Anda di halaman 1dari 14

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua
aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat
tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penaggulangannya. Surveilans kesehatan
masyarakat semula hanya di kenal dalam bidang epidemiologi, namun karena
berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang epidemiologi, surveilans
menjadi cabang ilmu tersendiri yang di terapkan dalam kesehatan masyarakat. Surveilans
mencakup masalah mortalitas, masalah gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular,
demografi, kesehatan lingkungan, dan masalah masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
1
Surveilans berbeda dengan pemantauan (monitoring) biasa. Surveilans dilakukan
secara terus menerus tanpa terputus (kontinu), sedang pemantauan dilakukan intermiten atau
episodik. Dengan mengamati secara terus-menerus dan sistematis maka perubahan-perubahan
kecenderungan penyakit dan faktor yang mempengaruhinya dapat diamati atau diantisipasi,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah investigasi dan pengendalian penyakit dengan
tepat.
1

Terwujudnya Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang pada hakekatnya merupakan upaya penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa
Indonesia. Untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum
dari tujuan nasional. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli, serta memiliki perencanaan
kesehatan dan pembiayaan terpadu yang didukung oleh data dan informasi epidemiologi yang
valid
. 1
Pembangunan nasional di Indonesia mengalami masalah yang cukup serius yaitu
mengenai penyakit menular, penyakit tidak menular, masalah gizi dan masalah kesehatan
lingkungan yang memiliki dampak negative bagi kesehatan manusia. Salah satu strategi
pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dengan upaya
kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita, sudah secara berangsur-angsur
berkembang kearah kesatuan upaya kesehatan yang mencakup upaya peningkatan (promotif),
pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang terpadu
2

dan berkesinambungan. Upaya kesehatan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, sosial budaya,
ekonomi dan biologi yang bersifat dinamis dan kompleks.
1
Unit pada kementerian kesehatan yang berperan penting dalam kebijakan surveilans
adalah unit surveilans epidemiologi. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan mengatur peran unit surveilans epidemiologi pusat, propinsi dan
kabupaten. Peran unit surveilans epidemiologi pusat adalah mengatur penyelenggaraan
surveilans epidemiologi nasional, menyusun pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi
nasional dan menyelenggarakan manajemen surveilans epidemiologi nasional. Unit
surveilans epidemiologi pusat juga berperan untuk melakukan pembinaan dan asistensi
teknis, monitoring dan evaluasi serta pengembangan kompetensi sumber daya manusia
surveilans epidemiologi nasional.
2
Prioritas Surveilans yang digunakan dalam penanggulangan penyakit infeksi menular
seksual termasuk gonore adalah dengan memutus rantai penularan infeksi dan mencegah
berkembangnya IMS dan komplikasinya. Upaya yang dapat di lakukan adalah dengan
pencegahan primer yang terdiri dari penerapan perilaku seksual yang aman dan penggunaan
kondom. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan dengan menyediakan pengobatan dan
perawatan pada pasien yang sudah terinfeksi oleh infeksi menular seksual. Pencegahan
sekunder bisa dicapai melalui promosi perilaku pencarian pengobatan untuk infeksi menular
seksual, pengobatan yang cepat dan tepat pada pasien serta pemberian dukungan dan
konseling tentang infeksi menular seksual seperti gonore.
2












3

BAB II
PEMBAHASAN

II.1.1 Definisi Surveilans Epidemiologi
Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu surveillance, yang berarti
mengamati tentang sesuatu. Sebelum tahun 1950, surveilans memang diartikan sebagai
upaya pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit menular, sehingga penyakitnya
dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya serta dapat diambil langkah-
langkah pengendalian seawal mungkin.
2
Pengertian Surveilans Epidemiologi menurut World Health Oranization (WHO)
terdiri atas surveilans yang merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan
intrepetasi data secara terus menerus serta penyebaran informasi pada unit yang
membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan. Epidemiologi merupakan cabang ilmu yang
mempelajari distribusi, frekuensi dan determinan penyakit. Jadi Surveilans Epidemiologi
adalah pengumpulan, pengelolahan, analisis data kesehatan secara sistematis, terus -
menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya kesehatan,
dipadukan dengan diseminasi informasi tepat waktu.
3


Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang epidemiologi,
namun dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi di luar bidang
epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan luas dalam
kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah morbiditas, mortalitas, masalah
gizi, demografi, penyakit menular, penyakit tidak menular, demografi, pelayanan kesehatan,
kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, dan beberapa faktor risiko pada individu, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
2


Peran surveilans sangat sentral dalam Sistem Kesehatan Nasional. Surveilans
memberi input informasi kepada otoritas kesehatan untuk mengambil tindakan pengendalian
penyakit yang cepat dan tepat atau melakukan investigasi lanjut.
2

II.1.2 Tujuan Surveilans Epidemiologi
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat dilakukan
respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif. Tujuan khusus surveilans adalah
memonitor kecenderungan (trends) penyakit, mendeteksi perubahan mendadak insidensi
4

penyakit, untuk mendeteksi dini, memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban
penyakit (disease burden) pada populasi, menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan,
mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan dan mengidentifikasi kebutuhan
riset.
1

II.2.1 Surveilans Epidemiologi Gonore
WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 350 juta penderita baru IMS (Infeksi
menular seksual) di negara berkembang seperti di Afrika, Asia, Asia Tenggara, dan Amerika
Latin. Di negara industri prevalensinya sudah dapat diturunkan, namun di negara berkembang
prevalensi gonore menempati tempat teratas dari semua jenis IMS. Dalam kaitannya dengan
infeksi HIV/AIDS, United States Bureau of Census pada 1995 mengemukakan bahwa di
daerah yang tinggi prevalensi IMS-nya, ternyata tinggi pula prevalensi HIV/AIDS
dan banyak ditemukan perilaku seksual berisiko tinggi. Kelompok seksual berperilaku
berisiko tinggi antara lain Pekerja Sex Komersial (PSK). Berdasarkan jenis kelaminnya, PSK
digolongkan menjadi female commercial sexual workers (FCSWs) wanita penjaja seks
(WPS) dan male commercial sexuall workers (MCSWs).
1
Gonore adalah penyakit IMS kedua yang paling sering dilaporkan di Amerika
Serikat. Studi epidemiologi dan biologis memberikan bukti yang kuat bahwa infeksi
gonococcal menyababkan penularan HIV, perilaku seksual seorang individu dapat
meningkatkan risiko terjadinya gonore.
Menurut The US Centers for Disease Control prevalensi penyakit gonore
memperkirakan bahwa lebih dari 700.000 orang di AS mendapat infeksi gonore baru setiap
tahun. Hanya sekitar separuh dari infeksi ini dilaporkan. Gejala Gonore: walaupun beberapa
kasus bersifat asimtomatik, ketika gejala muncul sering ringan dan biasanya muncul dalam
waktu 2-10 hari setelah terpapar.
1
Selama 19751997, tingkat nasional gonore menurun 74% setelah pelaksanaan
program kontrol gonore nasional di pertengahan 1970-an. Setelah penurunan dihentikan
selama beberapa tahun, gonore menurun ke 98.1 kasus per 100.000 penduduk pada tahun
2009. Ini adalah tingkat terendah sejak pengamatan gonore dimulai. Tingkat meningkat
sedikit di 2010 untuk 100.2 dan meningkat lagi pada 2011 untuk 104.2 per 100.000
penduduk, dengan total 321,849 kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat tahun 2011.
4
5

Gonore antara wanita lebih tinggi daripada antara manusia sejak 2002. Selama tahun
2010-2011, tingkat gonore antara perempuan meningkat 3,1%, 108.9 kasus per 100.000
penduduk, dan angka antara laki-laki meningkat 5.1%, 98,7 per 100.000 penduduk.

Grafik 1. Gonore dengan usia dan jenis kelamin, Amerika Serikat 2011


Pada tahun 2011, gonore yang tertinggi ada di antara remaja dan dewasa muda. Pada
tahun 2011, tingkat tertinggi diamati antara wanita berusia tahun 2024 (584.2) dan 15-19
tahun (556.5). Di antara pria, tingkat tertinggi adalah di antara umur 2024 tahun (450.6).
Pada tahun 2011, usia 1544 tahun sebanyak 94.6% dari kasus gonore yang dilaporkan.
Selama tahun 2010-2011, gonore meningkat 5,8% diantaranya berusia 2024 tahun, 4,6%
diantaranya berusia 2529 tahun, 6,9% diantaranya berumur 3034 tahun, 2,5% diantaranya
berumur 3539 tahun, dan 4,7% diantaranya berusia 4044 tahun. Tingkat gonore menurun
0,1% antara umur 1519 tahun. Di antara wanita berusia 1544 tahun, kenaikan tertinggi
adalah di antara umur 4044 tahun (8.4%). Antara laki-laki berusia 1544 tahun, peningkatan
tertinggi adalah di antara umur 3034 tahun (8.4%) .
4
Resistensi antimikroba tetap menjadi pertimbangan penting dalam pengobatan
gonore. Pada tahun 1986, Gonococcal Isolate Surveillance Project (GISP), sistem
pemantauan keamanan nasional sentinel, didirikan untuk memantau tren dalam keyakinan
pribadi antimikroba dari N. gonorrhoeae, strain Inggris, data yang dikumpulkan dari situs
sentinel dipilih Sexually Transmitted Diseases (STD) klinik dan laboratorium regional.
Dengan ketersediaan baru cefixime, kerentanan pengujian untuk antibiotik oral sefalosporin
pada tahun 2009. Kerentanan pengujian untuk sefalosporin, cefpodoxime, dimulai pada 2009.
6

Informasi mengenai kerentanan antimikroba GISP kriteria yang digunakan dapat ditemukan
di bagian GISP lampiran, menafsirkan Data pengawasan STD.
5,
Gonore, jenis IMS klasik yang disebabkan oleh infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae,
keberadaannya sudah diketahui sejak zaman Hipocrates, namun sampai sekarang masih
menjadi masalah kesehatan yang belum dapat diatasi secara tuntas. Penyakit ini banyak
ditemukan hampir di semua bagian dunia.
6,7
Laporan WHO pada tahun 1999 secara global terdapat 62 juta kasus baru gonore,
27,2 juta diantaranya terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di Amerika Serikat pada
tahun 2004 terdapat 330.132 kasus penyakit infeksi bakteri Neisseria gonorrhoeae, dengan
rata-rata 113,5 kasus per 100.000 penduduk. Di Jepang terdapat peningkatan kasus infeksi
oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang sudah resisten terhadap Ciprofloxacin, dari 6,6%
kasus pada tahun 1993-1994 menjadi 24,4% kasus pada tahun 1997-1998. Di Indonesia, data
dari Departemen Kesehatan RI pada tahun 1988, angka insidensi gonore adalah 316 kasus per
100.000 penduduk. Beberapa penelitian di Surabaya, Jakarta, dan Bandung terhadap PSK
wanita menunjukkan bahwa prevalensi gonore berkisar antara 7,4-50%. Keberadaan gonorea
di masyarakat ibarat gunung es, hanya diketahui sebagian kecil di permukaan saja namun
sesungguhnya lebih banyak kasus yang tidak terungkap datanya.
3
Menurut data dari Komisi Nasional Anak terdapat sekitar 300.000 Pekerja Seks
Komersial (PSK) wanita di seluruh indonesia, sekitar 70.000 diantaranya adalah anak
dibawah usia 18 tahun. Jumlah PSK wanita yang banyak selain menimbulkan masalah sosial
juga menimbulkan banyak masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang utama terjadi pada
PSK adalah Infeksi menular seksual (IMS), yaitu penyakit yang penularannya terutama
melalui hubungan seksual. PSK wanita dapat menjadi sumber penularan kepada masyarakat
melalui laki-laki konsumennya. IMS yang umum terjadi di masyarakat adalah Gonore (16-
57,7% dari kasus IMS), kemudian Non Gonococal uretritis (24-54%), Candidiasis (23%),
Tricomoniasis, Syphilis, Condiloma, Genital Herpes.
8
Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan erat antara Infeksi Menular
Seksual (IMS) dengan penularan infesksi HIV. Mengingat hal itu maka penatalaksanaan IMS
yang meliputi anamnesis, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan, penyuluhan, konseling dan
penatalaksanaan mitra seksual terhadap pasien IMS mempunyai peranan yang penting dalam
menanggulangi epidemic HIV tersebut.
Beberapa penelitian PMS dan perilaku di lokalisasi telah dilakukan di beberapa
propinsi. Penelitian yang dilakukan pada kelompok risiko tinggi di Surabaya tahun 1995
7

10%-50% menderita Gonorea dan Sifilis, sekitar 10%-15% terinfeksi Chlamydia dan
Trichomonas. Di Bandung tahun 1997 sekitar 5%-10% kelompok risiko tinggi yang
dilakukan pemeriksaan menderita Chancroid. Prevalensi Gonore dari hasil serosurvei tahun
2000 pada kelompok Risti berkisar 20%-50% (di Tanjung Elmo Jayapura sebesar 24,8%, di
Malanu, Sorong sebesar 29,5%).
Pada tahun 2003 Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular &
Penyehatan Lingkungan DepKes, Puslitbangkes, ASA Program-FHI dengan dukungan
USAID melakukan penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi yang dilaksnakan di tujuh
kota/kabupaten yaitu : Jayapura, Banyuwangi, Semarang, Medan, Palembang, Tanjung
Pinang dan Bitung.
9
Surveilans sentinel pada tahun 2000 memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV
yang melampaui 5% pada wanita penjaja seks (WPS) di Indonesia. Di lain pihak, prevalensi
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) yang diketahui
mempermudah penularan HIVpada WPS belum diamati secara sistematis. Dari
pengukuran sporadik diketahui bahwa prevalensi infeksi gonore dan klamidia di berbagai
lokasi WPS di Indonesia sangat tinggi, yaitu berkisar antara 20% - 40%. Prevalensi sifilis di
beberapa lokasi antara tahun 1994 sampai 2004 dilaporkan berkisar antara 0 dan 22,2%.
9
Prevalensi IMS merupakan salah satu indikator biologis yang penting dalam sistem
surveilans generasi kedua yang dianjurkan oleh WHO (2000), karena prevalensi IMS yang
tinggi merupakan pertanda awal risiko penyebaran HIV. Selain itu, peningkatan penggunaan
kondom akan lebih cepat tergambar melalui penurunan prevalensi IMS daripada HIV,
sehingga dapat menggambarkan perluasan cakupan dan peningkatan kualitas program
penanggulangan IMS. Surveilans prevalensi IMS berperanan penting untuk melihat tren
perilaku seksual, potensi penyebaran HIV, dan untuk memonitor, mengevaluasi serta
merencanakan upaya penanggulangan IMS/HIV/AIDS.
9

8


Table 1. Prevalensi Infeksi Gonore dan Klamidia pada WPS di Beberapa Lokasi di Indonesia

Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), baik yang
ulcerative maupun non-ulcerative, diketahui mempermudah penularan HIV melalui berbagai
mekanisme. Tetapi prevalensi IMS/ISR pada WPS di Indonesia belum diamati secara
sistematis dan hanya diukur secara sporadis. Beberapa laporan yang ada dari beberapa lokasi
antara tahun 1999 sampai 2000 menunjukkan prevalensi infeksi gonore dan klamidia yang
tinggi (Tabel 1). Prevalensi sifilis di beberapa lokasi antara tahun 1994 sampai 2004
dilaporkan berkisar antara 0 hingga 22,2%.
9


Grafik 2. Prevalensi Infeksi Gonore pada WPS di 7 Kota di Indonesia
Secara umum, prevalensi gonore berkisar antara 9% dan 50%; pada WPS lokalisasi
antara 16% dan 43%, pada WPS tempat hiburan antara 9% dan 31%, dan pada WPS jalanan
9

antara 28% dan 50%. Prevalensi gonore pada WPS jalanan di Jayapura dan Medan lebih dari
3 kali lipat dibandingkan WPS non-jalanan.

Dari data yang diambil dari buku register penyakit menular seksual pasien laki-laki
dengan Uretritis Gonore (UG) dan Uretritis Non Gonore (UNG) yang berobat di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado pada tahun 2009-2011 diperoleh
jumlah pasien uretritis total 82 orang: pasien UG 56 orang dan pasien UNG 26 orang.
10


Tabel. 2. Distribusi Jenis Penyakit

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan November 2012
Desember 2012, maka didapatkan data pada pasien UG dari tahun 2009-2011 (tiga tahun)
berjumlah 56 orang (68,5%) dan pasien UNG berjumlah 26 orang (31,5%). Penelitian Jawas
dan Murtiastutik tahun 2002-2006 (lima tahun) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan
jumlah pasien baru uretritis gonokokus sebanyak 321 orang (0,065%) dari 4880 pasien PMS.
Data ini menunjukkan bahwa jumlah pasien UG di Surabaya masih lebih tinggi dari pada di
Manado. Terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan geografi, jumlah
penduduk, atau juga karena tidak semua pasien datang berobat ke rumah sakit; ada yang lebih
memilih berobat ke dokter praktek umum, puskesmas atau membeli sendiri obat di apotik
dengan berbagai alasan seperti rasa malu dan sebagainya.


10

Distribusi pasien UG dan UNG memperlihatkan kelompok usia terbanyak 25-44
tahun, dengan jumlah pasien UG 35 orang dan UNG 16 orang. Pada Tabel 3 kelompok usia
terbanyak yaitu 25-44 tahun sebanyak 51 orang (62%). Hasil penelitian ini sama dengan
penelitian Jawas dan Murtiastutik di RSU Dr. Soetomo Surabaya yang terbanyak yaitu usia
25-44 tahun sebanyak 169 orang (52,6%).10 Hal ini mungkin disebabkan usia tersebut
merupakan usia seksual aktif, sehingga lebih berisiko terinfeksi berbagai infeksi menular
seksual.
10
Di Indonesia data dari Depkes RI tahun 1997-1998 didapatkan infeksi gonore
sebanyak 13.000 kasus pada tahun 1997 dan 20.420 kasus pada tahun 1998. Penyakit ini bisa
menular melalui aktifitas seksual. Pelaku aktifitas seksual yang bersifat bebas biasanya
dikerjakan oleh para pekerja seks komersial adalah profesi yang dilakukan seseorang (pria
atau wanita) dengan cara menjual jasa untuk memuasakan kebutuhan seksual para
pelanggannya secara bebas yang dilakukan di luar pernikahan dengan imbalan berupa uang.
Lama bekerja sebagai PSK merupakan faktor penting, karena makin besar kemungkinan ia
telah melayani pelanggan yang mengidap penyakit menular seksual khususnya gonore.
9
Salah satu upaya pencegahan infeksi gonore adalah dengan mempromosikan
penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko. Contoh kegiatan yang dilakukan adalah
dengan membagikan kondom gratis kepada kelompok yang beresiko. Biasanya kegiatan
pembagian kondom gratis dilaksanakan bersamaan dengan upaya penjangkauan sekaligus
penyuluhan. Penggunaan kondom yang konsisten pada setiap hubungan seks beresiko,
diharapkan berdampak pada penurunan resko penularan infeksi gonore. Penggunaan kondom
secara konsisten masih sangat rendah. Kecil presentase penjaja seks yang mengaku selalu
menggunakan kondom pada saat hubungan seks dengan kliennya pada satu minggu trakhir.
Mengingat pemakaian kondom yang kosisten pada seks komersial merupakan cara untuk
mencegah penularan infeksi gonore, maka promosi kondom serta menjamin ketersediaan
kondom perlu diupayakan lebih serius.
9










11

BAB III
PENUTUP

III.1 KESIMPULAN:
Surveilans epidemiologi merupakan pengamatan terus menerus terhadap semua
aspek penyakit tertentu, baik keadaaan maupun penyebarannya dalam suatu
masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penaggulangannya.
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Data menunjukkan bahwa jumlah pasien UG di Surabaya masih lebih tinggi dari
pada di Manado. Terdapatnya perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan
geografi, jumlah penduduk, atau juga karena tidak semua pasien datang berobat ke
rumah sakit; ada yang lebih memilih berobat ke dokter praktek umum, puskesmas
atau membeli sendiri obat di apotik dengan berbagai alasan seperti rasa malu dan
sebagainya.
Salah satu upaya pencegahan infeksi gonore adalah dengan mempromosikan
penggunaan kondom pada hubungan seks beresiko. Contoh kegiatan yang dilakukan
adalah dengan membagikan kondom gratis kepada kelompok yang beresiko.
Biasanya kegiatan pembagian kondom gratis dilaksanakan bersamaan dengan upaya
penjangkauan sekaligus penyuluhan. Penggunaan kondom yang konsisten pada setiap
hubungan seks beresiko, diharapkan berdampak pada penurunan resko penularan
infeksi gonore.



III.2 SARAN :
a. Bagi Petugas Kesehatan
Melakukan pencatatan dan pelaporan data lengkap dan rutin terhadap setiap
penyakit-penyakit yang ada di daerah yang disebabkan oleh penyakit gonore untuk
mempermudah kegiatan dari surveilans epidemiologi untuk ditindak lanjuti. Serta
terus melakukan upaya promotif kepada masyarakat mengenai pentingnya
12

penggunaan kondom dalam upaya pencegahan dan peningkatan kesehatan
masyarakat.

b. Bagi Masyarakat
Upaya Pengendalian penyakit gonore tidak hanya dikalangan WPS intervensi yang
dilakukan tetapi juga perlu dilakukannya upaya yang proaktif kepada pelanggan. Dan
perhatian khusus pada WPS usia muda yang baru bekerja yang mempunyai banyak
pelanggan untuk melakukan skrining rutin. Dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan
kerja sama dari komponen masyarakat dan pemerintah dalam menyehatkan
masyarakat Indonesia pada umumnya dalam membentuk Negara yang kuat secara
fisik, mental, dan sosial sessuai dengan cita-cita bangsa Indonesia melalui
Pembangunan Nasional yang berkesinambungan serta malaporkan kepada pusat
pelayanan kesehatan terdekat bila menemukan masalah kesehatan di masyarakat
dalam membantu menemukan kasus-kasus yang ada di daerah setempat.



















13

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers of Disease Control and Prevention. Epidemiology Surveillance. 2011
2. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans
Epidemiologi Kesehatan. 2003
3. World Health Organization. Epidemiology Surveillance. 2011
4. U.S Preventive Services Task Force. Screening for Gonorrhea. Ann Fam Med.
2005
5. Adler M. Sexually transmitted infections. London. 2004
6. Da Ros CT, Schmitt CdS. Global epidemiology of sexually transmitted diseases.
Androl. 2008
7. Wisconsin Division of Public Health Communicable Disease Surveillance
Guideline Gonorrhea. 2011
8. Hamzah. 1991. Prevalence and Incidence of STDs
9. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Penanganan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular
10. Suling P, Kapantow GM. Profil Uretritis Gonokokus dan Non Gonokokus pada
Pria di RSUP Prof Dr. R.D. Kandou Manado Periode 2009-2011. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2013














14

Anda mungkin juga menyukai