Anda di halaman 1dari 14

Adhisty Blog

about my purple world


Main menu
Skip to content
Home
About
Contact

o web hosting
o wordpress
o featured
o blogger


Search my

:: Asuhan Keperawatan Komunitas pada
Penderita TBC ::
Posted on January 28 by Adhisty A

A. DEFINISI
` Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC
(Depkes RI, 2002). Definisi lain menyebutkan bahwa Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menahun yang menular yang disebabkan oleh mybacterium tuberculosis (Depkes RI, 1998). Kuman
tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru. Kemudian
kuman tersebut menyebar dari paru ke organ tubuh yang lain melaui peredaran darah, kelenjar limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke organ tubuh lain (Depkes RI, 2002).

B. ETIOLOGI
Tuberculosis merupakan penyakit paru yang disebabkan mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh
Robert Koch (1882).
Kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh
karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari
langsung.
Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan kering tetapi dapat
mati pada suhu 60 derajad C dalam 15 20 menit.

C. KLASIFIKASI
Tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer.
Pada tuberkulosis primer penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Dalam suasana gelap dan lembab kuman dapat bertahan
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang yang sehat maka akan
menempel pada jalan nafas atau paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh
makrofag yang keluar dari cabang trakheo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Sedangkan
Tuberculosis Post Primer
dari TBC primer akan muncul bertahun-tahun lamanya menjadi TBC post Primer. Post Primer ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di sebagian apical posterior atau inferior pada paru. (Soeparman,
1990; Snieltzer, 2000).

D.PATOFISIOLOGI
Bakteri juga dapat masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tetapi jarang sekali terjadi. Bila
bakteri menetap di jaringan paru, akan tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.
Bakteri terbawa masuk ke organ lainnya. Bakteri yang bersarang di jaringan paru akan membentuk
sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau efek efek primer. Sarang primer ini
dapat terjadi di bagian-bagian jaringan paru. Dari sarang primer ini akan timbul peradangan saluran
getah bening hilus (limfangitis lokal), dan diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
hilus). Sarang primer, limfangitis local, limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer
(Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).
Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi sembuh dengan meninggalkan cacat atau sembuh
dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks (sarang)
Ghon, ataupun bisa berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya, secara bronkhogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya. Dapat juga
kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, secara limfogen, secara
hematogen, ke organ lainnya (Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).

E. TANDA DAN GEJALA
Gejala-gejala klinis yang muncul pada klien TBC paru adalah sebagai berikut : demam yang
terjadi biasanya menyerupai demam pada influenza, terkadang sampai 40-41
0
C. Batuk terjadi karena
iritasi bronchus, sifat batuk dimulai dari batuk non produktif kemudian setelah timbul peradangan
menjadi batuk produktif. Keadaan lanjut dapat terjadi hemoptoe karena pecahnya pembuluh darah. Ini
terjadi karena kavitas, tapi dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus. Sesak nafas terjadi pada kondisi
lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru. Nyeri dada timbul bila sudah terjadi infiltrasi ke
pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Malaise dengan gejala yang dapat ditemukan adalah anorexia,
berat badan menurun,
sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari (Soeparman, 1990; Heitkemper, 2000).

F. CARA PENULARAN
Penyakit TBC menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri mycobacterium
tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-anak
sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Bacteri bia masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi
banyak (terutama daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itu infeksi TBC menginfeksi
hamper seluruh organ tubuh sesperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan,
tulang, kelenjar getah bening.
Factor lain adalah kondisi rumah lembab karena cahaya matahari dan udara tidak
bersirkulasi dengan baik sehingga bakteri tuberculosis berkembang dengan baik dan
membahayakan orang yang tinggal didalam rumah.

G. PENEGAKAN DIAGNOSIS TBC
Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, foto
thoraks, uji tuberkulin, laboratorium, dan pemerikasaan patologi anatomi (PA). Di Indonesia sebagai
standar untuk penegakan diagnosis tuberkulosis paru adalah pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan
mikroskopis sangat cocok dengan kondisi Puskesmas dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis paru
(Depkes RI, 2002). Oleh karena itu untuk deteksi kuman TBC digunakan pemeriksaan mikroskopis dalam
menetapkan diagnosis dan pengobatan.

H. PENGOBATAN
Pengobatan Tuberkulosis Paru mempunyai tujuan : 1) Menyembuhkan klien dengan gangguan
seminimal mungkin; 2) Mencegah kematian klien yang sakit sangat berat; 3) Mencegah kerusakan paru
lebih luas dan komplikasi yang terkait; 4) Mencegah kambuhnya penyakit; 5) Mencegah kuman TBC
menjadi resisten; 6) Melindungi keluarga dan masyarakat terhadap infeksi (Crofton, Norman & Miller,
2002).
Sistem pengobatan klien tuberkulosis paru dahulu, seorang klien harus disuntik dalam waktu 1-2
tahun. Akibatnya klien menjadi tidak sabar dan bosan untuk berobat. Sistem pengobatan sekarang,
seorang klien diwajibkan minum obat selama 6 bulan. Jenis obat yang harus diminum harus disesuaikan
dengan kategori pengobatan yang diberikan (Depkes RI, 1997).
Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka pendek selama enam bulan dengan
jenis obat INH atau Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), dan Streptomisin
(Soeparman, 1990). Paduan obat anti tuberkulosis tabel 1 adalah paduan yang digunakan dalam
program nasional penanggulangan tuberkulosis dan dikemas dalam bentuk paket kombipak (Depkes RI,
2002). Paduan pengobatan terbaru dengan menggunakan FDCs (Fix Dose Combinations) yaitu kombinasi
dari obat anti tuberkulosis dalam satu kemasan (WHO, 2002)

KATEGORI PENGOBATAN KLIEN TBC PARU
Paduan Obat
Kategori Tahap Intensif Tahap Lanjutan Untuk Klien Tuberkulosis
I 2HRZE 4H3R3 TBC Paru baru BTA (+)
TBC Paru BTA (-) Ro (+) dengan kerusakan
jaringan paru yang luas
TBC ekstra paru sakit berat
II 2HRZES atau
1HRZE
5H3R3E3 TBC paru BTA (+), kambuh
TBC paru BTA (+), gagal
TBC paru BTA (+), pengobatan ulang
karena lalai berobat
III 2HRZ 4H3R3 TBC paru BTA (-) Ro (+)
TBC ekstra paru

Keterangan :
H : INH; R : Rifampicin; E : Etambutol; Z : Pirasinamid; S : Streptomisin (Depkes, RI, 2002)
Angka yang berada di depan menunjukkan lamanya minum obat dalam bulan, sedangkan angka
di belakang huruf menunjukkan berapa kali dalam seminggu obat tersebut diminum. Sebagai contoh
2HRZ artinya INH, Rifampicin dan Pirasinamid diminum dalam jangka waktu 2 bulan dan minumnya
setiap hari. 4H3R3 artinya INH, Rifampicin diminum selama 4 bulan dan diminum 3 kali dalam seminggu
(Depkes RI, 2002).
Efek samping yang ditimbulkan dari obat-obat tersebut adalah : INH : Hepatotoksik. Rifampicin
dapat terjadi sindrom flu dan hepatotoksik. Pada Streptomisin dapat mengakibatkan nefrotoksik,
gangguan nervus VIII cranial. Pirazinamid dapat mengakibatkan hepatotoksik dan hiperurisemia.
Etambutol dapat mengakibatkan neurosis optika, nefrotoksik, skin rash atau dermatitis. Efek samping
dari obat anti tuberkulosis yang tersering terjadi pada klien adalah pusing, mual, muntah-muntah, gatal-
gatal, mata kabur dan nyeri otot atau tulang (Depkes RI, 2002). Agar pengobatan berhasil, efek samping
dapat terdeteksi secara dini dan dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan terdekat, maka diperlukan
pengawas minum obat karena ketidakteraturan minum obat dapat menyebabkan resistensi terhadap
obat.
Upaya untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi tuberkulosis paru dilakukan dengan
memakai paduan obat, sedikitnya 2 macam obat yang bakterisid. Dengan memakai obat ini,
kemungkinan resistensi awal dapat diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam
obat atau lebih, dan pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH (Soeparman, 1990; Depkes RI,
2001). Peran perawat komunitas untuk menghindari terjadinya resistensi obat adalah dengan selalu
memantau pengobatan dengan kunjungan rumah dan memberikan penyuluhan akibat ketidakteraturan
minum obat.
Selain menggunakan OATS ada metode lain yang dapat digunakan yaitu:
Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS)
Adalah nama suatu strategi yang dilaksanakan di pelayanan kesehatan dasar di dunia untuk mendeteksi
dan menyembuhkan pasien TB paru. Strategi ini terdiri dari lima komponen yaitu:
a. Dukungan politik para pemimpin disetiap jenjang sehongga program ini menjadi salah satu prioritas dan
pendanaan oun akan tersedia.
b. Mikroskop sebagai komponene utama untuk mendiagnosa TB paru melalui pemeriksaan sputum
langsung pasien tersangka dengan penemuan secara pasif.
c. Pengawasan minum obat (PMO) yaitu orang yang dikenal dan dipercaya baik oleh pasien maupun
petugas kesehatan yang akan ikut mengawasi pasien minum obat seluruh obatnya sehngga dapat
dipastikan bahwa pasien betul minum seluruh obat dan diharapkan keswembuhan pada akhir masa
pengobatannya
d. Pencatatan dan pelaporan dengan baik dan benar sebagai bagian dari sistem surveilans penyakit ini
sehingga pemantauan pasien dapat berjalan.
e. Panduan obat anti TB paru jangka pendek yang benar, termasuk dosis, dan jangka waktu yang tepat
sangat penting untuk keberhasilan pengobatan.


I. KOMPLIKASI
TB laring
Pleuritis eksudatif
Pneumotorak
Abses paru

J. PENCEGAHAN
Vaksinasi BCG
Pembrian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberculosis yang
virulen. Imunitas timbul enam sampai delapan minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi
tidaklah lengkap sehingga masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbukan komplikasi yang berat.
Mempertahankan sistem imunitas seluler dalam keadaan optimal dengan sedapat
mungkin menghindarkan faktor-faktor yang dapat melemahkan seperti kortikosteroid
dan kurang gizi.
Menghindari kontak dengan penderita aktif TB
Menggunakan obat obatan sebagai langkah pencegahan pada kasus beresiko tinggi.
Menjaga stndar hidup yang baik, kasus baru dan pasien yang berpotensi tertular
interprestasi melalui penggunaan dan interprestasi tes kulit tuberculin yang tepat
imunisasi BCG.

K. PROGNOSIS
Dengan pengobatan yang tepat dan disiplin 95% dapat diatasi.


ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS

A. Pengkajian
1. Pengkajian Inti
a. Usia : semua rentang usia memiliki resiko untuk terkena penyakit TB paru
b. Jenis kelamin : baik laki laki maupun perempuan dapat terkena penyakit TB paru
c. Suku bangsa : semua suku bangsa bisa terkena TB paru
d. Keluhan yang dirasakan masyarakat : adanya salah satu warga atau beberapa orang warga yang
memiliki tanda-tanda TB Paru seperti batuk yang lama, demam tinggi, BB menurun,dll.
e. Pengkajian Fisik meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan dahak, pemeriksaan darah, status nutrisi.
f. Angka kematian penderita TB Paru di Indonesia mencapai angka 250 juta kasus baru diantaranya 140
ribu menyebabkan kematian.
2. Pengkajian Instrumen
a. Lingkungan fisik
Pemukiman : daerah pada penduduk.
Sanitasi : - penyediaan air bersih
- peneyediaan air minum
- pembuangan sampah
-sumber polusi
b. Pelayanan kesehatan dan social
Pelayanan kesehatan :
- Lokasi sarana kesehatan : bisa dijangkau oleh masyarakat
- Sumber daya yang dimiliki : adanya kader atau tenaga kesehatan yang terlatih
- Jumlah kunjungan : presentase jumlah penderita TB Paru yang berkunjung ke pelayanan kesehatan
- Sistem rujukan : memiliki system rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi
Fasilitas social ( pasar, took, swalayan )
- Lokasi : dalam komunitas apakah bisa dijangkau oleh masyarakat
- Kepemilikan : fasilitas dimiliki oleh pribadi/individu atau pemerintah
-Kecukupan : dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
c. Ekonomi
Jenis pekerjaan : pekerjaan masyarakat setempat, biasanya petani dan tukang, buruh
Jumlah penghasilan rata-rata per bulan :
Jumlah pengeluaran rata-rata per bulan : >Rp. 200.000,00
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan komunitas : rata-rata lulusan SMA
Fasilitas pendidikan yang tersedia : formal atau non formal
Jenis bahasa yang digunakan : bahasa Indonesia dan bahasa daerah setempat
e. Kebijakan dan Pemerintahan
Penyediaan tempat rehabilitasi TB Paru
Pelatihan PMO (Pengawas Minum Obat)

B. Analisa Data

No. Data Subjektif Data Objektif Etiologi Problem
1. -Masyarakat
mengatakan
sering meludah
disembarang
tempat

-Masyarakat
mengatakan tidak
tahu mengenai
penyakit TB paru
-Tidak ada
pengkhususan alat
tenun dan alat
makan antara
penderita dengan
orang yang sehat.

- 50 KK dari 1000
KK menderita
penyakit TB paru
ditandai dengan
Kurangnya
pengetahuan
masyarakat
tentang penyakit
TB paru
Terjadinya penularan
TB paru

masyarakat terlihat
batuk terus
menerus, lemas,
letih.
2. -Masyarakat
mengatakan
malas dan sering
lupa minum obat
karena harus
meminum obat
secara rutin dalam
jangka waktu yang
lama.
-Masyarakat
mengatakan
kurangnya
pengawasan
dalam minum OAT
-40% dari
masyarakat desa X
masih banyak yang
menderita TB paru.

-Tidak adanya
pengawas OAT.
-kurangnya PMO
di komunitas.
-terjadi kegagalan
pengobatan (drop
out) di desa X
3. -Masyarakat yang
menderita TB paru
mengatakan nafsu
makan menurun.
-Masyarakat
terlihat kurus,
lemah, letih, dan
lesu.
Status ekonomi
rendah
Gangguan nutrisi

Anda mungkin juga menyukai