Anda di halaman 1dari 22

1

Imam Syafii dan Pemikiran Sintesisnya;


Studi Analisis Pemikiran Imam Syafii dan Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Diskursus Keislaman

Oleh
Muhamad Sofi Mubarok, M.HI
1


A. Pendahuluan
Membaca perjalanan panjang sejarah terbentuknya fikih Imam Syafii tidak
terlepas dari pembacaan atas sejarah munculnya ijtihad pada masa awal tabiin,
dimana Imam Syafii lahir dan terbentuk dalam ruang diskursus pemikiran fikih
yang sudah dapat dikatakan cukup mapan. Islam, yang pada masa itu mulai
muncul sebagai agama yang mapan secara intelektual dan mampu bersaing dalam
ranah kebudayaan serta memiliki sosio-kultural yang khas, menawarkan suatu
corak pemikiran keberagamaan yang mengejutkan banyak bangsa di dunia
lainnya.
Perkembangan intelektualitas umat Islam mengalami masa keemasan
ketika kekhilafahan Islam jatuh ke tangan Bani Abbasiyah. Kota Baghdad
dijadikan pusat pemerintahan dalam rangka menjadikan Baghdad sebagai pusat
peradaban dunia, namun tetap berada dalam kerangka mainset kaum Muktazilah
sebagai sekte Islam yang dijadikan madzhab resmi pemerintahan dinasti Bani
Abbasiyah.
Namun anehnya, corak yurisprudensi Islam tidak banyak terpengaruh
sebagaimana pengaruh pemikiran rasionalisme Muktazilah terhadap pemikiran
akidah dan filsafat Islam. Madzhab fikih senantiasa berada pada jalur yang
ditempuh para sahabat dan tabiin, yaitu berada dalam koridor yang lebih dulu
ditetapkan nabi dan para sahabat, terutama dalam menganalogikan suatu kejadian
baru yang tidak ditemukan landasannya dalam al-Quran maupun hadits nabi.


1
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana IAI Ibrahimy Sukorejo, Situbondo. Peserta
Beasiswa Strata ii (S.2) Pendidikan Kader Ulama (PKU) Kementerian Agama RI.
2



Dibandingkan dengan ranah skolastik Islam (filsafat dan kalm),
yurisprudensi Islam atau yang dikenal dengan sebutan fikih Islam, tidak dibatasi
perkembangannya. Selain karena dianggap tidak berbahaya bagi stabilitas
kekuasaan khalifah, perkembangan madzhab fikih memang sesuai dengan fitrah
umat Islam yang saat itu mengalamai masa perkembangan yang sangat pesat.
Oleh karenanya, tiap-tiap daerah memiliki karakteristiknya masing-masing dalam
mengembangkan madzhab fikih. Pembicaraan mengenai madzhab fikih ini
menjadi relevan jika dirunut terlebih dahulu bagaimana sejarah menceritakan
perjalanan panjang kelahiran yurisprudensi Islam generasi awal sampai kelahiran
Syafii, yang dikenal banyak mensintesiskan dua kubu besar dalam pemikiran
Islam; madzhab ahli hadits dan ahli rayi.

B. Kehidupan Imam Syafii dan Latar Belakang Sosio-Kultural Pemikiran
Islam Saat Itu

Sejarah Perkembangan Madzhab Fikih Sebelum Kelahiran Imam Syafii
Sebagai bagian dari estafet kewenangan berijtihad dalam rangka
memperkokoh Islam sebagai solusi atas persoalan umat, tepat pada masa ini para
ulama madzhab mulai bermunculan secara massif. Namun tidak berarti, kerangka
acuan dasar para sahabat dalam menetapkan sebuah keputusan hukum tidak serta-
merta ditinggalkan. Justru dari sinilah semangat ijtihad kaum tabiin berlanjut.
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, ada sebuah paradigma umum
yang menyatakan bahwa metode pemikiran (manhaj al-fikr) yang digunakan oleh
para sahabat itu ada tidak keluar dari dua kerangka besar, yaitu menetapkan segala
sesuatu sesuai dengan tuntutan teks-teks skriptural (baca: al-Quran dan al-hadits),
serta menggunakan metode ijtihad jika landasannya tidak ditemukan dalam teks
wahyu. Dua kerangka metodologi ijtihad ini tertuang dalam dua model besar fikih
sahabat, yaitu corak pemikiran fikih ahli Madinah yang dinakhodai oleh Zaid bin
3



Tsabit, Abdullah bin Umar serta Abdullah bin Abbas, dan madzhab Irak yang
dipunggawai oleh Abdullah bin Masud.
2

Dua kerangka besar inilah yang kemudian dijadikan tradisi paten bagi
generasi setelahnya, dan tidak banyak melakukan banyak perubahan paradigma.
Hanya saja, pergeseran metode sudah mulai banyak terjadi dalam kerangka fikih
tabiin namun tetap mengekor pada pendapat-pendapat sahabat nabi dalam
menetapkan sebuah hukum tertentu. Madzhab Irak, yang fatwa-fatwanya
mengikuti Abdullah bin Masud dan dalam putusan peradilannya mengikuti
pendapat Ali, diketuai oleh Ibrahim an-Nakhai. Sedangkan madzhab Madinah
lebih banyak terpengaruh pada pendapat-pendapat sahabat yang tinggal di
Madinah, dan mufti tabiin yang terkenal dengan madzhab ahli Madinah ialah
Said bin Musayab.
Namun ketika masa tabiin berlalu dan digantikan dengan masa para imam
mujtahid, pemikiran yurisprudensi Islam banyak mengalami pergeseran
metodologi. Penetapan metode (manhaj) mengalami perubahan menjadi polarisasi
madzhab fikih. Corak pemikiran fikih terbagi ke dalam madzhab-madzhab besar.
Abu Zahrah mencatat, setidaknya terjadi lima tahapan terbentuknya
madzhab fikih dalam khazanah Islam.
3
Tahap yang pertama ialah masa dimana
muncul madzhab fikih dan mulai adanya kaitan antar corak pemikiran madzhab
fikih dengan kota tempat tinggal para pendirinya. Tahap pertama ini ditandai
dengan generasi awal munculnya pemikiran yang mengedepankan qiys (analogi)
yang diawali oleh Abu Hanifah, yang kemudian dikenal dengan madzhab Kufah,
dan madzhab Madinah yang diketuai oleh Imam Malik bin Anas yang lebih
banyak menetapkan madzhabnya berdasarkan hadits nabi. Kemudian di Syam
diketuai oleh Imam Al-Auzai, dan di Mesir dikepalai oleh Imam Al-Laits.
Sedangkan generasi berikutnya ditandai dengan munculnya Imam Syafii, Imam
Ahmad, Abu Daud. Tahap kedua ialah tahap dimana kecenderungan mengikuti
para imam madzhab semakin kental. Penamaan istilah mujtahid mutlak hilang
sehingga para imam tidak lagi berijtihad secara bebas, akan tetapi berijtihad

2
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasah wa al-Aqaid wa Tarikh
al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Darul Fikr al-Arabi, tt), vol. II, hal. 30.

3
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 56-57.
4



seputar madzhab tertentu yang ia ikuti. Tahap yang ketiga ialah masa terjadinya
pergeseran ijtihad seputar dasar-dasar suatu madzhab menjadi terikat dengan
madzhab tertentu. Ijtihad, pada tahapan ini, hanya bisa dilakukan pada hal-hal
yang yang belum ditetapkan oleh para imam madzhab. Tahap yang keempat ialah
terikatnya pendapat para imam pengikut madzahab tertentu dengan pendapat para
imam. Pada tahap ini, ijtihad sudah mulai berkurang, dan yang berkembang
hanyalah mengomentari dan menginterpretasikan pendapat para imam madzhab.
4

Sedangkan tahap terakhir ialah munculnya fanatisme bermadzhab dan terjadinya
kejumudan dan statisme umat Islam atas ijtihad, sehingga berkembang suatu
paradigma di masyarakat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, dan berpegang pada
suatu madzhab merupakan suatu keharusan.

Sejarah Singkat Biografi Imam Syafii
Imam Syafii, yang memiliki nama lengkap Muhamad bin Idris, lahir pada
tahun 150 hijriah, bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Menurut
Fakhrudin Ar-Razi, sebagian riwayat yang tidak begitu masyhur bahkan
menyebutkan hari lahirnya Syafii bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah.
5

Beliau lahir di sebuah kota di tanah Palestina, yaitu Gaza. Dalam usianya yang
masih dalam buaian ibundanya, Syafii hidup dalam keadaan serba kekurangan dan
menjadi anak yatim. Meski demikian, beliau memiliki garis keturunan terhormat,
karena ayahnya merupakan keturunan Muthalib, salah satu putra dari Abdu
Manaf, sedangkan jalur keturunannya dari ibu bersambung pada Bani Azdi. Selain
itu, garis keturunannya juga bersambung pada Hasyim.
6
Ketika menginjak usia
dua tahun, beliau pindah bersama ibunya ke Mekah.
Di sinilah beliau memulai pergumulannya dalam dunia intelektualitas
Islam. Beliau memulainya dengan menghafal al-Quran. Di masa kehidupannya di
Mekah pula beliau banyak mempelajari hadits dari para guru hadits, serta


4
Di masa ini, karangan para imam pengikut madzhab fikih kebanyakan berkutat para
syarah dan hasyiyah atas karya para imam madzhab.

5
Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii (Kairo: Maktabah Al-Kuliyah Al-
Azhariyah, 1406 H/1986 M), hal. 34.

6
Ar-Razi, ibid., hal. 23.
5



mempelajari bahasa Arab dari orang-orang yang paling fasih dalam berbahasa
Arab; kaum Badui.
7
Pada usia tujuh tahun, beliau sudah menghafal al-Quran, dan
tepat ketika berusia tiga belas tahun, beliau sudah mampu menghafal kitab hadits
Imam Malik, yaitu Muwaththa.
8

Imam Syafii tergolong imam yang sangat mumpuni dalam keilmuan Islam,
sampai-sampai ketika berusia 15 tahun, beliau telah menjadi seorang mufti di
Mekah.
9
Namun di usia yang relatif muda itu, Imam Syafii tidak serta merta
menyelesaikan studinya begitu saja. Hasrat untuk menimba ilmu lebih dalam
beliau tunjukkan dengan melakukan perjalanan ke Madinah, tempat dimana Imam
Malik, pengarang kitab hadits al-muwaththa yang terkenal itu tinggal. Selama
sembilan tahun Imam Syafii belajar kepada Imam Malik. Namun salah satu
riwayat yang cukup populer menyebutkan, beliau belajar kepada Imam Malik
selama kurang lebih 16 tahun hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H, dan
pada saat yang bersamaan beliau belajar kepada Ibrahim bin Saad al-Anshari dan
Muhamad bin Said.
Setelah mempelajari fikih dari Imam Malik, beliau melanjutkan studinya
ke Irak. Irak, yang sebagai pusat pemerintahan kekhilafahan Bani Abbasiyah
terkenal dengan fikih rasionalnya (rayi). Dalam pengembaraannya inilah beliau
memperdalam fikih rayi kepada para pengikut madzhab Abu Hanifah. Di
antaranya ialah Muhamad bin Hasan as-Syaibani (w. 189 H)
10
, salah satu murid
kesayangan Imam Abu Hanifah. Sejarah mencatat, setidaknya Imam Syafii
singgah ke Irak selama tiga kali. Yang pertama tepat adalah pada saat beliau
remaja, pada tahun 184 H saat pemerintahan Harun Ar-Rasyid, kemudian tahun
195 H dan sempat bermukim di sana selama dua tahun. Selama dua tahun
bermukimnya di Baghdad, beliau menulis kitab ar-Risalah dan menyebarkan
madzhab qadim-nya. Kemudian yang terakhir ialah 198 H dan tinggal selama


7
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 229.

8
Al-Imam as-Syafii, kitab diambil dari maktabah syamilah, tanpa pengarang, hal. 2.

9
Ar-Razi, Manaqib,hal. 37.

10
Syamsuddin adz-Dzahabi, Siyar Alam an-Nubala (Tt: Muassisah ar-Risalah, 1405
H),vol. IX, hal. 136.
6



beberapa bulan.
11
Tepat di kota inilah seorang ahli hadits besar berguru kepada
Imam SyafiI, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.
Berguru kepada As-Syaibani membuat Imam Syafii banyak sekali
menyerap metodologi dan corak yurispruden Islam rasional (madzhab rayi).
Akan tetapi, bukan berarti Imam Syafii hanya mempelajari fikih rayi dan metode
qiys saja kepada As-Syaibani, akan tetapi juga mempelajari riwayat-riwayat yang
sudah dikenal oleh ulama-ulama Irak yang sebelumnya tidak dikenal sama sekali
oleh ulama Hijaz.
12
Sembari mempelajari fikih dari as-Syaibani, Imam Syafii
menyempatkan diri untuk berdiskusi dengan ulama Irak, terutama yang
menyangkut fikih mereka, yaitu fikih rayi seraya memperkenalkan dirinya
sebagai pengikut Imam Malik. Saat itu, bakat Imam Syafii dalam mengungkapkan
suatu metode tertentu belum ditunjukkan kepada ulama Irak. Meski banyak
mengkritik fikih rayi yang menjadi tradisi ulama Irak saat itu, Imam Syafii tidak
bersedia berdebat dengan orang-orang yang seusia dengan As-Syaibani, bahkan
tidak melakukan perdebatan dengan Imam Syaibani sendiri karena Imam Syafii
memandangnya sebagai seorang guru.
13

Di pengembaraannya yang terakhir, Imam Syafii melabuhkan hidupnya di
kota suci umat Islam, yaitu Madinah. Di sinilah beliau melihat konsep baru yang
ditawarkan Imam Malik, yaitu diterimanya pendapat ahli Madinah meski
memiliki kontradiksi dengan hadits ahad dan tidak melalui jalur ananah sesuai
dengan metode kritik dalam ilmu hadits. Syafii melihat hal itu sebagai sebuah
krisis (azma). Dari sinilah kemudian Syafii membangun madzhabnya dengan
mencoba mensintesiskan kubu Abu Hanifah yang rasional dan Imam Malik yang
banyak menekankan hadits sebagai pondasi bermadzhab.


11
Muhamad bin Idris As-SyafiI, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir (Beirut:
Dar al-Fikr, tt), dalam catatan kaki, hal. 6.

12
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 235.

13
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II, hal. 236.
7



Atas dasar inilah, ulama mengkategorikan Imam Syafii sebagai seorang
mujtahid mustaqil, yang berarti seorang mujtahid yang tidak mentendesikan
ijtihadnya pada seorang mujtahidpun.
14


C. Pemikiran-pemikiran Syafii dalam Khazanah Keislaman
Imam Syafii termasuk salah seorang pendiri madzhab yurispruden Islam
yang sangat cerdas. Tak kurang dari beberapa khazanah keilmuan Islam yang
dikuasai, dari mulai pemikiran fikih klasik, kalm, politik (siyasah) Islam, studi
al-Quran (ulumul duran), hadits, dsb. Beliau meninggalkan banyak karya dalam
berbagai literatur Islam, seperti al-Umm, Ahkam al-Quran, Ikhtilaf al-Hadits, al-
Imla, al-Asma wa al-Qobail fi Ikhtilaf al-Iraqiyyin, al-Kitab al-Jadid dan kitab
al-Qodim yang berisi pendapat-pendapat seputar qoul qodim dan qoul jadid,
Musnad al-Imam as-Syafii, yaitu karya beliau seputar hadits-hadits nabi, dan ar-
Risalah yang menjadi kitab prototipe filsafat hukum Islam (ushul fikih).
15

Betapa besar sumbangsih pemikiran Imam Syafii, sehingga para ulama
mengelompokkan beliau sebagai mujtahid mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang
tidak menyandarkan ijtihadnya kepada siapapun. Beliau merupakan salah satu
imam mujtahid yang memiliki pengikut terbanyak sepanjang sejarah Islam hingga
saat ini. Tak heran jika Imam Abdurrahman Bin Mahdi senantiasa mendoakan
beliau sepanjang sholatnya,
16
begitupun dengan Imam Ahmad bin Hanbal yang
mendoakan Imam Syafii dalam sholatnya selama empat puluh tahun.
17

Beberapa poin penting dari pemikiran Imam Syafii akan dijelaskan dalam
pembahasan selanjutnya, di antaranya adalah:

Sintesis antara Metode Imam Malik (Fikih Hadits) dan Imam Abu Hanifah
(Fikih Rayi)

14
Muhamad Al-Khatib As-Syarbini, al-Iqna fi Hall Alfadz Abi SyujaI, tahqiq Ali
Muhamad Muawad dan Adil Ahmad Abdul Maujud (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, cet. Ke-3, 2004
M), hal. 7.

15
Untuk lebih lengkap mengenai karangan Imam Syafii serta intisarinya, lihat kitab yang
membahas secara detail karya-karya turats Islam, Kasyfu adz-Dzunun, karangan Haji Khalifah..

16
Komentar yang diberikan oleh pentahqiq kitab ar-Risalah Imam Syafii, hal. 4.

17
Abu Hamid Al-Ghozali, Ihya Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Marifah, tt), juz. I, hal.
26.
8



Dasar utama pijakan Imam Syafii dalam menetapkan madzhabnya adalah
sintesis dan keseimbangan antara penetapan suatu hukum berdasarkan kaidah-
kaidah tekstual (al-Quran dan hadits) dan kaidah-kaidah rasio (qiys). Sintesis
yang dihasilkan oleh Imam Syafii ini dibangun berdasarkan beberapa kaidah baku
antara berbagai teori-teori fikih klasik dan metodologinya untuk mendapatkan
suatu ketetapan hukum. Tujuannya adalah untuk mengetahui mana di antara
pendapat-pendapat tersebut yang lebih dekat kepada kebenaran dan mana yang
sesuai dengan tujuan dari syariah itu sendiri (maqashid syariah).
Sebagai pijakan madzhabnya, Imam Syafii berhasil menyusun dua
kerangka besar pemikirannya. Petama, beliau mengeluarkan sebuah madzhab
baru, dengan terlebih dahulu mengatakan bahwa beliau adalah murid dari Imam
Malik yang menyeru untuk mengikuti pendapat-pendapat Malik, namun kemudian
menjadi seorang guru yang bebas dan merdeka. Pendapat-pendapat Imam Malik
kemudian dianalisis secara mendalam oleh Imam Syafii, dan berakhir dengan
sebuah keputusan pro maupun kontra dengan pendapat Imam Malik tersebut.
Kemudian, hasil analisisnya beliau tuangkan dengan mengeluarkan sebuah buku
Khilaf Malik. Di samping itu, beliau juga menganalisis teori-teori yang
dikemukakan oleh Imam Syaibani dengan metode analisis-kritis, untuk
menetapkan kesamaan maupun perbedaan pandangannya dengan teori-teori
tersebut. Beliau akhirnya menulis buku yang ia beri nama Khilaf al-Iraqiyyin.
Yang kedua, Imam Syafii mengeluarkan penjelasan atas berbagai kaidah
penalaran induksi (istinbath), yang kemudian dikenal dengan ushul fiqih. Dalam
konteks keilmuan ini, Imam Syafii telah mengabadikan namanya sebagai
prototipe mujtahid penggagas ilmu ushul fikih. Hal ini dilakukan oleh beliau
karena para ulama generasi sebelumnya menetapkan berbagai metode untuk
menetapkan sebuah hukum dalam kerangka global belaka. Hal inilah yang
menjadi acuan Imam Syafii untuk membuat suatu karya ilmiah yang dapat
dijadikan standar bagi para mujtahid dalam membuat kerangka hukum dengan
memberikan aturan-aturan dan kaidah-kaidah terperinci agar seorang mujtahid
9



tidak keliru dalam memformulasi suatu hukum. Oleh karenanya, kebenaran dalam
ijtihad merupakan suatu yang sangat diutamakan oleh Imam Syafii.
18

Boleh jadi Imam Syafii adalah seorang motor penggerak bagi pemikiran
ijtihad. Semangatnya untuk mensintesiskan dua kubu besar pemikiran Islam
kemudian diadopsi oleh penerus-penerusnya.

Kerangka Madzhab Imam Syafii
Imam Syafii mengkonstruk madzhabnya dengan meletakkan lima
kerangka dasar. Beliau berkata demikian:
Ilmu memiliki banyak tingkatan-tingkatan. Tingkatan pertama ialah al-
Quran dan hadits nabi apabila hadits itu telah kokoh dan telah tetap
(otentisitasnya). Di tingkatan yang kedua, terdapat ijma (konsensus) atas
suatu persoalan yang tidak ditemukan dalam al-Quran dan hadits.
Sedangkan di tingkat ketiga ialah sebagian sahabat nabi yang
mengemukakan suatu pendapat, dan pada saat yang sama tidak ada
satupun pendapat sahabat lain yang memperselisihkannya. Tingkat yang
ke empat ialah pendapat sahabat yang berbeda dengan pendapat tersebut,
jika memang terdapat pendapat lain yang berseberangan dengan pendapat
awal tadi. Dan yang terakhir ialah qiys (analogi). Dan segala sesuatu
tidak diperkenankan untuk merujuk selain kepada al-Quran dan hadits
nabi selama keduanya menyuguhkan substansi dasarnya. Dan dari tingkat
tertinggi itulah (baca: al-Quran dan hadits), ilmu itu diambil.
19


Dari perkataan Imam Syafii di atas, dapat kita lihat bahwa Imam Syafii
menganggap tingkatan pertama yang digunakan untuk mengambil sebuah
ketetapan hukum ialah berasal dari teks-teks wahyu (al-Quran dan hadits). Imam
Syafii, selanjutnya, menjadikan keduanya sebagai sumber utama dalam
yurisprudensi Islam (fikih), sedangkan sumber hukum lainnya merupakan cabang
dari al-Quran dan hadits. Oleh karena itu, pendapat-pendapat para sahabat, baik
pro maupun kontra satu sama lainnya tidak mungkin bertentangan dengan al-
Quran dan hadits, bahkan keduanya menjadi sumber inspirasi dan sumber bagi
mereka, yaitu dengan menjadikan teks-teks al-Quran dan hadits sebagai sumber
hukum, maupun hanya mengambil substansi dan esensi dasar yang disediakan
oleh keduanya.


18
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, vol. II,

19
As-SyafiI, al-Umm (Beirut: Darul Marifah, 1393 H), vol. VII, hal. 265.
10



Secara garais besar, menurut Imam Syafii, terdapat empar sumber utama
hukum Islam, yaitu al-Quran, hadits atau sunnah, ijma (konsensus) dan qiys
(analogi).

Al-Quran
Al-Quran mendapat tempat yang pertama sebagai sumber hukum Islam
dalam madzhab Imam Syafii. Menurutnya, sumber hukum yang mesti digali
pertama kali oleh seorang muslim ialah al-Quran, sebagaimana dikemukakan
oleh Imam Syafii dalam al-umm.
20
Namun agar tidak terjerumus ke dalam
pemahaman keliru atas al-Quran, Imam Syafii mengatakan, masing-masing ayat
yang terdapat dalam suatu teks memiliki karakteristik masing-masing. Tiap-tiap
ayat berbeda satu dengan lainnya, sehingga melahirkan hukum yang berbeda-beda
pula.
Kaidah al-Quran ini, yang kemudian dikembangkan para pakar ilmu studi
al-Quran (ulum al-Quran) semisal As-Suyuthi dalam al-Itqannya menjadi
kaidah baku dalam memahami karakteristik dan kandungan al-Quran.
Penggunaan kaidah ini, walau bagaimanapun, oleh Imam Syafii bertujuan untuk
menghindari pemahaman literal atas al-Quran yang sangat kaya dengan
kandungan makna. Selain itu, faktor eksternal (sabab an-nuzul) dan kondisi sosio-
historis juga mutlak diperlukan, sehingga kebenaran al-Quran yang jauh dari
kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya terbukti.
21


Hadits Nabi
Pada masa di mana Imam Syafii hidup, banyak sekte-sekte bermunculan.
Di antara sekte yang muncul, terdapat sebuah sekte yang yang menyerang
eksistensi dan keberadaan sunnah sebagai salah satu pijakan utama dalam
menetapkan hukum. Terdapat sebuah keterangan yang dikutip dari kitab Jama al-
Ilmi, sekte ingkar sunah terbagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
22

a. Kelompok yang mengingkari sunah secara keseluruhan dan totalitas


20
As-SyafiI, ibid..
21
QS. An-Nisa/04: 82.

22
As-Syarbini, a-Iqna, vol. I, hal. 13-14.
11



b. Kelompak yang menolak sunah, kecuali jika muatan makna yang
terkandung dalam sunah itu adalah al-Quran
c. Menerima sunah atau hadits mutawatir,
23
dan menolak hadits-hadits yang
tidak sampai pada derajat otentik (mutawatir). Mereka menamakan hadits
mutawatir sebagai hadits atau khabar umum, dan menamakan selain hadits
mutawatir itu sebagai hadits atau khabar khusus.
Tepat pada masa itu, banyak sekali sekte-sekte Islam menyebar di berbagai
penjuru dunia Islam. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendapat
pengakuan dari masyarakat, termasuk memalsukan hadits-hadits nabi; mereka
membuat suatu hadits dan menisbatkannya kepada Nabi dan para sahabat. Pada
taraf di mana hadits sudah sangat bercampur dengan kebohongan dan kekaburan,
Imam Syafii memandang hal ini sebagai sebuah krisis yang harus segera
diselesaikan. Hadits nabi, menurutnya, harus segera disterilkan dari hadits
maudlu (palsu), dengan melacak silsilah atau mata rantai hadits sehingga dapat
dipastikan apakah hadits tersebut sampai kepada nabi atau tidak.
24

Selain menghadapi para pemalsu hadits, Imam Syafii juga berhadapan
dengan kelompok ingkar sunnah yang menolak menjadikan hadits nabi sebagai
argumentasi sumber hukum Islam. Setidaknya, kelompok ingkar sunnah
mendasarkan argumentasinya pada empat hal pokok; Pertama, Dalam al-Quran,
terdapat pernyataan yang konkret akan cakupan al-Quran yang meliputi segala
sesuatu.
25
Ayat-ayat tersebut dengan tegas menunjukkan al-Quran telah
mencakup segala sesuatu yang terkait dengan persoalan agama, hukum dan
undang-undang, sehingga al-Quran yang akan merinci ketentuan-ketentuannya
berdasarkan keterangan dalam al-Quran itu sendiri. Oleh karena itu, peran sunnah
sebagai spesifikator kaidah al-Quran tidak dibutuhkan. Kedua, perintah


23
Hadits otentik, yaitu hadits yang dapat dipastikan berasal dari nabi, karena
diriwayatkan berdasarkan jalur periwayatan yang banyak sekali, sehingga tidak ada celah pagi
seorangpun dari para periwayat hadits itu untuk berdusta.
24
Metode klarifikasi hadits ini kemudian dikenal dengan ilmu jarh wa at-tadil. Inti
pembahasan cabang keilmuan ini adalah menjelaskan kecacatan dan karakteristik seorang
periwayat hadits, dalam rangka meminimalisasi pemalsuan hadits dan menjaga otentisitas suatu
hadits yang disandarkan kepada nabi.

25
QS. Al-Anam/06: 38, dan QS. An-Nahl/16: 89.
12



menghafal wahyu hanya ditujukan kepada al-Quran,
26
dan tidak untuk menghafal
hadits nabi. Ketiga, jika hadits/sunnah merupakan argumentasi bagi umat Islam,
maka nabi pasti akan memerintahkan para sahabat kala itu untuk menuliskan
hadits, dan sahabat pasti akan melakukan kodifikasi sunnah agar tidak terjadi
distorsi dan perubahan teks hadits. Sedangkan untuk menjaga otentisitas hadits,
satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah dengan membukukannya.
27

Dari tiga kelompok di atas, Imam Syafii menganggap dua dari tiga
kelompok yang berada di urutan yang pertama dan kedua sebagai kelompok yang
tidak dapat dijadikan sandaran untuk dipegang pendapat-pendapatnya karena
mendestruksi sunnah yang sudah disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan
untuk menyanggah kelompok ingkar sunnah, beliau mengatakan bahwa
bagaimana mungkin umat Islam dapat melaksanakan tata cara sholat, zakat dan
manasik haji, misalnya, jika pendapat dari kelompok pertama dan kedua
dibenarkan, karena tata ritual peribadatan tidak dijelaskan secara terperinci dan
lebih spesifik oleh al-Quran, dan al-Quran sendiri telah menyerahkan
kewenangan untuk menjelaskannya kepada nabi melalui hadits-haditsnya.
Untuk kelompok yang tidak menerima selain hadits mutawatir, Imam
Syafii berpendapat demikian,
Dalam seruan dan ajakan terhadap ajaran Islam, terkadang Nabi
Muhamad mengirim beberapa orang utusan yang tidak sampai pada derajat
mutawatir. Seandainya konsep mutawatir itu merupakan suatu kebutuhan
aksioma (dloruriy), maka pasti beliau tidak akan mencukupkan untuk
mengirimkan satu atau dua orang utusan saja. Kemudian di sisi lain dapat
kita temukan bahwa nabi sering memutuskan persengketaan masalah harta,
hukum qishosh dengan hanya berpegang pada dua orang saksi saja. Dan
derajat khabar ini tidak mencapai derajat mutawatir. Atas dasar itulah
kemudian nabi menetapkan sebuah hukum syara. Sedangkan kritik yang
ketiga ialah Nabi Muhamad memperbolehkan sahabat yang mendengar
langsung suatu hadits dari nabi untuk kemudian diajarkan kembali kepada
sahabat lain yang belum mendengarnya, meskipun hanya satu orang.
Dalam sebuah hadits, beliau bersabda demikian:
28



26
QS. Al-Hijr/15: 8.

27
Dr. Mushtafa as-SibaI, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-I slamiy
(Damaskus: Dar Al-Warraq, tt), hal. 176-177.
28
As-Syafii, al-Umm, Dalam As-Syarbini, al-Iqna, hal. 14.
13




:

29
Imam Syafii mengakui banyaknya hadits yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan otentisitasnya. Untuk itu, beliau menetapkan beberapa
kaidah yang dipakai untuk mensortir hadits mana yang memang berasal dari nabi
dan mana yang bukan. Oleh kalangan ahli hadits di kemudian hari, metode ini
disebut dengan ilmu hadits dirayah dan ilmu hadits riwayah.


Ijma (Konsensus)
Ijma merupakan argumen selanjutnya yang digunakan Imam Syafii dan
para pengikutnya dalam menetapkan sebuah hukum. Ijma dalam pandangan
Imam Syafii merupakan argumen yang sangat penting setelah al-Quran dan
hadits dalam menetapkan sebuah hukum, jika argumen penetapan hukum tersebut
tidak ditemukan dari keduanya. Ijma yang dimaksud Imam Syafii pada mulanya
berasal dari kesepakatan yang terjadi di antara para sahabat
30
setelah wafatnya
nabi, dengan mempertimbangkan ketiadaan rujukan bagi para sahabat dalam
menetapkan hukum dari al-Quran maupun hadits.
Pada dasarnya, ijma merupakan kesepakatan bersama para imam mujtahid
atas sebuah hukum syariah dalam kaitannya dengan realitas yang terjadi pada
periode setelah wafatnya Nabi Muhamad. Maksudnya ialah, jika ada satu kasus
terjadi dalam masyarakat, kemudian dihadapkan kepada para mujtahid dan
mereka berkonsensus atas hukum kasus tersebut, maka inilah yang kemudian
dinamakan ijma yang dapat dijadikan salah satu sumber hukum Islam.
31

Akan tetapi terdapat tiga poin yang perlu dipertimbangkan di sini
mengenai teori ijma yang dikemukakan oleh Imam Syafii. Pertama, ijma yang


29
Muhamad bin Idris As-Syafii, Musnad as-Syafii (), vol. III, hal. 59, nomer hadits 1110,
tersedia dalam www.alsunnah.com
30
As-Syafii, ar-Risalah, hal. 597.

31
Abdul Wahab Kholaf, I lm Ushul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyah, 2010 M)
hal.34.
14



dapat dijadikan sandaran argumen hanyalah ijma yang tidak menyalahi ketetapan
yang sudah baku di dalam al-Quran dan hadits, sehingga apabila terjadi suatu
konsensus yang menyalahi keduanya, maka tidak dikategorikan ijma. kemudian
yang kedua adalah, Imam Syafii berbeda pandangan dengan gurunya sendiri,
Imam Malik yang menganggap konsensus penduduk Madinah sebagai sebuah
ijma. Meski demikian, dari persfektif praksis Imam Syafii mengakui bahwa
penduduk Madinah tidak menyepakati suatu hal kecuali jika hal demikian telah
disepakati oleh penduduk Islam di wilayah lain, seperti bilangan empat rokaat
dalam sholat dzuhur, dsb. Hal ini mengindikasikan kesamaan beliau dengan Imam
Malik dalam persfektif praksis, namun berbeda di ranah teoritis. Dan yang
terakhir, jika terdapat seorang mujtahid yang memperselisihkan ijma yang telah
disepakati mayoritas dan dengan tegas mujtahid tersebut menolaknya, maka ijma
yang dikemukakan oleh mayoritas menjadi batal. Sehingga realitas ijma yang
diharapkan oleh Imam Syafii sangat jarang sekali terjadi.
32

Meski terkesan sangat sulit untuk dilaksanakan, teori ijma yang
dilontarkan Imam Syafii diikuti oleh pengikut madzhabnya. Meski pada dasarnya
ijma berasal dari rasio, akan tetapi kedudukannya menjadi sangat penting bila
dibandingkan dengan pendapat pribadi, karena pendapat mayoritas dan terjadinya
kesepakatan bersama lebih dekat kepada kebenaran dibandingkan dengan
pendapat personal.
33


Qiys (Analogi) dan I jtihad
Qiys berasal dari kata qosa yaqisu - qoisan dan qiysan, yang berarti
mengukur sesuatu dengan sesuatu yang sepadan.
34
Menurut terminologi filsafat
hukum Islam, qiys adalah menyamakan suatu kejadian yang belum memiliki
ketetapan hukumnya dari teks syari dengan kejadian lain yang sudah ada
hukumnya, karena adanya persamaan illat di antara kedua kejadian tersebut.
35



32
Abu Zahrah, Tarikh Madzahib., vol. II, hal. 259-260.
33
Abdul Wahab Kholaf, I lm Ushul al-Fiqh, hal. 50.

34
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shodir, tt), vol. VI, hal. 185.

35
Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib..., vol. II, hal. 263.
15



Tidak ada sumber yang jelas tentang Imam Syafii dalam hal ini, baik yang
menyebutkannya sebagai pencetus term qiys atau hanya mengutip pendapat
imam lain. Hanya saja, patut diakui bahwa beliau adalah seorang mujtahid yang
memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik atas makna teks-teks syariah,
atau melakukan tarjih (determinasi) terhadap suatu pendapat fikih para sahabat
maupun para ulama.
Sedangkan Imam Syafii merupakan seorang mujtahid dalam mengeluarkan
sebuah pendapat dengan metode qiys, atau yang disebutnya sebagai ijtihad.
Menurutnya, kedua kata tersebut memiliki esensi yang sama, sehingga Imam
Syafii tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama.
Tak seperti para pendahulunya, Imam Syafii berbeda dalam menerapkan
metode qiys. Ia lebih suka menjadi seorang madzhab tengah antara kubu Hanafi
dan Maliki.
36
Teori qiys Imam Syafii didasarkan pada dua hal utama. Pertama,
pernyataannya dalam ar-Risalah, bahwa sejatinya segala sesuatu yang terjadi
dalam masyarakat sudah memiliki hukum pasti dan memiliki dalilnya tersendiri.
Apabila teks berbicara secara eksplisit tentang sebuah hukum, maka hukum
tersebut harus diikuti. Sedangkan apabila tidak ada dalil eksplisitnya, maka
seseorang mesti mencari dalilnya dengan cara ijtihad. Dan ijtihad inilah yang
kemudian dinamakan qiys.
37
Dari pernyataan ini, ia menyatakan syariat Islam
memiliki dimensi yang sangat umum dan wilayah hukumnya tidak terbatas pada
hal-hal yang dijelaskan secara eksplisit saja, akan tetapi melampaui segala sesuatu
secara keseluruhan.
Yang kedua ialah, ilmu syariat yang terkait dengan hukum terbagi menjadi
dua kategori, ilmu qathi yang sudah memiliki argumentasi syari-nya dalam al-
Quran dan hadits secara mutlak dan pasti, dan ilmu dzanniy (spekulasi) yang
memiliki kekuatan dalil yang relatif dan nisbi. Dari sini beliau menyimpulkan
bahwa apabila ilmu qathi terputus, maka seorang mujtahid hendaknya
mengorientasilkan argumentasinya pada dalil-dalil relatif yang kuat.
38
Imam


36
Muhamad Kamaluddin Imam, Nadzariyyat al-Fiqh fi al_I slam: Madkhal Manhajiy,
kitab acuan Universitas Iskandariyah dan Beirut al-Arabiyah, tidak diterbitkan, tt, Hal. 271.

37
Imam Syafii, ar-Risalah, hal. 477.

38
Abu Zahroh, Tarikh al-Madzahib., vol. II, hal. 264.
16



Syafii mentendensikan pendapatnya dari perintah nabi untuk menggali potensi
dalil yang pasti di dalam al-Quran dan hadits untuk menjawab persoalan baru
yang muncul kemudian.
Namun demikian, Imam Syafii menyadari tidak semua hukum yang
datang kemudian dapat begitu saja diqiyskan kepada hukum asal. Tentu ada
beberapa kriteria baku yang dijadikan sebagai standar seorang mujtahid dapat
menggunakan metode qiys untuk menetapkan sebuah hukum. Oleh sebab itulah
Imam Syafii menyanggah istihsan yang oleh pengikut madzhab Hanafi diakui dan
boleh dijadikan sumber hukum Islam.



Penolakan Imam Syafii terhadap Teori I stihsan Imam Hanafi
Terdapat pernyataan Imam Syafii yang sangat terkenal menolak
pemakaian istihsan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Beliau berkata:

Barang siapa menganggap sesuatu sebagai sebuah kebaikan, maka sesungguhnya
ia telah membuat syariat baru (heretik).

Pernyataan ini menunjukkan penolakan Imam Syafii atas metode yang
digunakan Imam Abu Hanifah yang banyak sekali mendasarkan fatwa dan
pendapat fikihnya dengan metode istihsan. Selain itu, Imam Syafii juga
menganggap istihsan sebagai salah satu argumen cacat yang tidak boleh dipakai
untuk menetapkan suatu hukum. Pendapat ini diikuti oleh sebagian besar ushuli,
karena istihsan merupakan bentuk mengambil kesenangan dan mendasarkan
hukum sesuai dengan keinginan sendiri.
39

Berbeda dengan klaim yang dilontarkan oleh Imam Syafii, Istihsan dalam
pandangan penggagasnya ditekankan pada berpalingnya seorang mujtahid dari
analogi universal (qiys kulli) menuju analogi parsial (qiys juziy) dikarenakan
adanya illat (sebab) lain yang mengharuskan mujtahid untuk merubah qiys jaliy


39
Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul Fiqh, hal. 62.
17



menuju qiys khofiy.
40
Maka sebenarnya terdapat titik temu antara penolakan
Imam Syafii terhadap istihsan yang beliau maksud, dengan istihsan menurut
Hanafiyah.
Tentu saja dalam pandangan Hanafiyah, istihsan bukanlah bentuk
mengambil suatu hukum berdasarkan kesenangan. Karena dengan beberapa
contoh yang dikemukakan, semua bentuk istihsan yang dipraktekkan oleh
Hanafiyah terjadi karena adanya kebutuhan yang mendesak. Di sinilah letak
persamaan antara Imam Syafii dan Hanafiyah.



Munculnya Qoul Qodimdan Qoul Hadits dalam Tradisi Madzhab Skolastik
Imam Syafii
Qoul qodim adalah fatwa-fatwa Imam Syafii yang beliau kemukakan
ketika beliau berada di Baghdad. Terdapat 24 fatwa yang yang dikenal dengan
qoul qodim. Para perawi dari qoul qodim Syafii itu ada empat, dan yang paling
masyhur ialah Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Karobisi, Imam Zafaroni, dan juga
Imam Abu Tsaur. Sedangkan qoul jadid ialah fatwa-fatwa Syafii yang beliau
kemukakan di Mesir dan meralat kembali fatwa-fatwa yang telah beliau
kemukakan di Baghdad karena beliau menemukan kelemahan dalil-dalilnya. Di
antara para perawi qoul jadid beliau ialah Imam Al-Muzani, Imam Al-Buwaithi,
Imam Ar-Rabi Al-Jizi, dan Imam Imam Ar-Rabi bin Sulaiman Al-Murodi,
perawi kitab al-Ummnya Syafii.
Riwayat menyebutkan, Syafii meralat keseluruhan qoul qodim kecuali
pada 17 masalah, yang menurutnya masih berpegang pada dalil yang kuat. Namun
ada juga yang berpendapat, hanya 14 qoul qodim yang tidak dirubah, namun yang
jelas bilangannya lebih banyak dari pendapat-pendapat di atas, sesuai dengan
keterangan dalam berbagai kitab turats.
41
Dari sinilah muncul pernyataan Imam
Syafii yang menyebutkan:


40
Hudlori Bik, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003 M), hal.

41
Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib., vol. II, hal. 273.
18




Artinya: apabila (terdapat) sebuah hadits shohih, maka itulah
madzhabku.
42


Penolakan Imam Syafii terhadap Ilmu Kalm
Di masa Imam Syafii hidup, terdapat banyak sekali diskursus dan
perdebatan seputar persoalan ilmu kalm yang melahirkan sekte-sekte skolastik
Islam (mutakallimin), seperti Muktazilah, Khawarij, dsb. Perdebatan mereka
berkutat pada persoalan dasar menyangkut kalm Tuhan, apakah menjadi bagian
dari sifat-Nya ataukah tidak, juga apakah al-Quran itu diciptakan atau tidak.
Di ranah ini, Imam Syafii banyak mengemukakan pendapatnya, baik
sebagai pihak yang pro maupun kontra dengan diskursus tersebut. Salah satu
pendapatnya yang cukup kontroversial adalah penolakan Imam Syafii terhadap
orang-orang yang banyak menghabiskan waktu dan energi untuk mempelajari
kalm. Beliau menyebutkan demikian:
Hindarilah oleh kalian berdebat dalam persoalan kalm, karena
sesungguhnya jika seorang laki-laki yang ditanya tentang persoalan fikih,
kemudian ia salah dalam memberikan jawaban, maka maksimalnya
konseksuensi yang ia dapatkan adalah ditertawakan, namun jika ia ditanya
mengenai hukum orang yang membunuh orang lain dan ia menjawab
diyatnya orang yang membunuh adalah membayar sebuah telur. Namun
jika ia ditanya tentang persoalan kalm dan ia keliru menjawab, maka ia
akan terjerumus ke dalam bidah (heretik).

Sebagai seorang mujtahid dan salah satu orang yang paling mengetahui
ilmu kalm, Imam Syafii boleh jadi benar dalam kaitannya dengan penolakannya
terhadap ilmu kalm. Karena saat itu terjadi fitnah besar yang disebabkan oleh
banyaknya kelompok Islam yang mendalami persoalan al-Quran. Di satu sisi,
banyak di kalangan kaum bidah yang meminta suaka politik dan berlindung di
balik kekuasaan khilafah Islam, dan mereka cenderung mendiskreditkan ulama
yang benar. Mereka juga tidak berpaling kepada argumen yang benar. Pada saat


42
Imam Bujairomi, Hasyiyah al-Bujairomi ala al-Khotib, Juz. 1, hal. 171, tersedia
dalam: www.al-islam.com
19



Imam Syafii mengetahui bahwa pembahasan mengenai ilmu kalm tidak
dimaksudkan untuk memperolah ridla Tuhan, akan tetapi untuk memperoleh
dunia dan kekuasaan, maka tak salah jika beliau meninggalkan persoalan kalm
dan berpaling dari ilmu kalm, juga mencela orang-orang yang mendalaminya.
43

Namun penolakan Imam Syafii atas ilmu kalm dapat dilihat dan dipahami
dari berbagai sisi. Di antaranya ialah: Pertama, terjadi fitnah yang sangat besar
kala itu karena banyak kalangan mendalami persoalan al-Quran (apakah ia hadits
atau qadim). Pada saat yang bersamaan, kalangan heretik (ahlu bidah) meminta
suaka kepada penguasa untuk mendiskreditkan kelompok-kelompok yang benar.
Mereka sama sekali tidak mempedulikan argumentasi-argumentasi yang kokoh.
Melihat realitas yang terjadi dimana mempelajari kalm bukan dalam rangka
mencari ridla Allah, melainkan untuk mencari pamor di hadapan para penguasa,
maka tidak heran jika Imam Syafii mencela orang-orang yang banyak
menghabiskan waktu mempelajari kalm. Yang kedua, sangkalan Imam Syafii
terhadap ilmu kalm itu hanya ditujukan kepada para pembuat bidah saja, bukan
untuk keseluruhan. Realitas ini sama seperti ahli fikih yang menggunakan metode
qiys, dan di satu sisi mereka menemukan adanya kabar otentik dari sahabat dan
tabiin yang menegasikan metode qiys, mereka berkata bahwa larangan
menggunakan wiyas ditujukan pada qiys fasid (analogi keliru) yang menyalahi
ketentuan nash. Sedangkan yang terakhir ialah penolakan Imam Syafii terhadap
ilmu kalm menjadi salah satu landasan madzhabnya; menerima dalil yang
disebutkan oleh al-Quran adalah suatu keharusan, dan menambah-nambahkan
serta mendalami persoalan yang tidak ada ruang bagi akal untuk berijtihad
merupakan sesuatu yang terlarang. Oleh karena itulah, mendalami ilmu kalm
menjadi tercela dalam pandangan Imam Syafii.
44

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa pad dasarnya ilmu kalm memiliki
kedudukan yang terhormat dalam pemahaman Imam Syafii. Seseorang dapat
mengenal Tuhan rasul melalui ilmu kalm. Oleh karena itu, mempelajari ilmu
kalm harus dijauhkan dari niat mencari kekuasaan dan tidak menjerumuskan ke

43
Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 103.
44
Ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 103-104.
20



dalam heretisme agama, melainkan semata-mata untuk mencari kebenaran dan
ridla Tuhan.

Pendapat Imam Syafii terhadap I mamh (Kepemimpinan Politik)
Persoalan yang tidak luput dari perhatian Imam Syafii adalah
kepemimpinan (imamh) karena keterkaitannya dengan fikih, baik dekat maupun
jauh. Setidaknya, terdapat tiga teori yang dimunculkan Imam Syafii terkait
masalah politik, yaitu:
45

1. Imam Syafii meyakini bahwa kepemimpinan termasuk ke dalam persoalan
agama yang patut untuk diberlakukan. Konsep im mah diaplikasikan agar
orang mumin melakukan aktivitas di bawah naungan seorang imam atau
pemimpin.
2. Imam Syafii tidak berpendapat bahwa seorang imam harus berasal dari
Quraisy. Pendapatnya ini mengacu pada hadits yang bersumber dari Umar
bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az-Zuhri dengan sanad bersambung pada
Nabi Muhamad.
3. Selain itu, beliau juga menganggap sahnya kepemimpinan seorang
khilafah yang berkuasa tanpa melalui proses pembaiatan, dan menganggap
pembaiatan bukan bagian dari syarat sah kekhilafahan, akan tetapi sebatas
wilayah keutamaan saja. Kemudian Syafii menambahkan, seandainya
terdapat seorang raja yang menaklukan suatu daerah dan dia adalah
seorang yang memiliki nasab Quraisy dan mendirikan pemerintahan di
daerah tersebut kemudian didukung oleh rakyat, maka ia dapat dikatakan
sebagai seorang pemimpin (imam). Prasyarat inilah yang diajukan oleh
Imam Syafii untuk menolak prasyarat Quraisy bagi seorang khalifah yang
tidak mengaktualisasikan nilai-nilai keadilan.
Tampak jelas Imam Syafii bersikap moderat dalam politik. Baginya,
sistem pemerintahan bukanlah sesuatu yang esensi dalam agama. Prinsip-prinsip
universal seperti keadilan, persamaan dan kebebasan berpendapat menjadi
prioritas Imam Syafii. Baginya, pemerintahan yang merealisasikan keadilan bagi


45
As-Syarbini, al-Iqna, vol. I, hal. 11.
21



masyarakat memiliki legalitas untuk dipatuhi, sebagaimana kelaliman yang tidak
bisa dibiarkan terus-menerus.

D. Penutup
Membicarakan Imam Syafii merupakan persoalan yang sangat kompleks.
Ini dikarenakan peranannya yang sangat besar dalam memajukan khazanah
keilmuan Islam, sehingga pembicaraannya tidak cukup berhenti sampai di sini.
Sebagai kesimpulan, setidaknya terdapat dua poin utama yang dapat
dipaparkan dalam makalah ini. Pertama, terlepas dari kritik yang ditujukan kepada
Imam Syafii, beliau adalah seorang mujtahid yang memperkenalkan Islam sebagai
agama yang solutif. Pemikirannya yang luas memberikan inspirasi dan
sumbangsih yang sangat berharga bagi kemajuan pemikiran Islam. Madzhabnya
banyak dianut oleh umat Islam dan madzhabnya menelurkan karya-karya besar
yang diperhitungkan. Kedua, kehidupan Imam Syafii yang tidak terjebak pada
ambisi kekuasaan mengajarkan umat Islam untuk mendalami ilmu-ilmu Islam
dalam rangka mencari ridla Allah. Moralitas dan etika yang beliau terapkan dalam
keseharian membuatnya senantiasa dikenang. Sehingga tidak berlebihan jika
banyak pengikutnya yang senantiasa mendoakan Imam Syafii sepanjang
hidupnya. Wallahu alam.

22



Daftar Pustaka

Adz-Dzahabi, Syamsuddin, Siyar Alam an-Nubala (Tt: Muassisah ar-Risalah,
1405 H)
Al-Ghozali, Abu Hamid, Ihya Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Marifah, tt)
Ar-Razi, Fakhruddin, Manaqib al-Imam as-Syafii, hal. 34.
As-Sibai, Mushtafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri al-I slamiy
(Damaskus: Dar Al-Warraq, tt)
As-Syafii, Muhamad bin Idris, ar-Risalah, tahqiq Ahmad Muhamad Syakir
(Beirut: Dar al-Fikr, tt)
___________________________, Musnad as-Syafii, vol. III, tersedia dalam
www.alsunnah.com
___________________________, al-Umm(Beirut: Darul Marifah, 1393 H)
As-Syarbini, Muhamad Al-Khatib, al-Iqna fi Hall Alfadz Abi SyujaI, tahqiq Ali
Muhamad Muawad dan Adil Ahmad Abdul Maujud (Beirut: Darul
Kutub Ilmiah, cet. Ke-3, 2004 M)
Bujairomi, Hasyiyah al-Bujairomi ala al-Khotib, tersedia dalam: www.al-
islam.com
Hudlori Bik, Muhamad, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, 2003 M)
Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Dar Shodir, tt)
Imam, Muhamad Kamaluddin, Nadzariyyat al-Fiqh fi al_I slam: Madkhal
Manhajiy, kitab acuan Universitas Iskandariyah dan Beirut al-Arabiyah,
tidak diterbitkan
Zahrah, Muhamad Abu, Tarikh al-Madzahib as-Siyasiyyah fi as-Siyasah wa al-
Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Darul Fikr al-
Arabi, tt)

Anda mungkin juga menyukai