Anda di halaman 1dari 9

Sultanah Safiatuddin bergelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-Alam Syah

Johan Berdaulat Zillullahi fil-Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota
Alam Syah. Anak tertua dari Sultan Iskandar Muda dan dilahirkan pada
tahun 1612
[1]
dengan nama Putri Sri Alam. Safiatud-din Tajul-Alam memiliki arti
kemurnian iman, mahkota dunia. Ia memerintah antara tahun1641-1675. Diceritakan
bahwa ia gemar mengarang sajak dan cerita serta membantu berdirinya perpustakaan
di negerinya.
[2]
Safiatuddin meninggal pada tanggal 23 Oktober 1675.
[1]
Sebelum menjadi sultanah[sunting | sunting sumber]
Sebelum ia menjadi sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar
Tsani (1637-1641). Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti
laki-laki yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari
penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi raja
dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar Raniri,
menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama, sehingga
Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
[2]

Masa pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Sultanah Safiatuddin memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal
istana yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi
pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Hubungan luar negeri[sunting | sunting sumber]
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para
musafir Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan bijak, cakap
dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang baik.[2] Ia memerintah
pada masa-masa yang paling sulit karena Malaka diperebutkan antara VOC denganPortugis. Ia
dihormati oleh rakyatnya dan disegani Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab.[1]
Penasehat negara[sunting | sunting sumber]
Pada masa pemerintahannya yang terdapat dua orang ulama penasehat negara (mufti)
yaitu, Nuruddin ar-Raniri dan Abdurrauf Singkil yang bergelar Teungku Syiah Kuala.
Atas permintaan Ratu, Nuruddin menulis buku berjudul Hidayatul Imam yang ditujukan
bagi kepentingan rakyat umum, dan atas permintaan Ratu pula, Abdurrauf
Singkil menulis buku berjudul Mir'at al-Thullab f Tasyil Mawa'iz al-Bad'rifat al-Ahkm al-
Syar'iyyah li Malik al-Wahhab, untuk menjadi pedoman bagi para qadhi dalam
menjalankan tugasnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ratu Safiatuddin bukan saja
mengutamakan kesejahteraan negerinya tetapi juga berusaha menjalankan
pemerintahannya sesuai dengan hukum Islam.
[3]

Di masa Sri Ratu Safiatuddin, banyak muncul ulama-ulama atau sarjana untuk mengarang buku-buku
dalam berbagai disiplin ilmu.



BEBERAPA rumah adat dari berbagai suku di Aceh berdiri kokoh di dalam Taman Sri Ratu
Safiatuddin, Banda Aceh. Rumah adat itu diantaranya rumah adat Aceh dan rumah adat Gayo.
Taman Sri Ratu Safiatuddin terletak persis di sisi kanan kantor Gubernur Aceh. Taman ini dibangun
saat Gubernur Aceh, Abdullah Puteh berkuasa untuk mengenang peran Sultan Aceh Sri Ratu Tajul
Alam Safiatuddin Johan Berdaulat.
Merujuk kepada catatan sejarah Kerajaan Aceh disebutkan, Sri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan
Berdaulat merupakan putri Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam dari permaisuri pertamanya, Putri
Sani Ratna Sendi Istana. Sri Ratu memerintah Kerajaan Aceh setelah mangkatnya Sultan Iskandar
Tsani pada 1050 Hijriyah atau 1641 Masehi.
Selama masa pemerintahannya mulai 1050 Hijriyah hingga 1086 Hijriyah atau 1641 Masehi hingga
1675 Masehi, Kerajaan Aceh mencapai kemajuan yang cukup baik, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan. Hal ini dijelaskan Syekh Nuruddin Ar Raniri dalam bukunya Bustanus Salatin.
Ulama besar Kerajaan Aceh ini menyebutkan pada masa pemerintahan Sultanah itu,
kondisi kerajaan sangat makmur. Makanan pun sangat murah dan kondisi kerajaan dalam keadaan
aman sentosa.
"...pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin terlalu makmur, dan makanan pun sangat murah, dan
segala manusia pun dalam kesentosaan dan mengikut segala barang sabdanya. Dan ialah yang adil
pada segala hukumnya, dan tawakal pada segala pekerjaannya, dan sabar pada segala barang
halnya, lagi mengerasi segala yang durhaka..."
Gambaran tersebut menjelaskan bagaiman suasana Kerajaan Aceh saat dipimpin oleh
seorang wanita yang semula mendapat rintangan dari kelompok wujudiah di Aceh. Kelompok ini
menyerukan agar Aceh tidak dipimpin oleh seorang wanita karena akan melemahkan kekuatan di
dunia.
Kendati politik Aceh mulai memburuk sejak mangkatnya Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Sani,
namun perkembangan di bidang pendidikan dan kesusasteraan semakin maju. Di masa Sri Ratu
Safiatuddin, banyak muncul ulama-ulama atau sarjana untuk mengarang buku-buku dalam berbagai
disiplin ilmu.

Hal ini dapat dilihat dari pengantar seluruh kitab yang menuliskan bahwa atas anjuran Sri Ratu lah
kitab itu ditulis.
Beberapa kitab yang lahir di masa itu seperti Bidayatul Iman Fi Fadlilil Manan berbahasa
Melayu yang dikarang Syekh Nuruddin Ar Raniri. Selain itu, Syekh Abdurrauf Syiah Kuala juga
berhasil mengarang kitab Miratuth Thullab, berbahasa Melayu.
Di masa pemerintahannya, Sri Ratu Safiatuddin banyak mengambil langkah dalam meningkatkan
kedudukan kaum wanita dengan membuat peraturan untuk melindungi kaum hawa. Warisan Sri Ratu
Safiatuddin lainnya berupa Cap Sikureung, yaitu stempel sah Kerajaan Aceh.
Setiap Sultan atau Sultanah (Ratu) yang memerintah di Aceh selalu menggunakan sebuah Cap
resmi kesultanannya, yang didalam bahasa Aceh disebut Cab Sikureung (Cap Sembilan). Pemberian
nama ini didasarkan kepada bentuk stempel itu sendiri yang mencantumkan nama sembilan orang
Sultan dan nama Sultan yang sedang memerintah itu sendiri terdapat di tengah-tengah.
Cap Sikureung (Kulit luar) bermakna 9 Sultan :
1. Paling Atas
Sultan Ahmad Syah, yakni Raja pertama Dinasti Aceh-Bugis yang terakhir, 1723-1735, adalah
Sultan yang ke-XX, sebelum tahun 1723 disebut dengan gelar Maharadja Lela (Melayu)
2. Kanan Atas
Sultan Djauhan Syah, yakni Putera Raja sebelumnya, 1735-1760, adalah Sultan ke-XXI, bergelar
Raja Muda
3. Paling Kanan
Sultan Mahmud Syah, yakni Muhammad atau Mahmoud Syah I, Cucu Sultan Ahmad Syah, 1760-
1763, adalah Sultan ke-XXII
4. Kanan Bawah
Sultan Djauhar "Alam, yakni Cicit laki-laki Sultan Ahmad Syah, 1795-1824, adalah Sultan ke-XXVII
5. Paling Bawah
Sultan Manshur Syah, yakni Putera Djauhar Alam, sekitar 1857-1870, adalah Sultan ke-XXVIII
6. Kiri Bawah
Sultan Said-al-Mukamal, yakni Alauddin al-Qahhar, 1530-1557, adalah Sultan Aceh ke-III
7. Paling Kiri
Sultan Meukuta Alam, yakni Sultan Iskandar Muda, 1607-1636, adalah Sultan Aceh ke-XI
8. Kiri Atas
Sultan Tadjul "Alam, yakni Ratu Safiatuddin, Sultan wanita pertama Aceh, 1641-1675, adalah Sultan
ke-XIII (Puteri Iskandar Muda)
9. Tengah
Waffaa-Allah Paduka Seri Sultan Alauddin muhammad Daud Syah Djohan Berdaulat zil-Allah
fil"Alam, yakni adalah Sultan Muhammad Daud Syah, 1879-1903, Sultan Aceh yang terakhir.
Pada Segel-segel Sultan Aceh, tiga tempat diperuntukkan kepada raja-raja yang memerintah dari
dinasti sebelumnya. Lima tempat diperuntukkan pada Raja-raja keluarga sendiri, dan yang satu
dari yang 5 adalah raja pendiri dan dinastinya. Dan yang terletak di tengah-tengah yaitu Sultan atau
Sultanah (Ratu) yang sedang memerintah. (Penjelasan Cap Sikureung ini berdasarkan stempel
terakhir milik Kerajaan Aceh).[](bna)
- See more at: http://istri-artikel.blogspot.com/2013/10/safiatuddin-ratu-kerajaan-aceh-
yang.html#sthash.sDSccxNF.dpuf
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Sultanah Safiatuddin Syah yang
dibukukan bersama tulisan para sejarawan lainnya tentang pemerintahan sultanah di Aceh
dalam Prominent Woment in The Glimpse of History. Pemerintahan sultanah di Aceh
mendapat perhatian dari para penulis sejarah di Eropa. Salah satunya adalah P J Veth,
seorang profesor dalam etnologi dan geografi di Universitas Leiden, Belanda.
Pada tahun 1870, Veth menulis tentang pemerintahan wanita di nusantara dalamVrouwen
Regeringen in den Indische Archipeltulisan itu dipublikasikan dalam majalahTijdschrift voor
Nederlandsch-Indie.
Vert mengakui bahwa tidaklah mudah untuk menemukan adanya figur wanita yang
memerintah di Nusantara. Meskipun demikian, ia dapat juga menemukan beberapa kasus
serupa itu, yaitu yang bersangkutan dengan pengaruh yang menentukan dari pemerintahan
kaum wanita atas sebuah kerajaan. Salah satu kasus terpenting yang menarik perhatiannya
adalah yang ada di Aceh.
Di kerajaan Aceh yang menarik perhatiannya itu Veth menemukan adanya kekuasaan kaum
wanita dalam pemerintahan yang ternyata pernah berlangsung selama hampir 60 tahun,
kekuasaan pemerintahan yang dilaksanakan oleh empat orang wanita ( ratu atau sultanah )
secara berturut-turut, dari tahun 1641 hingga tahun 1699 M.
Sultanah pertama yang memerintah di Kerajaan Aceh Darussalam adalah Taj al-Alam atau
Tajul Alam Safiatuddin Syah. Wanita ini memerintah tahun 1641 hingga 1675 M, merupakan
putri tertua Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Menurut N J Ryan dalamSejarah
Semenanjung Tanah Melayu, terbitan Oxford University Press, 1966, Suami Sultanah
Safiatuddin bernama Sultan Bungsu atau Sultan Mogul, putra Sulthan Pahang,
Semenanjung Tanah Melayu. Sultan Ini dibawa ke Aceh pada tahun 1617 sewaktu Kerajaan
Aceh menaklukkan Kerajaan Pahang.
Ketika Sultan Iskandar Muda mangkat pada tahun 1636, ia diangkat oleh para pembesar
kerajaan menjadi sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Thani. Sultan ini meninggal
pada 15 Februari 1641 setelah menduduki singgasana selama 5 tahun. Dan, tiga hari
sesudah berkabung, para pembesar kerajaan sepakat mengangkat jandanya, Putri Sri Alam
Permaisuri, menjadi sultanah.
Kembali ke Veth dalam tulisannya ia menjelaskan, menjelang penobatan Sultanah
Safiatuddin, timbul sedikit pertentangan di kalangan pembesar Kerajaan Aceh. Hal ini,
antara lain, karena Sultan Iskandar Thani tidak berputra dan ada pula yang
mempermasalahkan soal kelayakan perempuan dalam kedudukan sebagai seorang raja.
Alasannya, pengangkatan perempuan sebagai raja bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam hukum Islam, menurut tafsiran pihak yang kemudian tersebut, jangankan menjadi
pria, menjadi imam dan menjadi wali pun perempuan tidak diperbolehkan.
Untuk memecahkan kebuntuan, dilakukanlah musyawarah kerajaan. Dalam musyawarah itu,
seorang ulama terkemuka di Kerajaan Aceh pada waktu itu, Teungku Abdurrauf dari Singkil
yang menyarankan pemisahan antara urusan agama dengan urusan pemerintahan, maka
diangkatkan Safiatuddin sebagai sultanah Aceh dengan gelar Seri Sultan Tajul Alam
Safiatuddin Syah berdaulat Zil Allah, Fil- alam ibnat Sultan Raja Iskandar Muda Johan
Berdaulat.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah selama sekitar 35 tahun, dari tahun 1641 hingga
tahun 1675. Masa 35 tahun itu merupakan masa yang relatif lama. Hal itu pastilah tidak
akan terlaksanakan apabila tidak diikuti oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
keluarbiasaan yang dimilikinya. Lebih-lebih, pada periode itu Kerajaan Aceh berada dalam
keadaan krisis akibat kemampuan perang yang dimilikinya sudah melemah sepeninggalan
Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Thani. Situasi menjadi bertambah gawat dengan
adanya usaha perebutan kekuasaan dari mereka yang tidak senang terhadap kedudukan
Safiatuddin syah sebagai sultanah.
Sultanah yang Taat
Syeh Nuruddin Ar Raniry dalam kitab Bustanus Salatin mengambarkan kepemimpinan
Sultanah Safiatudin Syah sebagai seorang yang sangat taat kepada agama. Bahwa
adalah bagi Duli Hadharat tuan kita Seri Sultan Tajul-Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zil
Allah Fil-alam itu sifat yang kepujian, dan perangai yang kebajikan, lagi takut akan Allah
senantiasa dengan membaca kitab Allah dan menyuruhkan orang berbuat kebajikan-
kebajikan dan melarangkan orang berbuat kejahatan
Pada gilirannya, bagi Ar-Raniri, kualifikasi tersebut menjadi faktor yang sangat menentukan
bagi bertahannya Sultanah Safiatuddin Syah sebagai ratu dalam waktu yang lama. ialah
yang sangat tawaqhurnya akan Allah SWT maka dianugerahi Allah akan dia lama
menyunjung khalifahnya. Dan pada masanyalah mendapat beberapa galian emas,
perbendaharaan Allah SWT, pada segala gunung yang tiada terkira banyaknya. Dan ialah
mengeraskan shariat Nabi Muhammad Rasulullah. Maka adalah lama paduka Seri Sultan
Tajul-Alam Safiatuddin Syah berdaulat zil Allah Fil-Alam di atas tahta kerajaan tiga puluh
lima tahun delapan bulan dua puluh enam hari kemudian dari itu maka baginda pun
kembalilah ke rahmat Allah.
Hal yang sama juga ditulis Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Iskandar
Muda. Dalam buku ini Lombard menulis bahwa Sultanah Safiatuddin Syah sangat
memperhatikan pengendalian pemerintahannya, masalah-masalah pendidikan keagamaan,
dan perekonomian. Dalam hal keagamaan ia memperlihatkan antusiasme yang tinggi
terhadap perkembangan Islam. Pada tahun 1668, misalnya, ia mengutus ulama-ulama Aceh
pergi ke negeri Siam untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk setempat.
Karena itu pula, ia mendapat dukungan dua ulama Aceh terkemuka dalam pemerintahannya
yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri dan Syaikh Abdurrauf as Singkili. Nuruddin Ar-Raniri adalah
seorang ulama asal Ranir, India yang datang ke Aceh ketika Sultan Iskandar Thani
berkuasa. Selain sebagai guru Sultanah Safiatuddin, ia juga seorang ulama yang
memberikan dukungan besar kepada muridnya itu ketika wanita itu dinobatkan sebagai
sultanah.
Syaikh Abdul Rauf berangkat ke Mekah menimba ilmu pada saat penobatan Safiatuddin
sebagai ratu Aceh. Setelah selama 19 tahun berada di Mekah, ia kembali ke Aceh dan
menempatkan diri dekat dengan kalangan istana sehingga kemudian diangkat pula sebagai
Kadhi Malikul Adil. Kembalinya Syaikh Abdurrauf atas panggilan Ratu Safiatuddin sendiri.
Kenyataan terakhir itu membuktikan bahwa ratu tersebut juga memberikan perhatiannya
terhadap persoalan pengetahuan. Sebagai putri kandung Sultan Iskandar Muda.
Menurut T Ibrahim Alfian dalam Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Sultanah
Safiatuddin Syah Meneruskan upaya-upaya yang telah dilakukan orangtuanya di bidang
pengembangan ilmu pengetahuan. Cara-cara yang ditempuhnya antara lain adalah dengan
mendorong para ulama untuk terus-menerus memperdalam ilmu pengetahuan dan
mengarang berbagai kitab.
Untuk memajukan rakyatnya dalam ilmu pengetahuan agama, khususnya yang menyangkut
hukum Islam, Safiatuddin Syah memerintahkan Teungku Syeh Abdurrauf mengarang
sebuah kitab tentang hal itu. Kitab itu berjudul Mirat al-Tullab atau, lengkapnya, Mirat al
Tullab fi Tashil Marifat ahkam al-syariyyah li al malik al wahhabyang kurang lebih berarti
Cermin bagi mereka yang menuntut ilmu Fikih pada memudahkan mengenal segala Hukum
Syara Allah. Kitab ini diperkirakan ditulis pada tahun 1663 dan merupakan kitab hukum
syara pertama yang ditulis dalam bahasa Jawi Melayu.
Syaikh Abdurrauf, pengarang kitab itu sendiri, mengakui bahwa penulisan kitab di atas
dilakukan atas permintaan Ratu Safiatuddin sendiri. Maka bahwasanya adalah hadarat
yang maha mulia [ Paduka Seri Sultanah Taj al-Alam Syafiat al-Din Syah] itu telah bersabda
kepadaku dari pada sangat lebai akan agama Rasulullah bahwa kukarang baginya sebuah
kitab dengan bahasa Jawi yang dibangsakan kepada bahasa Pasai yang muktaj
[dibutuhkan] kepadanya orang yang menjabat jabatan Qadi pada pekerjaan hukum dari
pada segala hukum syara Allah yang mutamat pada segala ulama yang dibanggakan
kepada Imam Syafei Radiallahuanhu
Demikian pula halnya dengan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Selain sebagai ulama dan mufti
istana, ia juga seorang pengarang yang produktif. Selama berada di Kerajaan Aceh, ia
sekurangnya telah membuahkan 29 kitab. Karya-karya itu sebagian besar ditulis pada masa
Sultanah Safiatuddin Syah. Kebanyakan isinya mempermasalahkan soal Wujudyah di
samping juga soal sastra, hukum, dan ilmu pengetahuan agama.
Menurut Ahmad Daudy dalam Allah dan Manusia Dalam Konsep Syeikh Nuruddin Ar raniri,
prestasi yang dicapai oleh Sultanah Safiatuddin Syah tidak hanya bersangkutan dengan
soal-soal keagamaan seperti yang telah dikemukakan, melainkan juga dalam soal-soal
teknis pemerintahan. Sultanah Safiatuddin berhasil menggalang persatuan di kalangan
rakyatnya dalam mengadapi tantangan-tantangan yang ditinggalkan oleh masa raja
sebelumnya.
Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitab Bustanus Salatin juga menggambarkan, pada masa
pemerintahan sultanah ini ditemukan galian pada sejumlah gunung dengan hasil melimpah
sehingga membuat Kerajaan Aceh menjadi kaya dan makmur. Karena begitu banyak emas
yang dimilikinya, Sultanah Safiatuddin Syah mengeluarkan sejumlah mata uang emas yang
dinamakan dirham sebagai alat tukar utama yang berlaku di wilayah Kerajaan Aceh dan
sekitarnya. Sistem keuangan yang berlaku disesuaikan dengan situasi zaman oleh sultanah
itu.
Menurut Van Langen (1888: 430), di bawah pemerintahan Safiatuddin Syah dirham yang
sebelumnya sudah beredar di Kerajaan Aceh dikurangi kadar emasnya. Sejumlah emas
yang lazim digunakan untuk menempa satu ringgit Spanyol diperintahkannya untuk ditempa
menjadi 6 dirham dengan mengurangi kadar emasnya dari 9 menjadi 8 mutu meuih (emas )
atau 19,2 karat menurut hitungan emas Belanda.
Sultanah Safiatuddin memerintahkan pengatur keuangan kerajaan mengumpulkan semua
dirham buatan para sultan sebelumnya untuk dilebur menjadi dirham baru. Kebijaksanaan
yang dimikian tentu saja bermanfat bagi kepentingan ekonomi Kerajaan Aceh pada waktu
itu. Hal lain yang membedakan dirham buatan masa Safiatuddin Syah dengan buatan
sultan-sultan sebelumnya tulisan yang tertatah di kedua sisinya. Pada bagian muka dirham
buatan zaman Ratu Aceh pertama tersebut tertera nama Paduka Seri Sultanah Ta alAlam,
sedangkan pada bagian belakangnya terdapat tulisan Safiat al-Din Syah.
F W Stammeshaus dalam tulisannya Atjehshe Munten menulis, jumlah mata uang yang
dikeluarkan di masa Safiatuddin Syah sangat banyak dibandingkan dengan jumlah mata
uang yang dikeluarka oleh penguasa-penguasa sebelumnya. Hal itu, tampaknya, berkaitan
erat dengan ditemukannya banyak emas di wilayah Kerajaan Aceh pada masa itu seperti
yang telah dikemukakan.
Adapun gambaran kehidupan perekonomian di Kerajaan Aceh pada waktu itu, khususnya di
ibu kota kerajaannya, dapat diperoleh dari tulisan Ar-Raniri (1966: 59) sebagai berikut. di
Bandar Darussalam pada waktu itu terlalu makmur dan makanan pun sangat murah, dan
segala manusia pun dalam keadaan kesentosaan dan mengikuti segala barang sabdanya.
Dan ialah yang adil pada segala barang hukumnya, dan tawakal pada segala barang
pekarjaanya
Tentang kemakmuran itu juga ditulis oleh Hoesein Djajaninggrat dalam Critisch Overzicht
van de in Maleiche Werken Vervatte Gegevens Over de Geschiedenis van het Sultanaat van
Atjeh. Katanya, kemakmuran dan kekayaan Kerajaan Aceh pada masa itu adalah peristiwa
pembuatan makam atau nisan persembahan Sultanah Safiatuddin Syah untuk suaminya,
Sultan Iskandar Thani. Makam dan pusara itu berupa sebuah bangunan yang relatif megah,
keranda jenazah dibuat dengan lapisan-lapisan emas murni. Kemegahan serupa terlihat
pula pada bangunan mesjid Baiturrahman dan pada berlimpahnya perhiasan-perhiasan milik
kerajaan yang menghiasi istana.
Hal yang sama juga diungkapkan Lombard yang menjelaskan, selain disebabkan oleh hasil
tambang emas, kemakmuran yang dicapai Kerajaan Aceh pada waktu itu juga berkat
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh Sultanah sendiri. Salah satu
kebijaksanaan penting dari Sultanah adalah pemungutan cukai atau pajak pada setiap
pedagang asing yang melakukan perdagangan dalam wilayah kekuasaan Aceh dan daerah
taklukannya.
Administrasi Kerajaan
Sultanah Safiatuddin Syah juga memperlihatkan kebijaksanaan tertentu dalam pengelolaan
administrasi kerajaan. Menurut sebuah naskah yang bernama Qanun Meukuta Alam, di
Kerajaan Aceh terdapat beberapa lembaga yang membantu sultan dalam melaksanakan
tugasnya antara lain: Balai Laksamana, yaitu semacam markas perang, dikepalai oleh
seorang laksamana. Balai Fardah yang tugasnya mengatur keuangan kerajaan seperti
pemungutan bea cukai dan mengeluarkan mata uang.
Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga pelaksana pemerintah (eksekutif). Selain itu,
terdapat pula lembaga-lembaga lain sebagai tempat bermusyawarah, yaitu disebut Balai
Musyawarah (lembaga legislatif) yang terdiri dari tiga bagian yaitu: Balairungsari sebagai
institusi terdiri dari empat uleebalang besar di Aceh. Balai Gadengbalai para ulama terdiri
dari 22 Ulama Besar di Aceh. Balai Majelis Mahkamah Rakyat yakni dewan rakyatyang
terdiri atas 73 orang anggota yang berasal dari 73 buah mukim.
Setelah memerintah dengan berbagai kebijaksanaan dan rintangan di atas selama 35 tahun,
tepatnya pada hari Rabu, 23 Oktober 1675 atau bertepatan dengan 3 Syakban 1086 H,
Sultanah Safiatuddin Syah mengakhiri kekuasaannya. Ia wafat pada tanggal tersebut.
Kerajaan Aceh kemudian dipimpin oleh Sultanah Naqiatuddin yang bergelar Sri Sultan Nurul
Alam Naqiatuddin Syah.[iskandar norman]
Silsilah raja raja kerajaan dan gubenur aceh darussalam

1. sultan alaidin ali mughayat syah 916-936 H (1511 - 1530 M)
2. sultan salahuddin 939-945 H (1530 - 1539M)
3. sultan alaidin riayat syah II, terkenal dengan nama AL Qahhar 945 - 979 H
(1539 - 1571M)
4. sultan husain alaidin riayat syah III, 979 - 987 H (1571 - 1579 M)
5. sultan muda bin husain syah, usia 7 bulan, menjadi raja selama 28 hari
6. sultan mughal seri alam pariaman syah,987 H (1579M) selama 20 hari
7. sultan zainal abidin, 987 - 988 H (1579 - 1580 M)
8. sultan aialidin mansyur syah, 989 -995H (1581 -1587M)
9. sultan mugyat bujang, 995 - 997 H (1587 - 1589M)
10. sultan alaidin riayat syah IV, 997 - 1011 H (1589 - 1604M)
11. sultan muda ali riayat syah V 1011 - 1015 H (1604 - 1607M)
12. sultan iskandar muda dharma wangsa perkasa alam syah 1016 - 1045H
(1607 - 1636M)
13. sultan mughayat syah iskandar sani,1045 - 1050 H (1636 - 1641M)
14. sultanah sri ratu tajul alam safiatuddin johan berdaulat, 1050-1086H (1641
- 1671M)
15. sultanah sri ratu nurul alam naqiatuddin (anak angkat safiatuddin), 1086 -
1088 H (1675-1678 M)
16. sultanah sri ratu zakiatuddin inayat syah (putri dari naqiatuddin) 1088 -
1098 H (1678 - 1688M)
17. sultanah sri ratu kemalat syah (anak angkat safiatuddin) 1098 - 1109 H
(1688 - 1699M)
18. sultan badrul alam syarif hasyim jamalul lail 1110 - 1113 H (1699 - 1702M)
19. sultan perkasa alam syarif lamtoi bin syarif ibrahim. 1113 - 1115H (1702 -
1703 M)
20. sultan jamalul alam badrul munir bin syarif hasyim 1115 - 1139 H (1703 -
1726M)
21. sultan jauharul alam imaduddin,1139H (1729M)
22. sultan syamsul alam wandi teubeueng
23. sultan alaidin maharaja lila ahmad syah 1139 - 1147H (1727 - 1735H)
24. sultan alaidin johan syah 1147 - 1174 (1735-1760M)
25. sultan alaidin mahmud syah 1174 -1195 H (1760 - 1781M)
26. sultan alaidin muhammad syah 1195 -1209 H (1781 - 1795M)
27. sultan husain alaidin jauharul alamsyah,1209 -1238 H (1795-1823M)
28. sultan alaidin muhammad daud syah 1238 - 1251 H (1823 - 1836M)
29. sultan sulaiman ali alaidin iskandar syah 1251-1286 H (1836 - 1870 M)
30. sultan alaidin mahmud syah 1286 - 1290 H (1870 - 1874M)
31. sultan alaidin muhammad daud syah, 1290 -.....H (1884 -1903 M)

sultan alaiddin muhammad daud syah adalah sultan terakhir dari kerajaan
aceh darussalam, beliau berjuang dan bergerilya selama 29 tahun dan
beliau tidak pernah menyerahkan kedaulatan negaranya kepada pihak
belanda.

pada tahun 1903 beliau ditangkap oleh belanda dan diasingkan ke ambon,
maluku dan terakhir dipindahkan ke jawa. beliau mangkat dijakarta pada
tahun 1939.

Anda mungkin juga menyukai