Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PENANGANAN BANJIR DI KOTA SEMARANG












disusun oleh:
Lyvia Nurhafita 21010111130148
Setyadara Yuvita 21010111140198
Arif Kurnia Raharja 21010111140246
Grace Simanjuntak 21010111140208
Andreas Novier 21010111130156
Bimo Wikantiyoso 21010111130165
Ridho Ramadhan. 21010111140201
Sindy Noor Wicaksono 21010111140235
Achmad Chasan M. 21010111130153
Fadhil Akbar 21010111140242
Yan Borisman Lubis 21010111140194

Dosen Pengampu
Ir. Abdul Kadir Dipl.HE, MT.


JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Semarang sebagai salah satu kota mayor di Jawa Tengah memiliki beberapa peranan
penting dalam pembangunan Jawa Tengah. Namun, Kota Semarang sendiri memiliki suatu
masalah yang sudah menahun, yakni masalah banjir. Banjir yang biasaterjadi di kota
semarang adalah banjir rob, banjir kiriman, dan terkadang terjadi pula banjir yang
diakibatkan buruknya sarana drainase. Hal ini sangat mengganggu aktifitas yang terjadi di
Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini.
Sebelum meninjau banjir yang terjadi di kota Semarang, kita harus mengetahui lebih
dahulu apa penyebab banjir yang umum terjadi. Dari penyebab- penyebab tersebut, kemudian
barulah kita dapat mengidentifikasi banjir yang terjadi di kota Semarang, barulah kita dapat
mempertimbangkan langkah- langkah yang mungkin digunakan untuk mengatasi banjir-
banjir tersebut.
Banjir- Banjir yang terjadi di kota Semarang beberapa diantaranya disebabkan oleh letak
geografis Kota Semarang yang berada di bawah permukaan laut. Blue Print awal yang sudah
ada sejak pemerintahan jaman kolonial Belanda juga tidak berjalan. So be it.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja penyebab banjir?
2. Apa penyebab banjir di Semarang?
3. Bagaimana cara mengatasinya?


1.3 Tujuan

1. Menjelaskan penyebab terjadinya banjir.
2. Mengetahui penyebab banjir di Semarang
3. Memberikan alternatif- alternatif yang mungkin untuk mengatasi banjir yang terjadi
di Semarang.

BAB II
DESKRIPSI WILAYAH STUDI

2.1. Geografis dan Topografi
Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,70 km
2
. Secara administratif Kota
Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang
ada, terdapat 2 Kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu Kecamatan Mijen,
dengan luas wilayah 57,55 km
2
dan Kecamatan Gunungpati, dengan luas wilayah 54,11
Km
2
. Kedua Kecamatan tersebut terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah
perbukitan yang sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan
perkebunan. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan
Semarang Selatan, dengan luas wilayah 5,93 km
2
diikuti oleh Kecamatan Semarang
Tengah, dengan luas wilayah 6,14 km
2
.
Batas wilayah administratif Kota Semarang sebelah barat adalah Kabupaten
Kendal, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten
Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai
mencapai 13,6 kilometer.
Letak dan kondisi geografis, Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara
garis 6
0
50 7
o
10 Lintang Selatan dan garis 109
0
35 110
0
50 Bujur Timur. Kota
Semarang sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang membentuk suatu kota yang
mempunyai ciri khas, yaitu Kota Pegunungan dan Kota Pantai. Di daerah pegunungan
mempunyai ketinggian 90 - 359 meter di atas permukaan laut sedangkan di daerah
dataran rendah mempunyai ketinggian 0,75 - 3,5 meter di atas permukaan laut.

2.2. Kondisi Meteorologi
Sebagai kawasan yang terletak di daerah tropis, iklim kota Semarang ditandai
dengan suhu udara dan kelembaban udara yang tinggi. Suhu udara rata-rata bulanan tahun
2003-2008 yang tercatat pada Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi
Semarang menunjukkan angka antara 26,6 C sampai dengan 28,8 C. Suhu udara rata-
rata bulanan tertinggi yang pernah dicapai yaitu 32,9 C terjadi pada bulan Mei 2004.
Sedangkan suhu udara rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan April 2005 yaitu
21,1 C
Kelembaban udara rata-rata bulanan pada rentang waktu yang sama berkisar
antara 62,3 % sampai dengan 84,5 %. (gambar 4.3). Kelembaban udara rata-rata bulanan
tertinggi terjadi pada bulan Februari 2003 dan bulan yang sama tahun 2008, yaitu sebesar
86%. Sedangkan kelembaban udara rata-rata bulanan terendah yaitu sebesar 44 % terjadi
pada bulan September 2008.
Data yang tercatat di Stasiun Klimatologi Semarang tahun 2004 2008
menunjukkan bahwa kecepatan angin rata rata bulanan yang terjadi adalah antara 5,4
7,6 m/detik. (Gambar 4.4). Kecepatan angin rata rata bulanan terbesar yang pernah
terjadi adalah 11 m/detik pada bulan Juli 2007. Pada bulan Desember 2005, kecepatan
angin rata rata bulanan mencapai angka terendah yaitu sebesar 4,7m/detik

2.3. Kondisi Geologi
Kondisi Geologi Kota Semarang berdasarkan Peta Geologo Lembar Magelang-
Semarang (RE.Thaden, dkk; 1996), susunan stratigafinya adalah sebagai berikut :
Aluvium (Qa), Batuan Gunungapi Gajahmungkur (Qhg), Batuan Gunungapi Kaligesik
(Qpk), Formasi Jongkong (Qpj), Formasi Damar (QTd). Formasi Kaligetas (Qpkg),
Formasi Kalibeng (Tmkl), Formasi Kerek (Tmk). Pada dataran rendah berupa endapan
alluvial sungai, endapan fasies dataran delta dan endapan fasies pasang-surut. Endapan
tersebut terdiri dari selang-seling antara lapisan pasir, pasir lanauan dan lempung lunak,
dengan sisipan lensa-lensa kerikil dan pasir vulkanik. Sedangkan daerah perbukitan
sebagian besar memiliki struktur geologi berupa batuan beku.
Struktur Geologi yang cukup mencolok di wilayah Kota Semarang berupa
kelurusan-kelurusan dan kontak batuan yang tegas yang merupakan pencerminan struktur
sesar baik geser mendatar dan normal cukup berkembang di bagian tengah dan selatan
kota. Jenis sesar yang ada secara umum berupa sesar yang terdiri dari sesar normal, sesar
geser dan sesar naik. Sesar normal relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung ke
arah utara, sesar geser berarah utara selatan hingga barat laut - tenggara, sedangkan sesar
normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi pada batuan
Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang berumur kuarter dan
tersier. Geseran-geseran intensif sering terlihat pada batuan napal dan batu lempung, yang
terlihat jelas pada Formasi Kalibiuk di daerah Manyaran dan Tinjomoyo. Struktur sesar
ini merupakan salah satu penyebab daerah tersebut mempunyai jalur lemah, sehingga
daerahnya mudah tererosi dan terjadi gerakan tanah. Adapun berbagai jenis tanah yang
ada di kota semarang bisa diperlihatkan sebagai berikut :









BAB III
PERMASALAHAN

3.1. Latar Belakang
Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya
berpotensimenimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk
ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang
melanda daerahdaerah rawan, pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan
manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada
perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan
permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti
hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat
sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.
Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen
dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas
pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban
jiwa. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggunya,
bahkan terhentinya. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan
banjir sangat nyata. terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan
tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi
parasana publik yang rusak.
Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun,
menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan.
Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural approach), ternyata belum
sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan banjir,
selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk
mengurangi dampak bencana.
Selain itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya mencakup partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum diimplementasikan
secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga efektifitasnya
dipertanyakan.
Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat
sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi,
demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana.2
Pertanyaannya adalah siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat
berpartisipasi? Dan pada tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam
merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan
banjir. Kekeliruan perumusan kebijakan tersebut menyebabkan berbagai kepentingan
individu/kelompok lebih dominan, kemudian kebijakan dimanfaatkan untuk kepentingan
negatif.
Akibatnya kebijakan yang ditetapkan tidak efektif, bahkan batal. Dengan
demikian, penanggulangan banjir yang hanya melulu pembangunan fisik (structural
approach), harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach),
yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga
hasilnya lebih optimal.
Dari penjelasan di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat
fisik, harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan
stakeholder lainnya diberi tempat yang sesuai.
Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya
koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk
partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya. Atas pertimbangan tersebut, sebagai
institusi yang ditugaskan mengkoordinasikan perencanaan pembangunan, Bappenas
mengkaji kebijakan penanggulangan banjir yang komprehensif dan tidak bias sektor dan
wilayah, dengan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.

3.2 Deskripsi Masalah
Ada lima potensi banjir di Kota Semarang. Potensi pertama, melihat karakteristik
geografi, Kota Semarang memiliki daerah-daerah potensi banjir, karena adanya
perbedaan tinggi dataran antara wilayah utara dan ilayah selatan. Kondisi ini terjadi
karena adanya banjir kiriman dari wilayah selatan Kota Semarang dan kabupaten
Semarang.
Potensi kedua, adanya perubahan pemanfaatan lahan dari hutan karet menjadi
perumahan di wilayah kecamatan Mijen memperbesar kerusakan di daerah tersebut.
Akibatnya jumlah air hujan yang mengalir ke wilayah Ngaliyan menjadi bertambah dan
membuat daerah tersebut terkena musibah banjir; padahal sebelumnya di daerah tersebut
belum pernah terkena banjir. Selain penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan yang
terjadi di wilayah Kabupaten Semarang dari areal pertanian menjadi areal perumahan
baru. Penyebab lain, banyak sungai yang berhulu di daerah Kabupaten Semarang
melewati Kota Semarang.
Potensi ketiga, adanya pengeprasan bukit di beberapa tempat mengakibatkan
perubahan pola aliran air, erosi, dan mempertinggi kecepatan air, sehingga membebani
pengairan.
Potensi keempat, pembangunan rumah liar di atas bantaran sungai, pembuatan
tambak yang mempersempit sungai dan penutupan saluran di daerah hilir.
Potensi kelima adalah permasalahan non-teknis yaitu perilaku masyarakat kota
Semarang yang buruk. Perilaku membuang sampah di saluran dan di sembarang tempat.
Rendahnya kesadaran masyarakat koa ditunjukkan sewaktu banjir di beberapa jalan
protokol kota Semarang diakibatkan adanya saluran yang tersumbat, namun masyarakat
tidak segera mengatasinya melainkan menunggu petugas dari pemerintah Kota Semarang
untuk mengatasi permasalahan pada saluran tersebut.
Penyebab Banjir
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan banjir, antara lain: perubahan tata
guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai, pembuangan sampah, erosi dan
sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem
pengendalian banjir tidak tepat, curah hujan, pengaruh fisiografi/geofisik sungai,
kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai, pengaruh air pasang,
penurunan tanah dan rob, drainase lahan, bendung dan bangunan air, serta kerusakan
bangunan pengendali banjir. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama
banjir dibandingkan dengan penyebab yang lainnya.
Penyebab Banjir di Kota Semarang
Banjir di dataran alluvial sungai dan alluvial pantai Semarang dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam banjir, yaitu banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir
rob.


Banjir kiriman yang terjadi secara periodik setiap tahun dan melanda daerah
sekitar pertemuan Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang sampai di Kampung
Bendungan disebabkan oleh:
a. Peningkatan debit air sungai yang mengalir dari DAS Garang (luasnya 204 km2),
DAS Kreo (luasnya 70 km2), dan DAS Kripik (luasnya 34 km2). Peningkatan
debit ini disebabkan oleh: intensitas hujan yang besar, atau intensitas hujan yang
sama namun jatuh pada wilayah yang telah berubah atau telah mengalami
konversi penggunaan lahan.
b. Berkurangnya kapasitas pengaliran atau daya tampung saluran atau sungai
tersebut, sehingga air meluap menggenangi daerah di sekitarnya.
c. Banjir kiriman ini diperparah oleh kiriman air dari daerah atas yang semakin
besar, sebagai konsekuensi bertambah luasnya daerah terbangun yang merubah
koefisien alirannya.

Banjir lokal yang lebih bersifat setempat, sesuai dengan atau seluas kawasan yang
tertumpah air hujan, terjadi disebabkan oleh:
a. Tingginya intensitas hujan.
b. Belum tersedianya sarana drainase yang memadai.
c. Penggunaan saluran yang masih untuk berbagai tujuan (multipurpose) baik untuk
penyaluran air hujan, limbah, dan sampah rumah tangga, padahal belum bisa
diimbangi oleh air penggelontoran yang dialirkan.
d. Banjir lokal ini diperparah oleh fasilitas bangunan bawah tanah (pipa PAM, kabel
Telkom, dan PLN) yang kedudukannya sangat mengganggu drainase.
Sedangkan banjir rob yang melanda daerah-daerah di pinggiran laut atau pantai
disebabkan oleh:
a. Permukaan tanah yang lebih rendah daripada muka pasang air laut.
b. Bertambah tingginya pasang air laut.
c. Sedimentasi dari daerah atas (burit) di muara sungai (Kali Semarang, Banjir
Kanal Barat, Kali Silandak, Kali Banger, Silandak Flood Way, Baru Flood Way,
dan kali Asin) maupun sedimentasi air laut khususnya oleh pasang surut (rob), di
samping oleh pengaruh gelombang dan arus sejajar pantai, sehingga terjadi
pendangkalan muara yang berakibat mengurangi kapasitas penyaluran dan akibat
selanjutnya menambah parah banjir di sekitarnya.

Pilihan-pilihan Kebijakan
Berikut ini adalah pilihan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah Kota
Semarang dalam menangani masalah banjir. Langkah-langkah untuk menangani banjir
dibagi menjadi tiga, yaitu: langkah-langkah untuk menangani banjir lokal, banjir
genangan, dan banjir rob.


1) Untuk menangani banjir lokal perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
di Semarang Barat perlu dibangun saluran sabuk, di daerah hilir perlu
normalisasi banjir kanal barat dan banjir kanal silandak untuk mengembalikan
kepada kapasitas rancangan, di daerah hulu (lahan burit) perlu diatur dengan
PERDA tentang kawasan dapat terbangun, kawasan konservasi, dan
pembuatan sumur resapan sehingga fungsi daerah atas sebagai daerah resapan
terjamin.
2) Untuk menangani banjir genangan perlu diambil langkah-langkah sebagai
berikut: saluran drainase yang ada sebaiknya digunakan untuk mengalirkan air
hujan saja (single purpose) dan perlu dibangun saluran tersendiri untuk limbah
dan keperluan lainnya, normalisasi dan pemeliharaan saluran-saluran drainase
yang ada, perbaikan inlet yang sesuai dengan kapasitas debit yang harus
dialirkan, penyusunan PERDA tentang bangunan bawah tanah untuk
infrastruktur PLN, PDAM, TELKOM, atau instansi lainnya dan pengaturan
luas lahan terbangun, penyuluhan terhadap masyarakat.
3) Untuk menangani banjir rob perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut:
pembangunan drainase nongravitasi di Kali Asin, Baru, dan Banger,
pembuatan PERDA pengembangan wilayah pantai (termasuk reklamasi) dan
izin peil bangunan yang dikaitkan dengan IMB, serta penertiban dan
memperketat perizinan air bawah tanah.

Sistem drainase merupakan suatu sistem untuk mengalirkan atau membuang
air hujan yang jatuh di suatu daerah agar tidak terjadi genangan atau banjir. Pada
prinsipnya ada dua macam drainase, yakni drainase untuk daerah perkotaan dan
drainase untuk daerah pertanian. Pada perencanaan dan pengembangan sistem
drainase kota perlu kombinasi antara pengembangan perkotaan, daerah rural, dan
daerah aliran sungai atau DAS
.
Drainase memiliki berbagai fungsi, antara lain: membebaskan suatu wilayah
(terutama yang padat pemukiman) dari genangan air atau banjir, memperkecil risiko
kesehatan lingkungan, yakni bebas dari malaria (nyamuk) dan penyakit lainnya,
sebagai pembuangan air rumah tangga.


Ukuran dan kapasitas saluran sistem drainase semakin ke hilir semakin besar,
karena semakin luas daerah alirannya. Adapun berbagai kendala di dalam
pemeliharaan sistem drainase di wilayah kota dengan permukiman yang padat:
kurangnya lahan untuk pengembangan sistem drainase karena sudah berfungsi untuk
tata guna lahan tertentu, sulitnya memelihara saluran karena bagian atas sudah ditutup
oleh bangunan, banyaknya sampah domestik yang menumpuk di saluran sehingga
mengurangi kapasitas dan menyumbat saluran. Pemahaman masyarakat bahwa sungai
(drainase) sebagai tempat buangan sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan.
Terbatasnya dana untuk pemeliharaan saluran. Sistem drainase seringkali tidak
berfungsi optimal karena pembangunan infrastruktur lainnya yang tidak terpadu dan
tidak melihat keberadaan sistem drainase seperti jalan, kabel TELKOM, pipa PDAM.
Secara estetika, drainase bukan merupakan infrastruktur yang bisa dilihat
keindahannya karena fungsinya sebagai tempat pembuangan air dari semua sumber.
Umumnya drainase di perkotaan kumuh dan berbau tidak sedap.
Pemerintah membuat metode khusus untuk mengendalikan masalah banjir
yang sering terjadi pada musim penghujan. Ada beberapa metode untuk pengendalian
banjir antara lain:
a. Metode Non-Struktur Yang termasuk metode ini antara lain: pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, law enforcement,
pengendalian erosi di DAS, pengaturan dan pengembangan daerah banjir.
b. Metode Struktur: Bangunan Pengendali Banjir Yang termasuk metode ini
antara lain: bendungan (dam), kolam retensi, pembuatan check dam
(penangkap sedimen), bangunan pengurang kemiringan sungai, groundsill,
retarding basin, pembuatan polder.
c. Metode Struktur: Perbaikan dan Pengaturan Sistem Sungai
Yang termasuk metode ini antara lain: sistem jaringan sungai, pelebaran atau
pengerukan sungai (normalisasi), perlindungan tanggul, tanggul banjir,
sudetan (by pass), floodway.




Adanya penyuluhan terhadap masyarakat sehinga Masyarakat dapat bersikap dan
bertindak untuk mengantisipasi datangnya banjir. Misalnya dengan melakukan hal-hal
berikut ini:
Menjauhi daerah rawan banjir dalam membuka permukiman.
Bagi yang sudah telanjur bermukim di daerah banjir, sebaiknya meninggikan
lantai rumah hingga di atas permukaan air banjir.
Mengembangkan sistem peringatan dini terhadap banjir di lingkungan masing-
masing. Misalnya dengan sirene.
Mengetahui ke mana harus mengungsi dan meminta pertolongan kesehatan
bila datang banjir.
Mengetahui dan menyiapkan dengan cepat apa yang terpenting untuk dibawa
tatkala mengungsi. Yaitu pakaian, air minum, sabun, pasta gigi, obat-obatan,
dan bahan makanan yang tahan lama.
Mengetahui dan dapat melakukan dengan cepat hal-hal penting sebelum
meninggalkan rumah untuk mengungsi. Misalnya memutus aliran listrik
(menurunkan sekering listrik).
Menyiapkan sarana transportasi air yang diperlukan ketika terjadi banjir.
Membantu pengamanan dan keberhasilan usaha-usaha pengungsian dan
penyelamatan (evakuasi), sehingga memperkecil jumlah korban dan kerugian
yang timbul.






BAB Iv
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Penanggulangan bencana banjir pada Kota Semarang pada umumnya serta
pembangunan sistem drainase kawasan Bandar Udara Achmad Yani pada khususnya
harus melihat lebih bijak dalam penanganan permasalahan yang dihadapi, dikaitkan
dengan kondisi alam dan masyarakat. Diharapkan adanya suatu tindak lanjut agar
penanganan drainase di kawasan Bandar Udara Achmad Yani dimana kondisi saluran
drainasenya kurang terpelihara dan terdapat banyak sedimen harus segera ditangani.
Dengan adanya pembangunan sistem drainase pada kawasan Bandar Udara
Achmad Yani terutama pada Sungai Silandak diharapkan mampu menanggulangi
genangan yang terjadi di kawasan tersebut. Pada Sungai Silandak besarnya kapasitas
eksisting tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi, oleh karena itu
dilakukan normalisasi dan pembuatan tanggul saluran.
Dari hasil analisis segi teknis maupun sosial, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
a. Debit maksimum yang terjadi di Sungai Silandak sebesar 130,57 m3/s,
Sungai Tugurejo, Sungai Tambakharjo, Sungai Jumbleng sebesar 86,79m3/s
dan Sungai Siangker sebesar 15,79m3/s. Hasil ini didapat dengan
menggunakan program Epa SWMM 5.0
b. Dengan menggunakan debit maksimum Sungai Silandak direncanakan
normalisasi Sungai dan pembuatan tanggul menggunakan program Hec-ras.
c. Masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pembangunan sehingga dapat
menghindari terjadinya pertentangan tujuan antara pemerintah (penyedia
fasilitas) dan kepentingan masyarakat. Juga untuk menghilangkan kesan
bahwa fasilitas dan prasarana yang dibangun semata-mata hanya milik
pemerintah, sehingga masyarakat tidak peduli dengan keberadaannya.
Dengan demikian masyarakat akan 167 menyetujui dilaksanakannya proyek
pembangunan drainase ini, serta sanggup mengalami gangguan pada
pembangunannya bahkan mengorbankan sebagian kepentingannya demi
kelangsungan proyek ini. Selanjutnya diharapkan masyarakat akan
memelihara saluran tersebut pada saat dioperasikan.Untuk menjawab
permasalahan drainase yang ada pada rencana pembangunan sistem drainase
Sungai Silandak maka perlu adanya komitmen bersama berbagai pihak,
dalam hal ini PemKot, pihak swasta, Perguruan Tinggi, LSM, pengusaha dan
masyarakat untuk dapat bekerjasama mengupayakan penuntasan masalah
banjir yang menjadi masalah bersama warga kota Semarang.

B. SARAN
Dari hasil analisa yang telah dilakukan, hubungannya dengan perencanaan tata
guna lahan di daerah Semarang, khususnya di DAS Silandak maka perlu diajukan
rekomendasi sebagai bahan pertimbangan kebijakan pemerintah daerah dalam
penentuan perencanaan tata gunA lahan RDTRK. Adapun rekomendasi yang
diajukan yaitu:
1. Untuk mencegah terjadinya genangan pada kawasan Bandar Udara Achmad
Yani dan kerusakan pada sistem saluran Sungai Silandak maka perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:
a) Tindakan Konservasi Lahan
Tindakan Konservasi Lahan yang dimaksud adalah suatu tindakan
terhadap pencegahan komponen-komponen lingkungan agar tidak
terjadi kerusakan yang lebih parah. Misalnya pada daerah-daerah yang
memiliki laju erosi kritis dijadikan sebagai lahan konservasi berupa
penanaman tanaman berkayu keras seperti pohon karet, sengon, dan
jati. Konservasi ini juga sangat membantu dalam pengadaan daerah
resapan air, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya erosi dan
banjir.
b) Pembatasan pembukaan lahan 168
Pembukaan lahan dalam pengembangan suatu wilayah perkotaan
hampir pasti harus dilakukan, namun demikian perlu dilakukan
perencanaan dan evaluasi yang ketat agar tidak berdampak negatif
terhadap kondisi linkungan hidup. Dalam kaitannya dengan obyek
penelitian, pembatasan pembukaan lahan perlu dilakukan khususnya di
daerah bagian hulu Sungai Silandak. Penggunaan nilai Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) yang sesuai dengan peraturan dalam perencanaan
suatu lahan juga sangat berperan dalam mengendalikan perbandingan
yang ideal antara kondisi lahan terbuka dan lahan tidak terbuka/
terbangun.
2. Penempatan suatu permukiman dalam suatu wilayah harus disesuaikan dengan
kondisi topografi dan geologi. Lokasi permukiman yang berdekatan dengan
lereng bukit yang terjal serta kondisi tanah yang kurang baik secara geologi,
menyebabkan tingginya resiko terkena bencana longsor.
3. Perubahan lahan terbuka seperti pertanian lahan kering dan perkebunan
menjadi kawasan permukiman, dapat mengurangi laju erosi yang terjadi.
Kondisi tata guna lahan di wilayah DAS Silandak yang secara umum
dikembangkan menjadi kawasan permukiman pada tahun 2010, ternyata
diprediksi akan mengalami penurunan laju erosi. Akan tetapi kondisi ini tidak
sepenuhnya lebih baik. Pembukaan lahan yang berlebihan serta pengembangan
kawasan permukiman yang tidak terarah dapat mengurangi daerah resapan air
serta penurunan muka air tanah akibat akitivitas di kawasan permukiman. Hal
ini dapat menyebabkan daerah hilir sungai menjadi rawan terkena banjir.
4. Analisa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilakukan terhadap obyek
penelitian dapat dikembangkan lebih bervariasi.
5. Mengoptimalkan program dan pendanaan operasional dan pemeliharaan,
sehingga sistem drainase dapat berfungsi dengan baik dan bertahan sesuai
dengan waktu perencanaan.

DAFTAR PUSTAKA


http://id.shvoong.com/travel/destination/2217625-kondisi-fisik-kota-semarang/
http://semarangkota.go.id/portal/index.php/article/details/kondisi-umum

Anda mungkin juga menyukai