Anda di halaman 1dari 3

Perilaku Sebagian Para Tokok Umat

Bagikan
10 April 2009 jam 21:55
Jika ada tokoh yang semakin gelisah karena menyaksikan penderitaan
umatnya, adalah hal wajar. Sebab, para pemimpin semestinya selalu
menginginkan agar umatnya bersatu, maju, semakin cerdas, makmur
dan sejahtera. Namun, akhir-akhir ini justru yang terjadi adalah
sebaliknya, umat semakin menggelisahkan perilaku para
pemimpinnya. Pemimpin umat dianggap aneh, tidak sebagaimana
semestinya. Tidak sedikit pemimpin dianggap telah meninggalkan
umatnya. Mereka dianggap telah memihak pada kelompok tertentu,
sehingga menjadikan umat terpecah-belah, saling bertikai,
menjatuhkan sesama pemimpin dianggap biasa, membuat statemen
yang membingungkan, tidak singkrun antara ucapan dan
perbuatannya.
Memang tidak semua pemimpin umat seperti itu. Masih banyak yang
istiqomah, ikhlas dan sabar memberikan bimbingan kepada umatnya.
Mereka yang seperti ini juga diakui adanya. Tetapi lagi-lagi, tidak
sedikit pemimpin yang sudah meninggalkan tempat berhikmat semula.
Lembaga pendidikan yang selama ini menjadi wilayah perjuangannya
telah tergesa-gesa ditinggal. Bidang perjuangan yang selama itu
ditekuni, ditinggal dan beralih ke bidang lain, ke dunia politik, agar bisa
mewarnai di sana, dalihnya. Kiranya, perubahan strategi itu tidak
mengapa, asal dilakukan secara santun dan atau proporsional. Tokh,
memang dakwah juga bisa dilakukan melalui berbagai pintu, di
antaranya pintu politik dan tidak selalu hanya lewat pintu pendidikan,
misalnya.
Hanya dengan perubahan orientasi para pemimpin umat itu tidak
selalu membawa dampak yang menguntungkan. Para tokoh umat
kemudian berperilaku sebagaimana politikus pada umumnya. Sesama
tokoh umat saling mengkritik dan menjatuhkan, membuat statemen
yang bisa berdampak memecah belah umat dan sebagainya. Dulu
partai politik Islam yang hanya beberapa saja jumlahnya cukup
menggelisahkan. Umat di lapisan bawah menjadi tidak saling bersatu.
Kekuatan umat Islam menjadi melemah. Dan bahkan tidak jarang di
antara mereka saling mengejek, dengan ejekan yang sesungguhnya
sangat pedas. Melihat kenyataan itu memang semua pihak prihatin,
bagaimana mau mengamalkan isi kitab suci al Qur’an setebal itu,
sementara sebatas mengamalkan sepotong ayat, yakni perintah agar
bersatu saja tidak mampu dan gagal.
Kritik-kritik semacam itu, sekalipun sangat menyakitkan perlu
mendapatkan perhatian. Jika para tokoh Islam berjuang melalui jalur
politik, maka yang perlu dipertanyakan adalah apa sesungguhnya hal
yang benar-benar diperjuangkan itu. Seringkali memang terasa bias
atau tidak jelas. Apalagi tatkala melihat koalisi antar partai politik yang
ada. Ada beberapa partai politik yang menjadikan Islam sebagai
asasya. Akan tetapi tatkala berkoalisi, asas itu ternyata tidak tampak
jelas. Kita lihat misalnya di suatu provinsi, untuk memenangkan
pemilihan Gubernur, dilakukan koalisi antara berbagai partai politik.
Koalisi ini tampak berbeda-beda di wilayah yang berlainan. Bahkan di
antara kabupaten atau kota, juga berbeda lagi dengan koalisi di
tingkat gubernurnya. Di tingkat provinsi misalnya koalisi itu dilakukan
antara PAN, Demokrat dan Golkar. Berbeda di propinsi lain koalisi itu
antara Golkar, PDIP dan PPP. Sedang di kota atau kabupaten lain, akan
lain lagi, yaitu koalisi itu antara Golkar, PKB dan PKS, dan seterusnya.
Tidak adanya konsistensi partai politik dalam berkoalisi tersebut
menjadi wajar jika kemudian melahirkan kebingungan, yakni ideologi
apa sesungguhnya yang mendasari masing-masing partai politik itu.
Perilaku partai politik seperti itu dimaknai oleh sementara orang,
sebagai partai politik yang tidak memiliki idiologi perjuangan yang
jelas. Perjuangan politik mereka dipandang hanya sebatas untuk
meraih kemenangan dalam berkompetisi. Mereka memiliki kata kunci,
ialah agar menang apapun cara yang ditempuh. Jika gambaran ini
betul, maka partai politik di tanah air ini sudah sangat
memprihatinkan, miskin idiologis dan sesungguhnya sudah sangat
praktis dan prakmatis hingga membahayakan sekali.
Kehidupan politik yang sedemikian itu rawan terjadi disorientasi politik.
Politik menjadi tidak sehat, misalnya politik hanya sebatas memburu
menang atau uang. Uang dan menang akan menggantikan idiologi
mereka. Jika benar sudah terjadi seperti itu, maka yang muncul adalah
transaksi dan transaksi. Apa saja kemudian akan dilakukan dengan
uang. Seorang calon gubernur, bupati atau wali kota, agar dicalonkan
oleh partai politik tertentu, maka pertimbangannya bukan kualitas
calon bupati, walikota atau gubernur, melainkan apakah yang
bersangkutan bersedia membayar sejumlah uang tertentu. Orang yang
memiliki kemampuan unggul tidak akan mungkin direkrut menjadi
pimpinan daerah atau wilayah, manakala yang bersangkutan tidak
memiliki uang. Ringkasnya pertimbangan utama adalah uang.
Kekuatan otak dikalahkan oleh kekutan uang. Maka, orang pintar dan
berilmu pengeahuan dianggap remeh. Kepintaran dengan mudah
dikalahkan oleh uang. Itulah sebabnya maka korupsi akan semakin
menjadi-jadi.
Dalam keadanaan seperti itu, maka peran pemimpin umat selalu
dipertanyakan. Lebih-lebih mereka yang sedang berada di arena politik
praktis, misal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah
mereka mampu menjaga jati diri sebagai pemimpin umat,
menyuarakan hati nurani sebagaimana ajaran agamanya, ataukah
justru terbawa arus besar masuk dunia politik praktis dan prakmatis
sebagaimana dikemukakan di muka,----- yaitu juga ikut menjadikan
uang sebagai alat dan sekaligus tujuan utama permainan politiknya.
Jika demikian halnya maka artinya umat sudah kehilangan pemimpin
anutannya.
Sebagai akibatnya, jika gejala seperti digambarkan itu benar, maka
wajar jika terjadi degradasi kepercayaan umat terhadap para
pemimpinnya itu. Pemimpin yang seharusnya dijadikan sebagai
tuntunan berubah menjadi tontonan. Umat mendapatkan tontonan
gratis, berupa pemimpinnya menjadi tersangka, dan kemudian diadili
dan akhirnya dimasukkan ke penjara. Wajarlah kemudian jika terjadi
degradasi kepercayaan terhadap lembaga politik dan sekaligus
pemimpin umat. Loyalitas dan partisipasi politik masyarakat menjadi
rendah. Gejala itu bisa kita lihat misalnya, antusiasitas terhadap
pemilihan umum tidak sedemikian terasa gregetnya, kampanye hanya
diikuti sejumlah kecil pengunjung, hingga sampai MUI ikut-ikut
berfatwa bahwa golput adalah haram hukumnya. Ini semua
menggambarkan telah terjadi apa yang disebut sebagai apatisme
politik. Jika gejala ini tidak segera dapat diatasi, maka akan berdampak
luas terhadap kehidupan politik dan bahkan juga pemerintahan secara
keseluruhan. Akhirnya, kita perlu sadar bahwa reformasi yang kita
anggap sebagai pintu menuju kehidupan yang lebih baik, ternyata
belum ada tanda-tanda menjadi kenyataan.
Belajar dari sejarah panjang perjalanan bangsa ini, ternyata memang
mengubah keadaan itu tidak mudah. Faktor yang berpengaruh
sedemikian banyak, baik faktor internal maupun eksternal. Itu semua
semestinya menyadarkan kita, bahwa para tokoh yang selalu berjanji
akan mampu mensejahterakan rakyat perlu dipelajari secara saksama.
Bangsa ini akan meraih cita-citanya, yakni sejahtera jika diperjuangkan
oleh semua pihak. Harus ada kekuatan yang kokoh, dan kekuatan itu
baru ada jika ada persatuan di antara para kokohnya. Para tokoh umat
semestinya bisa berperan di sini, yaitu mempersatukan kekuatan-
kekuatan itu, dan bukan justru sebaliknya. Selain itu, semua usaha
mulia harus disertai dengan niat yang ikhlas dan juga tidak semestinya
tidak boleh menampakkan kesombongan sekecil apapun, karena itu
kalimah “insya Allah” harus selalu menghiasi segala tindakannya.
Akhirnya, jika para pemimpin umat yang terjun ke dunia politik, juga
melakukan peran-peran seperti itu maka kiranya tidak ada yang perlu
dikhawatirkan oleh umatnya. Allahu a’lam.

Anda mungkin juga menyukai