Anda di halaman 1dari 27

12

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori
2.1.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa
Kegiatan komunikasi adalah penciptaan interaksi perorangan
dengan mengunakan tanda-tanda yang tegas. Komunikasi juga berarti
pembagian unsur-unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi
seperangkat ketentuan dan pemakaian tanda-tanda. Dari segi komunikasi,
rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang
dituju, dan melalui media apa sajakah iklan tersebut sebaiknya
disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif,
harus dipahami betul siapa khalayak sasarannya, secara kuantitatif maupun
kualitatif. (http://www.desaingrafisindonesia.com/2007/10/15/semiotika-
iklan-sosial/)
Komunikasi massa berfungsi menyiarkan infomasi, gagasan dan
sikap kepada komunikan yang beragam dalam jumlah yang banyak dengan
menggunakan media (Effendy, 2003:80).
Menurut Gerbner (1967) dalam Rakhmat (2002:188) Komunikasi
massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan
lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang
dalam masyarakat industri.
13
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang
dilakukan melalui media massa modern meliputi surat kabar yang
mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang ditujukan
kepada umum dan film yang dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop
(Effendy, 2003:79).
Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan
para ahli komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakannya.
Namun, dari sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan
definisi satu sama lain. Pada dasarnya komunikasi massa adalah
komunikasi melalui media massa (mdia cetak dan elektronik). Sebab, awal
perkembangannya saja, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata
media of mass communication (media komunikasi massa) yang dihasilkan
oleh teknologi modern. (Nurudin, 2007:4)
Secara teoritis, berbagai media massa memiliki fungsi sebagai
saluran informasi, saluran pendidikan, dan saluran hiburan, namun
kenyataannya media massa memberikan efek lain di luar fungsinya itu.
Efek media massa tidak hanya mempengaruhi sikap seseorang namun pula
dapat mempengaruhi perilaku, bahkan pada tataran yang lebih jauh efek
media massa dapat mempengaruhi sistem-sistem sosial maupun sistem
budaya masyarakat.
14
Hal tersebut dapat mempengaruhi seseorang dalam waktu pendek
sehingga dengan cepat dapat mempengaruhi mereka, namun juga memberi
efek dalam waktu yang lama, sehingga memberi dampak pada perubahan-
perubahan dalam waktu yang lama.
McQuail menjelaskan bahwa efek media massa memiliki andil
dalam pembentukan sikap, perilaku, dan keadaan masyarakat. Antara lain
terjadinya penyebaran budaya global yang menyebabkan masyarakat
berubah dari tradisional ke modern. Selain itu, media massa juga mampu
mengubah masyarakat dari kota sampai ke desa, sehingga menjadi
masyarakat konsumerisme.(Bungin, 2006 : 320).
Berkaitan dengan efek media massa maka salah satu media massa
yang juga dapat memberikan efek kepada khalayaknya adalah surat kabar.
Surat kabar merupakan kumpulan dari berita, artikel, cerita, iklan dan
sebagainya yang dicetak ke dalam lembaran kertas ukuran plano yang
diterbitkan secara teratur, bias terbit setiap hari atau seminggu satu kali
(Djuroto, 2002:11).
Surat kabar merupakan salah satu kajian dalam studi ilmu
komunikasi, khususnya pada studi komunikasi massa. Dalam buku
Ensiklopedi Pers Indonesia disebutkan bahwa pengertian surat kabar
sebagai sebutan bagi penerbit pers yang masuk dalam media massa cetak
yaitu berupa lembaran-lembaran berisi berita-berita, karangan-karangan
dan iklan yang diterbitkan secara berkala : bias harian, mingguan dan
bulanan, serta diedarkan secara umum (Junaedhi, 1991 : 257).
15
Surat kabar pada perkembangannya, menjelma sebagai salah satu
bentuk dari pers yang mempunyai kekuatan & kewenangan untuk menjadi
sebuah kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal
tersebut disebabkan karena falsafah pers yang selalu identik dengan
kehidupan sosial, budaya dan politik.
Menurut Sumadiria (2005 : 32-35) dalam Jurnalistik Indonesia
menunjukkan 5 fungsi dari pers yaitu :
1. Fungsi Informasi, sebagai sarana untuk menyampaikan informasi
secepat cepatnya kepada masyarakat yang seluas-luasnya yang aktual,
akurat, faktual dan bermanfaat.
2. Fungsi Edukasi, maksudnya disini informasi yang disebar luaskan pers
hendaknya dalam kerangka mendidik. Dalam istilah sekarang pers
harus mau dan mampu memerank an dirinya sebagai guru pers.
3. Fungsi Hiburan, pers harus mampu memerankan dirinya sebagai
wahana hiburan yang menyenangkan sekaligus menyehatkan bagi
semua lapisan masyarakat.
4. Fungsi Kontrol sosial atau koreksi, pers mengemban fungsi sebagai
pengawas pemerintah dan masyarakat. Pers akan senantiasa
menyalahkan ketika melihat penyimpangan dan ketidak adilan dalam
suatu masyarakat atau negara.
5. Fungsi mediasi, dengan fungsi mediasi, pers mampu menjadi fasilitator
atau mediator menghubungkan tempat yang satu dengan yang lain,
16
peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, atau orang yang satu
dengan yang lain.
2.1.2. Media dan Konstruksi Realitas
Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar
saluran yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksikan realitas,
lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Media bukan hanya
memilih peristiwa dan menentukan sumber berita, melainkan juga
berperan dalam mendefinisikan aktor dan peristiwa, lewat bahasa, lewat
pemberitaan pula, media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang
pada akhirnya menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan
memahami peristiwa dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2004: 24).
Isi media merupakan hasil para pekerja dalam mengkonstruksi
berbagai realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita,
diantaranya realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerja
media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat
dikatakan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang dikonstruksi
(Constructed Reality). Pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih
dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita
(Tuchman dalam Sobur, 2001: 83).
Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
menggunakan bahwa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan
hanya sebagai alat realitas, namun juga menentukan relief seperti apa yang
diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki
17
peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan
dari realitas yang dikonstruksikannya (Sobur, 2001: 88).
Setiap upaya menceritakan sebuah, peristiwa, keadaan, benda,
atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas.
Begitu pula dengan profesi wartawan. Pekerjaan utama wartawan adalah
mengisahkan hasil reportasenya kepada khalayak. Dengan demikian
mereka selalu terlibat dengan usaha-usaha mengkonstruksikan realitas,
yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam suatu bentuk
laporan jurnalistik berupa berita (News), karangan khas (Feature), atau
gabungan keduanya (News Feature). Dengan demikian berita pada
dasarnya adalah realitas yang telah dikonstruksikan (Constructed Reality).
(Sobur, 2001: 88).
Penggunaan bahwa tertentu jelas berimplikasi terhadap
kemunculan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas
turut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan
makna yang muncul darinya. Bahkan menurut Hamad dalam Sobur (2001:
90) bahwa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi sekaligus
menciptakan realitas.
Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur
utama. Ia merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas.
Sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat konseptualisasi dan
alat narasi media (Sobur, 2001:91).
18
2.1.3. Representasi
Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu
lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau symbol
(Piliang, 2006: 24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi
makna khusus pada tanda. (http://kunci.or.id/esai/nws/04/representasi.htm)
Melalui representasi, ide- ide ideologis dan abstrak mendapat bentuk
abstraknya. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan
dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia:
dialog, tulisan, video, film, fotografi, berita dsb. Secara ringkas,
representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Ada empat komponen
dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk:
1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk
2. Pesan atau produk itu sendiri
3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun
bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan
4. Dan penampakan akhir dari produk itu tersebut.
Komponen- komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di
sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang
diperjuangkan secara terus- menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini
dapat menimbulkan pola- pola dominasi dan representasi yang berbeda-
beda.
Menurut Struat Hall (1977) representasi adalah salah satu praktek
penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep
19
yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang
dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika manusia-manusia yang
ada disitu membagi pengalaman yang sama, membagi kode-kode
kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling
berbagi konsep-konsep yang sama.
Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam
memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu
melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi
lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita
mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang sesuatu, makna
sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita merepresentasikannya. Dengan
mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam
merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita
berikan pada sesuatu tersebut.
Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa
bekerja, kita bisa memakanai representasi. Pertama adalah pendekatan
reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan
makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada didunia. Kedua,
pendekatan intensional dimana kita menggunakan bahasa untuk
mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap
sesuatu. Sedangkan yang ketiga, adalah pendekatan konstruksionis,
pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat
bahasa yang kita pakai.
20
Bagi Struat Hall, ada dua proses representasi. Pertama mental yaitu
konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing- masing (peta
konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang
abstrak. Kedua bahasa berperan penting pada proses konstruksi makna.
Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam
bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide- ide
kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol- simbol tertentu.
Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dini dengan
mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan
sistem peta konseptual kita. Dalam proses kedua kita mengkonstruksi
seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa
atau simbol yang berfungsi dalam bahasa atau simbol adalah jantung dari
produksi makna lewat bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen
ini secara bersama- sama itulah yang dinamakan representasi. (Juliastuti,
2000: http// kunci.or.id/ teks/ 04rep2.htm)
2.1.4. Karikatur
2.1.4.1.Pengertian Karikatur
Karikatur adalah deformasi berlebihan atas wajah seseorang,
biasanya orang terkenal, dengan mempercantiknya dengan
penggambaran ciri khas lahiriahnya untuk tujuan mengejek. (Sudarta,
1987)
Senada dengan Sudarta, Pramono berpendapat bahwa sebetulnya
karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian menjadi salah
21
kaprah. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya
berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang
membawa pesan kritik sosial, yang muncul di setiap penerbitan surat kabar
adlaah political cartoon atau aditorial cartoon, yakni versi lain dari
editorial, atau tajuk rencana dalam versi gambar humor. Inilah yang
disebut sebagai karikatur. (Sudarta, 1987 dalam Sobur, 2006:139)
Dalam Encyclopedia of The Art dijelaskan, karikatur merupakan
representasi sikap atau karakter seseorang dengan cara melebih-lebihkan
sehingga melahirkan kelucuan. Karikatur juga sering dipakai sebagai
sarana kritik sosial dan politik. (Sumandiria, 2005:8)
Karikatur adalah produk suatu keahlian seorang karikaturis, baik
dari segi pebngetahuan, intelektual, teknik melukis, psikologis, cara
melobi, referensi, bacaan, maupun bagaiamana dia memilih topik isu yang
tepat. (Sobur, 2006:140)
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam
bentuk gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini hanya merupakan
selingan atau ilustrasi belaka. Namun pada perkembangan selanjutnya,
karikatur dijadikan sarana untuk menyampaikan kritik yang sehat.
Dikatakan kritik sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-
gambar lucu dan menarik.
2.1.4.2.Karikatur Sebagai Karya Komunikasi Kritik Sosial
Salah satu ciri gambar karikatur adalah jenaka. Namun lebih dari
itu adalah karena penggambaran karikaturalnya, artinya satu dua aspek
22
kehidupan manusia dipilih dan dipertajam dengan serba dilebih-lebihkan
berat sebelah agar jelas kontras mencolok, sehingga memunculkan sesuatu
yang dalam penampakan normal tidak kentara. Aspek realita atau
kehidupan manusia yang dicolokkan karikatur lucu itu terutama demi
pengucapan kritik. (Nirmana, 2000:132)
Kritik yang tidak berbahasa kejam menghantam, tetapi ada
bantalan empuknya demi peredaman benturan keras yang dapat berakibat
fatal. Namun kritik empuk berkat humor seperti yang dilihat dalam
gambar-gambar kartun. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Alm.
Romo Mangun, bahwa karikatur yang baik seperti kincir angin, mampu
memompa air penghidupan serta energi yang diperlukan oleh kehidupan
dan penghidupan bersama masyarakat yang normal sehat, walaupun daya
pemutarnya hanyalah yang empuk lembut. Itu adalah berkat gaya
humornya. Oleh karena itu karikatur, kartun, dan lelucon politik dalam
negara yang masyarakatnya masih kerdil dan sempit wawasannya sering
tidak ditoleransi, bahkan terkadang dianggap tabu, dilarang oleh penguasa,
teristimewa dalam negara-negara yang sedikit banyak bersifat totaliter
diktatorial. Tidak asal mengkarikatur belaka dengan maksud mencekik
lawan. Lucu atau jenaka selalu datang dari mental yang dewasa dan
berkadar sikap mulia, fair-play, a consolating smile, itulah buah
kejenakaan karikatur dan kartun yang baik. (Nirmana, 2000:133)
Ciri dari sebuah karya kartun atau karikatur secara visual harus
mampu menyuguhkan lelucon atau humor dengan media gambar. Karya
23
karikatur harus memenuhi syarat untuk memancing tawa. Selanjutnya
kelucuan atau serba tafsiran dapat ditambah sendiri. Sebuah karya kartun
memang mengandung banyak sisi kenyataan dan itulah barangkali yang
justru menghibur.
2.1.5. Teori Charles Sanders Pierce
Model dasar semiotik dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce
(1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pada
perkembangannya sangat mempengaruhi model-model berikutnya. Peirce
menekankan pada hubungan antara tanda, obyek dan peserta komunikasi.
Hubungan antara ketiga unsur tersebut adalah untuk mencapai suatu
makna, terutama antara tanda dan obyeknya. Karena itu hubungan antara
ketiganya disebut hubungan makna. Bila Peirce menekankan pada fungsi
logika tanda, maka Sausssure yang dianggap sebagai pendiri lingusitik
modern, lebih menekankan pada hubungan dari masing-masing tanda, dan
menurut Saussure tanda merupakan obyek fisik yang penuh dengan
berbagai makna. Saussure tidak terlalu memperhatikan realitas dari makna
seperti yang dikemukakan oleh Peirce. (Bintoro, 2002:12)
Penelitian ini mengutamakan situasi dan kondisi yang bertema
Hukum dan Peradilan sebagai sesuatu yang berarti dalam proses
pembentukan pesan. Peristiwa tersebut dipaparkan dalam pembentukan
tanda tanda (gambar, kata-kata, dan lainnya) dalam format sebuah kartun
editorial. Sehingga yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah
bagaimana suatu peristiwa dalam masyarakat dipandang, dituangkan dan
24
dinilai. Sebab itulah diperlukan adanya kartun editorial tersebut, dengan
siatuasi dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat. Hal itulah yang
kemudian dijadikan alasan penggunaan model semiotik Peirce, karena
Peirce dalam hal ini lebih memperhatikan realita makna. Dengan demikian
penelitian ini termasuk pada bidang studi semiotik budaya tempat kode-
kode dan tanda-tanda digunakan.
Teori semiotik Peirce berpendapat bahwa tanda dibentuk melalui
hubungan segitiga yaitu tanda berhubungan dengan obyek yang
dirujuknya. Hubungan tersebut membuahkan interpretan. Preirce
menelaskan modelnya sebagai berikut: A sign is something which stands
to somebody for something in the respect or capacity. It addresses
somebody,that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or
perhaps a more developed sign. The sign which it creates I call the
interpretant of the first sign. The sign for something, its object. (Tanda
adalah sesuatu yang memberi arti atas sesuatu bagi seseorang. Tanda
ditujukan kepada seseorang, karenanya membuat seseorang menciptakan
tanda yang ekuivalen atau tanda yang lebih berkembang di dalam
benaknya. Tanda yang diciptakan itu saya sebut interpretant dari tanda
yang pertama. Tanda memberi arti atas sesuatu yang disebut obyek).
(Fiske, 1985:45)
Model semiotik Peirce dapat digambarkan dalam bentuk segitiga
seperti berikut:
25
Gambar 2.1. Model Semiotik Peirce




Sumber: Fiske (1990:42)
Garis-garis berpanah tersebut hanya bisa dimengerti dalam
hubungannya antara satu elemen dengan elemen lainnya. Tanda merujuk
pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, yaitu obyek dipahami oleh
seseorang. Interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang
tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Interpretan merupakan konsep
mental yang diproduksi oleh tanda dan pengalaman pengguna tanda
terhadap sebuah obyek. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi
dalam benak seseorang maka muncul makna tentang sesuatu yang diwakili
oleh tanda tersebut. Diantara ketiganya, interpretanlah yang paling sulit
dipahami. Interpretan adalah tanda sebagaimana diserap oleh benak kita,
sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri.
Berdasarkan obyeknya Peirce membagi tanda atas icon (ikon),
index (indeks), dan symbol (simbol). Ketiga kategoru tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Sign
Interpretant Obyek
26
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda





Sumber: Fiske (1990:47)
Model tersebut merupakan hal penting dan sangat fundamental dari
hakekat tanda. Peirce mengungkapkannya sebagai berikut:
1. Ikon
Adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan acuannya bersifat
bersamaan bentuk alamiah (berupa hubungan kemiripan). Misalnya
adalah potret dan peta. Potret merupakan ikonik dari orang yang ada
dalam potret tersebut, sedangkan peta merupakan ikonik dari pulau
yang ada dalam peta tersebut. Ikon Pierce merupakan tanda yang
memberikan tanda berdasarkan kualiatasnya sendiri, dan berlawanan
dengan indeks, yang tergantung pada objeknya, dan simbol yang
tergantung pada konvensi antara interpretannya. (Noth, 2006:121)
2. Indeks
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara
tanda dan acuannya yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat,
atau atnda yang langusng mengacu pada kenyataannya. Misalnya
adalah asap sebagai tanda adanya api (Sobur, 2006:41). Menurut Noth
Icon
Index Simbol
27
(2006:47) indeks sebagai tanda alami berdasarkan hubungan alami
antara alat tanda dan referen. Dengan demikian, indeks hanya bisa
dinamai, tidak dapat direproduksi.
3. Simbol
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara tanda dan
acuannya (berdasarkan hubungan konvensi atau perjanjian). Misalnya
orang yang menggelengkan kepalanya merupakan simbol yang
menandakan ketidak setujuan yang termasuk secara konvensional.
(Sobur, 2003:41). Menurut Pierce dalam Noth (2006:116) simbol
didefinisikan sebagai tanda konvensional dan arbiter yang elementer.
Sedangkan menurut Lacan simbolik merupakan sesuatu yang riil,
imajiner, dan simbolis.
2.1.6. Hukum
Istilah hukum mengandung pengertian yang luas yang meliputi
semua peraturan atau ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sanksi
terhadap pelanggarnya.

Hukum memiliki fungsi yang sangat penting dalam
kehidupan dan perubahan masyarakat. Ada dua aspek yang menonjol
dalam perubahan hukum dan perubahan masyarakat yaitu (Ali, 2002:191):
1. Sejauh mana perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuaian
oleh hukum. Dengan lain perkataan, bagaimana hukum menyesuaikan
diri dengan perubahan masyarakat. Ini menunjukkan sifat pasip dari
hukum.
28
2. Sejauh mana hukum berperan untuk menggerakan masyarakat menuju
suatu perubahan yang terencana. Di sini hukum berperan aktif, dan
inilah yang sering disebut sebagai fungsi hukum a tool of social
engineering sebagai alat rekayasa masyarakat.
Dalam rangka menjalankan fungsi untuk sebagai a tool of social
engineering, hukum sebagai sarana pembangunan, hukum itu menurut
Michael Hager dapat mengabdi pada 3 (tiga) sektor yaitu (Abdurachman,
1979:21):
1. Hukum sebagai alat penertib (Ordering)
Dalam rangka penertiban ini hukum dapat menciptakan suatu kerangka
bagi pengambilan keputusan politik dan pemecahan sengketa yang
mungkin timbul melalui suatu hukum acara yang baik. Ia pun dapat
meletakkan dasar hukum (legitimacy) bagi penggunaan kekuasaan.
2. Hukum sebagai alat penjaga keseimbangan (balancing).
Fungsi hukum dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara
kepentingan negara/kepentingan umum dan kepentingan perorangan.
3. Hukum sebagai katalisator.
Sebagai katalisator hukum dapat membantu untuk memudahkan
terjadinya proses perubahan melalui pembaharuan hukum (Law
Reform) dengan bantuan tenaga kreatif di bidang profesi hukum.
Mengingat fungsi dan pernanan hukum yang sangat strategis dalam
pembangunan masyarakat dewasa ini, maka hukum harus menjamin
29
adanya kepastian hukum, keadilan dan kegunaan bagi masyarakat.
(Rahardjo, 1986:20)
2.1.7. Peradilan
Istilah peradilan dan pengadilan berasal dari kata dasar adil yang
berarti meletakkan sesuatu pada semestinya. Kata peradilan dan
pengadilan mempunyai arti yang berbeda akan tetapi terkadang dipakai
untuk arti yang sama. Peradilan adalah sebuah sistem aturan yang
mengatur agar supaya kebenaran adan keadilan bisa ditegakkan,
sedangkan pengadilan asalah sebuah perangkat organisasi
penyelenggaraan peradilan, dan pengadilan inilah yang biasa disebut
lembaga peradilan. Sedangkan keadilan hanya bisa dipahami jika ia
diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya
untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses
yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum
tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. (Friedrich, 2004:239)
Orang dapat menganggap keadilan sebagai sebuah gagasan atau
realitas absolut dan mengasumsikan bahwa pengetahuan dan pemahaman
tentangnya hanya bisa didapatkan secara parsial dan melalui upaya
filosofis yang sangat sulit. Atau orang dapat menganggap keadilan sebagai
hasil dari pandangan umum agama atau filsafat tentang dunia secara
umum. Jika begitu, orang dapat mendefinisikan keadilan dalam satu
pengertian atau pengertian lain dari pandangan ini.
30
Menurut Basri (1996:43) tentang lembaga peradilan menyetakan:
Pembahasan mengenai pengadilan biasanya dilakukan secara preskriptif,
atau apa yang seharusnya. Hal itu dilakukan oleh karena peradilan
(sebagai institusi atau pranata hukum) dan pengadilan (sebagai organisasi
penyelenggaraan peradilan) dipandang sebagai sesuatu yang otonom. Ia
dipandang sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi, yang terdiri atas
berbagai unsur yang saling berhubungan dan saling tergantung. Namun
demikian, pembahasan mengenai kekuasaan pengadilan dapat pula
dilakukan secara deskriptif atau apa yang senyatanya. Ia didasarkan
pada fakta yang diperoleh dari pelaksanaan kekuasaan pengadilan
berhubungan dengan berbagai macam unsur di luar pengadilan yang
beraneka ragam, maka pengadilan dikemukakan dengan serba
kemungkinan.
2.1.8. Hukum dan Peradilan di Indonesia
Hukum dan peradilan di era pemerintahan presiden Susilo
Bambang Yudhono yang terus diliputi awan kelabu baik dari internal
kebinetnya hingga dampak pada masyakaratnya. Degradasi moral dalam
perpolitikan memang selalu kita dengar. Apalagi ketika mendekati hari-
hari pemilu, terutama pada ajang kampanye Pilpres 2009 yang lalu, hati
nurani bangsa merasa sangat terhina. Cara-cara politik yang berbau busuk
itu terpampang di hadapan mata begitu kasarnya.
(http://umum.kompasiana.com/2009/06/28/ jangan-jadikan-politik-kotor-
sebagai-kebiasaan).
31
Menurut Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshidiqie
pada orasi ilmiah di Universitas Jayabaya, menyatakan reformasi hukum
dan peradilan di Indonesia masih pincang dan terseok-seok. Lembaga
penegakan hukum dan peradilan belum berubah secara mendasar
mengikuti langgam perubahan di bidang politik dan ekonomi.
Pembentukan lembaga-lembaga baru, katanya, juga mengakibatkan
tumpang tindih dan belum berhasil menempatkan diri secara tepat dalam
sistem kenegaraan baru. Begitu pula dalam proses penegakan hukum,
aparat penyelidik, penyidik, penuntut, pembela, hakim pemutus, dan
aparatur pemasyarakatan masih bekerja dengan kultur kerja tradisional dan
cenderung primitif. (http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/9850-reformasi-
hukum-indonesia-pincang)
Pakar hukum tata negara yang disebut-sebut masuk dalam Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengusulkan sistem peradilan
dievaluasi dan diubah secara mendasar agar proses dan produknya
menjamin keadilan.
Eksaminasi istilah dalam peradilam tersebut sesungguhnya
bukanlah konsep baru dalam sistem peradilan di Indonesia, karena sudah
dikenal sejak tahun 60-an sebagai ideologi pengawasan internal hakim
oleh Mahkamah Agung dalam rangka untuk menciptakan pengadilan yang
bersih dan berwibawa. Program eksaminasi dalam perjalannya hilang
begitu saja bersamaan dengan lahirnya orde baru dan istilah itu muncul
kembali kepermukaan ketika aktifis organisasi non pemerintah (ornop)
32
membentuk Majelis Eksaminasi untuk menguji putusan Peninjauan
Kembali atas bebasnya Tommy Suharto. Sejak itu gagasan eksaminasi
terus bergulir yang makna ideologisnya adalah upaya untuk melakukan
pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk peradilan baik yang
bersifat prosedural maupun substansial.
Gagasan eksaminasi muncul sekurang-kurangnya ditandai oleh
banyaknya ketidakpercayaan masyarakat yang menjadi korban
ketidakadilan sebagai akibat dari penerapan hukum yang dilakukan dengan
cara-cara yang tidak bermoral. Sudah lama masyarakat mendengar tentang
adanya mafia peradilan yang menzalimi pencarian keadilan.
Persepsi tentang pengadilan yang berpihak kepada yang kuat bukan
rahasia lagi. Asas persamaan di depan hukum yang diamanatkan oleh
pendiri Republik ini telah dijungkirbalikkan oleh pengadilan melalui
putusan-putusannya yang berpihak. Banyak keputusan hakim yang
diintervensi oleh kemauan dan keinginan pemegang kekuasaan di luar
pengadilan sendiri atau karena oleh tekanan ekonomi.
Dalam posisi ini, maka masyarakat yang miskin dan lemah selalu
dikalahkan dan menjadi korban ketidakadilan, akibatnya tidak banyak
orang yang bersemangat untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
walaupun hak-haknya telah dirugikan sekalipun. Sepertinya mereka tidak
percaya lagi bahwa pengadilan adalah simbol keadilan. Kenyataan itu
tidak dapat dibiarkan terus berlangsung sampai ke titik nadir.
33
Pengadilan harus segera dikembalikan pada posisinya semula
sebagai institusi yang netral, bebas, bersih dan berwibawa. Pengadilan
harus dapat menjadi ultimum remedium ialah senjata pamungkas yang
berfungsi membabat semua ketidakadilan. Untuk itu maka ke depan
dibutuhkan sebuah konsep yang mendasar untuk segera membenahi dunia
peradilan. Siapapun sepakat bahwa kita mendambakan hakim yang tidak
di bawah kekuasaan apapun, tidak dipengaruhi oleh kepentingan apapun,
sehingga bebas memutuskan perkara sesuai dengan hati nuraninya. Situasi
pengadilan semacam ini dalam sejarah peradilan di Indonesia pernah
terjadi di era tahun 60-an.
Permainan kotor selalu mewarnai penanganan perkara di
pengadilan, apalagi jika perkara itu berpotensi ekonomis maka akan
direspon dengan penuh semangat. Hal itu sangat kontras dengan
penanganan perkara-perkara yang kering seperti pembunuhan, pencurian
yang biasanya dilakukan dengan setengah hati. Pertimbangan-
pertimbangan putusan hakim didominasi oleh alasan-alasan yang
dipaksakan semata-mata untuk memenuhi keinginan sepihak. Sering kali
dijumpai pertimbangan putusan pengadilan yang hanya mengadopsi dari
tuntutan jaksa, pledoi pengacara atau dari kesimpulan perkara perdata,
tergantung pesanan . Tidak ada inisiatif hakim untuk mencari alasan-
alasan hukum sendiri apalagi mencari nilai-nilai hukum yang berkembang
di masyarakat. Karena itu jauh panggang dari api menemukan putusan
hakim sesuai dengan yang diamanatkan undang-undang agar hakim
34
sebagai penegak hukum dan keadilan memberikan putusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Oleh karena itu dalam banyak kasus, maka putusan pengadilan
sesungguhnya tidak lebih dari sebuah akumulasi dari proses ketidakadilan
baik dalam perkara-perkara perdata, perkara pidana serta perkara
administrasi negara bahkan beberapa tahun terakhir telah merambat ke
Pengadilan Agama. Celakanya ketika putusan-putusan itu dimintakan
banding atau kasasi yang diharapkan lebih mencerminkan rasa keadilan,
justru Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam putusannya
banyak yang mengambil alih putusan-putusan Pengadilan tingkat pertama
begitu saja untuk dikuatkan atau ditolak tanpa alasan dan pertimbangan
hukum.
2.1.9. Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia
Barangkali episode carut marut bangsa ini memang sedang dalam
wujudnya yang paling kasat mata. Lelah, capek, frustrasi, dan melemahkan
semangat adalah efek langsung yang nyata bagi orang yang peduli
apayang akan terjadi terhadap bangsa ini di masa depan. Imajinasi tentang
masa depan bangsa, saat ini sudah merupakan hal yang langka. Sejarah
revolusi 1945 pernah memberikan inspirasi pada bangsa ini bahwa
imajinasi masa depan pernah menjadi satu gagasan yang diperjuangkan
bersama. Konteks tumbuhnya negara bangsa di periode tersebut
menjadikan ide-ide menentukan nasib sendiri, perjuangan melawan
kolonialisme, dan keinginan menyejajarkan identitas bangsa dalam
35
pergaulan dunia tumbuh subur dalam pergumulan gagasan yang bersemi
dalam kelompok-kelompok kritis yang sadar bergerak melakukan
perubahan. Tetapi perubahan yang berasal dari inspirasi revolusi 1945
adalah cerita masa lalu.
Perubahan yang terjadi di Indonesia khususnya dalam satu dekade
terakhir telah melahirkan ruang lingkup negara, identitas kebangsaan,
sistem politik, dinamika ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi hingga
pergeseran perilaku budaya yang jauh lebih kompleks. Pasca periode
reformasi 1998 perubahan-perubahan dalam berbagai berbagai dimensi
kemasyarakatan dan kenegaraan telah melahirkan situasi kompleks yang
tidak bisa dirangkum dalam satu lafal generalisasi. Lima kali suksesi
kepemimpinan telah menciptakan satu tatanan politik yang kompleks khas
Indonesia sebagai buah dari perebutan dan pertarungan politik. Sistem
presidensial yang ambigu karena kekhawatiran guncangan di parlemen.
Sistem hukum dan perundang-undangan yang tumpang tindih karena tidak
jelasnya prioritas perubahan. Sistem pendidikan yang tidak menyentuh
esensi perubahan. Dinamika informasi dan komunikasi yang hadir dalam
hitungan detik. (http://www.inilah.com/news/read/citizen-
journalism/2009/11/07/177867/periode-carut-marut-harus-dilewati/)
Penegakkan hukum di Indonesia sudah lama menjadi persoalan
serius bagi masyarakat di Indonesia. Bagaimana tidak, karena persoalan
keadilan telah lama diabaikan bahkan di fakultas-fakultas hukum hanya
diajarkan bagaimana memandang dan menafsirkan peraturan perundang-
36
undangan. Persoalan keadilan atau yang menyentuh rasa keadilan
masyarakat diabaikan dalam sistem pendidikan hukum di Indonesia.
Hal ini menimbulkan akibat-akibat yang serius dalam konteks
penegakkan hukum. Para hakim yang notabene merupakan produk dari
sekolah-sekolah hukum yang bertebaran di Indonesia tidak lagi mampu
menangkap inti dari semua permasalahan hukum dan hanya melihat dari
sisi formalitas hukum. Sehingga tujuan hukum yang sesungguhnya malah
tidak tercapai.
Kebenaran formil, kebenaran yang berdasarkan bukti-bukti surat,
adalah kebenaran yang ingin dicapai dalam proses persidangan perdata.
Namun, tujuan ini tentunya tidak hanya melihat keabsahan dari suatu
perjanjian, tetapi juga harus dilihat bagaimana keabsahan tersebut dicapai
dengan kata lain proses pembuatan perjanjian justru menjadi titik penting
dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kebenaran formil tersebut.
Namun, pengadilan ternyata hanya melihat apakah dari sisi hukum surat-
surat tersebut mempunyai kekuatan berlaku yang sempurna dan tidak
melihat bagaimana proses tersebut terjadi.
Persoalan diatas makin kompleks, ketika aparat penegak hukum
(hakim, jaksa, polisi, advokat) juga mudah atau dimudahkan untuk
melakukan berbagai tindakan tercela dan sekaligus juga melawan hukum.
Suatu tindakan yang terkadang dilatarbelakangi salah satunya oleh alasan
rendahnya kesejahteraan dari para aparat penegak hukum tersebut (kecuali
mungin advokat). Namun memberikan gaji yang tinggi juga tidak menjadi
37
jaminan bahwa aparat penegak hukum tersebut tidak lagi melakukakn
tindakan tercela dan melawan hukum, karena praktek-praktek melawan
hukum telah menjadi bagian hidup setidak merupakan pemandangan yang
umum dilihat sejak mereka duduk di bangku mahasiswa sebuah fakultas
hukum.
Harapan terwujudnya pemerintahan yang good governance dan
terlaksananya pemberantasan korupsi sebagaimana disampaikan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (dalam salah satu amanatnya), bahkan
harapan rakyat Indonesia, sampai hari ini tampaknya masih sia-sia. Ini
karena ulah para penegak hukum Indonesia yang masih dapat diatur oleh
seorang Anggodo (Pelita, Rabu 4 November 2009). Dalam bahasa pasaran,
masalah tersebut sungguh memalukan. Karena itu, dengan terbongkarnya
tuduhan kriminalisasi terhadap KPK, mengindikasikan bahwa sebagian
dari para penegak hukum di Indonesia merupakan sosok yang tidak
berkarakter dan tidak berjati diri, tidak berakhlaq mulia.
(http://www.pelita.or.id/baca.php?id=82635)
2.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan landasan teori yang telah disampaikan, penelitian ini
ingin merepresantasikan kondisi hukum dan peradilan Bangsa Indonesia di
era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang terkandung
pada karikatur Oom Pasikom pada surat kabar Kompas. Di Harian Kompas
Edisi 21 November 2009 ditampilkan sebuah kariaktur editorial Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang sedang mencuci Jas bertuliskan
38
Goverment didalam bak yang bertuliskan hukum dan peradilan dimana
air dalam bak tersebut sangat keruh dan kotor serta terdapat dua buaya yang
sedang berenang dalam bak tersebut. Di sisi lain terdapat seseorang yang
sedang menyaksikan aktivitas yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono sembari mengeluarkan pernyataan Supaya Clean ganti air yang
bersih pak.
Pada penelitian ini menggunakan analisis kualitatif dengan
pendekatan semiotika. Adapun hasil kerangka berfikir diatas dapat
digambarkan dalam bentuk bagan:






Gambar 2.3.
Kerangka Berfikir Penelitian Tentang Representasi Karikatur
Karut Marut Hukum dan Peradilan di Indonesia Dalam Harian Kompas
Edisi 21 November 2009

Karikatur
Hukum dan
Peradilan Oom
Pasikom Edisi
21 November
2009

Hasil interpretan
peneliti
Analisis kualitatif
dengan pendekatan
semiotika Peirce:
Ikon
Indeks
Simbol

Anda mungkin juga menyukai