Anda di halaman 1dari 15

1

REFERAT
EFEK MERUGIKAN ANTIPSIKOTIK





Disusun oleh :
Bayu Budi Sukoco
H1A009012





FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
BENGKULU
2014
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Tujuan .......................................................................................................... 1
1.3. Manfaat ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1. Antipsikotik ................................................................................................. 3
2.2. Klasifikasi Antipsikotik ............................................................................... 3
2.3. Efek Merugikan Antipsikotik ....................................................................... 4
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 12
3.1. Kesimpulan ................................................................................................... 12
3.2. Saran ............................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 13








3

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Sejak ditemukannya klorpromazin, suatu neuroleptik golongan fenotiazin pada tahun
1950, pengobatan untuk psikosis terutama skizofrenia terus dikembangkan. Istilah
neuroleptik sebagai sinonim antipsikotik berkembang dari kenyataan bahwa obat antipsikotik
sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan dikembangkannya
golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak
lagi dapat dianggap sinonim dari istilah antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua
antipsikotik yaitu haloperidol, yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade
5
.
Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit menyebakan
reaksi ekstrapiramidal (EPS : extrapyramidal symptom) yang umum terjadi dengan obat
antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan klozapin, pengembangan
obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini terlihat dengan ditemukannya obat
baru yaitu risperidon, olanzapin, zotepin, ziprasidon dan lainnya
5
.
Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam
menghambat resepor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang
lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4,
serotonin, histamin, reseptor muskarinik, dan reseptor alfa adrenergik. Golongan antipsikotik
atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun
gejala negatif (miskin kata-kata, afek yang datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif
menurun) pasien skizofrenia. Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk
gejala positif
5
.

1.2. Tujuan
Menjelaskan berbagai efek merugikan dari obat antipsikotik
4

1.3. Manfaat
a. Menambah pengetahuan tentang berbagai efek merugikan dari obat antipsikotik
b. Memberikan masukan untuk pengobatan yang efektif dengan efek merugikan yang
minimal





















5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antipsikotik
Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu gangguan
jiwa berat. Ciri terpenting obat antipsikotik adalah (1) berefek antipsikosis; (2) dosis besar
tidak menyebabkan koma dalam ataupun anestesia; (3) dapat menimbulkan gejala
ekstrapiramidal yang reversibel atau irreversibel. Pada neuroleptik yang lebih baru, efek
samping ini minimal sehingga antipsikotik menurut efek samping ekstrapiramidal yang
ditimbulkan terbagi menjadi antipsikotik tipikal dan atipikal; (4) tidak ada kecenderungan
untuk menimbulkan ketergantungan fisik dan psikis.
5

Efek samping ini ada yang dapat ditolerir oleh pasien , ada yang lambat dan ada yang
sampai membutuhkan obat simptomatis untuk meringankan penderitaan pasien. Dalam
penggunaan obat antipsikotik yang ingin dicapai adalah optimal response with minimal side
effect. Efek samping juga dapat irreversible, seperti (gerakan berulang involunter pada :
lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut
menghilang).
4


2.2. Klasifikasi Antipsikotik
Obat antipsikotik diklasifikasikan sebagai berikut:
5

A. Antipsikosis tipikal golongan fenotiazin : Klorpromazin, flufenazin,
perfenazin,tioridazin, trifluperazin
B. Antipsikosis tipikal golongan lain : Klorprotiksen, droperidol, haloperidol, loksapin,
molindon, tioktiksen
C. Antipsikosis atipikal : Klozapin, olanzapin, risperidon, quetiapin, sulpirid, ziprasidon,
aripriprazol, zotepin, amilsulpirid


6




2.3. Efek Merugikan Antipsikotik
Kebanyakan efek-efek yang tidak diinginkan dari obat-obat antnipsikotik merupakan
perluasan dari dampak farmakologis obat itu sendiri, tetapi beberapa diantaranya merupakan
alergi dan ada yang idiosinkratik
3
.
Antipsikotik Generasi pertama (FGAs) bekerja dengan memblokade neuroreseptor
dopamin D2. Untuk mendiskusikan perbedaan efek samping dari FGAs (First Generation
Antipsychotic), kita menggunakan istilah low potency dan high potency, tidak ditujukan
untuk efektivitas klinis, tetapi untuk menyatakan kemampuan dalam mengikat neuroreseptor
dopamin D2 ini.
Antipsikotik Genersi Kedua (SGAs) di perkenalkan pada tahunn 1989 ketika peneliti
menemukan clozapin yang lebih efektif dari clorpromazine, dengan gejala ekstrapiramidal
yang lebih sedikit. Antipsikotik baru ini dianggap atipikal karena target obat ini neuroreseptor
selain dopamin. Dengan pengecualian clozapin lebih efektif untuk pengobatan pasien
resistan, pemilihan antipsikotik bergantung pada potensi efek samping pada masing-masing
individu.



7


Efek-efek yang tidak diinginkan pada pengobatan menggunakan antipsikotik (Tabel 3):
2

A. Sedasi
Sedasi adalah umum terjadi dengan penggunaan obat antipsikotik dan efek samping
ini terkait dosis. Ini dapat menjadi penyebab kurangnya kepatuhan dan jika terus-
menurus dapat mengganggu fungsi sosial dan fungsi khusus. Banyak pasien menjadi
toleran terhadap efek sedatif seiring berjalannya waktu. FGA Low potencys dan
clozapin adalah yang paling berefek sedatif, dengan beberapa efek dari olanzapin
(zyprexa) dan quetiapin (seroquel). Mengantuk dapat diatasi dengan menurunkan
dosis, berubah ke dosis tunggal tidur, atau beralih ke obet dengan efek sedasi yang
lemah
2
.

B. Hipotensi
Hipotensi dapat terjadi dengan semua pengobatan antipsikotik, tergantung pada
derajat antagonis 1-adrenoreceptor, terutama FGAs low potency dan clozapin. Hal
ini juga dapat terjadi dengan penggunaan risperidon (risperdal) dan queitapin,
terutama dengan titrasi cepat. Efek ini lebih sering terjadi pada orang dewasa tua,
sedang mengkonsumsi obat tekanan darah, dan mereka yang memiliki penyakit
kardiovaskular. Dengan dosis titrasi yang hati-hati pasien mungkin dapat toleran
dengan efek ini. Pilihan untuk menangani efek ini termasuk penurunan atau membagi
dosis atau beralih ke pengobatan dengan efek antiadrenergik yang lebih rendah.

C. Efek antikolinergik
Efek antikolinergik termasuk sembelit, retensi urin, mulut kering, penglihatan kabur,
dan gangguan kognitif. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan masalah lain seperti
kerusakan gigi, jatuh atau obstruksi gastrointestinal. FGAs low potency dan olanzapin
sangat mungkin menyebabkan efek antikolinergik, olanzapin dan quetiapin
memperlihatkan efek samping tersebut pada dosis tinggi. Jika diperlukan, dosis dapat
diturunkan atau dibagi untuk mengurangi gejala ini.

D. Gejala Ekstrapiramidal
Obat antipsikotik menyebabkan 4 gejala ekstrapiramidal utama: pseudoparkinsonism,
akatisia, distonia akut dan tardive diskinesia. Tiga pertama biasanya dimulai dalam
8

beberapa minggu setelah memulai pengobatan baru (atau meningkatkan dosis).
Gejala-gejala ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan, stigma sosial, dan kepatuhan
yang buruk. Mereka lebih mungkin terjadi jika dilakukan peningkatan dosis dari
FGAs high potency, seperti haloperidol dan kecil kemungkinannya dengan FGAs
yang memiliki blokade dopamin yang lebih lemah. Beberapa meta-analisis,
membandingkan SGAs dengan haloperidol, menunjukkan SGAs cenderung
menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Namun, studi terbaru membandingkan SGAs
dengan FGAs low potency tidak menunjukkan perbedaan ini.

E. Pseudoparkinsonism
Pseudoparkinsonism adalah sindrom reversibel yang mencakup tremulousness di
tangan dan lengan, kekakuan pada lengan dan bahu, bradikinesia, akinesia,
hipersalivasi, muka topeng, gaya berjalan terseok-seok. Adanya gejala bradikinesia
atau akinesia dapat membuat dilema diagnostik, dengan gejala menyerupai depresi
atau bahkan gejala negatif skizofrenia (yaitu ketidakmampuan untuk memusatkan
perhatian dengan baik, hilangnya rasa kesenangan, hilangnya keinginan atau gerakan,
disorganisasi atau kemiskinan isi pikir, afek datar, penarikan sosial). Pilihan
pengobatan termasuk pengurangan dosis atau penambahan agen kolinergik oral
(misalnya, benztropin, dipenhidramin (benadril)); dokter harus ingat pengobatan ini
dapat menyebabkan efek samping.

F. Akasia
Yaitu suatu kondisi yang secara subyektif dirasakan oleh penderita berupa perasaan
tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan tungkai,
terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala
kecemasan dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan dari rasa cemas yang berhubungan
dengan gejala psikotiknya. Peningkatan kegelisahan yang terjadi setelah mendapat
antipsikotik tipikal harus selalu diperhitungkan kemungkinan akatisia
1
. Pengobatan
akatisia dapat mencakup pengurangan dosis bila memungkinkan, atau penambahan
beta-bloker dosis rendah, seperti propanolol (inderal) dengan dosis 20-80 mg per
hari
2
.

G. Reaksi distonia
9

Reaksi distonia adalah kontraksi kejang otot, termasuk krisis oculogyric, retrocollis,
torticollis, trismus, opisthotonos, atau laryngospasm. Reaksi-reaksi ini tidak nyaman
dan dapat mengancam hidup jika tidak ditangani. Intervensi sering memerlukan
pemberian obat antikolinergik intravena atau intramuskular
2
.

H. Tardif diskinesia
Tardif diskinesia adalah gangguan gerakan spontan yang dapat terjadi dengan
pengobatan antipsikotik jangka panjang, dan mungkin tidak reversibel bahkan jika
obat dihentikan. biasanya melibatkan daerah orofasial, tetapi semua bagian tubuh
dapat terlibat. Gerakan abnormal dapat mencakup sentakan mioklonik, tics, chorea,
dan distonia. Mereka menjadi sangat jelas ketika pasien bergerak, tapi berkurang
selama relaksasi dan menghilang selama tidur. Faktor risiko dari tardif diskinesia
termasuk terapi jangka panjang dengan FGAs pada dosis yang lebih tinggi, usia yang
lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan gangguan afektif bersamaan. Upaya untuk
mengobati tardif diskinesia biasanya dimulai dengan menghentikan agen penyebab
atau beralih ke satu dengan risiko yang lebih rendah, namun bukti tidak cukup untuk
menunjukkan bahwa ini atau perawatan lainnya nyata mengurangi gejala setelah
onset.
2


I. Hiperprolaktemia
Antipsikotik menyebabkan kadar prolaktin yang tinggi dengan menghalangi
penghambatan tonik yang normal pada sel mammotropic hipofisis dari produksi
dopamin oleh hipotalamus. Hyperprolactinemia lazimnya timbul dengan penggunaan
FGA apapun, serta dengan risperidone SGA (hingga 60 persen perempuan dan 40
persen laki-laki), dan tergantung dosis. Tampaknya menjadi jarang dengan SGAs
lainnya, tetapi telah dilaporkan dengan penggunaan olanzapine dan ziprasidone
(Geodon) pada dosis tinggi. Hiperprolaktinemia dapat asimtomatik, tetapi dapat
menyebabkan ginekomastia, galaktore, oligo-atau amenore, disfungsi seksual,
jerawat, hirsutisme, infertilitas, dan hilangnya kepadatan mineral tulang. Gejala sering
muncul dalam beberapa minggu sejak memulai konsumsi antipsikotik atau
meningkatkan dosis, tetapi juga dapat muncul setelah penggunaan jangka panjang
yang stabil. Ada bukti yang berkembang bahwa hiperprolaktinemia kronis dari
antipsikotik dapat menyebabkan osteoporosis dan peningkatan risiko patah tulang
10

pinggul. Sebuah analisis kasus-kontrol terbaru dari database praktek umum yang
besar di Inggris menunjukkan bahwa risiko patah tulang pinggul adalah 2,6 kali lebih
tinggi pada pasien yang memakai antipsikotik yang meningkatkan prolaktin
dibandingkan dengan populasi umum. Dokter harus secara rutin menanyakan tentang
gejala yang mungkin mencerminkan hiperprolaktinemia pada pasien yang memakai
antipsikotik yang meningkatkan prolaktin dan, jika ada, mengukur tingkat serum
prolaktin. Adanya osteoporosis, efek samping seksual, atau kanker payudara terkait
prolaktin mungkin diperlukan beralih ke antipsikotik yang tidak meningkatkan kadar
prolaktin, seperti aripiprazole (Abilify) atau quetiapine
2
.

J. Disfungsi Seksual
Sampai dengan 43 persen pasien yang memakai obat antipsikotik melaporkan masalah
dengan disfungsi seksual, dampak negatif menyedihkan yang dapat menyebabkan
kekurangan kepatuhan pengobatan. Penggunaan antipsikotik dapat mempengaruhi
semua tahapan fungsi seksual, termasuk libido, gairah, dan orgasme. Kedua FGAs
dan SGAs dapat mengganggu gairah dan orgasme pada pria dan wanita. FGAs
terutama telah ditemukan menyebabkan disfungsi ereksi dan ejakulasi pada pria,
termasuk spontan, nyeri, atau retrograde ejakulasi, serta priapism.

K. Agranulositosis
Dalam kasus yang jarang terjadi, clozapine dapat menyebabkan neutropenia (absolute
neutrophil count [ANC] kurang dari 1.500 sel per mm 3 [1.50 10 9 per L]) dan
agranulositosis (ANC kurang dari 500 sel per mm 3 [0.50 10 9 per L]) yang dapat
menyebabkan infeksi fatal. Agranulositosis terjadi kira-kira dari 1 persen pasien,
hampir selalu dalam waktu tiga bulan pengobatan awal (84 persen). Risiko meningkat
dengan usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan ras Asia. US Food and
Drug Administration (FDA) mengharuskan clozapine hanya tersedia melalui
program-program yang memantau jumlah sel darah putih mingguan untuk bulan
pertama, setiap dua minggu untuk enam bulan ke depan, dan bulanan setelahnya.
Menurut pedoman FDA, obat harus dihentikan jika jumlah sel darah putih turun di
bawah 3.000 sel per mm 3 (3,00 10 9 per L) atau tingkat ANC di bawah 1.500 sel
per mm
3
.

L. Aritmia Jantung
11

Semua antipsikotik dapat berkontribusi untuk perpanjangan repolarisasi ventrikel
(interval QT memanjang), yang pada gilirannya dapat menyebabkan torsades de
pointes dan kematian jantung mendadak. Efek ini paling ditandai dengan FGA low
potency thioridazine dan ziprasidone SGA, dan tergantung dosis. Insiden kematian
jantung mendadak antara pasien yang memakai antipsikotik adalah sekitar dua kali
lipat dari populasi umum. Dokter harus menghindari menggabungkan antipsikotik
obat dengan obat lain yang memperpanjang interval QT yang dikoreksi (misalnya,
kelas I dan III obat antiaritmia, antidepresan trisiklik, beberapa antibiotik). Sebelum
memulai sebuah obat antipsikotik, risiko dan manfaat harus ditimbang dengan hati-
hati dan meninjau pasien. Dokter khususnya harus waspada dalam menilai gejala
jantung potensial pada populasi ini. Walaupun mungkin bijaksana untuk memeriksa
diawal atau setelah pemeriksaan elektrokardiografi, terutama dengan pasien risiko
tinggi, efektivitas yang belum terbukti
2
.

M. Kejang
Semua antipsikotik dapat menurunkan ambang kejang. Mereka harus digunakan
dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat kejang dan pada mereka dengan
gangguan otak organik. Umumnya, antipsikotik dengan efek penenang yang lebih,
semakin menurunkan ambang kejang. Kejang yang paling umum terjadi jika
menggunakan FGAs low potency dan clozapine, terutama pada dosis yang lebih
tinggi. Depot Antipsikotik tidak boleh digunakan pada pasien dengan epilepsi
2
.

N. Isu Sindrom Metabolik
Kenaikan berat badan merupakan efek samping umum menggunakan obat
antipsikotik, dan dapat cepat dan sulit untuk dikontrol. Pertambahan berat
kelihatannya tidak tergantung dalam rentang dosis terapi normal. Efeknya lebih buruk
dengan clozapine dan olanzapine; minimal dengan aripiprazole dan ziprasidone; dan
menengah dengan antipsikotik lain, termasuk FGAs low potency. Obat antipsikotik
dapat berkontribusi untuk berbagai kelainan glikemik, resistensi insulin ringan sampai
ketoasidosis diabetik, serta memburuknya kontrol glikemik pada pasien dengan
diabetes yang sudah ada sebelumnya. Meskipun FGAs dan SGAs dapat menyebabkan
masalah ini, variabel-risiko terbesar adalah dengan clozapine dan olanzapine.
Besarnya risiko sulit untuk diukur karena begitu banyak faktor risiko diabetes lainnya
yang hadir pada populasi ini. Meskipun berat badan terkait dengan antipsikotik jelas
12

memberikan kontribusi, tampaknya ada efek independen lain juga. Dislipidemia juga
dikaitkan dengan beberapa obat-obatan antipsikotik, dengan peningkatan mencatat
terutama dalam tingkat trigliserida. FGAs low potency dan SGAs clozapine,
olanzapine, quetiapine dan dikaitkan dengan risiko terjadinya hiperlipidemia yang
lebih tinggi. Secara keseluruhan, gangguan metabolisme tampaknya terbesar dengan
clozapine dan olanzapine, quetiapine dan menengah dengan FGAs low potency, dan
terendah dengan aripiprazole, risperidone, ziprasidone, dan FGAs High potency
2
.

O. Pasien Tua
Obat antipsikotik telah digunakan pada pasien yang lebih tua yang memiliki psikosis
terkait demensia. Pada bulan April 2005, FDA mengeluarkan peringatan kotak untuk
SGAs setelah meta-analisis menunjukkan peningkatan 1,6 sampai 1,7 kali lipat risiko
kematian yang terkait dengan penggunaan SGAs pada populasi ini. Pada bulan Juni
2008, setelah dua studi kohort besar menunjukkan risiko yang sama dengan FGAs,
penyebab menigkatnya angka mortalitas sebagian dari kematian jantung mendadak,
serta kecelakaan serebrovaskular.
Saat ini, tidak ada obat yang disetujui untuk pengobatan demensia terkait psikosis.
Sebelum obat diresepkan, intervensi perilaku harus dicoba. Setiap penggunaan
antipsikotik untuk psikosis terkait demensia harus didahului dengan diskusi dengan
pasien, keluarga, dan pengasuh tentang peningkatan risiko kecelakaan serebrovaskular
dan kematian
2
.

P. Sindroma Neuroleptik Maligna
Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan gejala utama berupa
rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem syaraf otonom dan delirium. Gejala biasanya
berkembang dalam periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah
pemberian antipsikotik. Febris tinggi dapat mencapai 41
o
C atau lebih, rigiditas dengan
ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan tonus otot kadang-kadang sampai terjadi
myonecrosis. Bila pasien dehidrasi, myoglobinuria bisa sangat parah sampai terjadi
gagal ginjal. Ketidakstabilan sistem otonom dapat tampak sebagai hipertensi atau
hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor. Kemungkinan terjadi cardiac arrythmia.
Kesadaran berfluktuasi dapat sampai delirium, bahkan kejang-kejang dan koma. Efek
terhadap sistem kardiovaskuler yang sering terjadi adalah orthostatic (postural)
13

hipotensi yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari
posisi tidur ke posisi berdiri tiba-tiba. Dapat juga terjadi sudden unexplained death
walaupun sangat jarang.
5


Berikut tabel perbandingan risiko efek saping dari obat antipsikotik :









14






BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN


3.1.Kesimpulan
3.1.1. Antipsikotik bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun kronik, suatu
gangguan jiwa berat
3.1.2. Dalam penggunaan obat antipsikotik yang ingin dicapai adalah optimal
response with minimal side effect
3.1.3. Pemberian obat-obatan antipsikotik didasarkan pada gejala klinis yang timbul
dan efek samping masing-masing obat.
3.1.4. Obat-obatan antipsikotik terbagi atas 2 jenis yaitu golongan tipikal yang hanya
bekerja dengan menghambar reseptor dopamin D2 dan golongan atipikal yang
selain menghambat reseptor dopamin D2, dia juga menghambat reseptor
serotonin 5HT2.

3.2. Saran
3.2.1. Dalam penggunaan klinis obat psikotropik selalu mempertimbangkan asas
manfaat dan risiko,
3.2.2. Dampak dari efek samping selalu perlu diwaspadai dan dipersiapkan
penanggulangannya.





15





DAFTAR PUSTAKA

1. Elvira SD.2010. Buku ajar psikiati. Badan penerbit fakultas kedokteran universitas
indonesia
2. Muench J and Hamer AM. 2010. Adverse effect of Antipsychotic Medication.
American Family Physician.
3. Katzung.2002. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 8 Buku 2 hal:249. Jakarta :EGC
4. Maslim R.2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta : PT.
Nuh Jaya
5. Setiabudi R. 2009. Farmakologi dan Terapi FKUI. Jakarta:Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai