Anda di halaman 1dari 26

BAB II

PEMBAHASAN

DIABETES MELLITUS TIPE I
Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam
etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau
gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih
diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel -pankreas yang
didasari proses autoimun.
Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti sypon
menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal dari kata meli yang
berarti madu.
Etiologi
Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena paparan agen infeksi
atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan
cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan susu sapi).
Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1 sebagai berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang menyatakan bahwa
waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan mengurangi paparan sinar
matahari kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin D.
Bukti menyebutkan bahwa vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan
sekresi insulin (Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele, 2008). Berkurangnya kadar
vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari, dimana masing-masing telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 1.
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"
Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen, dimana kita
menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan hipersensitivitas autoimun,
yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di dalam tubuh oleh leukosit.
Dalam penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa lebih banyak eksposur untuk
mikroba dan virus kepada anak-anak, semakin kecil kemungkinan mereka menderita
penyakit reaksi hipersensitif seperti alergi. Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan
bahwa "pelatihan" dari sistem kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe
1 diabetes (Curry, 2009). Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan
diabetes tipe 1 mungkin yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni
memaparkankan anak-anak kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi yang tidak
menyebabkan efek samping imunosupresi.
3. Hipotesis Susu Sapi
Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula pada 6
bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh
dan meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di kemudian
hari. Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan sel beta
pankreas yang memproduksi insulin, sehingga mereka yang rentan dan peka terhadap
susu sapi maka akan direspon oleh leukosit, dan selanjutnya akan menyerang sel sendiri
yang menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1.
Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak menyebabkan penurunan terjadinya diabetes
tipe 1, tetapi terjadi peningkatan dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian
diabetes tipe 1 lebih rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, &
Williams, 2001).
4. Hipotesis POP
Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang persisten
(POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal oleh Institut Nasional
Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik
dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari populasi yang berada di tempat Kode ZIP
yang mengandung limbah beracun (Kouznetsova, Huang, Ma, Lessner, & Carpenter,
2007).
5. Hipotesis Akselerator
Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan bagian sederhana dari
kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih dulu. Hipotesis akselerator
menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi anak-anak pada abad terakhir ini telah
"dipercepat", sehingga kecenderungan mereka untuk mengembangkan tipe 1 dengan
menyebabkan sel beta di pankreas di bawah tekanan untuk produksi insulin. Beberapa
kelompok mendukung teori ini, tetapi hipotesis ini belum merata diterima oleh
profesional diabetes (O'Connell, Donath, & Cameron, 2007).
Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran selektif
sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis merupakan tahap
akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai lokus gen telah
dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada awalnya diduga
bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena meningkat pada
frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol. Namun, baru-baru
fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa DR3 dan DR4 lebih
menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA DQ telah terlibat
dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen panjang polimorfisme
(RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR)
untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan pemahaman kami tentang
kompleks HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan penyakit. Bukti diajukan
menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan atau resistensi terhadap DM
tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai b-HLA-DQ. Penggunaan lokus
spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai b-HLA urutan DQ telah
membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan jenis DM tipe 1 terkait DQ
alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe yang membawa alel DQW8 pada
lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1. Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM
tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda
dengan yang secara negatif berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain
pertama rantai b-HLA-DQ. Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada
posisi 57,sedangkan haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57, tapi
beberapa pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah
ditemukan DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang
pasien DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa
mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di beberapa
kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan sebagai
konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1. Keterlibatan
rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan bahwa fungsi
presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe 1.
Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons telah
menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM sebagai
berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA setiap individu,
bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan autoimun ke sel beta;
b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benar-benar mempromosikan
autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu rentan jika produk dari gen
kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk gen tidak rentan yang ada dalam
individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini produk-produk dari alel HLA tertentu
yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka mengikat dan menyajikan peptida khusus
untuk merangsang respon imun terhadap sel beta pankreas.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat dekarboksilase
(GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat komponen
sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa merupakan
protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang ditampilkan untuk
menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah dijelaskan untuk
bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa diidentifikasi sebagai
GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi antibodi IgG yang terikat ke
antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua monoklonal antibodi yang
diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan demikian, GAD mungkin
target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk GAD dijadikan penanda
sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD ada dalam individu yang
rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk mengembangkan disease. Antibodi
juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode prediabetik yang
laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah sebagai penanda untuk
perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA. Kontribusi dari autoantigens
disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan penyakit masih harus diklarifikasi.
Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan
diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam model
hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus NOD dan
tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan kemampuan kita untuk
memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun, karena semua kesimpulan
yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi dengan penyakit manusia,
maka analogi perlu divalidasi lebih teliti. Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik
menunjukan prasyarat mutlak bagi perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1.
Sel T CD4+ spesifik untuk islet yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke
tikus prediabetes atau nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga
bahwa sel T CD4+ cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi
pada kerusakan yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di
pencangkokan kronis dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak adanya sel
T CD8+ menunjukkan bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang
diperlukan dalam proses penyakit. Namun, tampaknya hanya satu subset sel T CD4+ yang
bertanggung jawab untuk induksi penyakit. Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik
oleh sel limpa berasal dari hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh
subset sel T CD4+ saling mempengaruhi. Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan
diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon
autoimun, melainkan dapat menyimpang respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan,
tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan interferon gamma ditemukan berkorelasi atau
dan untuk meningkatkan induksi diabetes autoimun model eksperimental. Sel Th-1
menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan mengaktifkan makrofag. Pada penelitian
dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan mikroskopis elektron untuk mengamati
pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel pertama yang menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa Interleukin 1
(IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin terutama diproduksi oleh makrofag,
menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel beta
pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak
berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator
kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang
menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes
DM tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat
menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru
pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat
diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian untuk
DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya kurang
dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke sebuah
penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas bahwa
faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah infeksi
rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes. Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan
asam amino dari rantai DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan
mendukung mimikri antigen virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor
lingkungan juga disarankan oleh analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana
hampir semua pasien DM tipe 1 memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan
menunjukkan respon sel T untuk peptida serum albumin sapi yang sama dengan protein yang
ada di permukaan sel beta di pankreas, dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis
(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan
glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.




Gejala Klinis


Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang disertai
atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan baik. Oleh
karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.

Diagnosis



Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.
Ketonemia, ketonuria.
Glukosuria
Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral (oral
glucosa tolerance test).
Kadar C-peptide.
Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody), Anti GAD
(Glutamic decarboxylase auto-antibody).

Penatalaksanaan
-1 penderita harus segera rawat inap.

Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala
hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase honeymoon.
Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg
BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.



o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15%
protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :
o
o
o
o
o n malam.
o
o -lain.
Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi
penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik
dilakukan selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :
o keadaan umum, tanda vital.
o kemungkinan infeksi.
o kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer)
setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.
o kadar HbA1C (setiap 3 bulan).
o pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).
o mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).
o fungsi ginjal.
o funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun
menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).
o tumbuh kembang.
PENYAKIT GINJAL KRONIS
DEFINISI :
Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease adalah suatu
prosespatofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal
yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya gagal ginjal
adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel,
pada suatu derajat yang memerlukan terpai pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrome klinik dan laboratorik yang terjadi pada
semua organ akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Kriteria dari penyakit ginjal kronik adalah :
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan padapemeriksaan
pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama 3 bulan denganatau tanpa
kerusakan ginjal.
Kriteria Chronic Kidney Disease berdasarkan KDIGO tahun 2013,

Gambar 1. Kriteria CKD (KDIGO 2013)

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per
tahun.
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun
lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih
ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi. Dari data yang sampai saat ini dapat
dikumpulkan oleh Indonesian RenalRegistry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan
etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%).
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana
mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu
menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli
berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai
serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah
merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu.

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,
dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.

b. Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat
mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak
menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan
mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal
diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
akhirnya mengarah ke glomerulosclerosis diabetes. Hubungan yang kuat antara proteinuria
dan komplikasi diabetes lainnya mendukung pandangan bahwa peningkatan ekskresi protein
urin mencerminkan gangguan vaskular umum yang mempengaruhi banyak organ, termasuk
mata, jantung, dan sistem saraf .

c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal.




Klasifikasi
Tekanan
Darah
Sistolik
(mmHg)
Diastolik
(mmHg)
Modifikasi
Gaya
Hidup
Terapi

Normal < 120 Dan < 80 Edukasi tidak perlu obat
antihipertensi Prehipertensi 120 139 Atau 80 89 Ya
Stage 1 HT 140 159 Atau 90 99 Ya Thiazid tipe diuretik
Dapat juga ACEI, ARB,
Tabel 3. Klasifikasi tekanan darah sistolik, diastolik, modifikasi gaya hidup, serta terapi obat
berdasarkan Joint National Committee (JNC)VII:

Target tekanan darah pada terapi pasien dengan CKD atau diabetes adah <130/80
mmHg.
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih
tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.
KLASIFIKASI
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan olehnilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilailaju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah.
LAJU FILTRASI GLOMERULUS =
()
(

)

*pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut membagi penyakitginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1
adalah kerusakan ginjal denganfungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal
dengan penurunanfungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan
yangsedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsiginjal,
dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihatpada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:

A.


BB, CCB, atau kombinasi
Stage 2 HT > 160 Atau > 100 Ya Kombinasi 2 jenis obat
(biasanya thiazid tipe
diuretik dan ACEI atau
ARB atau BB atau CCB)
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.

Derajat Penjelasan LFG
(mL/menit/1,73m
2
)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

B.

GFR
(ml/min/1,73 m
2
)
Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal
Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT
> 90 1 1 HT Normal
60 89 2 2 HT dengan
penurunan GFR
Penurunan
GFR
30 59 3 3 3 3
15 29 4 4 4 4
< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5



Klasifikasi atas dasar diagnosis tampak pada tabel berikut :
Tabel 3. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik obat, neoplasia)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh
darah besar, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial ( pielonefritis
kronis, batu, obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada trnsplantasi Rejeksi kronik
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau
dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit reccurent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

Klasifikasi menurut KDIGO 2013

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga
dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.
Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat
besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.
Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.
Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.
Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas)
Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
Hubungan antara penurunan LFG dan gambaran klinik adalah sebagai berikut:
a. Penurunan cadangan faal ginjal (LFG 40-75%)
Pada tahap ini biasanya tanpa keluhan, karena faal ekskresi dan regulasi masih
dapat dipertahnkan normal. Masalah ini sesuai dengan konsep intac nephron
hypothesis. Kelompok pasien ini sering ditemukan kebetulan pada pemeriksaan
laboratorium rutin.
b. Insufisiensi renal (LFG 20-50%)
Pada pasien tahap ini masih dapat melakukan aktivitas normla walaupun sudah
memperlihatkan keluhan- keluhan yang berhubungan dengan retensi azotemia.
Pada pemeriksaan hanya ditemukan hipertensi, anemia (penurunan HCT) dan
hiperurikemia. Sindrome acute on chronic renal failure : oliguria, tanda- tanda
overhydration (bendungan paru, bendungan hepar, kardiomegali), edema perifer
(ekstrmitas dan otak), asidosis, hiperkalemia, anemia, hipertensi berat.
c. Gagal ginjal (LFG 5-25%)
Gambaran klinik dan laboratorik makin nyata : anemua, hipertensi, overhydration,
kelainan laboratorium seperti penuruan HCT, hiperurikemia, kenaikan ureum dan
kreatinin serum, hiprfosfatemia, hipernatremia, kalium serum biasanya masih
normal.
d. Sindrom azotemia (LFG kurang dari 5%)
Sindrom azotemia dengan gambaran klinik sangat komplek dan melibatkan
banyak organ (multi organ)
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pendekatan diagnosis gagalginjalkronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).
1

Tabel . Gambaran Klinik Gagal Ginjal Kronik
1. Gejala Subjektif (symptom)
Umum :
Saluran cerna :


Lemah badan, cepat lelah
Nafsu makan turun, mual dan muntah, lidah
hilang rasa, cegukan
Neuromuskuler :

Kelamin :
Kardiovaskuler :

2. Gejala Obyektif (sign)
Umum :
Kulit :
Kepala:
Kardiovaskular :
Neuromuskular :


Tungkai lemah, parestesi, kram otot, daya
konsentrasi turun, insomnia dan gelisah
Libido menurun, nokturia dan oligouria
Sesak nafas, sembab, batuk, nyeri perikardial


Nampak sakit, mengurus
Hiperpigmentasi, kering
Sembab, anemia, retinopati
Hipertensi, kardiomegali, sembab
Neuropati perifer, mioklonus

3. Laboratorium rutin
Kenaikan BUN dan kreatinin serum, anemia normokrom normositer, leukopeni,
trombopati, hiperurikemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, proteinuria, hematuria dan
silinderuria

Tabel gambaran Klinik Spesifik yang sugestif berhubungan dengan etiologi GGK
1. Keluhan subyektif (symptom)
Glomerulonefritis

Diabetes Mellitus
Nefrosklerosis
Nefritis interstisial
Obstruksi


Sindrom nefritik akut, sindrom nefrotik
kronik
Poliuria, polidipsia, familier
Hipertensi
ISK rekuren, artitis gout, obat- obatan
Kolik ginjal, disfungsi, kandung kemih
2. Pemeriksaan Fisik Diagnostik
Diabetes mellitus
Polikistik
S.L.E
Obstruksi saluran kemih
Gout

Neuropati, retinopati
Tumor ginjal, hematuria
FUO, atralgia, fotosensitif, kelainan kulit
Hidronefrosis, prostat hipertrofi
Dehidrasi, tofi

b. Pemeriksaan laboratorium
tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat
penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi, menentukan perjalanan penyakit termasuk semua
faktor yang memperburuk faal ginjal yang sifatnya terbalikan (reversibel).
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.
1

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
PENATALAKSANAAN
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu.
8
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief
complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa
mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi
dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym
Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui
berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan
antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,
muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
PROGNOSIS
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulaidilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahanyang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian beratbadan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Editorial. Gagal Ginjal Kronik. Diunduh dari: http://emedicine.
medscape.com/article/238798-overview,
2. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: for the
Evaluation and Management of Chronic Kidney. 2012
3. Enday Sukandar. 2006. Gagal Ginjal dan Pandual Terapi Dialisis. Bagian Ilmu
Penyakit Dalam UNPAD RS DR Hasan Sadikin BandungMortensen HB, et al.
Multinational study in children and adolescents with newly diagnosed type 1 diabetes:
association of age, ketoacidosis, HLA status, and autoantibodies on residual beta-cell
function and glycemic control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010: 11:
218226.
4. 2. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus
SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
5. Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
6. Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for womens health, volume 14,
2010; 327-338
7. Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus.
Faculty of Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United Arab
Emirates; 2000
8. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak
dan Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13, 2002.

Anda mungkin juga menyukai