Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker (Lesmana, 2004). Diseluruh dunia sirosis hepatis menempati
urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun
akibat penyakit ini. Sirosis hepatis merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam
ruang perawatan dalam. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju,
maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat kedokter hanya kira-kira 30% daris eluruh
populasi penyakit ini dan lebih dari 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat,
sisanya ditemukan saat otopsi (Sutadi, 2003). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO),
pada tahun 2000 sekitar 170 juta umat manusia terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi
sekitar 3% dari seluruh populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis
hepatis bertambah 3-4 juta orang.
Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti belum diketahui.
Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2003 di Indonesia berkisar antara 1-2,4%.
Dari rata-rata prevalensi (1,7%), diperkirakan lebih dari 7 juta penduduk Indonesia mengidap
sirosis hepatis (Anonim, 2008). Menurut Ali (2004), angka kasus penyakit hati menahun di
Indonesia sangat tinggi. Jika tidak segera diobati, penyakit itu dapat berkembang menjadi
sirosis atau kanker hati, sekitar 20 juta penduduk Indonesia terserang penyakit hati menahun.
Angka ini merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi hepatitis B di
Indonesia yang berkisar 5-10 persen dan hepatitis C sekitar 2-3 persen. Dalam perjalanan
penyakitnya, 20-40 persendari jumlah penderita penyakit hati menahun itu akan menjadi
sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa lama seseorang menderita
hepatitis menahun itu. Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh
dunia termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki
dibandingkan kaumwanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).






ANATOMI HEPAR
Hepar adalah organ intestinal terbesar dengan berat antara 1,2-,1,8 kg atau kurang lebih 25%
berat badan orang dewasa yang menempati sebagian besar kuadran kanan atas abdomen dan
merupakan pusat metabolisme tubuh dengan fungsi yang sangat kompleks. Hepar menempati
daerah hipokondrium kanan tetapi lobus kiri dari hepar meluas sampai ke epigastrium. Hepar
berbatasan dengan diafragma pada bagian superior dan bagian inferior hepar mengikuti
bentuk dari batas kosta kanan. Hepar secara anatomis terdiri dari lobus kanan yang berukuran
lebih besar dan lobus kiri yang berukuran lebih kecil. Lobus kanan dan kiri dipisahkan oleh
ligamentum falsiforme. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior oleh
fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen
medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar. Pada daerah antara
ligamentum falsiform dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus
kuadratus dan lobus kaudatus yang tertutup oleh vena cava inferior dan ligamentum venosum
pada permukaan posterior. Permukaan hepar diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali
daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa
ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum
terdapat jaringan ikat padatyang disebut sebagai kapsula Glisson, yang meliputi permukaan
seluruh organ; bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka
untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fisura
pada hepar tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya duktus
hepatika.
Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta
hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika keluar dari aorta dan
memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk ke hepar membentuk jaringan
kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena akan keluar sebagai vena hepatica. Vena
hepatica mengembalikan darah dari hepar ke vena kava inferior. Vena porta yang terbentuk
dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan 20% darahnya ke hepar,
darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70 % sebab beberapa O2 telah diambil olehl
impa dan usus. Darah yang berasal dari vena porta bersentuhan erat dengan sel hepar dan
setiap lobulus dilewati oleh sebuah pembuluh sinusoid atau kapiler hepatika. Pembuluh darah
halus yang berjalan di antara lobulus hepar disebutvena interlobular.
Vena porta membawa darah yang kaya dengan bahan makanan darisaluran cerna, dan arteri
hepatika membawa darah yang kaya oksigen dari sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini
bercabang menjadi pembuluh-pembuluh yanglebih kecil membentuk kapiler di antara sel-sel
hepar yang membentuk lamina hepatika. Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam
vena kecil di bagian tengah masing-
masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-
pembuluh ini membawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi
yang telah dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang
telah deoksigenasi. Selain vena porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum
interlobularis. Anterior ini menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan
septum diantara lobules yang berdekatan, dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinu
soid hepar, paling sering pada sepertiga jarak ke septum interlobularis
Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,sedangkan sisanya
terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang bermakna dan sel-sel non
parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium,sel Kuppfer dan sel Stellata yang
berbentuk seperti bintang. Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun
melingkari eferenvena hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui
arterihepatica dan vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan
penguranganoksigen secara bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi
pentingkerentanan jaringan terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan
langsung dengan sinusoid yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga
tampak pada sisi lain sel yang membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat
permulaan sekresi empedu. Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubungan
dan desmosom yang saling bertautan dengan disebelahnya. Sinusoid hepar memiliki lapisan
endothelial berpori yang dipisahkan darihepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal).
Sel-sel lain yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang
merupakan bagian pentingdalam sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel
Ito, liposit atau perisit) yang memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu
pengaturanaliran darah sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikankerusaka
n hepar. Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor kunci pembentukan
fibrosis di hepar.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosishepatik
yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dan arsitektur hepar
danpembentukan nodulus regeneratif. Gambaran ini terjadi akibar nekrosis hepatoselular.
Jaringan penunjang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan
vaskular,dan regenerasi nodularis parenkim hati.
Sirosis secara klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala
klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai dengan gejala-gejala dan tanda
klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proseshepatitis kronik
dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis. Hal ini hanya dapat dibedakan
melalui pemeriksaan biopsi hati.

Klasifikasi dan Etiologi
Sirosis secara konvensional diklasifikasikan sebagai makronodular (besar nodul >3mm) atau
mikronodular (besar nodul <3mm) atau campuran mikro dan makronodular. Selain itu, juga
diklasifikasikan berdasarkan etiologi, fungsional namun hal ini juga kurang memuaskan.
Sebagian besar jenis sirosis dapat diklasifikasikan secara etiologis dan morfologis menjadi:
1. Alkoholik
2. Kriptogenik dan Post Hepatitis (pasca necrosis)
3. Billiaris
4. Kardiak
5. Metabolik, keturunan, dan terkait obat.
Biologi dari sirosis hati disajikan dalam tabel 1. Dinegara barat yang tersering akibat
alkoholik, sedangkan di Indonesia terutama akibat infeksi virus Hepatitis B maupun C.
Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar
40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui
dan termasuk kelompok virus bukan B dan C (non B-non C). Alkohol sebagai penyebab
sirosis di Indonesia mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.






Tabel 1. Sebab-sebab Sirosis dan/atau Penyakit Hati Kronik
Penyakit Infeksi
Bruselosis
Ekinokokus
Skistosomiasis
Toksoplasmosis
Hepatitis Virus (Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis D, Sitomegalovirus)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi
1
-antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Penyakit simpanan glikogen
Hemokromatosis
Intoleransi fluktosa herediter
Tirosinemia herediter
Penyakit wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyakit perlemakan hati non alkoholik
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
Penyebab lain atau tidak terbukti
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Pintas jejunoileal
Sarkoidosis


INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Insidensi sirosis hepatis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibat penyakit hepar alkoholik dan infeksi virus kronik. Di Indonesia data
prevalensi sirosis hepatis belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan
saja.
Di RS Dr. SardjitoYogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien yang
dirawatdi Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun pada tahun 2004. DiMedan
dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hepatis sebanyak 819(4%) pasien dari
seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.
Penderita sirosis hepatis lebih banyak dijumpai pada laki-laki jika dibandingkan dengan
wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan umur 30 59 tahun
dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun.

Patologi dan Patogenesis
Sirosis alkoholik atau secara historis disebut sirosis Laennec ditandai oleh pembentukan
jaringan parut yang difuse, kehilangan sel-sel hati yang uniform, dan sedikit nodul
regeneratif. Sehingga kadang-kadang disebut sirosis mikronodular. Sirosis mikronodular
dapat pula diakibatkan oleh cedera hati lainnya. Tiga lesi hati utama akibat induksi alkohol
adalah: 1. Perlemakan hati alkoholik, 2. Hepatitis alkoholik, 3. Sirosis alkoholik.
Perlemakan Hati Alkoholik
Steatosis atau perlemakan hati, hepatosit teregang oleh vakuola lunakdalam sitoplasma
berbentuk makrovesikel yang mendorong inti hepatosit ke membran sel.
Hepatitis Alkoholik
Fibrosis perivenular berlanjut menjadi sirosis panlobular akibat masukan alkohol dan
destruksi hepatosit yang berkepanjangan. Fibrosis yang terjadi dapat berkontraksi ditempat
cedera dan merangsang pembentukan kolagen. Di daerah periportal dan peri sentral timbul
septa jaringan ikat seperti jaring yang akhirnya menghubungkan triad portal dengan vena
sentralis. Jalinan jaringan ikat halus ini mengelilingi masa kecil sel hati yang masih ada yang
lemudian mengalami regenerasi dan mebentuk nodulus. Namun demikian kerusakan sel yang
terjadi melebihi perbaikannya. Penimbunan kolagen terus berlanjut, ukuran hati mengecil.
Berbenjol-benjol (nodular) menjadi keras, terbentuk sirosis alkoholik.
Mekanisme cedera hati alkoholik masih belum pasti. Diperkirakan mekanismenya sebagai
berikut:1) Hipoksis sentrilobular, metabolisme asetaldehid etanol meningkatkan konsumsi
oksigen lobular, terjadi hipoksemia relatif dan cedera sel didaerah yang jauh dari aliran darah
yang teroksigenasi (misal daerah perisentral); 2)Infiltrasi atau aktivitas neutrofil, terjadi
pelepasan chemoattractants neutrofil oleh hepatosit yang memetabolisme etanol.Cedera
jaringan dapat terjadi dari neutrofil dan hepatosit yang melepaskan intermediet oksigen
reaktif, proteasa, dan sitokin; 3) Formasi acetaldehyde-protein adducts berperan sebagai
neoantigen, dan menghasilkan limfosit yang tersensitisasi serta antibodi spesifik yang
menyerang hepatosit pembawa antigen ini; 4) Pembentukan radikal bebas oleh jalur alternatif
dari metabolisme etanol, disebut sistem yang mengoksidasi enzim mikrosomal.
Patogenesis fibrosis alkoholik meliputi banyak sitokin, antara lain faktor nekrosis tumor,
interleukin-1, PDGF, dan TGF-beta. Asetildehid kemungkinan mengaktifasi sel stelata tetapi
bukan faktor patogenik utama pada fibrosis alkoholik.
Sirosis Hati Pasca Nekrosis
Gambaran patologi hati biasanya mengkerut, berbentuk tidak teratur, dan terdiri dari nodulus
sel hati yang dipisahkan oleh pita fibrosis yang padat dan lebar. Gambaran mikroskopik
konsisten dengan gambaran makroskopik. Ukuran nodulus sangat bervariasi, dengan
sejumlah besar jaringan ikat memisahkan pulau parenkim regenerasi yang susunannya tidak
teratur.
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya peranan sel
stelata (stellata cel). Dalam keadaan normal sel stelata mempunyai peran dalam pembentukan
matriks ekstraseluler dan proses degradasi. Pembentukan fibrosis menunjukan perubahan
proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus menerus
(misal: hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik), maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam sel
stelata, dan jaringan hati yang normal akan digantikan oleh jaringan ikat.
Sirosis hati yang disebabkan oleh etiologi lain frekuensinya sangat kecil.

Manifestasi Klinis
Gejala-gejala sirosis
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada waktu pasien
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena kelainan penyakit lain. Gejala awal
sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang,
perut terasa kembung , mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut
(dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati
dan hipertensi porta, meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur dan demam yang tak
begitu tinggi. Mungkin disertai dengan adanya gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi,
epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarma sseperti teh pekat,
muntah darah dan/melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi,
bingung, agitasi, sampai koma.
Temuan Klinis
Temuan klinis sirosi meliputi spiderangioma- spiderangiomata (spider telengiektasis), suatu
lesi vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering ditemuklan dibahu,
muka dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum diketahui, ada anggapan dikaitkan
dengan peningkatan rasio estradiol/tedtosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan selama
hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau umumnya ukuran
lesi kecil.
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan. Hal ini juga
dikaitkan dengan perubahan metabolisme hormon esterogen. Tanda ini juga tidak spesifik
pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis reumatoid, hipertiroidisme dan
keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan dengan warna
normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan adanya hipoalbuminemia.
Tanda ini juga bisa ditemukan pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom
nefrotik.
Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis bilier. Osteoarthropati hipertropi suatu
periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia palmaris menimbulkan kontarktur fleksi jari-jari
berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini
juga bisa ditemukan pada pasien DM, distrofi refleks simpatetik, dan perokok yang juga
mengkonsumsi alkohol.
Ginekomasti secara histologi berupa proliferasi benigna jaringan glandula mammae laki-laki,
kemungkinan akibat peningkatan androstenedion. Selain itu ditemukan juga hilangnya
rambut dada dan aksila pada laki-laki. Sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah
feminimisme. Kebalikannya pada perampuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase
menopause.
Atropi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertil. Tanda ini menonjol pada
alkoholik sirosis den hemokromatosis.
Hepatomegali, ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal atau mengecil. Bilamanahati
teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali, sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya nonalkoholik.
Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi portal.
Asites, penimbuna cairan dalam rongga peritonium akibat hipertensi porta dan
hipoalbuminemia. Caput medusa juga sebagai akibat hipertensi porta.
Fetor hepatikum, bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan peningkatan
konsentrasi dimetil-sulfid akibat pintasan porto sistemik yang berat.
Ikterus pada kulit dan membran mukosa akibat bilirubinemia. Bila konsentrasi bilirubin
kurang dari 2-3 mg/dl tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Asterixis-bilateral tetapi tidak sinkron berupa gerakan mengepak-ngepak dari tangan,
dorsofleksi tangan.
Tanda-tanda lain yang menyertai diantaranya:
Demam yang tinggi akibat nekrosis hepar
Batu pada vesika fellea akibat hemolisis
Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ni akibat sekunder
infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
Diabetes melitus dialami 15-30% pasien sirosis. Hal ini akibat resistensi insulin dan tidak
adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Gambaran Laboratoris
Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada waktu seseorang
memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrinning untuk evaluasi keluhan spesifik. Tes
fungsi hati meliputi aminotransferase, alkali fosfatase, gama glutamil transpeptidase,
bilirubin, albumin, dan waktu protrombin.
Aspartat aminotransferase (AST) atau serun glutamil oksaloaetat (SGOT) dan alanin
aminotransferase (ALT) atau serum glutamin piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi
tak begittu tinggi. AST lebih meningkat daripada ALT, namun bila transaminase normal
tidak mengenyampingkan adanya sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas. Konsentrasi yang tinggi
bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer dan sirosis bilier primer.
Gama-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya seperti halnya alkali fosfatase pada
penyakit hati. Konsentrasinya timggi pada penyakit hati alkoholik kronik. Karena alkohol
menginduksi GGT mikrosomal hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari
hepatosit. Bilirubin, konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tapi bisa
meninglat pada sirosis yang lanjut.
Albumin, sintesisnya terjadi di jaringan hati, konsentrasinya menurun sesuai dengan
perburukan sirosis.
Globulin, konsentrasinya meningkat pada sirosis. Akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari sistem porta ke jaringan limfoid, selanjutnya menginduksi produksi
imunoglobulin.
Waktu Protrombin mencerminkan derajat atau tingkatan disfungsi sintesis hati,sehingga pada
sirosis memanjang.
Natrium serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan eksresi air bebas.
Kelainan hematologi anemia, penyebabnya bisa bermacam-macam, anemia normokrom,
normositer, hipokrom mikrositer atau hipokrom makrositer. Anemia dengan trombositopenia,
leukopenia, dan netropenia akibat splenomegali kongestif berkaitan dengan hipertensi porta
sehingga terjadi hipersplenisme.
Pemeriksaan radiologie barium meal dapat melihat varises untuk Konfirmasi adanya
hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya
non invasive dan mudah digunakan, namun sensitifitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang
bisa dinilai dengan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan
adanya masa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan irregular, daqn
adanya peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa untuk melihat asites,
splenomegaly, thrombosis vena porta dan pelebaran vena porta, serta skrining adanya
karsinoma hati pada pasien sirosis.
Tomografi komputerisasi, informasinya sama dengan USG, tidak rutin digunakan karena
baiayanya relative mahal.
Magnetic resonance imaging, peranannya tidak jelas dalam mendiagnosis sirosis selain mahal
biayanya.
DIAGNOSIS
Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosis
sirosis hati. Pada proses lanjutan dari kompensasi sempurna mungkin bisa ditegakkan
diagnosis dengan bantuan pemeriksaan klinis yang cermat, laboratorium biokimia/serologi,
dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan
biopsy hati atau perioneoskopi karena sulit karena sulit membedakan hepatitis kronik aktif
yang berat dengan sirosis hati dini.
Pada stadium dekompensata diagnosis kadang kala tidak sulit karena gejala dan tanda-tanda
klinis sudah tampak dengan adanya komplikasi.
KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis tinggi akibat komplikasinya. Kualitas hidup pasien sirosis
diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan komplikasinya.
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain peritonitis bacterial spontan, yaitu infeksi cairan
asites oleh satu jenis bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oliguria, peningkatan
ureum, kreatinin tanpa adanya kelainan organik ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan
penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan filtrasi glomerulus.

Salah satu manifestasi hipertensi porta adalah varises esophagus. 20-40% pasien sirosis
dengan varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat
tinggi, sebanyak duapertiganya akan meninggal dalam waktu satu tahun walaupun dilakukan
tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.
Ensefalopati hepatic, merupakan kelainan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati. Mula-mula
ada gangguan tidur (insomnia dan hypersomnia), selanjutnya dapat timbul gangguan
kesadaran yang berlanjut sampai koma.
Pada sindrom hepatopulmonal terdapat hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal.
PENGOBATAN
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Terapi ditujukan mengurangi progresi
penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan
penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung
protein 1 g/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.
Tatalaksana pasien sirosis yang masih kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi
kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, di antaranya: alkohol
dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya.
Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi menjadi normal dan
diulang sesuai kebutuhan.
Pada penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudine (analog nukleosida) merupakan terapi utama.
Lamivudine sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu
tahun. Namun pemberian lamivudine setelah 9-12 bulan menimbulkan mutasi YMDD
sehingga terjadi resistensi obat. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU,
tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.
Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan terapi standar.
Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali seminggu dan
dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih mengarah kepada
peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa dating, menempatkan sel stelata sebagai
target pengobatan dan mediator fibrogenik akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk
mengurangi aktifasi dari sel stelata bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon mempunyai
aktivitas antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin
memiliki efek anti peradangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum terbukti
dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A juga dicobakan
sebagai anti fibrosis. Selain itu, obatobatan herbal juga sedang dalam penelitian.
Pengobatan Sirosis Dekompensata
Asites; tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau
90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan
pemberian spironolakton tidak adekuat bisa dikombinasi dengan furosemide dengan dosis 20-
40 mg/hari. Pemberian furosemide bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal
dosisnya 160 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.
Ensefalopati Hepatik; laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin
bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia, diet protein dikurangi
sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai
cabang.
Varises Esofagus; sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat beta
(propranolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligase endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan; diberikan antibiotika seperti sefotaksim intravena, amoksilin,
atau aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal; mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mangatur keseimbangan
garam dan air.
Transplantasi hati; terapi definitive pada pasien sirosis dekompensata. Namun sebelum
dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.
PROGNOSIS
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah factor, ,eliputi etiologi, beratnya
kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.
Klasifikasi Child-Pugh (Tabel2), juga untuk menilai prognosis pasien sirosis yang akan
menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada tidaknya asites
dan ensefalopati juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri Child A, B, dan C. klasifikasi Child-
Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka kelangsungan hidup selama satu tahun
untuk pasien dengan Child A,B, dan C berturut-turut 100, 80, dan 45%.
Penilaian prognosis yang terbaru adalah Model for End Stage Liver Disease (MELD)
digunakan untuk pasien sirosis yang akan dilakukan transplantasi hati.

Anda mungkin juga menyukai