TRAFFICKING) dan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU A. Pengertian Perdagangan Perempuan Sebelum kita membahas tentang perdagangan perempuan dewasa, kita harus mengerti dahulu apakah perempuan dewasa itu. Perempuan dewasa adalah seseorang yang telah mempunyai usia diatas delapan belas (18) tahun, menurut perundang- undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam penulisan ini penulis menggunakan istilah perdagangan orang atau human trafficking atau trafficking in person (istilah ini biasa dipergunakan di Kepolisian). Sedangkan trafiking sebagai indonesianisasi dari istilah asing dalam bahasa Inggris human trafficking yang biasa disebut dengan trafficking. Yang dimaksud dengan perdagangan orang atau human trafficking adalah perdagangan yang sebagai korbannya perempuan baik yang dewasa maupun anak. Perdagangan perempuan (women trafficking) merupakan bagian dari perdagangan orang (human trafficking), maka penulis akan memberikan beberapa pengertian perdagangan perempuan (women trafficking) sebagai berikut: Perdagangan manusia ( human trafficking ) dahulu dapat di artikan sebagai pemindahan dengan pemaksaan perempuan melintasi batas negara untuk tujuan prostitusi. Saat ini, trafficking di artikan sebagai perpindahan orang dengan paksaan, terutama perempuan dan anak dengan atau sepengetahuan mereka, baik di dalam maupun di luar negeri untuk tujuan eksploitasi tenaga kerja, prostitusi dan perkawinan yang tidak seimbang ( servile marrige ). Jadi ada peluasan definisi agar mencakup masalah dan tindak kekerasan yang telah luas lagi. 1 Istilah perdagangan manusia pertama kali digunakan untuk mendeskripsikan mengenai perpindahan wanita dan anak-anak untuk tujuan prostitusi, lalu berkembang menjadi perpindahan manusia yang pelakunya menggunakan cara mempengaruhi, membohongi, menculik, dengan tujuan untuk perbudakan, prostitusi, dan berbagai bentuk eksplotasi manusia yang lainnya 2 . Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) mendefinisikan human trafficking atau perdagangan manusia sebagai: Perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. (Protokol PBB tahun 2000 untuk Mencegah, Menanggulangi dan Menghukum Trafiking terhadap Manusia, khususnya perempuan dan anak-anak; Suplemen Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara) 3 . GAATW misalnya, mendefinisikan perdagangan manusia adalah : Semua usaha atau tindakan yang berkaitan dengan perekrutan, transportasi di dalam atau melintasi perbatasan, pembelian, penjualan, transfer pengiriman atau penerimaan seseorang dengan
1 .(m. wijers & L. Lap-chew, Trafficking in Women Forced Labour and Slavery-like Practices in Marrige, Domestic Labour, and Prostitution, (the Netherlands : Foundation Against Trafficking in Women, 1999) , page 23-24 2 http://noanggie.wordpress.com/2008/07/08/undang-undang-no-21-tahun-2007-angin-segar- dalam- pemberantasan-tindak-pidana-perdagangan-orang-tppo/ 3 http://www.idlo.int/bandaacehawareness menggunakan penipuan atau tekanan, termasuk penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan atau penyalahgunaan kekuasaan atau lilitan hutang dengan tujuan untuk menempatkan atau menahan orang tersebut baik dibayar ataupun tidak, uintuk kerja yang tidak diinginkannya (domestik, seksual atau produktif) dalam kerja paksa atau ikatan kerja atau dalam kondisi seperti perbudakan dalam suatu lingkungan lain dari tempat dimana orang itu tinggal pada waktu penipuan, tekanan atau lilitan hutang pertama kali 4 Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagangan manusia di Indonesia, sehingga sampai pada pemahaman bahwa yang termasuk unsur-unsur kejahatan perdagangan orang adalah adanya suatu proses, cara, dan tujuan yang untuk kemudian akan diatur lebih jelas dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam definisinya menekankan adanya tiga elemen penting dalam konsep trafficking, yaitu rekrutmen, transportasi dan lintas batas negara. Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 21 Tahun 2007 memuat tentang pengertian perdagangan orang adalah ( tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibtkan orang lain tereksploitasi ). 5 Pengertian yang diberikan oleh
5 Ibit hal 3 Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini perumusannya hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 3 protokol, tambahan terhadap konvensi PBB melawan kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000. Perumusan yang terdapat dalam Pasal 3 protokol tersebut dijadikan pedoman dalam penyelesaian kasus tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan Surat Edaran/ Instruksi JAMPIDUM No. B-185/E/Ejp/03/2005). Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan, pemaksaan, kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang . Definisi ini dibutuhkan untuk menentukan apakah suatu kasus lalu lintas manusia merupakan trafficking atau migrasi biasa. Definisi dari protokol PBB yang luas ini setidaknya menyediakan perangkat hukum internasional (yang diadopsi ke dalam hukum nasional) untuk menjaring kejahatan perdagangan manusia yang selama ini tidak mudah dijerat oleh hukum yang ada. Dalam hukum Indonesia sendiri jika korban menerima dengan sukarela peristiwa trafficking itu (korban tahu dan menyadari bahwa ia diperdagangkan) tidak bisa ditindak secara hukum. Selama ini yang bisa ditindak adalah perekrutan paksa, yakni korban dibujuk atau dipaksa, disekap, untuk melakukan pekerjaan tertentu yang tidak sesuai dengan janjinya dan ada unsur tindak pidananya. Istilah tindak pidana diambil dari bahasa Belanda, yaitu Het Strafbare Feit, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai : 6 1. Perbuatan yang boleh dihukum; 2. Peristiwa pidana; 3. Perbuatan pidana; 4. Tindak pidana. Para penterjemah atau yang menggunakan, memberikan sandaran masing-masing dan bahkan perumusan (pembatasan) pengertian dari istilah tersebut. Mengenai apa yang diartikan sebagai Strafbare Feit salah satu sarjana barat, yaitu Simons pun memberikan pengertian pembatasan yang berbeda, dalam bukunya yang berjudul Leerboek Van Het Netherlands Strafrecht merumuskan bahwa Een Strafbaar Feit adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechmatig), dilakukan dengan kesalahan (Schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab 7 . Penggunaan istilah trafficking dalam Bahasa Indonesia telah dimulai dalam definisi trafficking dalam KEPPRES Nomor 88 tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak yang menyebutkan batasan trafficking sebagai berikut : ( Trafficking Perempuan dan Anak adalah segala tindakan pelaku trafficking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan,
6 EY. Kanter dan SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta: Storia Grafika, 2002) hal. 204 7 Ibid., hal. 205 penampungan sementara. Dengan cara: ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan, misalnya ketika seorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dll, memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk paedophili), buruh migrant legal maupun illegal, adopsi anak, pekerja jermal, penganten pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, penjualan organ tubuh, bentuk eksploitasi lainnya). Sedangkan batasan Protokol PBB Tahun 2000 tentang trafficking adalah sebagai berikut (menurut terjemahan ICMC) : (Perdagangan manusia adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk- bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, muslihat, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, eksploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh). Trafficking dapat disebut juga rangkaian kegiatan dengan maksud eksploitasi terhadap perempuan dan atau anak yang meliputi kegiatan perdagangan manusia (trafiking) khususnya perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar Negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan, perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan utang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migrant legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Dalam Undang-undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang, jelas dari judulnya telah diartikan perdagangan orang sebagai tindak pidana. Dalam pertemuan pemetaan masalah kesehatan reproduksi kelompok khusus Komnas HAM yang dilaksanakan di Manado akhir bulan September 2006, calon korban trafficking yaitu anak dan perempuan dewasa dan korban trafficking dikelompokkan dalam kelompok khusus bersama dengan usia lanjut, penyandang cacat, pengungsi, buruh migran dan minoritas. Sedangkan dalam pengelompokan Komnas Perempuan terdapat masyarakat adat dan fakir miskin. Calon korban trafiking dan korban trafiking mengalami perlakuan melanggar HAM sehubungan dengan organ reproduksi, (dipaksa berhubungan kelamin, jika tidak bersedia dipukul disiram, diberi minum obat yang dia sendiri tidak tahu apa gunanya, tidak ada jaminan kesehatan, jika sakit bayar sendiri, perilaku sex menyimpang oleh pelanggan, sodomi, pedopilia) sehingga melanggar pasal 49 seperti telah disebutkan dalam awal tulisan ini. Saparinah Sadli menyebutkan bahwa trafiking adalah bentuk victimisasi perempuan. 8 Viktimisasi Perempuan : Korban perdagangan perempuan digolongkan sebagai kekerasan kriminal dalam relasi interpersonal. Namun, perlu dipahami bersama bahwa kekerasan kriminal bisa dilatarbelakangi oleh adanya pengalaman kekerasan dalam relasi intim perempuan yang menjadi korban perdagangan perempuan (seperti : mengalami kekerasan dalam keluarga, ingin keluar dari kondisi keluarga tidak harmonis). Sehingga viktimisasi perempuan dalam perdagangan perempuan juga dapat diselimuti oleh pengalaman perempuan korban yang cenderung dirahasiakan. Yang perlu disikapi adalah bahwa dua bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan mempunyai konsekuensi negatif terhadap kesehatan mental dan fisik perempuan korban perdagangan. Bentuk kekerasan berbasis gender yang dialaminya, bisa tergolong fisik, mental sampai dengan perkosaan dan ancaman dibunuh. Respons psikologis perempuan korban perdagangan perempuan akan bervariasi dari tidak selalu mewujud dalam simtom yang jelas (karena ada yang mampu mengontrol emosi diri). Respons psikologis dapat bervariasi dari stres ringan sampai dengan menunjukkan simtom depresi yang berat (seperti panic disorder dan post traumatic syndrome). Bagaimana caranya viktim atau perempuan korban mengevaluasi stresor akan ikut menentukan respons psikologisnya. Stres psikologis yang dialami viktim juga akan dipengaruhi oleh relasinya dengan lingkungannya seperti komitmennya terhadap orang- orang lain maupun keyakinannya dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan pengaruh faktor lingkungan banyak ditentukan oleh lamanya dan ambiguitas (ketidak
8 Sadli Saparinah dalam Lapian dan Geru, 2006 jelasan) stresor (seperti dikurung dalam tempat tertentu untuk jangka waktu yang tidak dapat ia pastikan) yang dihadapinya. Simtom post traumatic stres disorder (PTSD) seperti: obsesi, mimpi buruk (nightmare), dan fobia dianggap sebagai respons emosional perempuan korban terhadap kondisi traumatiknya. Beberapa contoh kasus trafiking kasus Timika ( I dan II ), kasus Mangole, kasus Sorong, kasus Penari Jepang, kasus Jayapura, kasus Samarinda, kasus kendari, kasus Batam/Singapura , kasus KM Hannah B. Modus Operandi yang Dipakai Dalam Perdagangan Perempuan. Identifikasi human trafficking mencangkup elemen pemindah tanganan seseorang dari satu pihak ke pihak lainnya, yang meliputi kegiatan rekuitmen, transportasi (pengangkutan/pemindahan), transfer (alih tangan), penampungan dan penerimaan, elemen berikutnya adalah menggunakan ancaman, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi ketidakberdayaan, penculikan, penipuan, pemberdayaan, pembayaran atau pemberian sesuatu untuk mendapatkan persetujuan (dari korban) atau untuk menguasai korban. Akhirnya elemen trafficking mencakup tujuan eksploitasi yang meliputi pemanfaatan orang dalam prostitusi atau dalam bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja paksa ( tenaga fisik maupun layanan jasa ), perbudakan atau praktek- praktek menyerupai perbudakan, penghambaan (sertvitude) atau pengambilan organ tubuh. 9 Proses perekrutan di industri seks internasional hampir serupa dengan proses perekrutan bagi buruh migran. Hal inilah yang membingungkan dan dapat menimbulkan masalah trafficking. Banyak kasus yang terjadi bahwa seorang perempuan dijanjikan
9 Lola wagner, Trafficking Perempuan dan Remaja untuk Tujuan Eksploitasi Seksual Komersial di Batam, Jurnal Perempuan No. 29, (Jakarta : Yayasan Perempuan, 2004), hal 22-30 untuk berkerja sebagai pembantu rumah tangga di luar negeri, tetapi sesampainya di tempat tujuan dia dipekerjakan di bar atau tempat karaoke dan kemudian dipaksa untuk menjadi pekerja seksual komersil (PSK). Pelaksanaan perdagangan orang khususnya yang bertujuan eksploitasi seksual komersial mengandung ha-hal penting yaitu adanya praktek penipuan dan pemaksaan terhadap korban, memanfaatkan ketidakberdayaan korban dan keluarga serta adanya eksploitasi yang keji dan menjadikan korban sebagai suatu komoditi yang dapat diperjual-belikan sesuka hati. Modus operandi yang dipakai atau dilakukan oleh pelaku atau sindikat perdagangan perempuan untuk kepentingan bisnis pelayanan jasa seksual komersial relatif bermacam-macam, ada yang sebagian dengan menggunakan cara penipuan dan bujuk rayu, tetapi tidak jarang juga terjadi dengan menggunakan kekerasan atau paksaan yang dilakukan oleh sindikat atau pelaku kejahatan agar mendapatkan perempuan untuk dijadikan pekerja seksual komersial. Umumnya pelaku, yang biasanya sudah berupa jaringan/sindikat, mencari korbannya ditempat - tempat ramai, seperti pusat pertokoan, mall, cafe - cafe. ada pula di sekolah - sekolah, tempat kursus. banyaknya pula yang mencari di daerah pinggiran kota atau desa - desa miskin. adapun cara kerja ( modus Operandi ) yang biasanya di pergunakan pelaku untuk menjerat korbannya : * Mula - mula pelaku menawarkan kebaikan seperti menawarkan minuman atau mengantar pulang. perlahan tapi pasti dan memperlihatkan sikap yang baik hingga menyakinkan korban bahwa mereka tidak bermaksud jahat. setelah beberapa kali berhubungan sebagai *teman*, mulailah sipelaku menunjukan niat yang sebenarnya. * atau bisa juga, pelaku mendatangi daerah - daerah pinggiran kota, terutama yang berada dibawah garis kemiskinan, mencari anak perempuan dan bertindak seolah - olah sebagai orang yang memiliki informasi tentang lowongan pekerjaan dengan gaji yang cukup besar. dengan dalih itu. korban dibawa pada seseorang yang dikenakan sebagai orang yang akan menolongnya memberikan pekerjaan. kemudian ternyata orang tersebut tak lain adalah seorang germo/ mucikari. * Cara yang lain yaitu dengan memanfaatkan teman sebaya atau teman dekat. anak yang sudah masuk dalam perangkap mereka., dipaksa untuk membujuk temannya agar bisa diajak dan masuk dalam sindikatnya. Perdagangan perempuan (women trafficking) untuk tujuan seksual komersial bisa saja terjadi juga di PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) dengan berbagai motif. Motif yang digunakan oleh PJTKI berupa iming-iming untuk dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan yang berada di luar negeri. Bagi calon buruh migran, biaya yang sudah dikeluarkan pertama kali dan dibayarkan kepada sponsornya akan bertambah ketika yang bersangkutan tiba di tempat/kota transit. Calon pekerja migran yang keberangkatannya diurus oleh sebuah agen PJTKI, untuk sementara waktu ditempatkan di rumah-rumah penampungan menunggu keberangkatan ke negara tujuan. Sementara hal yang mirip terjadi pada kasus-kasus untuk tujuan eksploitasi seksual, umumnya para korban tertipu dengan iming-iming biaya gratis mulai dari kampung halaman hingga sampai ke tempat kerja. Mereka baru sadar bahwa biaya yang telah dikeluarkan oleh perekrut atau penghubung merupakan utang yang kemudian hari dibebankan oleh majikan. Sehingga para pekerja mempunyai beban hutang kepada majikan, yang harus dibayar. Untuk membayarnya maka para pekerja dipekerjakan untuk diekploitasi seksual komersial atau pekerja seks komersial. Kerja seks komersial (commercial sex work) adalah pemberian layanan seks untuk melunasi utang atau keuntungan materiil. C. Ketentuan Yang Mengatur Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1. Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 2. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA) yang bertujuan untuk melindungi anak dari eksploitasi dan seksual 3. Keppres No. 87 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. 4. Keppres No. 88 tentang Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak D. Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) Ketentuan pidana dalam undang-undang ini diatur dalam Bab V dari pasal 37 sampai dengan pasal 43. ketentuan dalam undang-undang ini tidak secara khusus mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana kekerasan, melainkan mengatur mengenai perlindungan terhadap korban tindak pidana pada umumnya. a. Pasal 36 (1) Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). b. Pasal 37 Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). c. Pasal 38 Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). d. Pasal 39 Setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). e. Pasal 40 Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). f. Pasal 41 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). g. Pasal 42 (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim. E. Faktor Penyebab Perdagangan Perempuan ( trafficking) Menjajakan seks adalah bisnis yang besar, bisnis ini adalah bisnis yang cepat merambah dan kerapkali terjadi saling sikut sesama perantara atau pelaku bisnis ini. Sangat sulit untuk di pantau , dan kerapkali melanggar hokum yang dikaitkan dengan kejahatan teorganisir, seperti bar, club malam, panti pijat, club kesehatan, restoran remang-remang dan lain sebagainya yang menawarkan seks komersial maupun bentuk- bentuk hiburan dan jasa pelayanan yang berbau seksual. Trafficking bukan fenomena yang sederhana. Factor-faktor yang membuat perempuan rentan terhadap perdagangan seksual merupakan hal yang kompleks dan saling berjalinan satu sama lain. Factor-faktor yang berperan penting terhadap trafficking adalah : a . Kemiskinan Kemiskinan menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan terhadap trafficking, khususnya eksplotasi seksual komersil bagi perempuan-perempuan remaja atau yang baru tumbuh besar, karena kemiskinan mengakibatkan seseorang lebih mudah di tipu, apabila perempuan-perempuan tersebut menginginkan taraf hidup yang tinggi atau yang keinginannya selalu terpenuhi, sehingga lebih mudah di rayu untuk bekerja dikota besar dengan penghasilan yang lumayan besar. Kemiskinan merupakan penyebab perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual komersil. Namun kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam perdagangan. Di lain pihak banyak orang hidup diatas garis kemiskinan menjadi korban trafficking. Hal ini disebabkan alasan yang berbeda dari setiap orang tersebut, yaitu ada yang dikarenakan harus memberi makan keluarganya, sehingga terjerumus dalam perdagangan untuk eksploitasi seksual dan ada juga yang dikarenakan ingin meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri agar dapat memuaskan dirinys atau agar semua kebutuhannya yang di inginkan terpenuhi secara material, bahkan ada juga karena salah pergaulan. Selain kemiskinan, kurangnya kesempatan dalam memperoleh pekerjaan didesa merupakan factor pendorong bagi perempuan-perempuan remaja atau baru besar untuk bekerja ke kota besar yang menyebabkan mereka rentan terhadap trafficking. Hal ini ditambah lagi dengan hasrat untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar di kota maupun luar negeri mendorong orang dalam siklus migrasi dan menempatkan diri mereka dalam resiko trafficking.. b. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan yang rendah dan buta aksara juga merupakan factor yang merupakan kerentanan terhadap trafficking. Kurangnya pendidikan dan pelatihan menyebabkan perempuan sulit untuk mendapat pekerjaan untuk membantu keuangan keluarga dan kebutuhan pribadinya. Dengan tingkat pendidikannya yang rendah menyebabkan mereka (perempuan) hanya mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang rendah, seperti pramusaji, pembantu rumah tangga atau sales girl, itu lah salah satu penyebab mereka lebih mudah untuk jadi korban perdagangan seksual komersil. Dengan tingkat pendidikan formal yang rendah dan kurangnya pelatihan menyebabkan para perempuan dari desa hanya dapat mencari pekerjaan di sector informal, seperti pembantu rumah taangga, sehingga perempuan yang menempuh jalur illegal untuk dapat bekerja ke luar negeri, menyebabkan mereka tidak mendapatkan perlindungan hukum maupun mengetahui hak-hak mereka sehingga sangat rentan terhadap eksplotasi, khususna seksual komersil. Seringkali perempuan yang bekerja di luar negeri atau di kota besar dijanjikan secara lisan oleh agen untuk melakukan pekerjaan dengan jumlah gaji yang besar. Sehingga perempuan-perempuan tersebut tertarik dengan apa yang ditawarkan oleh agen atau orang yang menawarkan pekerjaan tersebut. Tetapi didalam kontrak yang dibuat, dengan ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka (perempuan) membaca kontrak, di sebutkanlah pekerjaan dan gaji yang berbeda dengan yang dijanjikan semula oleh agen atau orang tersebut. Hal ini sehingga membawa perempuan tersebut dalam kondisi rentan terhadap eksplotasi seksual komersil. c. Pergaulan Pedagangan perempuan sering terjadi karena salahnya pergaulan yang di jalani para perempuan yang sedang beranjak dewasa, banyak perempuan remaja yang pada jaman modern ini bermain di club-club malam yang mengakibatkan pergaulan bebas , mereka tidak sadar bahwa club-club malam tersebut akan menjerumuskan mereka ke dunia prostitusi, karena club malam tersebut banyak pria hidung belang dan wanita yang sering atau suka ke club malam biasanya di gambarkan sebagai wanita nakal oleh hidung belang atau trifficker, apabila perempuan ini terkena rayuan dari orang yang ingin memperdagangkan mereka untuk seksual komersial, biasanya perempuan ini termasuk pelacur elite. Pelacur elite termasuk pelacur yang jarang mempunyai penyakit kelamin atau AIDS, banyak penderita penyakit aids dikarenakan hubungan seksual 10 . Maka dari itu kita tidak di anjurkan untuk berganti pasangan dalam berhubungan seksual. Perempuan-perempuan jenis ini memiliki pelanggan-pelanggan terpilih dan jumlah lelaki yang di layani mereka pun sangat terbatas. Biasanya mereka luar biasa cantik, berpendidikan tinggi, dan sangat fasih dalam berbahasa inggris. Biasanya mereka juga bukan dari keluarga miskin, karena pergaulan saja mereka menjadi korban trafficking, dari itu mereka terjerumus ke dunia prostitusi, dan akhirnya mereka merasa enak dan senang melakukan pekerjaan ini karena mendapatkan penghasilan yang besar dan mendapatkan pergaulan luas serta teman yang banyak yang seperti di inginkan sebelumnya oleh para gadis ini. d. . Terbatasnya kesempatan kerja Meningkatnya jumlah penduduk usia kerja di Indonesia yang tidak diiringi dengan bertambahnya lapangan kerja menjadi persoalan pelik dinegeri ini. Keterbatasan pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja menyebabkan banyaknya lulusan
10 Hafids Wardah Penyakit Hubungan Seksual dan HIV/AiDS dari Perspektif Perempauan hal 27 pendidikan tinggi yang menjadi pengangguran. Apalagi bagi masyarakat miskin berpendidikan rendah tentunya banyak mengalami keterbatasan dalam menghadapi persaingan untuk mendapatkan pekerjaan. Keterbatasan lapangan pekerjaan menyebabkan masyarakat rentan terlibat dengan perdagangan orang. Tidak ada faktor tunggal yang mampu mewakili seluruh sebab terjadinya trafficking pada manusia. Hal ini dikarenakan banyaknya kepentingan yang membentuk dan menyebabkan terjadinya kasuskasus trafficking yang ada selama ini. Namun secara keseluruhan, termasuk didalamnya ; faktor kemiskinan, faktor keinginan menjadi kaya dengan jalan yang mudah dan cepat, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, kurangnya wawasan mengenai trafficking, dan lemahnya kinerja penegakkan hukum yang menyebabkan adanya Trafficking 11 Kemiskinan mendorong orang berusaha menyelesaikan persoalanpersoalan perekonomiannya, misalnya melunasi hutanghutang yang semakin membengkak dan memenuhi kebutuhan yang mendesak. Hal tersebut mendorong mereka mau melakukan pekerjaan apa saja demi menyelesaikan problem perekonomiannya yang sudah sangat kompleks, sehingga mengakibatkan terbuka kesempatan terjadinya trafiking. Tuntutan globalisasi zaman mendorong setiap orang berlombalomba meningkatkan taraf hidup mereka setinggi mungkin. Semua orang ingin cepat kaya dengan jalan semudah dan secepat mungkin. Hal ini mendorong segilintir orang bermigrasi ke negara lain untuk mencari pekerjaan dengan iming-iming gaji yang besar. Orangorang tersebut rentan menjadi korban trafiking. 12
11 http://:www.prakarsarakyat.org/download/Perundangundangan/Position%2520Paper%2520Elsa m%2520RUU%2520KUHP%25205.pdf+pengertian+Trafficking&hl=id&ct=clnk&cd=8&gl=id 12 Ibid Tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah membuat seseorang mengalami keterbatasan dalam kesempatan kerja. Hal ini mendorong orang tersebut mencari pekerjaan yang mudah dan tidak menuntut tingkat pendidikan maupun ketrampilan yang tinggi. Orang orang tersebut menjadi rentan menjadi korban trafiking karena kebiasaan mereka yang bermigrasi kesanakemari guna mencari pekerjaan yang menjanjikan bagi mereka. 13 Kurangnya wawasan masyarakat mengenai trafiking membuat masyarakat umumnya kurang memberi perhatian pada hal tersebut. Masyarakat menjadi kurang peka terhadap kasuskasus trafiking yang terjadi di sekitarnya sehingga cenderung tidak sadar dan waspada akan bahaya trafiking yang mengintainya karena mereka tidak tahu bagaimana cara pelaku trafiking menipu dan menjerat korbannya. Negara Indonesia memiliki konstitusi hukum yang dengan jelas mengatur perlindungan bagi masyarakatnya dari tindak trafiking. Kita punya UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), KUHP (Pasal 297), Keppres No 88 Tahun 2002 RAN Anti Trafiking. Namun sangat disayangkan penerapan aturanaturan hukum yang telah dibuat dengan tujuan yang baik dan tegas tidak dijalankan dengan baik dan tegas. Hal ini membuat tindak pidana perdagangan orang trafiking terus bertumbuh secara merajalela tanpa mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum 14 . Faktor penyebab Trafficking dapat disimpulkan, antara lain 15 : 1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafiking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
13 Ibid 14 Ibid 15 http://deirdre-peekaboo.blogspot.com/2008/11/ menyoroti-perdagangan-manusia.html 2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja,tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut 3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, diyakini menjadi salah satu pemicu trafiking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua 4. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafiking. 5. Gaya hidup yang materialistik / konsumerisme. Pengaruh kemajuan tekhnologi disamping membawa kehidupan ini menjadi positif juga membuat kehidupan ini menjadi negatif seperti pengaruh gencarnya iklan-iklan yang ditayangkan oleh media televisi terhadap kemudahan hidup yang di dapatkan secara instan menjadikan orang- orang yang melihatya berprilaku konsumtif dalam menjalani hidup. Akibatnya bagi orang yang tidak mampu, orang tersebut mencari jalan pintas demi untuk mendapatkan barang-barang tersebut dan terkadang jalan pintasnya adalah bekerja sebagai PSK atau pekerjaan yang berbahaya lainnya. F. Pihak-Pihak Yang Terlibat Perdagangan, pembelian dan penjualan perempuan untuk di jadikan pelacur merupakan perdagangan luas yang dikelola oleh jaringan raksasa. Beberapa dari mereka adalah para professional yang berpengalaman dalam industri seks. Proses perdagangan itu terjadi karena adanya permintaan yang besar bagi seks yang murah dan amat terjangkau, permintaan ini terus meningkat karena adanya keterbatasan bagi perempuan serta interaksi mereka terhadap pengetahuan perdagangan perempuan yang dijadikan pekerja seksual komersial. Perempuan yang diperdagangkan nyaris selalu berakhir di sejenis rumah bordil yang kumuh atau club, yang melayani sejumlah besar pelanggan demi uang yang tidak seberapa. Beberapa bahkan sama sekali ada yang tidak di bayar. Susunan industri ini serta cara perempuan masuk kedunia prostitusi sangat beragam, ada yang di ciduk, dipaksa atau dipikat ke dalamnya. Sesungguhnyalah sarana paling lazim untuk memperdagangkan perempuan muda kedalam industri seks di segenap penjuru Indonesia, khususnya kota-kota besar adalah janji untuk mendapatkan pekerjaan. Beberapa perempuan diberitahu jenis pekerjaan apa yang akan dilakukannya, namun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, banyak perempuan yang semula direkrut untuk dijadikan pembantu rumah tangga, pegawai restoran, atau untuk pekerjaan hiburan lain kemudian dipaksa untuk bekerja dalam industri seks komersial. 16 Namun Hanya sedikit sekali dari jenis-jenis pekerjaan itu yang sungguh-sungguh ada, tetapi bagi kebanyakan gadis itu pekerjaan demikian tidak berangsur lama bahkan tidak sepat di rasakan. Apabila sempat merasakan pkerjaan yang dijanjkan, itu hanyalah pos persinggahan dalam perjalanan menuju tempat atau rumah bordil.setelah seorang gadis remaja pergi dari kampung halamannya dan telah berada diluar perlindungan keluarga dan komunitasnya, maka ia kian menjadi tidak berdaya, dan ia hanya tinggal selangkah lagi menuju perdagangan seksual komesial atau masuk kedalam dunia prostitusi atau pelacuran. Yang dapat disebut sebagai pihak yang terlibat dalam perdagangan perempuan untuk pekerja seks komersial ( PSK )diantaranya adalah :
16 Rosenberg Ruth, Editor Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia, hal 20 a. Calo pengantin / pernikahan : calo merupakan perantara dalam pengantin pesanan. Calo pengantin merupakan trafficker jika mereka nantinya menghasilkan perkawinan yang menyebabkan perempuan itu tereksploitasi atau biasa juga disebut kawin kontrak (perkawinan yang waktunya sudah ditentukan untuk beberapa lama). Apabila pihak lelakinya kasar, pihak perempuan dan orang tua perempuan tersebut tidak akan menyalahkan perantara. 17 b. Orang tua dan kerabat : mereka adalah traffickers apabila dengan sadar menjual gadis atau kerabat perempuannya untuk menjadi pekerja seksual komersial, mereka juga merupakan traffickers jika mereka menerima uang pembayaran atas penghasilan bekerja mereka sebagai pekerja seksual komersial. c. Calo / agen : Memperoleh bayaran untuk setiap buruh yang direkrut. Mereka sering terlibat dalam praktek pemalsuan dokumen. Mereka terlibat ketika mereka membohongi orang yang direkrutnya mengenai kebenaran pekerjaan yang akan dilakukan dan gaji yang akan diterima. Sebagian calo/agen sacara sadar merekrut perempuan untuk industri seks dan banyak pula yang merekrut perempuan untuk industri seks tanpa menyadarinya. d. Germo : dalam kamus bahasa Indonesia berarti pemburu atau pengejar mangsa, juga biasa disebut dengan mucikari. Dalam perdagangan manusia, germo adalah orang yang perperan mengatur bagaimana para korban di eksploitasi untuk keuntungan sendiri. Germo bukan saja menjadi perantara tetapi juga menangani proses awal, mencari mangsa bahkan anak-anak yang masih dibawah umur untuk dilacurkan. Selain mempelopori cara penipuan dengan modus penyaluran tenaga kerja, germo
17 Yentriyani Andy, Politik Perdagangan Perempuan, hal 75 juga membangun jaringan yang sangat kuat khusus untuk perdagangan orang yang dilacurkan. e. Suami : suami yang menikahi dan kemudian mengirim istrinya ke sebuah tempat baru dengan tujuan untuk mengeksploitasi demi keuntungan ekonomi, menempatkanya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi, suami tersebut terlibat dalam perdagangan. Pihak-pihak yang terlibat dalam trafficking adalah: Pelaku Trafficking 18 1. Perusahaan perekrut tenaga kerja/PJTKI 2. Agen/calo tenaga kerja 3. Aparat pemerintah, jika memalsukan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran, dan memfasilitasi penyebrangan melintasi perbatasan secara illegal 4. Majikan, jika menempatkan pekerja secara eksploitatif . tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan seksual, fisik, memaksaterus bekerja aau menjerat pekerja dengan hutan 5. Pemilik atau pengelola rumah bordil. 6. Orang tua, sanak saudara dapat dianggap sebagai pelaku manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudarannya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sector industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka dengan penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi hutangnya dan menjerat anaknya libatan hutang.
18 http://www.ppsw.or.id/Greget/buruh-migran-trafficking.html 7. Suami juga bisa menjadi pelaku, jika ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim istrinya ke tempat baru untuk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak atau memaksanya melakukan prostitusi.