Menurut cerita teman saya tadi, suatu ketika pengayuh becak yang
merangkap sebagai muadzin tersebut, menjelang masuk waktu dhuhur
mendapatkan penumpang. Ia diminta mengantarkan ke suatu tempat yang
sesungguhnya tidak terlalu jauh. Ketika itu tidak ada becak lain, sehingga
tidak ada pilihan kecuali meminta tolong kepada muadzin yang sekaligus
sebagai pengemudi becak, untuk mengantarkannya. Mendapatkan tawaran
itu, pengayuh becak menolak dengan alasan sebentar lagi masuk waktu
sholat, sedangkan ia bertugas mengumandangkan adzan. Penumpang tadi
sanggup membayar lebih dari biasanya, tetapi tetap saja ditolak olehnya
dengan alasan, segera menunaikan adzan. Karena pengayuh becak tidak
mau dibujuk, akhirnya orang tersebut mencari alternatif lain, dan akhirnya
berhasil juga mendapatkan kendaraan yang biasa digunakan oleh rakyat
biasa itu.
Cerita sederhana tetapi menarik itu, kemudian disampaikan orang dari mulut
ke mulut hingga tersebar luas, dan akhirnya nyampai pada salah seorang
yang berkecukupan. Orang tersebut juga merasa terharu atas kedisiplinan
dan istiqomah pengayuh becak tersebut.Didorong oleh rasa simpatiknya,
orang berkecukupan tersebut mencari dan menawarinya untuk menunaikan
ibadah haji atas biaya seluruhnya ditanggung olehnya. Tawaran itu dengan
rasa syukur diterima, sehingga akhirnya pengayuh becak tersebut sekarang
sudah pernah menunaikan ibadah haji.
Terlepas apakah cerita tersebut benar atau tidak, tetapi dari kisah sederhana
tersebut, sesunguhnya banyak pelajaran yang sangatberharga yang dapat
dipetik. Di antaranya, bahwa ketaatan beragama, kedisiplinan dan tanggung
jawab tidak selalu didominasi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi
dan berlebih secara ekonomi. Orang yang berpendidikan tinggi, kaya, lagi
terhormat, tidak selalu dapat dijamin keberagamaannya meningkat. Apalagi
pendidikan umum yang hanya mengedepankan kekuatan nalarnya dan
sebaliknya, kurang memperhatikan pengembangan spiritualitasnya.