Anda di halaman 1dari 8

GASIFIKASI

Gasifikasi adalah suatu teknologi proses yang mengubah bahan padat menjadi gas.
Bahan padat yang dimaksud adalah bahan bakar padat termasuk didalamnya, biomass,
batubara, dan arang dari proses oil refinery. Gas yang dimaksud adalah gas-gas yang
keluar dari proses gasifikasi dan umumnya berbentuk CO, CO2, H2, dan CH4.
Gasifikasi berbeda dengan pirolisis dan pembakaran. Ketiga dibedakan berdasarkan
kebutuhan udara yang diperlukan selama proses. Jika jumlah udara/bahan bakar
(AFR, air fuel ratio) sama dengan 0, maka proses disebut pirolisis. Jika AFR yang
diperlukan selama proses kurang dari 1.5, maka proses disebut gasifikasi. Jika AFR
yang perlukan selama proses lebih dari 1.5, maka proses disebut pembakaran (lihat
gambar berikut).

Gasifikasi (gasification) adalah konversi bahan bakar karbon menjadi produk gas ィC
gas yang memiliki nilai kalor yang berguna. Pengertian ini tidak memasukkan istilah
pembakaran (combustion) sebagai bagian daripadanya, karena gas buang (flue gas)
yang dihasilkan dari pembakaran tidak memiliki nilai kalor yang signifikan untuk
dimanfaatkan [Higman, van der Burgt, 2003]. Karena proses ini merupakan konversi
material yang mengandung karbon, maka semua hidrokarbon seperti batubara,
minyak, vacuum residue, petroleum coke atau petcoke, Orimulsion, bahkan gas alam
dapat digasifikasi untuk menghasilkan gas sintetik (syngas).

Pada dasarnya, terdapat 3 cara untuk memproduksi gas sintetik dari batubara, yaitu
pirolisis, hidrogenasi, dan oksidasi sebagian (partial oxidation).

Meskipun produksi gas sintetik pada awalnya memanfaatkan teknologi pirolisis, tapi
saat ini pirolisis lebih banyak diaplikasikan untuk memproduksi bio-oil dari bahan
baku biomassa. Metode yang dipakai adalah flash pyrolysis, dimana biomassa
dipanaskan secara cepat tanpa oksigen pada suhu tinggi antara 450~600 。・ dengan
waktu tinggal gas (residence time) yang pendek yaitu kurang dari 1 detik. [Bramer,
Brem, 2006].

hidrogasifikasi (hydro-gasification) bertujuan memproduksi gas metana (Synthetic


Natural Gas) langsung dari batubara. Karena operasional hidrogasifikasi memerlukan
tekanan yang tinggi, teknologi ini kurang berkembang dan akhirnya tidak sampai ke
tahap komersial. [Higman, van der Burgt, 2003]

Sedangkan pada oksidasi sebagian, pemanasan batubara dilakukan dengan mengatur


kadar oksigen dari oksidan yang digunakan selama proses berlangsung. Oksidan
tersebut dapat berupa udara (air), oksigen murni, maupun uap air (steam). Produk
yang dihasilkan oleh oksidasi sebagian adalah gas sintetik, dimana 85% lebih
volumenya terdiri dari hidrogen (H2) dan karbon monoksida (CO), sedangkan karbon
dioksida (CO2) dan metana (CH4) terdapat dalam jumlah sedikit. Dengan
karakteristik produk yang dihasilkan, secara praktikal, istilah gasifikasi sebenarnya
merujuk ke metode oksidasi sebagian. Untuk selanjutnya, penjelasan tentang
gasifikasi batubara akan mengacu ke penggunaan metode oksidasi sebagian.

Mesin gasifikasi dapat dibedakan berdasarkan hal-hal berikut:

• Berdasarkan mode fluidisasi.

o gasifikasi unggun tetap (fixed bed gasification)

o gasifikasi unggun bergerak (moving bed gasification)

o gasifikasi unggun terfluidisasi (fluidized bed gasification)

o entrained bed.

• Berdasarkan arah aliran

o Gasifikasi aliran searah (downdraft gasification)

 Arah aliran padatan sama-sama ke bawah

o Gasifikasi aliran berlawanan (updraft gasification)


 Pada gasifikasi updraft, arah aliran padatan ke bawah
sedangkan arah aliran gas ke atas.

• Berdasarkan gas yang perlukan untuk proses gasifikasi.

o gasifikasi udara

 Gas yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah udara

o gasifikasi uap

 Gas yang digunakan untuk proses gasifikasi adalah uap

Jenis gasifikasi mode fluidisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar. Perbedaan moving bed, fluid bed, dan entrained bed gasifier [*].

Terdapat 3 jenis pengegas (gasifier) yang banyak digunakan untuk gasifikasi


batubara, yaitu tipe moving bed (lapisan bergerak), fluidized bed (lapisan
mengambang), dan entrained flow (aliran semburan). Karena masing ィ C masing
pengegas memiliki kelebihan dan kekurangan, maka alat mana yang akan digunakan
lebih ditentukan oleh karakteristik bahan bakar dan tujuan gasifikasi.
1) Moving Bed

Untuk model moving bed, batubara yang digasifikasi adalah yang berukuran
agak besar, sekitar beberapa sentimeter (lump coal). Batubara dimasukkan dari
bagian atas, sedangkan oksidan berupa oksigen dan uap air dihembuskan dari
bagian bawah alat. Mekanisme ini akan menyebabkan batubara turun pelan-
pelan selama proses, sehingga waktu tinggal (residence time) batubara adalah
lama yaitu sekitar 1 jam, serta menghasilkan produk sisa berupa abu.

Karena pengegas model ini beroperasi pada suhu relatif rendah yaitu
maksimal sekitar 6000C, maka batubara yang akan digasifikasi harus memiliki
suhu leleh abu (ash fusion temperature) yang tinggi. Hal ini dimaksudkan agar
abu tidak meleleh yang akhirnya mengumpul di bagian bawah alat sehingga
dapat menyumbat bagian tersebut.

Disamping produk utama yaitu gas hidrogen dan karbon monoksida, gasifikasi
pada suhu relatif rendah ini akan meningkatkan persentase gas metana pada
produk gas. Karena gas metana ini dapat meningkatkan nilai kalor gas sintetik
yang dihasilkan, maka penggas moving bed sesuai untuk produksi SNG
(Synthetic Natural Gas) maupun gas kota (town gas).

2) Fluidized Bed

Pada tipe fluidized bed, batubara yang digasifikasi ukurannya lebih kecil
dibandingkan pada moving bed, yaitu beberapa milimeter sampai maksimal 10
mm saja. Tipikal pengegas ini memasukkan bahan bakarnya dari samping
(side feeding) dan oksidan dari bagian bawah. Oksidan disini selain sebagai
reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai media lapisan mengambang dari
batubara yang digasifikasi.

Dengan kondisi penggunaan oksidan yang demikian maka salah satu fungsi
tidak akan dapat maksimal karena harus melengkapi fungsi lainnya, atau
bersifat komplementer. Hal ini mengakibatkan tingkat konversi karbon pada
tipe ini maksimal hanya sekitar 97% saja, tidak setinggi pada tipe moving bed
dan entrained flow yang dapat mencapai 99% atau lebih. [Higman, van der
Burgt, 2003].
Karena pengegas ini beroperasi pada suhu sekitar 600~10000C, maka batubara
yang akan diproses harus memiliki temperatur melunak abu (softening
temperature) di atas suhu operasional tersebut. Hal ini bertujuan agar abu yang
dihasilkan selama proses tidak meleleh, yang dapat mengakibatkan
terganggunya kondisi lapisan mengambang. Dengan suhu operasi yang relatif
rendah, pengegas ini banyak digunakan untuk memproses batubara peringkat
rendah seperti lignit atau peat yang memiliki sifat lebih reaktif dibanding jenis
batubara yang lain.

Pengembangan lebih lanjut teknologi pengegas jenis ini sangat diharapkan


untuk dapat mengakomodasi secara lebih luas penggunaan batubara peringkat
rendah, biomassa, dan limbah seperti MSW (Municipal Solid Waste).

3) Entrained Flow

Kemudian untuk tipe entrained flow, pengegas ini sekarang mendominasi


proyek ィ C proyek gasifikasi baik yang berbahan bakar batubara maupun
minyak residu. Pada alat ini, batubara yang akan diproses dihancurkan dulu
sampai berukuran 100 mikron atau kurang.

Batubara serbuk ini disemburkan ke pengegas bersama dengan aliran oksidan,


dapat berupa oksigen, udara, atau uap air. Proses gasifikasi berlangsung pada
suhu antara 1200~18000C, dengan waktu tinggal batubara kurang dari 1 detik.
Dengan suhu operasi sedemikian tinggi, pada dasarnya tidak ada batasan jenis
batubara yang akan digunakan karena abunya akan meleleh membentuk
material seperti gelas (glassy slag) yang bersifat inert.

Meski demikian, batubara sub-bituminus sampai dengan antrasit lebih disukai


untuk penggas jenis ini. Lignit atau brown coal pada prinsipnya dapat
digasifikasi, hanya saja kurang ekonomis karena kandungan airnya yang tinggi
yang menyebabkan konsumsi energi yang besar.

Meskipun abu akan meleleh membentuk slag, tapi batubara berkadar abu
tinggi sebaiknya dihindari pula karena dapat mengganggu kesetimbangan
panas akibat proses pelelehan abu dalam jumlah banyak. Batubara dengan
suhu leleh abu tinggi biasanya dicampur dengan kapur (limestone) untuk
menurunkan suhu lelehnya sehingga suhu pada pengegas pun dapat ditekan.
Gasifikasi suhu tinggi pada pengegas ini menyebabkan kandungan metana
dalam gas sintetik sangat sedikit, sehingga gas sintetik berkualitas tinggi dapat
diperoleh.

Terdapat beberapa tipe pengegas entrained flow berdasarkan kondisi dan cara
mengumpan bahan bakarnya. Pengegas Koppers-Totzek yang merupakan
pionir jenis ini mengumpan batubara serbuk dalam kondisi kering dari bagian
bawah, atau disebut dry up. Gas sintetik akan keluar dari bagian atas alat.

Tipe dry up ini juga dijumpai pada pengegas Shell dan Mitsubishi (CCP).
Untuk arah umpan dari bawah, selain terdapat bahan bakar dalam kondisi
kering, terdapat pula bahan bakar dalam kondisi basah atau disebut slurry up.
Tipikal jenis ini adalah penggas E-Gas dari Conoco Phillips. Selain slurry up,
terdapat pula metode slurry down, yang dijumpai pada penggas Chevron ィC
Texaco. Secara umum, bahan bakar berupa batubara kering mengkonsumsi
energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan dalam keadaan basah (slurry)
sehingga lebih menguntungkan.
Aplikasi Gasifikasi Batubara

Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)

Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi
batubara terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia
yang begitu melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004,
dengan tingkat produksi sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan
batubara terbukti dapat bertahan hingga 192 tahun.

Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing ィ C masing
hanya mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak
yang fluktuatif dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara
(CTL) menjadi semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual
Energy Outlook 2005) menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel
per hari pada tahun 2025, ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta
barel per hari.

Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk


menghasilkan gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H2) dan
karbon monoksida (CO), kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT)
untuk menghasilkan hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian
diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bensin dan minyak diesel.

Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah, maka dilakukan upaya
untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini. Proses tersebut
dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu, kemudian
metanol diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi. Metode ini disebut
MTG (Methanol to Gasoline), yang dikembangkan oleh Mobil pada tahun 1970-an.

Anda mungkin juga menyukai