Anda di halaman 1dari 24

Dislokasi Kaput Femur

oleh:
Ghina Yona Nurmufthi 0918011045
Laras Maranatha Tobing 0918011055
M. Iqbal Tafwid 0918011063
M. Rizki Darmawan M 0918011060



Pembimbing:
dr. Edi Marudut S, Sp.OT

DEPARTEMEN BEDAH
RUMAH SAKIT DR. H. ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2013





Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan referat ini yang berjudul Dislokasi Kaput Femur.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan referat ini berkat bantuan
dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak
untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan referat ini masih dari
jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian,
penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki
sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah
hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna
penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.

Bandar Lampung, Juni 2013


Penulis





Pendahuluan

Definisi
Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak
lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi).
Dislokasi kaput femur adalah keadaan dimana kaput femur keluar dari
socket nya pada tulang panggul (pelvis).

Epidemiologi


Dengan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas, dislokasi panggul traumatik
makin sering ditemukan. Dislokasi panggul ini dapat terjadi pada semua
kelompok usia. Dislokasi panggul posterior merupakan dislokasi yang paling
sering terjadi. Dislokasi panggul posterior terjadi sebanyak 90% dari kasus,
sedangkan dislokasi panggul anterior terjadi sebanyak 10% dari seluruh kasus
dislokasi panggul traumatik.
12

Klasifikasi
Berdasarkan arah dislocasi, dislocasi panggul dibagi menjadi 3, yaitu dislokasi
posterior, dislokasi anterior, dan dislokasi pusat (central).
28

DISLOKASI POSTERIOR

Mekanisme Cedera
Empat dari lima dislokasi panggul traumatik adalah dislokasi posterior. Biasanya
dislocasi ini terjadi dalam kecelakaan lalu lintas bila seseorang yang duduk di
dalam mobil terlempar ke depan sehingga lutut terbentur pada dashboard. Femur
terdorong ke atas dan caput femoris keluar dari acetabulum, seringkali terjadi
fracture pada acetabulum (fracture-dislocasi).
12,22


Gambar 1. Mekanisme cedera pada dislokasi panggul posterior

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Caput femoris dapat berada di posisi yang tinggi (iliac) atau rendah (ischiatic),
tergantung dari posisi flexi paha ketika terjadi dislocasi.
12

Dislocasi tipe iliac:
- Panggul flexi, adduksi, endorotasi.
- Extremitas yang terkena tampak memendek.
- Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislocasi
terlihat menonjol.
- Lutut extremitas yang mengalami dislocasi tampak menumpang di
paha sebelahnya.
Dislocasi tipe ischiatic:
- Panggul flexi.
- Panggul sangat beradduksi sehingga lutut di extremitas yang
mengalami dislocasi tampak menindih di paha sebelahnya.
- Extremitas bawah tampak dalam posisi endorotasi yang ekstrim.
- Trochanter major dan bokong di daerah yang mengalami dislocasi
terlihat menonjol.

Gambar 2. Posisi sendi pada dislokasi pinggul posterior
(Diunduh dari:
http://www.fammed.washington.edu/network/sfm/ Orthorama/Ortho4discuss.htm)
Jika salah satu tulang panjang mengalami fracture (biasanya femur), dislokasi
panggul seringkali tidak terdiagnosis. Pedoman yang baik adalah dengan
pemeriksaan pelvis dengan pemeriksaan radiologis. Tungkai bawah juga harus
diperiksa untuk mencari apakah terjadi cedera syaraf ischiadicus.
Cedera neurovaskular pada dislocasi panggul posterior dapat memberikan
gambaran sebagai berikut:
19

Nyeri di panggul, bokong, dan tungkai bawah bagian posterior.
Hilangnya sensasi di tungkai bawah dan kaki.
Hilangnya kemampuan dorsoflexi (cabang peroneal) atau plantarflexi
(cabang tibial).
Hilangnya deep tendon reflex di pergelangan kaki.
Hematoma lokal.
Klasifikasi
Epstein dan Thompson (1951) menganjurkan suatu klasifikasi yang dapat
membantu perencaan tata laksana. Klasifikasi ini dibuat sebelum ditemukannya
CT-scan.
14

Berikut ini adalah klasifikasi dislocasi panggul posterior menurut Epstein dan
Thompson:
Tipe I : Dislokasi sederhana, dengan atau tanpa fragmen di
dinding posterior acetabulum.
Tipe II : Dislokasi dengan fragmen besar di dinding posterior
acetabulum.
Tipe III : Dislokasi dengan kominusi dinding posterior acetabulum.
Tipe IV : Dislokasi dengan fracture dasar (lantai) acetabulum.
Tipe V : Dislokasi dengan fracture caput femoris, yang
diklasifikasikan menurut Pipkin (1957).

Pemeriksaan Radiologi

Pada foto anteroposterior (AP), caput femoris terlihat keluar dari acetabulum dan
berada di atas acetabulum. Segmen atap acetabulum atau caput femoris dapat
ditemukan patah dan bergeser. Foto oblik dapat digunakan untuk mengetahui
ukuran fragmen. CT scan adalah cara terbaik untuk melihat fracture acetabulum
atau setiap fragmen tulang.
17


Gambar 3. Klasifikasi Fracture Caput Femoris Menurut Pipkin
A) Tipe I: Garis fracture berada di bawah fovea, B) Fragmen fracture
meliputi fovea, C) Sama seperti tipe I dan II, namun disertai dengan fracture
collum femoris, D) Fracture caput femoris dan acetabulum dalam bentuk
apapun.
(Diambil dari: DeLee JC: Fractures and dislocations of the hip. Dalam: Rockwood
CA Jr, Green DP, Bucholz RW, et al, eds: Rockwood and Greens fractures in
adults. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott-Raven;1996)

Gambar 4. Gambaran radiologi dislocasi panggul posterior
(Diunduh dari:
http://radiopaedia.org/cases/posterior-hip dislocation?fullscreen=true)
Tata Laksana
Dislocasi harus direduksi secepat mungkin di bawah anestesi umum. Reduksi
harus dilakukan dalam waktu 12 jam sejak terjadinya dislocasi.
41
Pada sebagian
besar kasus dilakukan reduksi tertutup, namun jika reduksi tertutup gagal
sebanyak 2 kali maka harus dilakukan reduksi terbuka untuk mencegah kerusakan
caput femoris lebih lanjut.
13
Sebelum melakukan reduksi, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan neurovaskular.
Indikasi reduksi tertutup:
- Dislokasi dengan atau tanpa defisit neurologis jika tidak ada fracture.
- Dislokasi yang disertai fracture jika tidak terdapat defisit neurologis.

Kontraindikasi reduksi tertutup:
- Dislokasi panggul terbuka.
Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mereduksi
dislokasi panggul posterior sederhana (tipe I Epstein).
16,35

Manuver Allis
1. Pasien
berbaring
dalam
posisi
supine.
2. Seorang
asisten
menekan spina
iliaca anterior
superior.
3. Operator
memegang
tungkai yang
mengalami
dislokasi pada
pergelangan
kaki
menggunakan
satu tangan.
4. Lengan
bawah operator
diletakkan di
bawah lutut, lalu
lakukan traksi
longitudinal
sejajar
deformitas.
5. Paha dalam
posisi adduksi
dan endorotasi ,
lalu difleksikan
900. Tindakan ini
merelaksasikan
ligamen
iliofemoral.
6.Setelah
traksi
dipertahankan,
caput femoris
diungkit ke
dalam
acetabulum
dengan
abduksi, rotasi
eksternal, dan
ekstensi
pinggul.
Manuver Stimson
Manuver ini menggunakan berat tungkai bawah dan gravitasi untuk
mengurangi dislokasi.













Maneuver Bigelow

1. Pasien
dibaringkan
di lantai
dalam posisi
supine.
2. Seorang
asisten
menekan
spina iliaca
anterior
superior.
3. Angkat
tungkai yang
mengalami
dislokasi dan
fleksikan
sendi pinggul
dan lutut.
4. Rotasikan
tungkai ke
posisi netral.
5. Buat traksi
yang mantap pada
tungkai bawah ke
arah atas, angkat
caput femoris ke
dalam
acetabulum.
6. Setelah
traksi ke atas
selesai,
letakkan paha
ke bawah
dalam posisi
ekstensi.

1. Pasien ditempatkan di
atas meja dalam posisi
telungkup.
2. Tungkai yang mengalami
dislokasi digantungkan
ke bawah dan lutut
difleksikan.
3. Seorang asisten
memegang tungkai yang
sehat secara horizontal.
4. Operator memberi
tekanan ke bawah secara
mantap pada lutut yang
fleksi.
5. Posisi ini tetap
dipertahankan hingga
otot-otot relaksasi dan
caput femoris turun ke
acetabulum.
Kadang-kadang dengan sedikit
mengayunkan paha dapat
mempercepat reduksi.



Teknik Whistler

Panggul yang mengalami dislocasi direlokasikan menggunakan lengan
operator untuk mengangkat dan memanuver tungkai yang mengalami
dislocasi ketika bahu operator diangkat. Tangan operator bertumpu pada
paha kontralateral. Seorang asisten atau tangan lain operator melakukan
kontratraksi pada tibia atau fibula.

Gambar 5. Teknik Whistler
(Diunduh dari: http://www.accessemergencymedicine.com)

Traksi longitudinal

Pasien dibaringkan dalam posisi supine, kemudian seorang asisten
melakukan traksi lateral, sementara operator melakukan traksi
longitudinal.

Gambar 6. Traksi longitudinal
(Diunduh dari: http://www.accessemergencymedicine.com)
Leg-crossing maneuver

Kadang-kadang dislocasi dapat direduksi dengan cara membujuk pasien
untuk perlahan-lahan menyilangkan tungkai yang mengalami dislocasi ke
arah tungkai sebelahnya (adduksi) dan kemudian lakukan traksi lembut
ketika asisten memandu caput femoris kembali ke posisi semula dengan
melakukan tekanan di sebelah anterior.

Teknik fulcrum

Pasien dibaringkan dalam posisi supine, lalu lutut operator diletakkan di
bawah lutut pasien di sisi yang mengalami dislocasi. Lutut operator
digunakan sebagai titik tumpu untuk mengungkit caput femoris agar
kembali masuk ke acetabulum.

Gambar 7. Teknik fulcrum
(Diunduh dari: http://www.accessemergencymedicine.com)

Manuver East Baltimore Lift

Pasien dibaringkan dalam posisi supine. Operator berdiri di sisi panggul
yang mengalami dislocasi. Extremitas bawah pasien diflexikan hingga
panggul dan lutut membentuk sudut 90
0
. Kemudian operator menempatkan
lengannya yang lebih dekat dengan kepala pasien di bawah lutut pasien,
menopang tungkai pasien dengan cara menumpukan tangannya di bahu
seorang asisten yang berdiri di seberangnya, sedangkan tangan lain
operator memegang pergelangan kaki pasien.

Kemudian asisten meletakkan tangannya di bahu operator dengan cara
melewati bagian bawah lutut pasien (serupa dengan yang dilakukan oleh
operator). Operator dan asisten kemudian berdiri dengan posisi lutut
sedikit flexi dan secara bersama-sama berdiri tegak tanpa merubah posisi
bahu untuk memberikan traksi. Operator merotasikan tungkai bawah
pasien di bagian pergelangan kaki, sedangkan asisten yang kedua
menstabilkan pelvis.
34


Gambar 8. Manuver East Baltimore Lift
(Diambil dari: Schafer SJ, Anglen JO: The East Baltimore Lift: a simple and
effective method for reduction of posterior hip dislocations, J Orthop Trauma.
1999. 13:56)

Pemeriksaan X-Ray sangat diperlukan untuk memastikan reduksi dan untuk
menyingkirkan fracture. Bila terdapat sedikit kecurigaan saja bahwa fragmen
tulang telah terperangkap di dalam sendi, maka diperlukan pemeriksaan CT-
scan.
16

Reduksi biasanya stabil, panggul yang telah mengalami cedera harus
diistirahatkan. Cara yang paling sederhana untuk mengistirahatkan panggul adalah
dengan memasang traksi dan mempertahankannya selama 3 minggu. Gerakan dan
latihan dimulai segera setelah nyeri mereda. Pada akhir minggu ketiga pasien
diperbolehkan berjalan dengan kruk penopang.
24

Jika pemeriksaan X-Ray atau CT-scan pasca reduksi memperlihatkan adanya
fragmen intra-articular, fragmen itu harus dibuang dan sendi dibilas melalui
posterior approach. Hal ini biasanya ditunda hingga keadaan pasien stabil.
17

Fracture-dislocasi tipe II Epstein sering diterapi dengan reduksi terbuka segera
dan fiksasi anatomis pada fragmen yang terlepas. Namun, jika keadaan umum
pasien meragukan atau tidak tersedia ahli bedah yang terampil di bidang ini,
panggul direduksi tertutup seperti diuraikan di atas. Jika sendi tidak stabil atau
fragmen besar tetap tidak tereduksi, maka reduksi terbuka dan fiksasi internal
tetap diperlukan. Pada kasus tipe II, traksi dipertahankan selama 6 minggu.
26

Fracture-dislocasi tipe III diterapi secara tertutup, tetapi mungkin terdapat
fragmen yang bertahan dan fragmen-fragmen ini harus dibuang dengan operasi
terbuka. Traksi dipertahankan selama 6 minggu.
26

Fracture-dislocasi tipe IV dan V pada awalnya diterapi dengan reduksi tertutup.
Fragmen caput femoris dapat secara otomatis berada pada tempatnya, dan ini
dapat dipastikan dengan CT-scan pasca reduksi. Jika fragmen tetap tidak
tereduksi, terapi operasi diindikasikan: fragmen yang kecil dibuang, namun
fragmen yang besar harus diganti; sendi dibuka, caput femoris didislocasikan dan
fragmen diikat pada posisinya dengan countersunk screw. Pasca operasi, traksi
dipertahankan selama 4 minggu dan pembebanan penuh ditunda selama 12
minggu.
26

Dislocasi Panggul yang Tidak Tereduksi
Kadang-kadang dislocasi panggul posterior tanpa fracture acetabulum atau caput
femoris tidak dapat direduksi dengan metode reduksi tertutup.
Pada dislocasi posterior, caput femoris keluar ke arah posteroinferior dari kapsul
dan dapat menembus otot-otot exorotasi. Jaringan lunak yang mengelilingi collum
femoris dapat mencegah relokasi dari caput femoris.
18,33

Sebagai contoh, labrum acetabulum dapat terlepas dari tempat melekatnya,
dengan atau tanpa fragmen tulang, ketika reduksi, labrum mungkin tertarik masuk
ke dalam sendi di depan caput femoris sehingga mencegah kembalinya posisi
caput secara konsentris ke dalam acetabulum.
18,33
(Gambar dapat dilihat di
halaman berikutnya)

Gambar 8. Robekan labrum acetabulum
(Diunduh dari: http://www.mendmyhip.com/hip-strain-tendinitis-tear-
injuries/acetabular-hip-labral-tear.php)
Tata laksana untuk dislocasi yang tidak tereduksi ini adalah dengan reduksi
operatif (terbuka).

Posterior approach sendi panggul (Kocher-Langenbeck)
12

Pasien dibaringkan dalam posis lateral.
Mulai dengan insisi kulit pada daerah trochanter major dan perluas ke arah
proximal sepanjang 6 cm dari spina iliaca posterior. Insisi dapat diperluas
ke arah distal sepanjang permukaan lateral paha sepanjang 10 cm atau
seperlunya.
Pisahkan fasciae latae sejajar dengan insisi kulit dan pisahkan gluteus
maximus secara tumpul sejajar dengan arah seratnya. Lindungi cabang dari
nervus gluteus inferior ke arah anterosuperior dari gluteus maximus.
Kenali dan lindungi nervus ischiadicus yang berada di atas quadratus
femoris.
Pisahkan tendon M. Piriformis, gemellus, dan obturatorius internus sejajar
dengan insersinya pada trochanter major dan kemudian otot-otot exorotasi
tersebut ditarik ke arah medial untuk melindungi nervus ischiadicus. M.
qudratus femoris tetap dibiarkan intak untuk melindungi cabang arteri
circumflexa femoris medialis. Tempat melekatnya tendon M. gluteus
maximus pada femur dapat diinsisi untuk memperluas daerah paparan.

Gambar 9. Posterior Approach Sendi Panggul
(Diambil dari: Canale ST, Beaty JH. Campbells Operative Orthopaedics. Edisi
ke-11. Philadelphia: Elsevier; 2009. Hal 80)

Setelah reduksi terbuka, dilakukan pemasangan skin traction di tungkai bawah.
Panggul dalam posisi extensi dan extremitas sedikit abduksi.
24

Traksi dipertahankan selama 3 minggu. Beberapa hari setelah reduksi, gerakan
aktif dan pasif sendi panggul dapat dimulai. Pada akhir minggu ketiga, pasien
diperbolehkan jalan menggunakan kruk penopang. Pasien diperbolehkan
menopang berat badan pada akhir minggu ke 12-14 dan diperbolehkan kembali
beraktivitas seperti biasa 6-10 bulan setelah operasi. Ikuti perkembangan pasien
selama 2 tahun (setiap 3 bulan), setiap pemeriksaan rekam perkembangan range
of motion dari sendi panggul dan lakukan pemeriksaan X-ray untuk mengetahui
ada tidaknya necrosis avaskular dari caput femoris.
24


Complikasi
1. DINI
16,29

Cedera nervus ischiadicus. Syaraf ini kadang-kadang mengalami
cedera, namun biasanya membaik lagi. Jika setelah mereduksi dislocasi,
lesi nervus ischiadicus dan fracture acetabulum yang tidak tereduksi
terdiagnosis, maka nervus harus dieksplorasi dan fragmennya dikoreksi
ke tempat asalnya (disekrupkan pada posisinya). Penyembuhan sering
membutuhkan waktu beberapa bulan, dan sementara itu tungkai harus
dihindarkan dari cedera dan pergelangan kaki harus dibebat untuk
menghindari kaki terkulai (foot drop).
Cedera pembuluh darah. Kadang-kadang arteri gluteus superior robek
dan mungkin terdapat banyak perdarahan. Jika keadaan ini dicurigai,
maka harus dilakukan arteriogram. Pembuluh darah yang robek mungkin
perlu diligasi.
Fracture corpus femoris. Bila ini terjadi bersamaan dengan dislocasi
panggul, dislocasi biasanya terlewatkan. Maka harus digunakan
pedoman bahwa pada setiap fracture corpus femoris, bokong dan
trochanter per palpasi, dan panggul harus dilakukan pemeriksaan X-ray.
Sekalipun tindakan pencegahan ini tidak dilakukan, suatu dislocasi harus
dicurigai bila fragmen proximal pada fracture melintang pada batang
terlihat beradduksi. Reduksi dislocasi ini jauh lebih sulit, tetapi
manipulasi tertutup yang perlahan harus tetap dicoba. Jika cara ini gagal,
maka reduksi terbuka harus dicoba, dan pada saat yang sama, femur
dapat difiksasi dengan intramedullary nail.
2. LAMBAT
16,29


Necrosis avaskular. Persediaan darah pada caput femoris sangat
terganggu sekurang-kurangnya pada 10% dislocasi panggul traumatik.
Jika reduksi ditunda lebih dari beberapa jam, angkanya meningkat
menjadi 40%. Necrosis avaskular terlihat pada pemeriksaan X-Ray
sebagai peningkatan kepadatan caput femoris, tetapi perubahan ini tidak
ditemukan sekurang-kurangnya selama 6 minggu, dan kadang-kadang
jauh lebih lama (sampai 2 tahun), tergantung pada kecepatan perbaikan
tulang. Jika caput femoris menunjukkan tanda-tanda fragmentasi,
mungkin diperlukan operasi. Jika terdapat segmen nekrotik yang kecil,
osteotomi penjajaran tulang (realigment) merupakan metode terpilih.
Sebaliknya, pada pasien yang lebih muda, pilihannya adalah antara
penggantian caput femoris dengan prostesis bipolar atau artrodesis
panggul. Pada pasien berusia di atas 50 tahun, penggantian panggul
keseluruhan adalah pilihan yang lebih baik.
Miositis osifikans. Complicasi ini jarang terjadi, mungkin berhubungan
dengan beratnya cedera. Karena sulit diramalkan, complicasi ini sulit
dicegah. Gerakan tidak boleh dipaksa dan pada cedera yang berat, masa
istirahat dan pembebanan mungkin perlu diperpanjang.
Dislocasi yang tak tereduksi. Setelah beberapa minggu, dislocasi yang
tak diterapi jarang dapat direduksi dengan manipulasi tertutup dan
diperlukan reduksi terbuka. Insidensi kekakuan atau necrosis avaskular
sangat meningkat dan di kemudian hari pasien dapat memerlukan
pembedahan rekonstruktif.
33

Osteoartritis. Osteoartritis sekunder sering terjadi dan diakibatkan oleh
(1) kerusakan cartilago pada saat dislocasi, (2) adanya fragmen yang
bertahan dalam sendi, atau (3) necrosis iskemik pada caput femoris.
Prognosis
Setelah dislokasi panggul, fungsi panggul yang baik masih dapat kembali asalkan
tidak terjadi necrosis avaskular atau artritis traumatik dari caput femoris. Reduksi
awal telah terbukti sebagai cara terbaik untuk mencegah necrosis avaskular
dengan cara mempersingkat waktu terganggunya sirkulasi caput femoris. Dalam
tinjauan Stewart dan Milford dalam 128 kasus fracture-dislocasi, mereka tidak
mendapatkan hasil yang baik pada kasus dislocasi yang direduksi lebih dari 24
jam. Mereka melaporkan necrosis avaskular pada 15,5% kasus yang diterapi
dengan reduksi tertutup dan pada 40% kasus yang diterapi dengan reduksi
terbuka.
36
Dalam laporannya mengenai 262 kasus dislocasi dan fracture-dislocasi,
Brav menemukan kejadian necrosis avaskular sebesar 17,6% pada panggul yang
direduksi dalam waktu 12 jam setelah cedera dan 56,9% pada panggul yang
direduksi setelah 12 jam. Hougard dan thomsen melaporkan necrosis avaskular
sebesar 4% pada panggul yang direduksi dalam waktu 6 jam dan 58% pada
panggul yang tetap mengalami dislocasi selama lebih dari 6 jam.
30

Penundaan weight bearing memberikan dampak yang kecil dalam perkembangan
necrosis avaskular. Brav, dalam laporan mengenai 523 pasien, menemukan
insiden necrosis avaskular sebesar 25,7% pada kelompok pasien yang memulai
menopang berat tubuh sebelum 12 minggu dan 26,6% pada kelompok pasien
memulai menopang berat tubuh setelah 12 minggu.
30




DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A. Graham, APLEYS SYSTEM OF ORTHOPAEDICS AND
FRACTURE 7
th
edition, Great Britain, Bath Press.
2. Platzer, Werner. Color Atlas of Human Anatomy, Vol. 1: Locomotor
System. Edisi ke-5. 2004. Hal 198.
3. Salomon L, Ganz R, Leunig M, Monsell F, Learmonth I. The hip. Dalam: :
Salomon L, Warwick D, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedic and
Fractures. Edisi ke-9. London; 2010. Hal 498-503.
4. Barlow TG. Early diagnosis and treatment of congenital dislocation of the
hip. J Bone Joint Surg;1962. 44B: 292301.
5. Catterall A. Assessment of adolescent acetabular dysplasia. In Recent
Advances in Orthopaedics 6 (ed. A. Catterall), Churchill Livingstone,
Edinburgh; 1992.
6. Harcke T, Kumar J. The role of ultrasound in the diagnosis and
management of congenital dislocation and dysplasia of the hip. J Bone
Joint Surg; 1993. 73A: 6228.
7. Jones DA. Principles of screening and congenital dislocation of the hip.
Ann R Coll Surg Engl; 1994. 76: 24550.
8. Wynne-Davies R. Acetabular dysplasia and familial joint laxity: two
aetiological factors in congenital dislocation of the hip. J Bone Joint Surg;
1970. 52B: 70416.
9. Yamamuro T, Ishida K. Recent advances in the prevention, early diagnosis
and treatment of congenital dislocation of the hip in Japan. Clin Orthop
Relat Res; 1984. 184: 3440.
10. Lavelle DG. Fractures and dislocations of the hip. Dalam: Canale ST,
Beaty JH. Campbells Operative Orthopaedics. Edisi ke-11. Philadelphia:
Elsevier; 2009. Hal 3286-98.
11. Guyton JL, Perez EA. Fractures of acetabulum and pelvis. Dalam: Canale
ST, Beaty JH. Campbells Operative Orthopaedics. Edisi ke-11.
Philadelphia: Elsevier; 2009. Hal 3309-30.
12. Thompson VP, Epstein VP. Traumatic dislocation of the hip. J Bone Joint
Surg; 1951. 33A: 74678.
13. Tornetta P III, Mostafavi HR. Hip Dislocation: Current Treatment
Regimens. J Am Acad Orthop Surg; 1997. 5(1): 2736.
14. Nayagam S. Injuries of the hip and femur. Dalam: Salomon L, Warwick
D, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedic and Fractures. Edisi ke-9.
London; 2010. Hal 843-47.
15. Brooks RA, Ribbans WJ: Diagnosis and imaging studies of traumatic hip
dislocations in the adult, Clin Orthop Relat Res 377:15, 2000.
16. Canale ST, Manugian AH: Irreducible traumatic dislocations of the hip, J
Bone Joint Surg; 1979. 61A:7.
17. Cornwall R, Radomisli TE: Nerve injury in traumatic dislocation of the
hip, Clin Orthop Relat Res 377:84, 2000.
18. DeLee JC, Evans JA, Thomas J: Anterior dislocation of the hip and
associated femoral-head fractures, J Bone Joint Surg;1980. 62A:960.
19. Dreinhofer KE, Schwarzkopf SR, Haas NP, et al: Isolated traumatic
dislocation of the hip: long-term results in 50 patients, J Bone Joint Surg;
1994. 76B:6.
20. Epstein HC: Posterior fracture-dislocations of the hip, J Bone Joint Surg;
1961. 43A:1079.
21. Epstein HC: Traumatic anterior and simple posterior dislocations of the
hip in adults and children, Instr Course Lect 22:115, 1973. Epstein HC:
Traumatic dislocations of the hip, Clin Orthop Relat Res; 1973. 92:116.
22. Epstein HC: Posterior fracture-dislocation of the hip: long-term follow-up,
J Bone Joint Surg 56A:1103, 1974.
23. Epstein HC: Traumatic dislocation of the hip, Baltimore, 1980, Williams
& Wilkins.
24. Epstein HC, Harvey JP: Traumatic anterior dislocations of the hip,
management and results: an analysis of fifty-five cases, J Bone Joint Surg;
1972. 54A:1561.
25. Epstein HC, Wiss DA, Cozen L: Posterior fracture dislocation of the hip
with fractures of the femoral head, Clin Orthop Relat Res; 1985201:9.
26. Goddard NJ: Classification of traumatic hip dislocation, Clin Orthop Relat
Res; 2000. 377:11.
27. Gregory CF: Early complications of dislocation and fracture dislocations
of the hip joint, Instr Course Lect; 1973.22:105.
28. Hougaard K, Thomsen PB: Traumatic posterior fracture-dislocation of the
hip with fracture of the femoral head or neck, or both, J Bone Joint
Surg;1988. 70A:233.
29. Salomon L. Injuries of the pelvis. Dalam: Salomon L, Warwick D,
Nayagam S. Apleys System of Orthopaedic and Fractures. Edisi ke-9.
London; 2010. Hal 837-41.
30. Letournel E, Judet R: Fractures of the acetabulum. Edisi ke-2. New York:
Springer-Verlag; 1993.

Anda mungkin juga menyukai