disusun oleh: Lyvia Nurhafita 21010111130148 Setyadara Yuvita 21010111140198 Arif Kurnia Raharja 21010111140246 Grace Simanjuntak 21010111140208 Andreas Novier 21010111130156 Bimo Wikantiyoso 21010111130165 Ridho Ramadhan. 21010111140201 Sindy Noor Wicaksono 21010111140235 Achmad Chasan M. 21010111130153 Fadhil Akbar 21010111140242 Yan Borisman Lubis 21010111140194
Dosen Pengampu Ir. Abdul Kadir Dipl.HE, MT.
JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Semarang sebagai salah satu kota mayor di Jawa Tengah memiliki beberapa peranan penting dalam pembangunan Jawa Tengah. Namun, Kota Semarang sendiri memiliki suatu masalah yang sudah menahun, yakni masalah banjir. Banjir yang biasaterjadi di kota semarang adalah banjir rob, banjir kiriman, dan terkadang terjadi pula banjir yang diakibatkan buruknya sarana drainase. Hal ini sangat mengganggu aktifitas yang terjadi di Ibukota Provinsi Jawa Tengah ini. Sebelum meninjau banjir yang terjadi di kota Semarang, kita harus mengetahui lebih dahulu apa penyebab banjir yang umum terjadi. Dari penyebab- penyebab tersebut, kemudian barulah kita dapat mengidentifikasi banjir yang terjadi di kota Semarang, barulah kita dapat mempertimbangkan langkah- langkah yang mungkin digunakan untuk mengatasi banjir- banjir tersebut. Banjir- Banjir yang terjadi di kota Semarang beberapa diantaranya disebabkan oleh letak geografis Kota Semarang yang berada di bawah permukaan laut. Blue Print awal yang sudah ada sejak pemerintahan jaman kolonial Belanda juga tidak berjalan. So be it.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja penyebab banjir? 2. Apa penyebab banjir di Semarang? 3. Bagaimana cara mengatasinya?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan penyebab terjadinya banjir. 2. Mengetahui penyebab banjir di Semarang 3. Memberikan alternatif- alternatif yang mungkin untuk mengatasi banjir yang terjadi di Semarang.
BAB II DESKRIPSI WILAYAH STUDI
2.1. Geografis dan Topografi Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,70 km 2 . Secara administratif Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan dan 177 Kelurahan. Dari 16 Kecamatan yang ada, terdapat 2 Kecamatan yang mempunyai wilayah terluas yaitu Kecamatan Mijen, dengan luas wilayah 57,55 km 2 dan Kecamatan Gunungpati, dengan luas wilayah 54,11 Km 2 . Kedua Kecamatan tersebut terletak di bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan yang sebagian besar wilayahnya masih memiliki potensi pertanian dan perkebunan. Sedangkan kecamatan yang mempunyai luas terkecil adalah Kecamatan Semarang Selatan, dengan luas wilayah 5,93 km 2 diikuti oleh Kecamatan Semarang Tengah, dengan luas wilayah 6,14 km 2 . Batas wilayah administratif Kota Semarang sebelah barat adalah Kabupaten Kendal, sebelah timur dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 13,6 kilometer. Letak dan kondisi geografis, Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara garis 6 0 50 7 o 10 Lintang Selatan dan garis 109 0 35 110 0 50 Bujur Timur. Kota Semarang sangat dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang membentuk suatu kota yang mempunyai ciri khas, yaitu Kota Pegunungan dan Kota Pantai. Di daerah pegunungan mempunyai ketinggian 90 - 359 meter di atas permukaan laut sedangkan di daerah dataran rendah mempunyai ketinggian 0,75 - 3,5 meter di atas permukaan laut.
2.2. Kondisi Meteorologi Sebagai kawasan yang terletak di daerah tropis, iklim kota Semarang ditandai dengan suhu udara dan kelembaban udara yang tinggi. Suhu udara rata-rata bulanan tahun 2003-2008 yang tercatat pada Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Semarang menunjukkan angka antara 26,6 C sampai dengan 28,8 C. Suhu udara rata- rata bulanan tertinggi yang pernah dicapai yaitu 32,9 C terjadi pada bulan Mei 2004. Sedangkan suhu udara rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan April 2005 yaitu 21,1 C Kelembaban udara rata-rata bulanan pada rentang waktu yang sama berkisar antara 62,3 % sampai dengan 84,5 %. (gambar 4.3). Kelembaban udara rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Februari 2003 dan bulan yang sama tahun 2008, yaitu sebesar 86%. Sedangkan kelembaban udara rata-rata bulanan terendah yaitu sebesar 44 % terjadi pada bulan September 2008. Data yang tercatat di Stasiun Klimatologi Semarang tahun 2004 2008 menunjukkan bahwa kecepatan angin rata rata bulanan yang terjadi adalah antara 5,4 7,6 m/detik. (Gambar 4.4). Kecepatan angin rata rata bulanan terbesar yang pernah terjadi adalah 11 m/detik pada bulan Juli 2007. Pada bulan Desember 2005, kecepatan angin rata rata bulanan mencapai angka terendah yaitu sebesar 4,7m/detik
2.3. Kondisi Geologi Kondisi Geologi Kota Semarang berdasarkan Peta Geologo Lembar Magelang- Semarang (RE.Thaden, dkk; 1996), susunan stratigafinya adalah sebagai berikut : Aluvium (Qa), Batuan Gunungapi Gajahmungkur (Qhg), Batuan Gunungapi Kaligesik (Qpk), Formasi Jongkong (Qpj), Formasi Damar (QTd). Formasi Kaligetas (Qpkg), Formasi Kalibeng (Tmkl), Formasi Kerek (Tmk). Pada dataran rendah berupa endapan alluvial sungai, endapan fasies dataran delta dan endapan fasies pasang-surut. Endapan tersebut terdiri dari selang-seling antara lapisan pasir, pasir lanauan dan lempung lunak, dengan sisipan lensa-lensa kerikil dan pasir vulkanik. Sedangkan daerah perbukitan sebagian besar memiliki struktur geologi berupa batuan beku. Struktur Geologi yang cukup mencolok di wilayah Kota Semarang berupa kelurusan-kelurusan dan kontak batuan yang tegas yang merupakan pencerminan struktur sesar baik geser mendatar dan normal cukup berkembang di bagian tengah dan selatan kota. Jenis sesar yang ada secara umum berupa sesar yang terdiri dari sesar normal, sesar geser dan sesar naik. Sesar normal relatif berarah barat - timur sebagian agak cembung ke arah utara, sesar geser berarah utara selatan hingga barat laut - tenggara, sedangkan sesar normal relatif berarah barat - timur. Sesar-sesar tersebut umumnya terjadi pada batuan Formasi Kerek, Formasi Kalibening dan Formasi Damar yang berumur kuarter dan tersier. Geseran-geseran intensif sering terlihat pada batuan napal dan batu lempung, yang terlihat jelas pada Formasi Kalibiuk di daerah Manyaran dan Tinjomoyo. Struktur sesar ini merupakan salah satu penyebab daerah tersebut mempunyai jalur lemah, sehingga daerahnya mudah tererosi dan terjadi gerakan tanah. Adapun berbagai jenis tanah yang ada di kota semarang bisa diperlihatkan sebagai berikut :
BAB III PERMASALAHAN
3.1. Latar Belakang Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensimenimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektar. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang melanda daerahdaerah rawan, pada dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga, degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya. Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggunya, bahkan terhentinya. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata. terutama pada aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi parasana publik yang rusak. Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun, menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan. Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural approach), ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan banjir, selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana. Selain itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya mencakup partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga efektifitasnya dipertanyakan. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana.2 Pertanyaannya adalah siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat berpartisipasi? Dan pada tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. Kekeliruan perumusan kebijakan tersebut menyebabkan berbagai kepentingan individu/kelompok lebih dominan, kemudian kebijakan dimanfaatkan untuk kepentingan negatif. Akibatnya kebijakan yang ditetapkan tidak efektif, bahkan batal. Dengan demikian, penanggulangan banjir yang hanya melulu pembangunan fisik (structural approach), harus disinergikan dengan pembangunan non fisik (non-structural approach), yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga hasilnya lebih optimal. Dari penjelasan di atas, maka kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat fisik, harus diimbangi dengan langkah-langkah non-fisik, sehingga peran masyarakat dan stakeholder lainnya diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya. Atas pertimbangan tersebut, sebagai institusi yang ditugaskan mengkoordinasikan perencanaan pembangunan, Bappenas mengkaji kebijakan penanggulangan banjir yang komprehensif dan tidak bias sektor dan wilayah, dengan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir.
3.2 Deskripsi Masalah Ada lima potensi banjir di Kota Semarang. Potensi pertama, melihat karakteristik geografi, Kota Semarang memiliki daerah-daerah potensi banjir, karena adanya perbedaan tinggi dataran antara wilayah utara dan ilayah selatan. Kondisi ini terjadi karena adanya banjir kiriman dari wilayah selatan Kota Semarang dan kabupaten Semarang. Potensi kedua, adanya perubahan pemanfaatan lahan dari hutan karet menjadi perumahan di wilayah kecamatan Mijen memperbesar kerusakan di daerah tersebut. Akibatnya jumlah air hujan yang mengalir ke wilayah Ngaliyan menjadi bertambah dan membuat daerah tersebut terkena musibah banjir; padahal sebelumnya di daerah tersebut belum pernah terkena banjir. Selain penggundulan hutan, perubahan fungsi lahan yang terjadi di wilayah Kabupaten Semarang dari areal pertanian menjadi areal perumahan baru. Penyebab lain, banyak sungai yang berhulu di daerah Kabupaten Semarang melewati Kota Semarang. Potensi ketiga, adanya pengeprasan bukit di beberapa tempat mengakibatkan perubahan pola aliran air, erosi, dan mempertinggi kecepatan air, sehingga membebani pengairan. Potensi keempat, pembangunan rumah liar di atas bantaran sungai, pembuatan tambak yang mempersempit sungai dan penutupan saluran di daerah hilir. Potensi kelima adalah permasalahan non-teknis yaitu perilaku masyarakat kota Semarang yang buruk. Perilaku membuang sampah di saluran dan di sembarang tempat. Rendahnya kesadaran masyarakat koa ditunjukkan sewaktu banjir di beberapa jalan protokol kota Semarang diakibatkan adanya saluran yang tersumbat, namun masyarakat tidak segera mengatasinya melainkan menunggu petugas dari pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi permasalahan pada saluran tersebut. Penyebab Banjir Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan banjir, antara lain: perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase, perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat, curah hujan, pengaruh fisiografi/geofisik sungai, kapasitas sungai, kapasitas drainase yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah dan rob, drainase lahan, bendung dan bangunan air, serta kerusakan bangunan pengendali banjir. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan dengan penyebab yang lainnya. Penyebab Banjir di Kota Semarang Banjir di dataran alluvial sungai dan alluvial pantai Semarang dapat dikelompokkan menjadi tiga macam banjir, yaitu banjir kiriman, banjir lokal, dan banjir rob.
Banjir kiriman yang terjadi secara periodik setiap tahun dan melanda daerah sekitar pertemuan Kali Kreo, Kali Kripik, dan Kali Garang sampai di Kampung Bendungan disebabkan oleh: a. Peningkatan debit air sungai yang mengalir dari DAS Garang (luasnya 204 km2), DAS Kreo (luasnya 70 km2), dan DAS Kripik (luasnya 34 km2). Peningkatan debit ini disebabkan oleh: intensitas hujan yang besar, atau intensitas hujan yang sama namun jatuh pada wilayah yang telah berubah atau telah mengalami konversi penggunaan lahan. b. Berkurangnya kapasitas pengaliran atau daya tampung saluran atau sungai tersebut, sehingga air meluap menggenangi daerah di sekitarnya. c. Banjir kiriman ini diperparah oleh kiriman air dari daerah atas yang semakin besar, sebagai konsekuensi bertambah luasnya daerah terbangun yang merubah koefisien alirannya.
Banjir lokal yang lebih bersifat setempat, sesuai dengan atau seluas kawasan yang tertumpah air hujan, terjadi disebabkan oleh: a. Tingginya intensitas hujan. b. Belum tersedianya sarana drainase yang memadai. c. Penggunaan saluran yang masih untuk berbagai tujuan (multipurpose) baik untuk penyaluran air hujan, limbah, dan sampah rumah tangga, padahal belum bisa diimbangi oleh air penggelontoran yang dialirkan. d. Banjir lokal ini diperparah oleh fasilitas bangunan bawah tanah (pipa PAM, kabel Telkom, dan PLN) yang kedudukannya sangat mengganggu drainase. Sedangkan banjir rob yang melanda daerah-daerah di pinggiran laut atau pantai disebabkan oleh: a. Permukaan tanah yang lebih rendah daripada muka pasang air laut. b. Bertambah tingginya pasang air laut. c. Sedimentasi dari daerah atas (burit) di muara sungai (Kali Semarang, Banjir Kanal Barat, Kali Silandak, Kali Banger, Silandak Flood Way, Baru Flood Way, dan kali Asin) maupun sedimentasi air laut khususnya oleh pasang surut (rob), di samping oleh pengaruh gelombang dan arus sejajar pantai, sehingga terjadi pendangkalan muara yang berakibat mengurangi kapasitas penyaluran dan akibat selanjutnya menambah parah banjir di sekitarnya.
Pilihan-pilihan Kebijakan Berikut ini adalah pilihan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah Kota Semarang dalam menangani masalah banjir. Langkah-langkah untuk menangani banjir dibagi menjadi tiga, yaitu: langkah-langkah untuk menangani banjir lokal, banjir genangan, dan banjir rob.
1) Untuk menangani banjir lokal perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: di Semarang Barat perlu dibangun saluran sabuk, di daerah hilir perlu normalisasi banjir kanal barat dan banjir kanal silandak untuk mengembalikan kepada kapasitas rancangan, di daerah hulu (lahan burit) perlu diatur dengan PERDA tentang kawasan dapat terbangun, kawasan konservasi, dan pembuatan sumur resapan sehingga fungsi daerah atas sebagai daerah resapan terjamin. 2) Untuk menangani banjir genangan perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: saluran drainase yang ada sebaiknya digunakan untuk mengalirkan air hujan saja (single purpose) dan perlu dibangun saluran tersendiri untuk limbah dan keperluan lainnya, normalisasi dan pemeliharaan saluran-saluran drainase yang ada, perbaikan inlet yang sesuai dengan kapasitas debit yang harus dialirkan, penyusunan PERDA tentang bangunan bawah tanah untuk infrastruktur PLN, PDAM, TELKOM, atau instansi lainnya dan pengaturan luas lahan terbangun, penyuluhan terhadap masyarakat. 3) Untuk menangani banjir rob perlu diambil langkah-langkah sebagai berikut: pembangunan drainase nongravitasi di Kali Asin, Baru, dan Banger, pembuatan PERDA pengembangan wilayah pantai (termasuk reklamasi) dan izin peil bangunan yang dikaitkan dengan IMB, serta penertiban dan memperketat perizinan air bawah tanah.
Sistem drainase merupakan suatu sistem untuk mengalirkan atau membuang air hujan yang jatuh di suatu daerah agar tidak terjadi genangan atau banjir. Pada prinsipnya ada dua macam drainase, yakni drainase untuk daerah perkotaan dan drainase untuk daerah pertanian. Pada perencanaan dan pengembangan sistem drainase kota perlu kombinasi antara pengembangan perkotaan, daerah rural, dan daerah aliran sungai atau DAS . Drainase memiliki berbagai fungsi, antara lain: membebaskan suatu wilayah (terutama yang padat pemukiman) dari genangan air atau banjir, memperkecil risiko kesehatan lingkungan, yakni bebas dari malaria (nyamuk) dan penyakit lainnya, sebagai pembuangan air rumah tangga.
Ukuran dan kapasitas saluran sistem drainase semakin ke hilir semakin besar, karena semakin luas daerah alirannya. Adapun berbagai kendala di dalam pemeliharaan sistem drainase di wilayah kota dengan permukiman yang padat: kurangnya lahan untuk pengembangan sistem drainase karena sudah berfungsi untuk tata guna lahan tertentu, sulitnya memelihara saluran karena bagian atas sudah ditutup oleh bangunan, banyaknya sampah domestik yang menumpuk di saluran sehingga mengurangi kapasitas dan menyumbat saluran. Pemahaman masyarakat bahwa sungai (drainase) sebagai tempat buangan sudah menjadi budaya yang sulit dihilangkan. Terbatasnya dana untuk pemeliharaan saluran. Sistem drainase seringkali tidak berfungsi optimal karena pembangunan infrastruktur lainnya yang tidak terpadu dan tidak melihat keberadaan sistem drainase seperti jalan, kabel TELKOM, pipa PDAM. Secara estetika, drainase bukan merupakan infrastruktur yang bisa dilihat keindahannya karena fungsinya sebagai tempat pembuangan air dari semua sumber. Umumnya drainase di perkotaan kumuh dan berbau tidak sedap. Pemerintah membuat metode khusus untuk mengendalikan masalah banjir yang sering terjadi pada musim penghujan. Ada beberapa metode untuk pengendalian banjir antara lain: a. Metode Non-Struktur Yang termasuk metode ini antara lain: pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, law enforcement, pengendalian erosi di DAS, pengaturan dan pengembangan daerah banjir. b. Metode Struktur: Bangunan Pengendali Banjir Yang termasuk metode ini antara lain: bendungan (dam), kolam retensi, pembuatan check dam (penangkap sedimen), bangunan pengurang kemiringan sungai, groundsill, retarding basin, pembuatan polder. c. Metode Struktur: Perbaikan dan Pengaturan Sistem Sungai Yang termasuk metode ini antara lain: sistem jaringan sungai, pelebaran atau pengerukan sungai (normalisasi), perlindungan tanggul, tanggul banjir, sudetan (by pass), floodway.
Adanya penyuluhan terhadap masyarakat sehinga Masyarakat dapat bersikap dan bertindak untuk mengantisipasi datangnya banjir. Misalnya dengan melakukan hal-hal berikut ini: Menjauhi daerah rawan banjir dalam membuka permukiman. Bagi yang sudah telanjur bermukim di daerah banjir, sebaiknya meninggikan lantai rumah hingga di atas permukaan air banjir. Mengembangkan sistem peringatan dini terhadap banjir di lingkungan masing- masing. Misalnya dengan sirene. Mengetahui ke mana harus mengungsi dan meminta pertolongan kesehatan bila datang banjir. Mengetahui dan menyiapkan dengan cepat apa yang terpenting untuk dibawa tatkala mengungsi. Yaitu pakaian, air minum, sabun, pasta gigi, obat-obatan, dan bahan makanan yang tahan lama. Mengetahui dan dapat melakukan dengan cepat hal-hal penting sebelum meninggalkan rumah untuk mengungsi. Misalnya memutus aliran listrik (menurunkan sekering listrik). Menyiapkan sarana transportasi air yang diperlukan ketika terjadi banjir. Membantu pengamanan dan keberhasilan usaha-usaha pengungsian dan penyelamatan (evakuasi), sehingga memperkecil jumlah korban dan kerugian yang timbul.
BAB Iv KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Penanggulangan bencana banjir pada Kota Semarang pada umumnya serta pembangunan sistem drainase kawasan Bandar Udara Achmad Yani pada khususnya harus melihat lebih bijak dalam penanganan permasalahan yang dihadapi, dikaitkan dengan kondisi alam dan masyarakat. Diharapkan adanya suatu tindak lanjut agar penanganan drainase di kawasan Bandar Udara Achmad Yani dimana kondisi saluran drainasenya kurang terpelihara dan terdapat banyak sedimen harus segera ditangani. Dengan adanya pembangunan sistem drainase pada kawasan Bandar Udara Achmad Yani terutama pada Sungai Silandak diharapkan mampu menanggulangi genangan yang terjadi di kawasan tersebut. Pada Sungai Silandak besarnya kapasitas eksisting tidak mampu menampung debit banjir yang terjadi, oleh karena itu dilakukan normalisasi dan pembuatan tanggul saluran. Dari hasil analisis segi teknis maupun sosial, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Debit maksimum yang terjadi di Sungai Silandak sebesar 130,57 m3/s, Sungai Tugurejo, Sungai Tambakharjo, Sungai Jumbleng sebesar 86,79m3/s dan Sungai Siangker sebesar 15,79m3/s. Hasil ini didapat dengan menggunakan program Epa SWMM 5.0 b. Dengan menggunakan debit maksimum Sungai Silandak direncanakan normalisasi Sungai dan pembuatan tanggul menggunakan program Hec-ras. c. Masyarakat perlu dilibatkan pada setiap tahap pembangunan sehingga dapat menghindari terjadinya pertentangan tujuan antara pemerintah (penyedia fasilitas) dan kepentingan masyarakat. Juga untuk menghilangkan kesan bahwa fasilitas dan prasarana yang dibangun semata-mata hanya milik pemerintah, sehingga masyarakat tidak peduli dengan keberadaannya. Dengan demikian masyarakat akan 167 menyetujui dilaksanakannya proyek pembangunan drainase ini, serta sanggup mengalami gangguan pada pembangunannya bahkan mengorbankan sebagian kepentingannya demi kelangsungan proyek ini. Selanjutnya diharapkan masyarakat akan memelihara saluran tersebut pada saat dioperasikan.Untuk menjawab permasalahan drainase yang ada pada rencana pembangunan sistem drainase Sungai Silandak maka perlu adanya komitmen bersama berbagai pihak, dalam hal ini PemKot, pihak swasta, Perguruan Tinggi, LSM, pengusaha dan masyarakat untuk dapat bekerjasama mengupayakan penuntasan masalah banjir yang menjadi masalah bersama warga kota Semarang.
B. SARAN Dari hasil analisa yang telah dilakukan, hubungannya dengan perencanaan tata guna lahan di daerah Semarang, khususnya di DAS Silandak maka perlu diajukan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan kebijakan pemerintah daerah dalam penentuan perencanaan tata gunA lahan RDTRK. Adapun rekomendasi yang diajukan yaitu: 1. Untuk mencegah terjadinya genangan pada kawasan Bandar Udara Achmad Yani dan kerusakan pada sistem saluran Sungai Silandak maka perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut: a) Tindakan Konservasi Lahan Tindakan Konservasi Lahan yang dimaksud adalah suatu tindakan terhadap pencegahan komponen-komponen lingkungan agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Misalnya pada daerah-daerah yang memiliki laju erosi kritis dijadikan sebagai lahan konservasi berupa penanaman tanaman berkayu keras seperti pohon karet, sengon, dan jati. Konservasi ini juga sangat membantu dalam pengadaan daerah resapan air, sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya erosi dan banjir. b) Pembatasan pembukaan lahan 168 Pembukaan lahan dalam pengembangan suatu wilayah perkotaan hampir pasti harus dilakukan, namun demikian perlu dilakukan perencanaan dan evaluasi yang ketat agar tidak berdampak negatif terhadap kondisi linkungan hidup. Dalam kaitannya dengan obyek penelitian, pembatasan pembukaan lahan perlu dilakukan khususnya di daerah bagian hulu Sungai Silandak. Penggunaan nilai Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang sesuai dengan peraturan dalam perencanaan suatu lahan juga sangat berperan dalam mengendalikan perbandingan yang ideal antara kondisi lahan terbuka dan lahan tidak terbuka/ terbangun. 2. Penempatan suatu permukiman dalam suatu wilayah harus disesuaikan dengan kondisi topografi dan geologi. Lokasi permukiman yang berdekatan dengan lereng bukit yang terjal serta kondisi tanah yang kurang baik secara geologi, menyebabkan tingginya resiko terkena bencana longsor. 3. Perubahan lahan terbuka seperti pertanian lahan kering dan perkebunan menjadi kawasan permukiman, dapat mengurangi laju erosi yang terjadi. Kondisi tata guna lahan di wilayah DAS Silandak yang secara umum dikembangkan menjadi kawasan permukiman pada tahun 2010, ternyata diprediksi akan mengalami penurunan laju erosi. Akan tetapi kondisi ini tidak sepenuhnya lebih baik. Pembukaan lahan yang berlebihan serta pengembangan kawasan permukiman yang tidak terarah dapat mengurangi daerah resapan air serta penurunan muka air tanah akibat akitivitas di kawasan permukiman. Hal ini dapat menyebabkan daerah hilir sungai menjadi rawan terkena banjir. 4. Analisa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dilakukan terhadap obyek penelitian dapat dikembangkan lebih bervariasi. 5. Mengoptimalkan program dan pendanaan operasional dan pemeliharaan, sehingga sistem drainase dapat berfungsi dengan baik dan bertahan sesuai dengan waktu perencanaan.