0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6K tayangan17 halaman
Makalah ini membahas tentang pembentukan konsep diri anak yang berasal dari keluarga disorganisasi. Keluarga merupakan faktor utama dalam pembentukan konsep diri seseorang, namun keluarga yang tidak harmonis akibat perceraian, pertengkaran orang tua, atau kekurangan perhatian dapat memengaruhi konsep diri anak menjadi negatif. Disorganisasi keluarga dapat berdampak pada munculnya konsep diri yang
Makalah ini membahas tentang pembentukan konsep diri anak yang berasal dari keluarga disorganisasi. Keluarga merupakan faktor utama dalam pembentukan konsep diri seseorang, namun keluarga yang tidak harmonis akibat perceraian, pertengkaran orang tua, atau kekurangan perhatian dapat memengaruhi konsep diri anak menjadi negatif. Disorganisasi keluarga dapat berdampak pada munculnya konsep diri yang
Makalah ini membahas tentang pembentukan konsep diri anak yang berasal dari keluarga disorganisasi. Keluarga merupakan faktor utama dalam pembentukan konsep diri seseorang, namun keluarga yang tidak harmonis akibat perceraian, pertengkaran orang tua, atau kekurangan perhatian dapat memengaruhi konsep diri anak menjadi negatif. Disorganisasi keluarga dapat berdampak pada munculnya konsep diri yang
Makalah ini diajukkan untuk melengkapi komponen penilaian BIPI Annisa Fitriana Lestari 1131003053 Nur Sehah 1131003043 Octaviani Sari Dewi 1131003041 JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2014 ii KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan karya tulis ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Pembentukkan Konsep Diri Anak Broken Home (Disorganisasi Keluarga. Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai proses pembentukkan konsep diri pada anak broken home atau disorganisasi keluarga. Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang proses pembentukkan konsep diri pada anak broken home dan faktor faktor yang mempengaruhinya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Jakarta, 1 Januari 2014 Annisa Fitriana Lestari Nur Sehah Octaviani Sari Dewi iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR. ii DAFTAR ISI iii PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang Masalah...... 1 I.2 Tujuan Penulisan. 1 I.3 Rumusan Masalah 2 I.4 Dasar Teori . 2 2. PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKKAN KONSEP DIRI ANAK. 3 II.1 Pengertian Disorganisasi Keluarga dan Konsep Diri. 3 II.2 Keluarga Sebagai Faktor Pembentukkan Konsep Diri Anak Disorganisasi Keluarga.. 5 3. DAMPAK PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK... 7 III.1 Macam Macam Konsep Diri..... 7 III.2 Munculnya Diskrepansi Diri 10 4. KESIMPULAN... 12 IV.1 Simpulan.. 12 IV.2 Saran/Rekomendasi 13 DAFTAR PUSTAKA. 14 LAMPIRAN 1 I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Kenakalan anak remaja kini telah menjadi hal yang tak tabu lagi di telinga masyarakat Indonesia. Komnas Anak membuktikan sepanjang tahun 2011 telah terdapat 1.815 kasus anak anak melakukan tindak kriminal. Dari jumlah tersebut, 52 persen anak melakukan tindak pidana pencurian. Disusul dengan kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian dan penganiayaan. Dan mirisnya 89 persen dari kasus tersebut harus berakhir di penjara. Disorganisasi keluarga mendorong anak-anak terjerumus dalam tindak kejahatan. Masalah utama anak sering merasa frustasi di dalam keluarga. Sehingga mereka keluar mencari lingkungan yang lebih baik menurut mereka. Tindak pidana ini dilakukan karena didorong lingkungan baru setelah anak-anak kabur dari rumah ternyata tidak seindah yang mereka bayangkan. I.2 Tujuan Penulisan/ Tujuan diadakannya penulisan/penelitian ini, yaitu: 1. Menganalisis peran keluarga pada konsep diri anak disorganisasi keluarga 2. Menganalisis dampak disorganisasi keluarga 2 I.3 Rumusan Masalah Batasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan/penelitian, yaitu: 1. Bagaimana peran keluarga terutama orang tua dalam pembentukkan konsep diri anak? 2. Bagaimana dampak disorganisasi keluarga terhadap konsep diri anak? I.4 Dasar Teori Keluarga adalah lembaga sosial yang ditemukan dalam semua masyarakat yang menyatukan orang-orang dalam kelompok kooperatif untuk merawat satu sama lain, termasuk anak-anak. Sebagian besar anggota keluarga adalah yang pertama dan paling penting yang mempengaruhi bagaimana kita menilai diri sendiri. Karena memang interaksi dengan keluarga itu mendominasi masa masa awal kita (Widiastuti, 2011: 130). Orangtua merupakan contoh (role model), panutan, dan teladan bagi perkembangan kita di masa remaja, terutama pada perkembangan psikis dan emosi, dimana kita perlu pengarahan, kontrol, serta perhatian yang cukup dari mereka. Orangtua merupakan salah satu faktor sangat penting dalam pembentukan karakter kita selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan. Namun, ketika keluarga terutama orangtua tidak melaksanakan peran yang semestinya maka yang akan timbul adalah disorganisasi keluarga. Disorganisasi keluarga bisa juga diartikan dengan kondisi keluarga yang tidak harmonis dan tidak berjalan layaknya keluarga yang rukun, damai, dan sejahtera karena sering terjadi keributan serta perselisihan yang menyebabkan pertengkaran dan berakhir pada perceraian. Kondisi ini menimbulkan dampak yang sangat besar terutama bagi anak-anak. Bisa saja anak jadi murung, sedih yang berkepanjangan, dan malu. Selain itu, anak juga kehilangan pegangan serta panutan dalam masa transisi menuju kedewasaan. 3 II. KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK II.1 Pengertian Disorganisasi Keluarga dan Konsep Diri Disorganisasi keluarga adalah perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena anggota anggotanya gagal memenuhi kewajiban kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya. Secara sosiologis, bentuk bentuk disorganisasi keluarga antara lain adalah: a. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan walaupun dalam hal ini secara yuridis dan social belum terbentuk suatu keluarga, bentuk ini dapat digolongkan sebagai disorganisasi keluarga sebab ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun keluarga pihak ibu. b. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan meja dan tempat tidur, dan seterusnya. c. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara anggota anggotanya. Goede menamakannya sebagai empty shell family. d. Krisis keluarga, karena salah satu yang bertindak sebagai kepala keluarga, di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah, mungkin karena meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan. e. Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor faktor intern, misalnya karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga. Disorganisasi keluarga mungkin terjadi pada masyarakat masyarakat sederhana karena suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan kebutuhan primer 4 keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah tersebut disebabkan karena kesulitan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan tuntutan kebudayaan. Di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik peranan social atas dasar perbedaan ras, agama atau faktor social ekonomis. Ada juga disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari perubahan perubahan unsur unsure warisan sosial (social heritage). Keluarga, menurut pola masyarakat agraris, menghadapi persoalan persoalan dalam menyongsong modernisasi, khususnya industrialisasi. Ikatan keluarga dalam masyarakat agraris didasarkan atas dasar faktor kasih sayang dan faktor ekonomis di dalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang memproduksi sendiri kebutuhan kebutuhan primernya. Dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga berubah. Biasanya ayah yang wajib mencari penghasilan. Seorang ibu, apabila penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Hal yang jelas adalah bahwa pola pendidikan anak anak mengalami perubahan. Sebagian dari pendidikan anak anak benar benar diserahkan kepada lembaga lembaga pendidikan di luar rumah seperti di sekolah. Pada hakikatnya, disorganisasi keluarga pada masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat yang modern dan kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial-ekonomis yang baru. Diri pribadi adalah suatu ukuran atau kualitas yang memungkinkan seseorang untuk dianggap dan dikenali sebagai individu yang berbeda dengan individu lainnya. Konsep diri menyebabkan: selective exposure, selective perception, and selective attention (Anita Taylor, 1997). William D. Brooks (1974): those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others. Konsep diri bukan saja sekedar deskriptif, namun penilaian tentang diri pribadi (Anita Taylor, 1977). Charles Horton Cooley (1864-1929), menyatakan bahwa konsep diri terkait dengan looking glass self (Rakhmat, 2005: 99). Aplikasi Cooley untuk dapat menjadi subjek dan objek persepsi sekaligus. Terdapat dua komponen; kognitif (self-image) dan afektif 5 (self-esteem). Faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang significant others, generalized others, dan reference group. Konsep diri akan terbentuk positif atau negatif. Nubuat yang dipenuhi sendiri (self-fulfilling prophecies atau perkiraan untuk diri sendiri). II.2 Keluarga Sebagai Faktor Pembentukkan Konsep Diri Anak Disorganisasi Keluarga Anggota keluarga adalah yang pertama dan paling penting yang mempengaruhi bagaimana kita menilai diri sendiri. Karena memang interaksi dengan keluarga itu mendominasi masa masa awal kita. (Widiastuti, 2011: 130).Wood (dalam Widiastuti, 2011: 130 - 133) berpendapat keluarga memilki beberapa cara dalam membangun pribadi kita, yaitu melalui: 1. Direct Definition Komunikasi yang secara eksplisit mengungkapkan bagaimana keluarga itu melabelkan diri kita dan tingkah laku kita. Dari sini lah seorang anak itu mulai mempelajari bagaimana orang lain memberikan presepsi dan ekspetasi atau penilain kepadanya sehingga mulai dapat engajari bagaimana mereka harus menghargai diri mereka sendiri. 2. Life Script Anggota keluarga membentuk pribadi seorang anak dengan aturan untuk hidup dan identitas. 3. Attachment Style Pola orang tua mendidik seorang anak yang mengajari bagaimana untuk melihat konsep diri dan hubungan pribadi. a. Secure attachment style Muncul ketika seorang anak mula mula diberikan respon perhatian dan peduli yang secara konsisten memperhatikan dan mencintainya. Orang yang pemberian cara semacam ini dari orang tuanya, dia cenderung menjadi orang yang penuh kasih sayang, bisa mengatasi tantangan dan kekecewaan dalam hubungan dekat. 6 b. Fearful attachment style Cara pemberian komunikasi oleh orang tua yang cenderung negative, penolakan, dan bahkan kasar. Sehingga anak tersebut akan menduga duga bahwa mereka tak pantas dicintai dan orang lain tak mencintainya. Akibatnya, orang yang semacam ini akan kuatir terhadap suatu hubungan dekat karena mereka selalu merasa tidak nyaman dalam sebuah hubungan bahkan tidak jarang mereka menjadi tertutup terhadap orang lain. c. Dismissive attachment Cara pemeberian komunikasi yang masih menggunakan gaya negative, penolakan, dan kasar. Namun, orang yang dikembangkan dalam cara seperti ini, tidak menganggap yang dilakukan orang tuanya bukan mencerminkan mereka tidak mencintai anaknya, justru malah sebaliknya. Sehingga akhirnya, sang anak punya pandangan yang positif tentang dirinya. Walaupun anggapan pada sebuah hubungan itu masih sangat rendah, masih memandang hubungan itu tidak perlu dan tidak menarik. d. Anxious/ Ambivalent attachment Pemberi perhatian itu memberikan perlakuan yang tidak konsisten. Kadang kadang penuh kasih, tetapi kdang penolakan. Bukan hanya konsisten, tetapi juga tidak dapat diprediksi. Pada masa dewasanya, ia masih mempertimbangkan suatu hubungan karena dia tahu orang lain bisa menyayangi, tetapi juga bisa menyakiti. Hasil akhir dari cara yang seperti ini membentuk pribadi yang tak konsisten juga, kadang ia bisa mengasihi, tetapi juga bisa tertutup. Cara orangtua mendidik anaknya sangat berpengaruh pada konsep diri anak itu karena dia akan meng-copy dan melakukan sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. 7 III. DAMPAK PERANAN KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK III.1 Macam Macam Konsep Diri Kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri. Bila anda berpikir anda orang bodoh, anda akan benar benar menjadi orang bodoh. Bila anda merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi persoalan, maka persoalan apapun yang anda hadapi pada akhirnya dapat anda atasi. Hubungan konsep diri dengan perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berpikir positif: You dont think what you are, you are what your think. Sukses komunikasi interpersonal banyak bergantung pada kualitas konsep diri anda; positif atau negatif. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42 43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif. Pertama, ia peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya. Dalam komunikasi, orang yang memiliki konsep diri negatif cenderung menghindari dialog yang terbuka, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai justifikasi atau logika yang keliru. Kedua, orang yang memiliki konsep diri negatif, responsive sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian. Buat orang orang seperti ini, segala macam embel embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya. Bersamaan dengan kesenangannya terhadap pujian, mereka pun bersikap hiper kritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela, atau meremehkan apa pun 8 dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Inilah sifat yang ketiga, sikap hiper kritis. Keempat, orang yang konsep dirinya negatif, cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari system sosial yang tidak beres. Kelima, orang yang konsep dirinya negatif, bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi. Ia menganggap tidak akan berdaya melawan persaingan yang merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang memilki konsep diri positif ditandaidengan lima hal : 1) Ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah; 2) Ia merasa setara dengan orang lain; 3) Ia menerima pujian tanpa rasa malu; 4) Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat; 5) Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya. Dalam kenyataan, memang tidak ada orang yang betul betul sepenuhnya berkonsep diri negatif atau positif, tetapi untuk efektivitas komunikasi interpersonal, sedapat mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda tanda konsep diri positif. D.E. Hamachek menyebutkan sebelas tanda tanda konsep diri positif: 1) Ia meyakini betul betul nilai nilai dan prinsip prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip prinsip itu bila pengalaman dan bukti bukti baru menunjukkan masalah. 9 2) Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. 3) Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. 4) Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. 5) Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. 6) Ia sanggup menjadi dirinya sebagai orang yang penting danbernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang orang yang ia pilih sebagai sahabatnya. 7) Ia dapat menerima pujian tanpa berpura pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. 8) Ia cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. 9) Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. 10) Ia mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapandiri yang kreatif, persahabatan, atau sekadar mengisi waktu. 11) Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang senang dengan mengorbankan orang lain. (Brooks danEmmert, 1976:56) Kita agak banyak membicarakan konsep diri yang positif, karena dari konsep diri yang positif lahir pola perilaku komunikasi interpersonal yang positif pula, yakni melakukan persepsi yang lebih cermat, dan mengungkapkan petunjuk petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan cermat pula. Komunikan yang berkonsep diri positif adalah orang yang menurut istilah Sidney M. Jourard tembus pandang (transparent), terbuka kepada orang lain (Jourard,1971). 10 III.2 Munculnya Diskrepansi Diri Aspek lain dari diri yang memengaruhi pemikiran dan perilaku kita adalah diskrepansi antara diri kita yang actual dengan diri kita yang kita idealkan. Psikolog Tory Higgins (1987,1989) menyatakan bahwa self-discrepancies (diskrepansidiri) ini menimbulkan emosi yang kuat. Ketika kita merasakan diskrepansi antara kualitas personal kita dengan keinginan ideal kita (ideal selfdiri ideal), kita mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau kesedihan (yang kitanamakan dejection-related emotions), dan berkurangnya harga diri (Moretti& Higgins, 1990). Diskrepansi antara diri actual dan apa yang kita inginkan (ought selfdiri yang semestinya) menghasilkanemosi yang berhubungan dengan agitasi seperti takut dan cemas (misalnya, Boldero& Francis, 2000). Meskipun kandungan actual dari keyakinan kita tentang diri kita selalu berubah, kita tetap menggunakan diri ideal dan diri yang semestinya sebagai standar (Strauman, 1996). Untuk menguji poin ini, Higgins, Klein, dan Strauman (1985) meminta mahasiswa untuk mengisi kuesioner yang menilai persepsi diri mereka, termasuk bagaimana diri ideal mereka dan bagaimana diri yang semestinya menurut mereka sendiri. Pertama, partisipan mengisi kuesioner untuk diri mereka sendiri, kemudian mereka mengisinya dari sudut pandang ayahnya, ibunya, dan sahabat terdekat. Mereka juga menilai sejauh mana atribut personal relevan dengan mereka. Diskrepansi antara diri actual dengan diri ideal menimbulkan emosi yang berhubungan dengan penolakan (Higgins &Bargh, 1987), dan berkurangnya hargadiri (Higgins, Shah, & Friedman, 1997; Moretti& Higgins, 1990).Misalnya, keinginan menjadi editor Koran kampus namun keinginan itu tak tercapai akan menimbulkan kekecewaan dan kesedihan. Diskrepansi yang dirasakan antara diri actual dengan pandangan ideal orang tua dan kawan juga menimbulkan kecemasan. Misalnya, merasa tidak bisa memenuhi harapan orang tua untuk menjadi pengusaha sukses juga akan menimbulkan kecemasan dan kesedihan. Semakin penting atribut personal bagi responden, semakin besar emosi yang dialami mereka (lihat juga Higgins, 1999). Teori diskrepansi diri mempostulatkan bahwa perhatian pada diri ideal atau diri yang seharusnya muncul dari tempramen dan dari sosialisasi awal.Artinya, kita 11 cenderung, dan mungkin diajari, untuk berpikir dalam term menjadi diri ideal atau memenuhi standar yang ditentukan orang lain. Secara umum, orang yang lebih ingin menggapai yang ideal adalah mereka yang mendapat pengasuhan yang hangat dan suportif dari orang tuanya, sedangkan orang yang lebih memerhatikan opini orang lain adalah mereka yang sering mendapat asuhan yang kurang baik (Manian, Strauman, & Denney, 1998). Perbedaan cultural juga memengaruhi seberapa jauh diri ideal atau diri semestinya akan mengatur perilaku. Secara spesifik; orang dengan diri independen lebih mungkin termotivasi oleh diskrepansi antara diri mereka dan diri ideal, sedangkan orang yang dibesarkan diri interdependen lebih mungkin memerhatikan orang lain (Lee, Acker, & Gardner, 2000). Secara keseluruhan, orang merasakan nyaman saat ada kesesuaian antara tujuan dengan orientasi mereka (Bianco, Higgins, &Klem, 2003; Higgens, Idson, Freitas, Spiegel, &Molden, 2003). 12 IV. KESIMPULAN IV.1 Simpulan Peranan keluarga adalah yang pertama dan paling penting, dimana orang tua sebagai panutan dan teladan bagi perkembangan anaknya. Terutama terhadap perkembangan psikis dan emosi untuk mengarahkan dan mengontrol perkembangan serta pembentukan karakter bagi anaknya. Orang tua menjadi salah satu faktor sangat penting dalam pembentukkan karakter anak-anak nya selain faktor lingkungan, sosial, dan pergaulan. Ketika orangtua tidak melaksanakan peran semestinya maka yang akan timbul adalah disorganisasi keluarga. Disorganisasi keluarga terjadi pada masyarakat-masyarakat sederhana karena suami sebagai kepala keluarga gagal memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer keluarganya atau mungkin karena dia menikah lagi. Pada umumnya masalah tersebut disebabkan karena kesulitan-kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan kebudayaan. Di dalam zaman modern ini, disorganisasi keluarga terjadi karena konflik peranan social atas dasar perbedaan ras, agama atau faktor social ekonomis. Ada juga disorganisasi keluarga karena tidak adanya keseimbangan dari perubahan-perubahan unsur-nsur warisan sosial (social heritage). Dengan dimulainya industrialisasi pada suatu masyarakat agraris, peranan keluarga berubah. Biasanya ayah yang wajib mencari penghasilan. Seorang ibu, apabila penghasilan ayah tidak mencukupi, turut pula mencari penghasilan tambahan. Hal yang jelas adalah bahwa pola pendidikan anak-anak mengalami perubahan. Sebagian dari pendidikan anak-anak benar-benar diserahkan kepada lembaga-lembaga pendidikan di 13 luar rumah seperti di sekolah. Pada hakikatnya, disorganisasi keluarga pada masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat yang modern dan kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial- ekonomis yang baru. Dalam fenomena ini huubungan konsep diri dengan perilaku, mungkin dapat disimpulkan dengan ucapan para penganjur berpikir positif: You dont think what you are, you are what your think. Karena konsep diri memiliki dua pengaruh besar yang akan menentukan kepribadian seseorang, yaitu: konsep diri positif dan konsep diri negatif. Dimana keduanya menjadi pilihan dalam proses perkembangan remaja seseorang, yang akan dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan, sosial, dan pergaulan. IV.2 Saran/Rekomendasi Bagi penulis selanjutnya mengenai tulisan ini, diharapkan agar lebih cermat dalam memilih pendekatan untuk menganalisa dan metode yang akan digunakan karena pergantian waktu mempengaruhi perkembangan zaman teknologi yang semakin canggih. Adapun untuk pembaca, penulis kembali menghimbau bagi orang tua agar lebih memperhatikan segala aspek permasalahan yang terjadi dalam keluarga. Supaya anak- anak tidak menjadi korban disorganisasi keluarga. Karena akan merugikan pihak anak dan pihak orang tua atau mungkin masyarakat sekitar atas kesenjangan negatif yang dilakukan anak. Kondisi apapun yang terjadi dalam permasalah keluarga, orang tua tetap bertanggung jawab dalam melaksanakan perannya sebagai orang tua. Oleh karena itu, orang tua berperan aktif dalam mengarahkan dan mngontrol perkembangan karakter anak supaya mengantisipasi hal negatif mampu merusak konsep diri anak. Dan mencari referensi lain sebagai sumber informasi mengenai konsep diri anak untuk membantu pemahaman yang lebih. 14 DAFTAR PUSTAKA Rakhmat, Jalaluddin. 2009. Psikologi Komunikasi. Edisi Kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sarwono, Sarlito W., dan Eko A, Meinarno (Eds). 2011. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Keempat Puluh. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Widiastuti, Tuti. 2011. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Bpress. Wood, Julia T. 2011. Communication Mosaic: An Introduction to the Field of Communication. Canada: Wadsworth Cengage Learning.