Disusun oleh : Wiwin Noviyanti G1A212092 Siti Maslikha G1A212093
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu PenyakitDalam RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto
telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal: Juli 2013
Purwokerto, Juli 2013 Pembimbing,
dr. Dian Zamroni, Sp. JP A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S. Usia : 46 tahun Alamat : Berkoh rt/rw 5/2 purwokerto selatan Jenis kelamin : Laki-laki Agama : Islam Status : Sudah menikah Pekerjaan : Petani Pendidikan : SMP Tanggal masuk : 19 Juli 2013 Tanggal periksa : 20 Juli 2013 Ruang rawat : Mawar No. CM : 605641
B. ANAMNESIS 1. Keluhan utama : Dada sakit 2. Keluhan tambahan : Pasien mengeluhkan dada berdebar-debar, sesak nafas, sering terbangun pada malam hari karena sesak, cepat lelah ketika beraktivitas, lemas, pusing dan batuk. Pasien mengaku tidur dengan menggunakan lebih dari dua bantal. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki, nyeri ulu hati seperti ditusuk-tusuk. 3. Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan dada terasa sakit. Nyeri dadanya menjalar sampai ke punggung dan seperti tertusuk-tusuk. Selain itu pasien juga mengeluhkan dada berdebar-debar, sesak nafas, sering terbangun pada saat malam hari, cepat lelah ketika beraktivitas, lemas, pusing dan batuk. pasien juga mengaku tidur menggunakan lebih dari dua bantal. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati seperti di tusuk-tusuk dan bengkak pada kedua kaki.
4. Riwayat penyakit dahulu a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal b. Riwayat darah tinggi : disangkal c. Riwayat penyakit gula : diakui sudah sejak 10 tahun yang lalu d. Riwayat alergi : disangkal e. Riwayat sakit ginjal : disangkal f. Riwayat penyakit jantung : disangkal g. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal h. Riwayat sakit tenggorokan/penyakit kulit : disangkal i. Riwayat konsumsi obat-obatan : sedang mengkonsumsi obat- obatan penyakit DM 5. Riwayat penyakit keluarga a. Riwayat penyakit yang sama : disangkal b. Riwayat darah tinggi : disangkal c. Riwayat penyakit gula : disangkal d. Riwayat alergi : disangkal e. Riwayat sakit ginjal : disangkal f. Riwayat sakit kuning/liver : disangkal g. Riwayat tumor otak : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure a. Community Pasien adalah seorang ayah mempunyai 2 orang anak. Pasien tinggal bersama dengan istri dan kedua anaknya di lingkungan yang cukup padat penduduknya. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat dan baik. b. Home Pasien tinggal di sebuah rumah berempat dengan keluarganya. Rumah yang dihuni terdiri dari 3 kamar dan masing-masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi dan jamban di dalam rumah. Atapnya memakai genteng dan lantai terbuat dari ubin. c. Occupational Pasien bekerja sebagai petani dengan penghasilan 500.000/bulan.
d. Personal habit Pasien seorang perokok sejak lama dan tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien tidak sering melakukan olahraga. e. Drugs and Diet Pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan DM. Menu makan pasien terdiri dari nasi dan sayur-mayur, terkadang lauk-pauk. Pasien makan sehari 3 kali.
C. PEMERIKSAAN FISIK 20 Juli 2013 1. Keadaan umum : tampak sakit sedang 2. Kesadaran : Composmentis 3. Vital sign tanggal 20 juli 2013 a. Tekanan darah : 170/100 mmHg b. Nadi : 92 /menit ireguler c. Pernapasan : 24 /menit d. Suhu : 36,5 C 4. Tinggi badan : 168 cm 5. Berat badan : 67 kg 6. Status gizi (IMT) : 23,74 (normal) 7. Status generalis a. Pemeriksaan kepala 1) Bentuk kepala Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-) 2) Rambut Warna rambut hitam, rontok dan terdistribusi merata.
3) Mata Simetris, edema palpebra (-/-) konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), mata kering (-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil isokor diameter 3 mm 4) Telinga Discharge (-), deformitas (-) 5) Hidung Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-) 6) Mulut Bibir kering (-), bibir pucat (-), bibir sianosis (-), lidah sianosis (-), lidah kotor (-) b. Pemeriksaan leher Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) Palpasi : JVP 5+ 2cm c. Pemeriksaan thorax Paru Inspeksi : dinding dada tampak simetris dan tidak tampak ketertinggalan gerak antara hemithorax kanan dan kiri. Eksperium memanjang (-), kelainan bentuk dada (-), retraksi intercostalis (-). Palpasi : Apex vokal fremitus sinistra = dextra Basal vokal fremitus sinistra = dextra Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor Batas paru-hepar SIC V LMCD Auskultasi : Apex suara dasar vesikuler +/+, RBH -/-, RBK -/-, Basal suara dasar vesikuler +/+ dan Wheezing-/- Jantung Inspeksi : ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS P.parasternal (-) p.epigastrium (+). Palpasi : ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD Batas atas kiri : SIC II LPSS Batas bawah kanan : SIC IV LPSD Batas bawah kiri : SIC V 2 jari medial LMCS Auskultasi : M 1 >M 2 P 1 <P 2
T 1 >T 2 A 1 >A 2 ireguler, Gallop (-), Murmur (+) sistolik.
d. Pemeriksaan abdomen Inspeksi : datar Auskultasi : bising usus (+) terdengar setiap 2-5 detik (normal) Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok costo vertebrae (-/-) Palpasi : supel, undulasi (-), nyeri tekan (-) Hepar : tidak teraba Lien : tidak teraba e. Pemeriksaan ekstremitas Pemeriksaan Ekstremitas superior Ekstremitas inferior Dextra Sinistra Dextra Sinistra Edema - - + + Sianosis - - - - Kuku kuning (ikterik) - - - - Akraldingin - - - - Reflek fisiologis Bicep/tricep Patela
+ +
+ +
+ +
+ + Reflek patologis Reflek babinsky
-
-
-
- Sensoris D=S D=S D=S D=S
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Laboratorium 1. Darah lengkap
2. Hitung jenis
K
3. Kimia klinik
No Jenis Pemeriksaan Hasil Ket. 1 Hb 11,1 gr/dL () 2 Leukosit 8010 /ul /ul (N) 3 Ht 34 % % () 4 Eritrosit 4,1 x 10 6 /ul () 5 Trombosit 563.000 /ul () 6 MCV 83,9 fl Normal 7 MCH 27,1 pg Normal 8 MCHC 32,3 % () 9 RDW 13,6 % Normal 10 MPV 9,7 fl Normal 1. Basofil 0,4 % Normal 2. Eosinofil 0,0 % () 3. Neutrofil Batang 0,9 % () 4. 5. 6. Neutrofil Segmen Limfosit Monosit 80,9 12,9 4,9 % % % () () Normal 1. SGOT SGPT CK CKMB Ureum darah Kreatinin darah Glukosa sewaktu Kalium 862 192 48 12 52,4 1,29 216 4,6 U/L U/L U/L U/L mg/dL mg/dL mg/dL mmol/L () () Normal Normal () Normal () Normal 4. EKG : Sinus tachycardi, incomplete right bundle branch block, T wave abnormality, consider anterior ischemia. E. RESUME 1. Anamnesis a. Keluhan utama nyeri dada. b. Nyeri dada disertai dengan dada berdebar-debar, pasien mengeluhkan sesak nafas, sering terbangun pada malam hari karena sesak, cepat lelah ketika beraktivitas, lemas, pusing dan batuk. Pasien mengaku tidur dengan menggunakan lebih dari dua bantal. c. Pasien juga mengeluhkan bengkak pada kedua kaki, nyeri ulu hati seperti ditusuk-tusuk. d. Pasien mengaku sebelumnya tidak mempunyai riwayat penyakit yang sama e. Kelurga pasien tidak mempunyai riwayat yang sama f. Pasien seorang perokok sejak lama dan tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien tidak sering melakukan olahraga. g. Pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan DM. Menu makan pasien terdiri dari nasi dan sayur-mayur, terkadang lauk-pauk. Pasien makan sehari 3 kali. 2. Pemeriksaan Fisik Vital sign Tekanan darah : 170/100 mmHg Nadi : 92 /menit ireguler Pernapasan : 24 /menit Suhu : 36,5 C Status generalis Mata : ca -/-, sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Status lokalis a. Pemeriksaan abdomen: Inspeksi : datar Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-) Palpasi : supel, undulasi (-), Nyeri tekan (-)
F. DIAGNOSIS KERJA Congestive Heart Failure Atrial fibrilation Diabetes Melitus
G. PENATALAKSANAAN 1. Farmakologi : a. O 2 2 LPM b. IVFD RL 10 tpm c. Inj. Ceftriaxone 1x 2 gr d. Lasix drip 5 mg/jam e. Inj / drip tramadol (k/p) f. Po. ISDN 2 x 5 mg g. Po. Irbesartan 1x 300mg h. Po. Amlodipin 1x 5 mg i. P.OMetformin 2x 500mg j. P.O Curcuma 3x 1 k. P.O. Bisoprolol 1x2,5 mg tab l. P.O. Spironolacton 1x25 mg tab m. P.O Digoxin 1x 1/2 2. Non farmakologi : a. Istirahat, dianjurkan tirah baring sampai edem berkurang. b. Batasi asupan natrium dengan menggunakan garam secukupnya dalam makanan dan menghindari makanan yang diasinkan. c. Diet protein d. Merokok : harus dihentikan e. Edukasi penyakit kepada pasien meliputi terapi, komplikasi penyakit, prognosis penyakit dan cara pencegahan perburukan penyakit.
H. PROGNOSIS Ad fungsional : dubia ad bonam Ad vitam : dubia ad bonam Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II PEMBAHASAN I. Chongestif heart failure A. DEFINISI Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan. Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. B. ETIOLOGI Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, konteraktilitas, afterload. a. Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung. b. Kontraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium c. Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol. Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah jantung berkurang. 1. Gagal Jantung Kiri Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispneu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan. 2. Gagal jantung kanan Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah. C. PATOFISIOLOGI Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral. Vasokonteriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan kontraktilitas miokard. Distensi Vena Jugularis. Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi venterikel dan peningkatan volume curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi peningkatan laju tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya memantau aliran darah dari vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena jugularis, dengan kata lain apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis pada leher. Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites. Pada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial. Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas. tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting edemaPitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema.
D. FAKTOR RESIKO 1. Stres Fisik dan psikis Stres mengakibatkan pelepasan katekolamin sehingga nadi, kontraktilitas jantung dan tekanan darah meningkat. 2. Disritmia Aritmia khususnya takikardi mengakibatkan kebutuhan oksigen jaringan jantung meningkat waktu diastolic memendek akhirnya kardiak output menurun. 3. Infeksi Kebutuhan oksigen tubuh meningkat sehingga nadi meningkat dan gagal jantung. Misalnya : infeksi primonary. 4. Anemia Pembawa O2 dalam darah menurun sehingga jantung berkontraksi (kompensasi) untuk meningkatkan suplai oksigen sehingga terjadi takikardi. 5. Gangguan tiroid Hipertiroid mengakibatkan metabolisme meningkat terjadi takikardi. 6. Pagets disease Gangguan tulang mengakibatkan proliferasi vaskuler meningkat sehingga terjadi beban/kerja jantung meningkat. 7. Beri-beri (defisiensi vitamin B1) Beri-beri mengakibatkan kontraktilitas menurun sehingga mekanisme kompensasi terjadi, akhirnya terjadi takikardi. 8. Kehamilan Kehamilan mengakibatkan metabolisme tubuh meningkat melalui peningkatan kerja jantung. Wanita hamil dengan penyakit rematik katup mudah terkena gagal jantung. 9. Penyakit Paru Adanya penyakit paru mengakibatkan perfusi oksigen menurun sehingga terjadi takipnea dan takikardi. 10. Hipervolemi Hipervolemi mengakibatkan volume darah/cairan meningkat sehingga mengakibatkan kontraktilitas manusia sehingga cardiac output menurun.
E. TANDA dan GEJALA 1. Gagal Jantung Kiri a. Kongesti Vaskuler Pulmonal 1. Dispneu 2. Orthopneu 3. Dispneu Nokturnal Paroksismal 4. Batuk 5. Edema Pulmonal Akut b. Penurunan Curah Jantung 1. Mengeluh lemah 2. Mudah lelah 3. Apatis 4. Letarghi 5. Sulit Konsentrasi 6. Defisit memori 7. Penurunan toleransi latihan c. Bunyi Jantung dan Creakles 1. S3 (gallop ventrikel) & S4 (gallop atrium) 2. Creakles paru (ronchi basah halus) d. Disritmia e. Suara nafas mengi f. Pulsus alternans g. Peningkatan berat badan h. Pernafasan Cheyne stokes 2. Gagal Jantung Kanan a. Curah jantung rendah 1. Kelemahan 2. Letarghi 3. Sulit konsentrasi 4. Kaki terasa berat 5. Peningkatan berat badan b. Distensi Vena Jugularis c. Edema d. Hepatomegali e. Hiperesonan pada perkusi f. Penurunan bunyi nafas g. Nokturia
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. EKG (Elektro Kardio Gram) Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia, dan kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia, mis: takikardi, fibrilasi atrial, mungkin sering terdapat KVP. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah infark miokard menunjukkan adanya aneurisma ventrikullar (dapat menyebabkan gagal/disfungsi jantung) 2. Sonogram (ekokardiogram, ekokardiogram dopple) Dapat menunjukkan dimensi perbesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katup, atau area penurunan kontraktilitas ventrikuler. 3. Scan Jantung (Multigated acquisition (MUGA)) Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan dinding. 4. Kateterisasi Jantung Tekanan abnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan versus sisi kiri, dan stenosis katup atau isufisiensi. Juga mengkaji potensi arteri koroner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran abnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontraktilitas. 5. Rontgen Dada Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan mencerminkan dilatasi/hipertrofi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan tekanan pulmonal. Kontur abnormal, mis: bulging pada perbatasan jantung kiri, dapat menunjukkan aneurisma ventrikel. 6. Enzim Hepar Meningkat dalam gagal/kongesti hepar. 7. Elektrolit Mungkin berubah karena perpindahan cairan/penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic. 8. Oksimetri Nadi Saturasi oksigen mungkin rendah, terutama jika GJK akut memperburuk PPOM atau GJK kronis. 9. Analisa Gas Darah Gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan (dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO 2 (akhir) 10. BUN, kreatinin Peningkatan BUN menandakan penurunan perfusi ginjal. Kenaikan baik BUN dan kreatinin merupakan indikasi gagal ginjal. 11. Albumin/transferin serum Mungkin menurun sebagai akibat penurunan masukan protein atau penurunan sintesis protein dalam hepar yang mengalami kongesti. 12. HSD Mungkin menunjukkan anemia, polisitemia, atau perubahan kepekatan menandakan retensi air. SDP mungkin meningkat, mencerminkan MI baru/akut, perikarditis, atau status inflamasi atau infeksius lain. 13. Kecepatan Sedimentasi (ESR) Mungkin meningkat, menandakan reaksi inflamasi akut.
14. Pemeriksaan tiroid Peningkatan aktivitas tiroid menandakan hiperaktivitas tiroid sebagai pre pencetus GJK.
F. PENATALAKSANAAN 1. Meningkatkan oksigenasi dengan pmberian oksigen dan menurunkan konsumsi oksigen dengan membatasi aktivitas 2. Memberikan obat-obatan digitalis: a. Dosis digitalis : 1. Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6 dosis selama 4-6 dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2x0,5 mg selama 2-4 hari 2. Digoxin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam 3. Cediland iv 1,2-1,6 mg dalam 24 jam b. Dosis penunjang untuk gagal jantung : digoksin 0,25 mg sehari. Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan c. Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg d. Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut yang berat: 1. Digoksin : 1-1,5 mg iv perlahan-lahan 2. Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan 3. Menurunkan beban jantung a. Diet rendah garam Pada gagal jantung dengan NYHA 4 penggunaan diurertik, digoksin, dan penghambat CE Inhibitor diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk gagal jantung kelas II dan III diberikan : - Diuretik dalam dosis rendah atyau menengah (furosemid 40- 80 gram) - Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun kelainan irama sinus - Penghambat ACE dengan pemberian kaptopril mulai dari dosis 2x6,25 mg atau setara penghambat ACE yang lain. Isosorbid Dinitrat (ISDN) pada pasien dengan kemampuan aktivitas yang terganggu atau adanya iskemia yang menetap, dosis dimulai 3x10-15 mg. b. Diuretik Diuretik yang biasa digunakan adalah furosemid 40-80 mg. Dosis penunjang rata-rata 20 mg. Efek samping berupa hipokalemi dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam etakrinat. c. Vasodilator 1. Nitrogilserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2 ug/kgBB/menit 2. Nitroprusid 0,5-1 ug/kg BB/menit iv 3. Prazosin per oral 2-5 mg 4. Penghambat ACE : Kaptopril 2x6,25 mg G. PROGNOSIS Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah sangat berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan progresif. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang sangat cermat. II. Atrial fibrilation A. DEFINISI Merupakan salah satu karakteristik takiaritmia. Hal ini ditandai dengan tidak terkoordinasinya aktivitas atrial sehingga terjadi kemunduran pada fungsi mekanik atrial. Pada gambaran elektrokardiogram, atrial fibrilasi digambarkan sebagai tidak adanya gelombang P, juga terjadinya respon ireguler dari ventrikel ketika konduksi atrioventricular (AV) dibatasi (National collaborating center for chronic condition, 2006).
Atrial fibrilasi terjadi ketika atrium mengalami depolarisasi secara spontan dengan kecepatan yang tidak beraturan (300kali/menit) sehingga atrium menghantarkan implus terus menerus ke nodus AV. Konduksi ke ventrikel dibatasi oleh refrakter dari nodus AV dan terjadi tanpa diduga sehingga menimbulkan respon ventrikel yang sangat ireguler (Patrick, 2002). B. ETIOLOGI Penyebab paling sering adalah hipertensi, cardiomyopathy, kelainan katup mitral dan trikuspid, hyperthyroidism, kebiasaan konsumsi alkohol (holiday heart). Penyebab yang jarang meliputi pulmonary embolism, atrial septal defect (ASD), dan penyakit jantung defect kongenital lainnya, COPD, myocarditis, dan pericarditis. C. KLASIFIKASI Banyak tipe atau klasifikasi atrial fibrilasi yang umum dibahas. Beberapa hal antaranya berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi, berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari, dan terakhir berdasarkan bentuk gelombang P (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto, Iwan, Daniel, Dafsah, Surya, Isman, 2009). Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan waktu timbulnya dan keberhasilan intervensi dikelompokkan menjadi; AF initial event (episode pertama kali terdeteksi atau new AF), AF paroksismal, AF persisten, dan AF permanen (Levy, Camm, Saksena, 2003). AF initial event terjadi pertama kali dengan atau tanpa gejala yang tampak serta onset tidak diketahui. AF proksimal terjadi jika AF hilang timbul dengan gejala dirasakan kurang dari tujuh hari dan kurang dari 48 jam, tanpa diberikan intervensi baik itu obat ataupun nonfarmakologi seperti kardioversi. AF persisten terjadi jika atrial fibrilasi yang muncul akan berhenti jika diberikan obat atau intervensi nonfarmakologi berlangsung lebih dari tujuh hari. AF permanen terjadi jika AF tidak hilang dengan intervensi apapun baik obat maupun kardioversi (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Klasifikasi atrial fibrilasi berdasarkan ada tidaknya penyakit lain yang mendasari yaitu AF primer dan AF sekunder. Disebut AF primer jika tidak disertai penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lainnya. AF sekunder jika disertai dengan penyakit jantung lain atau penyakit sistemik lain seperti diabetes, hipertensi, gangguan katub mitral dan lain-lain (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). Sedangkan klasifikasi lain adalah berdasarkan bentuk gelombang P yaitu dibedakan atas Coarse AF dan Fine AF. Coarse AF jika bentuk gelombang P nya kasar dan masih bias dikenali. Sedangkan Fine AF jika bentuk gelombang P halus hampir seperti garis lurus (Ed: Irmalita, Nani, Ismoyono, Indriwanto, Hananto et al, 2009). D. TANDA DAN GEJALA Tanda dan gejala yang terlihat pada penderita fibrilasi atrium adalah : 1. Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau berdebar dalam dada) 2. Sesak napas 3. Kelemahan atau kesulitan berolahraga 4. Nyeri dada 5. Pusing atau pingsan 6. Kelelahan (kelelahan) 7. Kebingungan 8. Frekuensi : frekuensi atrium antara 350 sampai 600 denyut permenit; respons ventrikuler biasanya 120 sampai 200 denyut per menit. 9. Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak indulasi yang iereguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang F, interval PR tidak dapat diukur. 10. Kompleks QRS : Biasanya normal . 11. Hantaran : Biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respons ventrikuler ireguler, karena nodus AV tidak berespon terhadap frekuensi atrium yang cepat, maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespon ireguler. 12. Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Ireguleritas irama diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV. E. PATOFISIOLOGI Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya gelombang yang menetap dariMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium. Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium. Atrium tidak akan memompa darah selama AF berlangsung. Oleh karena itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari seluruh daya pompa jantung. 2 Patofisiologi Pembentukan Trombus pada AF. Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke emboli. 2/3 sampai stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand ( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan AF akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh lamanya AF. F. PENATALAKSANAAN Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan AF adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan AF perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada AF permanen sedikit sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan. a. Terapi Medis Obat-obat antiaritmia dibagi 4 kelas yaitu : 1. Antiaritmia Kelas 1 : Sodium Channel Blocker Kelas 1 A - Quinidin : adalah obat yang digunakan dalam terapi pemeliharaan untuk mencegah berulangnya atrial fibrilasi atau flukter. - Procainamide : untuk ventrikel ekstra sistol atrial fibrilasi - Dyspiramide : untuk SVT akut dan berulang. Kelas 1 B - Lignocain : untuk aritmia ventrikel akibat iskemia miokard, ventrikel takikardia. - Mexiletine : untuk aritmia ventrikel dan VT. Kelas 1 C - Flecainide : untuk ventrikel ektopik dan takikardi. 2. Antiaritmia Kelas 2 (Beta Adrenergik Blokade) Atenol, Metroprolol, Propanolol : indikasi aritmia jantung, angina pektoris dan hipertensi. 3. Antiaritmia Kelas 3 (Prolong Repolarisation) Amiodarone, indikasi VT, SVT berulang. 4. Antiaritmia Kelas 4 (Calsium Channel Blocker) - Verapamil, indikasi Supraventrikular aritmia.
b.Terapi Mekanis 1. Kardioversi Mencakup pemakaian arus listrik untuk menghentikan disritmia yang memiliki kompleks GRS, biasanya merupakan prosedur elektif. 2. Defibrilasi : kardioversi asinkronis yang digunakan pada keadaan gawat darurat. 3. Defibrilator Kardioverter Implantabel : suatu alat untuk mendeteksi dan mengakhiri episode takikardi ventrikel yang mengancam jiwa atau pada pasien yang resiko mengalami fibrilasi ventrikel. 4. Terapi Pacemaker : Alat listrik yang mampu menghasilkan stimulus listrik berulang ke otot jantung untuk mengontrol frekuensi jantung III. Diabetes Melitus A. DEFINISI Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelainan metabolik dimana ditemukan ketidakmampuan untuk mengoksidasi karbohidrat, lemak dan protein yang diakibatkan adanya gangguan pada mekanisme insulin yang normal, yang dapat menimbulkan gejala-gejala seperti hiperglikemia, glikosuria, poliuria, polidipsia, polifagia dan kelemahan (Dorland, 2002). B. KLASIFIKASI The Expert Committe on The Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus (2003), mengelompokkan penyakit DM menjadi 4 berdasarkan etiologinya, yaitu tipe 1, tipe 2, tipe khusus lain dan diabetes melitus gestasional. Diabetes melitus tipe 1 (IDDM) merupakan kelainan yang disebabkan adanya destruksi sel (beta-pankreas) yang dapat mengakibatkan defisiensi produksi insulin absolut, berbeda halnya dengan DM tipe 2 (NIDDM), yang merupakan kelainan resistensi insulin yang disertai defisiensi insulin atau kerusakan sekresi insulin yang disertai resistensi insulin, sedangkan untuk diabetes melitus tipe khusus lain dan gestasional lebih disebabkan dan dikaitkan dengan adanya kondisi atau sindroma tertentu (Perkeni, 2002). C. PENGOBATAN DAN PERAWATAN Pengobatan Diabetes Melitus yang secara langsung terhadap kerusakan pulau-pulau Langerhans di pankreas belum ada. Oleh karena itu pengobatan untuk penderita DM berupa kegiatan pengelolaan dengan tujuan untuk menghilangkan keluhan dan gejala akibat defisiensi insulin (gejala DM) dan untuk mencegah komplikasi kronis yang dapat menyerang pembuluh darah, jantung, ginjal, mata, syaraf, kulit, kaki dan sebagainya. Tindakan pengelolaan yang bisa dilakukan diantaranya: Menormalkan kadar glukosa, lemak, dan insulin di dalam darah serta memberikan pengobatan penyakit kronis lainnya. Langkah yang dilakukan terutama : Diet; Mengurangi kalori dan meningkatkan konsumsi vitamin. aktivitas fisik; olahraga teratur, pengelolaan glukosa dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Penderita diabetes tipe 1 umumnya menjalani pengobatan terapi insulin (Lantus/Levemir, Humalog, Novolog atau Apidra) yang berkesinambungan, selain itu adalah dengan berolahraga secukupnya serta melakukan pengontrolan menu makanan (diet). Pada penderita diabetes mellitus tipe 2, penatalaksanaan pengobatan dan penanganan difokuskan pada gaya hidup dan aktivitas fisik. Pengontrolan nilai kadar gula dalam darah adalah menjadi kunci program pengobatan, yaitu dengan mengurangi berat badan, diet, dan berolahraga. Jika hal ini tidak mencapai hasil yang diharapkan, maka pemberian obat tablet akan diperlukan. Bahkan pemberian suntikan insulin turut diperlukan bila tablet tidak mengatasi pengontrolan kadar gula darah.
Penatalaksanaan diet pada DM dapat disajikan dalam susunan yang bermacam-macam, tujuan dari diet pada diabetes, antara lain : (Sudoyo, 2006) 1. Mencapai dan kemudian memperbaiki kadar glukosa darah mendekati kadar normal 2. Memperbaiki kesehatan umum penderita 3. Mengarahkan penderita ke berat badan normal 4. Menormalkan pertumbuhan DM anak atau dewasa muda 5. Menekan atau menunda terjadinya komplikasi akut meupun kronik 6. Meningkatkan kualitas hidup penderita 7. Memberikan modifikasi diet diabetes sesuai dengan keadaan penderita Selain itu dalam melaksanakan diet diabetes sehari-hari, hendaknya mengikuti pedoman 3J (jumlah, jadual, jenis), artinya : J1 : Jumlah kalori yang diberikan harus habis, jangan dikurangi atau ditambah J2 : Jadwal diet harus diikuti sesuai intervalnya J3 : Jenis makanan yang manis harus dihindari termasuk pantang buah golongan A ( Buah yang manis ) dan makanan lain yang manis. (Askandar, 1999)
DAFTAR PUSTAKA
Brainwauld, E. 2009. Heart Failure and cor pulmonale. Dalam H. L. Kasper, Horrison's Principal Internal Medicine (hal. 216-230). New York: McGrewHill. Donald M. Lloyd-Jones,Martin.Larson,Daniel Levy,Ramachandran S. Vasan, and William B. Kannel. 2002. Lifetime Risk for Developing Congestive Heart Failure. Circulation , 106, 3068-3072. Donald; Mercedes; Bruce; Todd. 2010. Heart Disease. AIHA , 165, 121-128. Gautam V. Ramani, Patricia A. Uber, Pharm D, and Mandeep R. Mehra. 2010. Chronic Heart Failure: Contemporary Diagnosis and Management. Mayo Clin Proc , 85, 180195. Ghanie, A. 2006. Gagal Jantung Kronik. Dalam B. S. Aryo Sudaryo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (hal. 1511-1530). Jakarta: FK UI. Gibbs CR, Jackson G, Lyp GYH. 2000. ABC of Heart Failure: Non-drug Management. BMJ: 320: 366-9. Kart, W. 2002. Aldosterone in congestie heart failure. NEJM , 345, 1689-1697. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. 2000. ABC Of Heart Failure : Etiology. BMJ: 320: 104-7. ROUNDS, A. P. (2002). Congestive Heart Failure. Am. J. Respir. Crit. Care Med, 165, 4-8. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007. Diagnosis Dan Tatalaksana Praktis Gagal Jantung Akut. Walter, B. A. (2002). Heart failure with preserved ejection fraction: pathophysiology, diagnosis, and treatment. Eur Heart J , 32, 670-679. National Collaborating Center for Chronic Condition. (2006). Atrial fibrillation. London. National Clinical Guidline for Management in Primary and Secondary Care. Royal College of Physicians.www.escardio.org Patrick Davey. (2006). At a Glance Madicine. Jakarta: Penerbit Erlangga. Dorland, W.M.A. 2002. Kamus Kedoteran Dorland eds.29. EGC, Jakarta: 602-3, 438-9. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2002. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi, Jakarta: 7. SudoyoW. Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Diabetes Melitus di Indonesia. Hal 1874-1940. Balai Penerbit FKUI. Jilid III. Edisi IV. EGC. Jakarta The Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. 2003. Report of the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care 26 (1): 5-20.