Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KEDUDUKAN DAN WEWENANG KEJAKSAAN REPUBLIK


INDONESIA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Sebelum Lahirnya Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

1. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa HIR

Sewaktu pemerintahan jajahan Belanda mengundangkan IR (Inlandsch
Reglement atau Reglemen Bumi Putra) dan RO (Reglement op de Rechterlijke
Organisatie atau Reglemen Oraginsasi Peradilan). IR merumuskan antara lain
merumuskan hukum acara pidana, sedangkan RO merumuskan badan penuntut
umum pada pengadilan bumi putra maupun pengadilan golongan Eropa di Hindia
Belanda.
26
Setelah berkali-kali diubah dan ditambah, pada kahirnya tahun 1941, IR
diganti menjadi HIR (Herziene Inlandsch Reglement atau Reglemen Bumi Putra
yang Diperbaharui kemudian menjadi Reglemen Indonesia yang Diperbaharui).
HIR mengatur hukum acara perdata dan hukum acara pidana untuk pengadilan-
pengadilan bumi putra sedangkan jaksa (magistraat) pada pengadilan tersebut
berada pada tangan resident atau asisten resident di kabupaten-kabupaten. Setiap
magistraat membawahi beberapa jaksa (bumi putra).

27
Menurut sistem HIR jaksa mempunyai tugas dan wewenang yang sangat
menentukan (centralfigur) dalam pemeriksaan pendahuluan yang mencakup
penyidikan (opsporing), penyidikan lanjutan (nasporing) dan melakukan

26
RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Jaksa di Berbagai Negara Peranan dan
Kedudukannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 30.
27
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
penuntutan. Pada masa ini jaksa diberi tugas dan wewenang selaku lembaga
(badan atau dinas) negara yang dinamakan openbaar ministeire (badan penuntut
umum) yang mempunyai tugas pokok antara lain:
28
1. Mempertahankan segala peraturan negara;

2. Melakukan penuntutan terhadap segala tindak pidana; dan
3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Pemeriksaan pendahuluan merupakan pemeriksaan tahap penyidikan atau
pemeriksaan sebelum dimajukan di depan persidangan pengadilan. Pemeriksaan
pendahuluan dimaksudkan sebagai persiapan pemeriksaan di muka pengadilan,
dan atas dasar pemeriksaan ini suatu tuntutan yang diajukan akan diputus oleh
hakim. Dalam stadium pertama ini sifatnya masih dalam mencari-cari dan
meraba-raba segala sesuatu dilakukan merupakan usaha untuk memperoleh
jawaban sementara atas pernyataan apakah telah terjadi kejahatan, dan jika
demikian siapa pelakunya dan dalam keadaan bagaimana kejahatan itu dilakukan.
Terhadap perbuatan pidana tersebut diadakan tindakan penyidikan dan jika
perlu diadakan penyidikan lanjutan, dalam hal ini dianggap sebagai bagian dari
penyidikan dalam arti luas.
Tindakan pada pemeriksaan pendahuluan ini pertama-tama ditujukan pada
pengumpulan alat-alat bukti. Alat-alat bukti yang dikumpulkan pertama-tama
harus memungkinkan alat penuntutan, sehingga penuntutan umum dapat
membentuk suatu permulaan keyakinan tentang hal-hal yang telah terjadi.
28
Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dikenal HIR dan Rbg, dalam HIR Kejaksaan
lebih terlihat sebagai perpanjangan tangan penguasa penjajah pada saat itu, khususnya dalam
menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van
Strafrecht (WvS), Marwan Effendy., Loc. ct, hal. 64.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa wewenang penuntut umum menurut HIR adalah sebagai
berikut:
29
1. Berdasarkan Pasal 46 HIR sebagai pegawai penuntut umum pada
pengadilan negeri, jaksa karena jabatannya bertugas mengusut dengan
seksama, segala kejahatan dan pelanggaran serta menuntut agar si bersalah
diadili oleh hakim;

2. J ika terdapat keterangan-keterangan yang cukup menunjukkan bahwa
sitersangka itu bersalah sedangkan untuk kepentingan atau pemeriksaan
perkaranya itu perlu ditahan, atau untuk menghindarkan ia akan
mengulangi prerbuatannya itu, atau menjaga supaya ia tidak melarikan
diri, maka jaksa dalam hal-hal tersebut berdasarkan Pasal 75 ayat (1) HIR
dapat memerintahkan supaya tersangka itu ditahan;
3. Jaksa dapat dengan seijin hakim menggeledah rumah, bahkan dapat pula
melakukan pemeriksaan surat-surat sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal 78
HIR;
4. Dalam hal kedapatan tertangkap tangan, maka jaksa memerintahkan
supaya orang yang diduga bersalah, agar ditahan dan dibawa kepadanya.
Dan apabila dari keterangannya menunjukkan bahwa ia bersalah terhadap
perbuatannya itu jaksa diperbolehkan mengadakan penahanan sementara,
yang selanjutnya mengeluarkan perintah penahanan sementara demikian
menurut ketentuan Pasal 64 HIR;
5. Berdasarkan Pasal 53 HIR pejabat kepolisian yang melakukan penyidikan
bertindak sebagai pembantu jaksa (hulp magistraat), sehingga apabila
antara polisi dan jaksa bersamaan mengusut perkara, maka polisi
menghentikan penyidikannya dan diserahkan ke jaksa.

Bila jaksa berpendapat bahwa hasil penyidikan perkara telah lengkap,
maka ia memutuskan apakah ia menyimpangkan perkara (mendeponer) atau
menuntut perkara itu dihadapan pengadilan. Dalam hal akan melakukan
penuntutan maka dikirimnya berkas perkara itu kepada ketua Pengadilan Negeri
setempat.
Pada waktu berlakunya HIR khususnya di Jawa dan Madura (untuk luar
jawa berlaku Rbg) kedudukan jaksa hanya sebagai adjust magistraat sedangkan
29
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui
(RIB).
Universitas Sumatera Utara
penuntut umumnya magistraat tetap di tangan asisten resident. Sikap dan praktek
demikian tidak lepas dari latar belakang kolonialisme pada masa lalu.
2. Kedudukan Penuntut Umum Pada Masa Pemerintahan Jepang
Setelah Jepang berkuasa di Indonesia, maka dengan ditawannya semua
pegawai-pegawai Belanda, termasuk Asisten Residen, maka semua pekerjaan
Asisten Residen di bidang penuntutan oleh pemerintah tentara Jepang diserahkan
kepada jaksa dengan pangkat Thio Kensatsukan (Kepala Kejaksaan Pengadilan
Negeri). Pada masa ini, Kejaksaan diberi kekuasaan ditugaskan untuk:
30
1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran;

2. Menuntut perkara;
3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal; dan
4. Mengurus pekerjaan lain-lain yang wajib dilaksanakan menurut hukum.
Pada masa pendudukan Jepang tersebut, alat penuntut umum magistraat
dan officier van justitie (pada masa kolonial dan HIR) ditiadakan. Akan tetapi
tugas dan wewenang para Jaksa dibebankan pada penuntut umum bumi putra di
bawah pengawasan Kepala Kantor Kejaksaan bersangkutan, seorang Jaksa
Jepang. Dengan demikian Jaksa merupakan satu-satunya penuntut umum.
Seluruh Kejaksaan mula-mula ada di bawah perintah dan koordinasi
Sihoobucoo (Direktur Departemen Kehakiman) dan kemudian Cianbucoo
(Direktur Keamanan) dan untuk tingkat pusat disebut Gunseikanbu dan untuk
tingkat daerah di kantor-kantor keresidenan disebuti Syuu.
31
30
RM. Surachman., dan Andi Hamzah., Op. cit, hal. 40. dan Marwan Effendy., Op. cit,
hal 65.
31
Marwan Effendy., Op. cit, hal. 66.

Universitas Sumatera Utara
Sejak saat itu maka para jaksa telah benar-benar menjadi penuntut umum,
dengan penentuan tugas untuk mencari kejahatan (pegawai penyidik), menuntut
perkara (pegawai penuntut) dan menjalankan putusan hakim.
Keadaan demikian pada masa kedudukan J epang merupakan suatu
perkembangan yang sangat berarti. Oleh karena jabatan Asisten Residen
dihapuskan, sehingga berakibat jaksa di daerah-daerah tidak lagi di bawah
pemerintah langsung residen atau asisten residen tetapi melalui Kepala Kejaksaan
Pengadilan stempat yang bertanggung jawab kepada Cianbucoo (Direktur
Kemanan).
3. Kedudukan Penuntut Umum Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia dalam sisitem ketatanegaraan
dapat dilihat sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan negara Indonesia
melalui beberapa fase.
Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada
tanggal 19 Agustus 1945, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
memutuskan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam struktur negara Republik
Indonesia dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Ini berarti bahwa secara
yurudis formal Kejaksaan Republik Indonesia sudah ada sejak kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan.
Kedudukan Kejaksaan dalam struktur kenegaraan adalah selaku alat
kekuasaan eksekutif dalam bidang yustisial yang sudah berakar sejak jaman
kerajaan Majapahit, Mataram, Cirebon, serta pada masa penjajahan baik pada
Universitas Sumatera Utara
pendudukan pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa Jepang berkuasa di
Indonesia.
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, istilah Kejaksaan dipergunakan
secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 tentang Balatentara
Pendudukan Jepang, yang kemudian diganti dengan undang-undang Osamu Seirei
Nomor 3 Tahun 1942, Nomor 2 Tahun 1944, dan Nomor 49 Tahun 1944.
Peraturan tersebut tetap dipergunakan dalam negara Republik Indonesia
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945.
32
32
Ibid, hal. 67.

Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan peraturan peralihan UUD 1945 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, ketentuan yang digariskan dalam
Osamu Seirei Nomor 3 Tahun 1942 menegaskan bahwa jaksa yang menjadi satu-
satunya pejabat penuntut umum tetap berlaku di negara Republik Indonesia
setelah proklamasi.
Pada intinya bahwa kedudukan penuntut umum setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia adalah sama dengan kedudukannya di jaman
Hindia Belanda dan kedudukan Jepang. Dengan berdasarkan Pada II Aturan
Peralihan Undang Undang Dasar 1945 yang menetapkan berlakunya ketentuan
Undang-Undang maupun peraturan pemerintah lain sebelumnya.


Universitas Sumatera Utara
B. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor
15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik
Indonesia

Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1961 diundangkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan
Republik Indoneia yang pada prinsipnya secara yuridis disebutkan bahwa fungsi
penegakan hukum oleh kejaksaan tidak mengalami perubahan. Pengaturannya
sama saja pengaturan Kejaksaan setelah Indonesia merdeka.
Menurut undang-undnag pokok kejaksaan tersebut, kejaksaan selain
bertugas melakukan penuntutan juga berwenang mengadakan penyidikan
tambahan atau lanjutan serta melakukan pengawasan dan koordinasi terhadap alat-
alat penyidik demikian ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1961 disebutkan, Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan
dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik
menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
lain-lain peraturan Negara.
Pada Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa, Kejaksaan Republik Indonesia
selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara yang terutama bertugas sebagai
penuntut umum.
Adapun untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 tersebut,
kejaksaan mempunyai tugas antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) sampai
dengan ayat (4), disebutkan bahwa:
Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, Kejaksaan
mempunyai tugas:
Universitas Sumatera Utara
(1) Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada Pengadilan
yang berwenang dan Menjalankan keputusan dan penetapan Hakim
Pidana;
(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran
serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut
ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana dan
lain-lain peraturan Negara;
(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara; dan
(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan Negara.

Pada ayat (2) disebutkan bahwa jaksa berwenang mengadakan penyidikan
lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan
mengkoordinasikan dengan alat-alat penyidik, menurut ketentuan dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (waktu itu yang berlaku HIR) dan lain-lain
peraturan Negara.
Pada ayat (3) ditentukan tugas Kejaksaan untuk mengawasi aliran-aliran
kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sedangkan pada
ayat (4) ditentukan bahwa untuk melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang
diberikan kepadanya oleh sesuatu peraturan negara.
Mengenai tugas yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) di atas, penjelasan
outentik undang-undang tersebut (TLN 2289) mengatakan bahwa:
33
Untuk kesempurnaan tugas penuntutan jaksa perlu sekali mengetahui
sejelas-sejelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang
penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai dengan akhir, yang
seluruhnya harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini ialah pada akhirnya
segala tindakan petugas-petugas yang melakukan penyidikan adalah benar-
benar berdasarkan hukum, akan diminta pertanggung jawabannya semua
perlakuan terhadap terdakwa itu dari mula-mula terdakwa disidik,
kemudian diperiksa perkaranya, lalu ditahan dan akhirnya apakah
tuntutan-tuntutannya yang dilakukan oleh jaksa itu sah dan benar atau

33
M. Karjadi, Himpunan Undang-Undang Terpenting Bagi Penegak Hukum, (Jakarta:
Sinar Grafika, 1995), hal. 684.
Universitas Sumatera Utara
tidak menurut hukum, sehingga benar-benar perasaan keadilan masyarakat
dipenuhi. Demikianlah dapat dipahami pentingnya tidnakan jaksa dalam
mengurus sesuatu perkara pidana dari sejak permulaan perkara itu
diungkap sampai pada akhir pemeriksaan perkara itu, demi kepentingan
hukum pihak-pihak yang bersangkutan. Maka untuk baiknya perkerjaan
jaksa perlu sekali ikut serta mengawasi dan mengkoordinasikan
penyidikan yang dilakukan oleh alat-alat penyidik untuk memperlancar
penyelesaian perkara itu.

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa tugas kejaksaan yang terutama
adalah melakukan penuntutan di bidang peradilan pidana. Untuk mencapai
kesempurnaan penyelesaian suatu perkara pidana baik mengenai perkaranya
sendiri maupun mengenai cara-cara penyelesaiannya ataupun untuk kepentingan
hukum orang yang kena perkara yang merupakan pedoman bagi para pejabat
dalam mengerjakan perkara itu, maka jaksa perlu campur tangan di dalam segala
tindakan penyelesaian perkara dari mula-mula perkara itu diungkap.
Jelasnya untuk kesempurnaan pemeriksaan perkara dalam keseluruhannya
yang pada hakekatnya ditunjuk pada pekerjaan penuntutan perkara itu di sidang
pengadilan, hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, jaksa diberi
wewenang di bidang penyidikan.
Selanjutnya Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan tersebut pada ayat (1) ditentukan Jaksa
Agung adalah penuntut umum tertinggi. Pada ayat (2) ditentukan bahwa untuk
kepentingan penuntutan perkara Jaksa Agung dan jaksa-jaksa lainnya dalam
daerah hukumnya memberi petunjuk mengkoordinasikan dan mengawasi alat-alat
penyidik dengan mengindahkan hirarki.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan Otentik dari Pasal 7 di atas, khususnya mengenai ayat (2)
berbunyi sebagai:
34
C. Kedudukan Penuntut Umum Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 Tentang KUHAP

Penyidikan adalah sebenarnya merupakan tugas kehakiman (justitie taak).
Pekerjaan mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena kseluruhan pekerjaan
penyidikan ini ditujukan kepada pekerjaan pada sidang pengadilan. Dalam
hubungan ini dimana pada akhirnya jaksa yang menurut Undang-Undang
harus mempertanggungjawabkan seluruh pekerjaan penyidikan perkara ini
maka sudah sewajarnyalah bahwa jaksa dibebani pengawasan dan
koordinasi alat-alat penyidik, demi kepentingan orang-orang yang kena
perkara.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa pasal-pasal dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1961 tersebut beserta penjelasannya menyebutkan
bahwa, tugas kejaksaan terutama adalah penuntut di bidang pidana. Di samping
itu untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana dalam keseluruhannya yang
pada hakekatnya ditujukan kepada pekerjaan penuntutan, maka jaksa juga
mempunyai wewenang di bidang penyidikan.


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan pada tanggal 31
Desember 1981 yang menggantikan HIR menyebutkan bahwa tugas dan
kewajiban jaksa ditentukan lain. Setelah berlakunya KUHAP terdapat pembagian
tahapan tugas Kejaksaan yakni tahap prapenuntutan dan tahap penuntutan. Tetapi
KUHAP sendiri memuat kedua tahap ini dalam Bab Penuntutan yakni terdapat
pada Bab XV.
35
34
Ibid, hal. 684.
35
RM. Surachman., Op. cit, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara
KUHAP mengenal tahap prapenuntutan, dimana KUHAP
memperkenalkan tahapan sejak penuntut umum menerima BAP dari penyidik.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari Jaksa yang memeriksa BAP harus menentukan apakah
BAP tersebut sudah lengkap atau belum. Lengkap, maksudnya adalah bahwa
bukti-bukti dalam BAP cukup dan BAP tersebut juga disusun berdasarkan
ketentuan KUHAP. Kalau penuntut umum berpendapat BAP itu belum lengkap,
Kejaksaan harus mengembalikan kepada penyidik disertai dengan petunjuk-
petunjuk.
36
Dalam waktu 14 (empat belas) hari penyidik harus menyelesaikan
penyidikan tambahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk penuntut penuntut
umum.

37
Sebaliknya, berkas perkara dianggap sudah lengkap apabila sejak
penyerahan BAP tersebut, penuntut umum tidak mengembalikannya kepada
penyidik.

38
Berdasarkan bunyi beberapa pasal tersebut di atas, menunjukkan bahwa
dalam KUHAP tersebut terdapat perubahan fundamental mengenai tugas-tugas
Kejaksaan. Bila dalam perundang-undangan yang lama (HIR), jaksa atau penuntut
umum bertugas sebagai penyidik, maka di dalam KUHAP berdasarkan Pasal 1
butir 7 tugas kejaksaan adalah dalam bidang penuntutan saja yaitu melimpahkan
perkara pidana ke pengadilann negeri yang berwenang dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan menurut butir

36
Pasal 110 ayat (2) junto Pasal 138, KUHAP.
37
Ibid., Pasal 138 ayat (2).
38
Ibid., Pasal 110 ayat (4).
Universitas Sumatera Utara
6 huruf a dan b pasal tersebut jaksa melaksanakan keputusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan melaksankan penetapan hakim.
Penuntut umum tidak ditunjuk lagi sebagai pegawai penyidik oleh karena
itu tugas penyidikan diserahan sepenuhnya kepada Kepolisian Negara sepanjang
yang tidak menyangkut tindak pidana khusus.
Pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan
penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang.
Menurut KUHAP penuntutan adalah tindakan untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim di
sidang pengadilan, sedangkan mengenai wewenang penuntut umum diatur dalam
Pasal 14 KUHAP.
Dalam rangka persiapan tindakan penuntut dapat diperinci mengenai tugas
dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain:
39
a. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan
dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah
dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana.

b. Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai
melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan bekas perkara
pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan
meneliti dapat dilihat dibawah ini :
1. Mempelajari yang diperiksa adalah apakah tindak pidana yang
disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah
memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi
perkaranya.
39
Ibid., hal. 36-37.
Universitas Sumatera Utara
2. Meneliti yang diperiksa adalah apaklah semua persyaratan formal telah
dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara.
c. Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal
138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa
hasil penyidikan kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan
berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi.
Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan
sesuai petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3)
KUHAP
d. Menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, jaksa menentukan sikap apakah
suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan.
e. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut
Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan tindakan lain adalah
antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat
secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum
dan pengadilan.
f. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat
bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka
penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan dan melimpahkan
perkara ke pengadilan untuk diadili.
g. Berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat
memutuskan menghentikan penuntutan dikarenakan tidak terdapat cukup
bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup
demi hukum, maka penuntut umum menuangkan hal itu dalam Surat
Ketetapan. Isi surat tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila
ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunnya wajib disampaikan
kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN,
penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut
umum dapat menuntut tersangka.

Wewenang mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum adalah
merupakan perwujudan dari asas opportunitas yang dianut oleh hukum positif
Negara Indonesia dan hanya Jaksa Agung adalah satu-satunya pejabat yang
berwewenang melakukannya. Sedangkan perkara ditutup demi hukum adalah
merupakah salah satu kewenangan penuntut umum tersebut dalam Pasal 14
KUHAP hal ini dilakukan karena Nebis In Idem atau terdakwanya meninggal
Universitas Sumatera Utara
dunia atau kadaluarsa. Dasar hukumnya terdapat pada Pasal 140 ayat (2) Pedoman
Pelaksanaan KUHAP.
40
Untuk menjamin kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan asas
opportunitas, Jaksa Agung menuangkannya dalam penetapan atau keputusan yang
salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan
umum, terhadap perkara yang dikesampingkan ini penuntut umum tidak
berwenang.

Terhadap perkara yang ditutup demi hukum tidak menutup kemungkinan
bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka bilamana
kemudian didapatkan alasan baru.
41
Kenyataan undang-undang di Indonesia menunjukkan, yakni terdapat pada
penjelasan resmi Pasal 77 KUHAP dan Pasal 32 huruf c Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), secara
tegas mengakui eksistensi dari perwujudan asas opportunitas, yaitu kepada J aksa
Agung selaku penuntut umum yang tertinggi berdasarkan pada keadaan-keadaan
yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan
pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak dirugikan. Sehingga satu-satunya
pejabat yang diberi wewenang melaksanakan asas opportunitas adalah Jaksa
Agung selaku pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang

40
Andi Hamzah., Loc. cit, hal. 166, dan Pedoman Pelaksanaan KUHAP dikeluarkan oleh
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Cetakan II, hal. 88.
41
Jaksa Agung jarang sekali melakukan wewenang mengesampingkan perkara, kalau
Jaksa Agung menggunakan kewenangan itu, harus berkonsultasi lebih dahulu dengan Menteri
Kehakiman atau Menteri Pertahanan dan Kemanan. Sedangkan dalam perkara-perkara tertentu,
Jaksa Agung harus meminta persetujuan Presiden Republik Indonesia. RM. Surachman., Op. cit,
hal. 39.
Universitas Sumatera Utara
mengendalikan tugas dan wewenang kejaksaan sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan.

D. Kedudukan dan Wewenang Kejaksaan Menurut Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Untuk mengetahui kedudukan dan wewenang Kejaksaan, dalam UU
Kejaksaan ada baiknya bila dikemukakan terlebih dahulu sistematiknya.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (UU Kejaksaan) terdiri dari 6 Bab dan 36 pasal dengan sistematikanya
sebagai berikut:
a. Bab I: ketentuan umum terdiri dari 4 pasal, dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
(1) Bagian pertama, mengenai pengertian (Pasal 1);
(2) Bagian kedua, mengenai pengertian (Pasal 2 dan Pasl 3); dan
(3) Bagian ketiga, mengenai tempat kedudukan (Pasal 4).
b. Bab II: Susunan Kejaksaan, terdiri dari 22 Pasal dibagi dalam 5 bagian, yaitu:
(1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 5, 6, dan 7);
(2) Bagian kedua, mengenai Jaksa (Pasal 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, dan
17);
(3) Bagian ketiga, mengenai Jaksa Agung Wakil J aksa Agung dan Jaksa
Muda (Pasal 18, 19, 20, 21, dan 22);
(4) Bagian keempat, mengenai Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala
Kejaksaan tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri dan Pasal Cabang Kejaksaan
Negeri (Pasal 23, 24 dan 25); dan
(5) Bagian kelima, mengenai Tenaga Ahli dan Tenaga Tata Usaha (Pasal 26).
c. Bab III: Tugas dan wewenang, terdiri dari 7 pasal, dibagi dalam 2 bagian,
yaitu:
(1) Bagian pertama, mengenai umum (Pasal 27, 28, 30 dan 31);
(2) Bagian kedua, mengenai khusus (Pasal 32 dan 33);
d. Bab IV: Ketentuan Peralihan terdiri dari 1 pasal yaitu Pasal 34.
e. Bab V: Ketentuan Penutup terdiri dari 2 pasal yaitu Pasal 35 dan Pasal 26.

Berdasarkan sistematika UU Kejaksaan tersebut di atas, jelas tergambar
Kejaksaan dimaksudkan untuk memantapkan kedudukan serta peranan kejaksaan
Universitas Sumatera Utara
sebagai penuntut umum dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara,
ketertiban dan ketenteraman umum.
Dalam UU Kejaksaan tepat pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa, J aksa
adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam butir 2 disebutkan,
Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang sangat luas, yaitu dalam
bidang pidana, perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan
ketentraman umum. Di samping itu Kejaksaan dapat juga diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan undang-undang seperti pada Pasal 30 sebagai Jaksa
Pengacara Negara dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Tugas pokok Kejaksaan berdasarkan UU Kejaksaan tersebut adalah
melakukan penuntutan. Pasal 1 ayat (3) UU Kejaksaan menyebutkan dengan tegas
makna penuntutan tersebut yaitu, Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Jaksa dihubungkan dengan aspek jabatan, sedangkan penuntut umum
berhubungan dengan aspek fungsi dalam melakukan suatu penuntutan dalam
persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Sejak berlakunya KUHAP dan UU Kejaksaan, jaksa atau penuntut umum
tidak berwenang melakukan penyidikan karena hal tersebut merupakan
kewenangan dari Kepolisian dan Pegawai Negri Sipil tertentu. Oleh sebab itu,
mengenai penuntutan ini, negara Indonesia menganut sistem tertutup artinya
tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan penyidikan meskipun
dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat khususnya dari segi pembuktian
dan masalah teknik yuridisnya.
42
Akan tetapi jika dihubungkan dengan beberapa ketentuan dalam beberapa
perundang-undangan yang ada seperti Pasal 284 ayat (2) KUHAP, Pasal 32
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
maka terhadap perkara-perkara khususnya tindak pidana ekonomi (Undang-
Undang Nomor 7 drt Tahun tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi) dan Tindak Pidana Korupsi, masih menggunakan bahwa
penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan.

43
1. Tugas dan Wewenang Bagian Pertama

Lebih luas lagi mengenai tugas dan wewenang kejaksaan dapat dilihat dari
bab III yang dibagi menjadi dua yaitu, bagian pertama bersifat umum dan bagian
kedua bersifat khusus.
Dalam Pasal 27 ayat (1) UU Kejaksaan menentukan bahwa, di bidang
pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
Komperasi pengaturan mengenai tugas dan wewenang Kejaksaan secara
normatif dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dalam UU Kejaksaan berikut:
42
Lilik Mulyadi., Loc. cit, hal. 24.
43
Ibid., hal. 25.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 30
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
44
a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
44
Dalam penjelasa Pasal 30 ayat (1) huruf a, dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat
melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan
penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna
dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau
tidak ke tahap penuntutan.
Penjelasan dalam huruf b, dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim,
kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan
berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang
mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan
yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.
Penjelasan dalam huruf c, yang dimaksud dengan keputusan lepas bersyarat adalah
keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang
pemasyarakatan.
Penjelasan dalam huruf d, kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan
sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penjelasan dalam huruf e, untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan
dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak dilakukan terhadap tersangka;
2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara;
3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan
ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana;
4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Universitas Sumatera Utara
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
Dalam Pasal 31 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada
hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan
jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri
sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain,
lingkungan, atau dirinya sendiri.
Lalu dalam Pasal 32 UU Kejaksaan tersebut menetapkan bahwa di
samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan
dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya
Universitas Sumatera Utara
pada Pasal 33 mengatur bahwa dalam pelaksanaan tugas dan wewenang,
kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara atau instansi lainya.
45
Berdasarkan tugas dan wewenang Kejaksaan pada bagian pertama UU
Kejaksaan ini dapat dipahami bahwa di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang:
Kemudian dalam Pasal 34 UU
Kejaksaan menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam
bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.
46
1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan ptusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan ptusan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan, dan putusan pidana lepas bersyarat;
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Tugas dan Wewenang Bagian Kedua
Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di atas, Jaksa Agung memiliki
tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Kejaksaan bahwa
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang yakni:
a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan
dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
45
Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan
hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat
keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem
peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan
vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan
wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai
dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam
penyelesaian perkara.
46
Marwan Effendy., Op. cit, hal. 128.
Universitas Sumatera Utara
b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-
undang;
c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
47
d. Mengajukan kasasi dem kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung
dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;

e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya dalam Pasal 36 UU Kejaksaan diatur bahwa:
(1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk
berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali
dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
48
(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam
negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa
Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit
di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.

(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan
atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di
luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk
47
Dalam penjelasan huruf c ini, yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah
kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya
dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
48
Penjelasan pada ayat (1) ini untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat
ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Diperlukannya
izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan
tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan
penangkalan. Yang dimaksud dengan tersangka atau terdakwa adalah tersangka atau terdakwa
yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan. Yang dimaksud dengan dalam keadaan tetentu
adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.
Universitas Sumatera Utara
itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut
di dalam negeri.
49
Dalam Pasal 37 UU Kejaksaan, Kejaksaan bertanggung jawab terhadap
penuntutan yang dilakukan secara independen, ditentukan:

(1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan
secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.
(2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan
akuntabilitas.
3. Kekuasaan Penuntut Umum Pada Tingkat Persiapan Penuntutan
Jaksa sebagai salah satu alat penegak hukum mempunyai tugas pokok
antara lain melakukan penuntutan. Dalam rangka mempersiapkan tindakan
penuntutan umum mempunyai wewenang yang dapat diinventarisir antara lain
sebagai berikut:
50
1. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, penuntut umum menerima
pemberitahuan dari penyidik dalam hal telah mulai dilakukannya terhadap
suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana;

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama maupun
kedua sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b
KUHAP;
3. Mengadakan prapenuntut sesuai Pasal 14 huruf b KUHAP;
4. Memberikan perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud dalam pasal
24 ayat (2) KUHAP;
5. Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, atas permintaan
tersangka atau terdakwa, penuntut umum dapat menangguhkan penahanan
49
Dalam penjelasan Ayat (3) ini, selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar
negeri, juga disyaratkan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang
sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Apabila tersangka
atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun uang
jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksaannya dilakukan sesuai ketentuan perundang-
undangan.
50
M. Yahya Harahap., Loc. cit, hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
serta dapt mencabut penangguhan penahanan dalam keadaan tersangka
atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana yang telah ditentukan;
6. Meminta dilakukannya praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh
penyidik berdasar Pasal 80 KUHAP;
7. Berdasarkan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum menentukan sikap
apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan;
8. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
selaku penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf I
KUHAP; dan
9. Sesuai dengan Pasal 143 ayat (1) KUHAP, penuntut umum melimpahkan
perkara ke Pengadilan Negeri disertai surat dakwaan beserta berkas
perkaranya.

Penerapan wewenang penuntut umum ini dalam praktek mungkin akan
menimbulkan permasalahan, terutama apabila hasil penyidikan dari penyidik
belum dapat menyakinkan penuntut umum untuk melakukan penuntutan. Dalam
hal ini maka berkas perkara dapat dikembalikan pada penyidik. Dalam hal ini
Leden Marpaung menyatakan, Tanpa perhitungan telah berapa kali berkas
perkara tersebut mengalami keadaan bolak-balik).
51
Selanjutnya menurut Andi Hamzah, dalam melakukan penuntutan
dinyatakan:

Sebab penuntut umum tidak menginginkan penuntutan akan mengalami
kegagalan. Oleh karena itu, pada akhirnya penuntut umumlah yang bertanggung
jawab pada berhasil tidaknya suatu penuntutan di sidang pengadilan.
52
Wewenang untuk melakukan penuntutan diawali dengan menyusun surat
dakwaan, diakhiri pembacaan penuntutan (requisitoir) pada akhir
pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan menyusun surat dakwaan
dan pengadilan. Sedangkan menyusun surat dakwaan dan setelah
diterimanya berkas perkara dari penyidik pada tahap atau tingkat
pemeriksaan tertentu, dalam hal ini penuntut umum diberi kesempatan

51
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo, 1998),
hal. 284.
52
Andi Hamzah., Op. cit, hal. 169.
Universitas Sumatera Utara
mempelajari berkas perkara untuk dapat ditkdanya menyusun surat
dakwaanya. Tahap atau tingkat itu disebut tahap persiapan penuntutan atau
tingkat persiapan penuntutan.

Tahap penyidikan tidak dapat dipisahkan dari penuntutan, atau karena
tahap penyidikan merupakan dasar bagi penuntuan maka adalah sangat penting
suatu kerja sama positif antara penyidik dan penuntut umum. Agar pelaksanaan
peradilan dapat memperoleh suatu keputusan yang adil dan tepat maka kerja sama
yang terpadu akan sangat membantu. Walaupun pembagian dan pelaksanaan tugas
oleh penyidik dan penuntut umum terdapat spesialisasi dan deferensiasi, hal ini
tidaklah berarti antara penyidik dan penuntut umum dalam penegakan hukum
pidana tidak berhubungan satu sama lain. Untuk itu maka, suatu kerja sama positif
diharapkan ada dalam pelaksanaan setiap fungsi, dengan tujuan untuk
menghindarkan hal-hal yang kurang serasi, sebab pada akhirnya penuntut
umumlah yang bertanggung jawab tentang berhasilnya suatu penyidikan disidang
pengadilan.
53
53
Ibid., hal. 160.

Kerja sama yang demikian bukanlah berarti intervensi sebab setiap pihak
tetap memelihara identitas, wewenang dan dasar hukum mereka sendiri. Namun
demikian jika identitas (jati diri) dan wewenang dilaksanakan secara kaku akan
menimbulkan stagnasi pada satu pihak, dan stagnasi itu sendiri dapat
menimbulkan rentetan stagnasi dari tugas dan kewajiban dipihak lain dalam
melayani pencari keadilan.


Universitas Sumatera Utara
4. Hubungan Penyidik dan Penuntut Umum Dalam Prapenuntutan
Prapenuntutan adalah wewenang penuntut umum sebagaimana diatur
dalam pasal 14 huruf b KUHAP, yakni dalam hal penuntut umum setelah
menerima berkas penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam hal ini
penuntut umum harus segera mengembalikan kepada penyidik dengan disertai
petunjuk-petunjuk seperlunya dan dalam hal ini penyidik harus segera melakuan
penyidikan tambahan sesuai petunjuk yang telah diberikan oleh penuntut umum
tersebut. Dalam prapenuntutan ini terdapat hal-hal yang menandakan adanya
hubungan antara penyidik dan penuntut yaitu:
54
1. Pemberitahuan dimualainya tindakan penyidikan oleh penyidik kepada
penuntut umum (Pasal 109 ayat (1)) KUHAP;

2. Pemberitahuan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2));
3. Perpanjangan penahanan.
Berdasarkan penandaan adanya hubungan penyidik dan penuntut seperti di
atas tersebut menunjukkan tahap yang dinamakan tahap prapenuntutan. Dalam
perundang-undangan, tidak ada satu pun ditemukan istilah prapenuntutan ini, akan
tetapi istilah prapenuntutan tersebut muncul dalam praktek peradilan.
J ika dikaitkan dengan Pasal 14, Pasal 110, Pasal 138 KUHAP, nampaklah
secara tersirat prapenuntutan itu berada pada tahap dimana perkara tersebut masih
berada pada penyidikan dan sebelum penuntutan perkara.
54
M. Yahya Harahap., Op. cit, hal. 369.
Universitas Sumatera Utara
Pengertian prapenuntutan tersebut adalah tindakan penuntut umum untuk
mengembalikan berkas perkara penyidikan ke penyidik disebabkan adanya
kekurangan penyidikan disertai petunjuk dalam rangka penyempurnaan.
55
a. Karena kesempurnaan hasil penyidikan merupakan faktor penentu
terhadap keberhasilan penuntutan yang akan dilakukan oleh penuntutan
umum, maka hubungan dengan kerja sama antara

Dalam rangka prapenuntutan terdapat SE No.SE-013/J.A/8/1982 tentang
faktor-faktor yang harus diperhatikan pada tahap prapenuntutan adalah sebagai
berikut:
b. Jaksa peneliti/calon penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan
segera mempelajari dan menelitinya secara seksama sesuai dengan
ketentuan pasal 138 KUHAP, untuk memastikan apakah hasil penyidikan
sudah lengkap/belum.
c. Tahap-tahap tersebut harus benar-benar dilaksanakan oleh setiap jaksa
peneliti/calonn penuntut umum secara materiil dan formil untuk
keberhasilan dan kesempurnaan hasil penyidikan yang akan merupakan
dasar kelanjutan penuntuan yang akan dilakukannya. Cacat dan kelemahan
hasil penyidikan akan sangat menentukan dan mempengaruhi sikap dan
pendapat penuntut umum apakah akan melakukan penuntut ataukah
menghentikan penuntutannya.
d. Tahap prapenuntutan sangat dibatasi tenggang waktu yang telah
ditentukan menurut undang-undang, sehingga karenanya harus sungguh
55
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya., Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Penerbit Bina
Ilmu, 1982), hal. 32-33.
Universitas Sumatera Utara
diperhatikan oleh setiap jaksa peneliti/calon penuntutan umum, agar
tercegah lampaunya waktu dalam hal memberitahukan kepada penyidik
tentang pengembalian berkas perkara serta penyampaian petunjuk kepada
penyidik.
e. Pengembalian perkara dari pihak jaksa penelitian/calon penuntut umum
kepada pihak penyidik yang berlangsung bolak-balik berkali-kali harus
dicegah dan dihindarkan.
f. Kelalaian/ketidakcermatan dan kecerobohan tindakan jaksa
penelitian/calon penuntut umum akan dapat membawa akibat berupa :
1. Kemungkinan pengajuan praperadilan.
2. Tuntutan ganti rugi dan rehabilitas
3. Tertutupnya upaya hukum banding serta kasasi dalam hal putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
g. Memanfaatkan dan mengembangkan serta meningkatkan forum pertemuan
antara penuntut umum dan penyidik sebaik-baiknya, demi mencapai
pelayanan hukum yang seoptimal mungkin untuk pencari keadilan.
Jelaslah betapa pentingnya tindakan penelitian bagi jaksa calon penuntut
umum, dimana penelitian terhadap hasil penyidikan yang dilakukan jaksa
penuntut umum pada tahap prapenuntutan merupakan rangkaian tindakan
penuntutan dan karenanya harus sungguh dihayati serta perlu pengendalian dan
pengawasan dari atasan.
Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik
wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
tercantum dalam Pasal 8 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa penyerahan
berkas perkara dilakukan:
a. Pada tahap pertama penyidikan hanya menyerahkan berkas perkara.
b. Dalam tahap penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan
tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum
Berdasarkan pasal 138 ayat (1) KUHAP yang menyatakan :
Penuntut umum telah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu empat belas hari
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikannya itu sudah
lengkap atau belum.

Dan apabila dikaitkan dengan ketentuan materi Pasal 138 ayat (1)
KUHAP, maka penutut umum:
a. Mempunyai waktu empat belas hari untuk mempertimbangkan telah
lengkap atau belum hasil penyidikan yang diterimanya;
b. Apabila dianggap perlu untuk dilengkapi penuntut umum dalam waktu
tujuh hari harus sudah mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara
pemeriksaan kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuk;
c. Apabila penuntut umum beranggapan bahwa berkas perkara hasil
penyidikan itu sudah lengkap dan sempurna, maka berkewajiban pula
memberitahukan kepada penyidik dan bila waktu empat belas hari tersebut
sudah terlampaui, maka penyidikan dianggap selesai dan berarti pula tidak
dapat dilakukan prapenuntutan;
d. Dalam hal berkas perkara hasil penyidikan dikembalikan oleh penuntut
umum kepada penyidik, maka penyidik wajib segera menyampaikan
kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum.

Pengertian ini dapat secara langsung merugikan tersangka atau terdakwa
karena mempersempit dalam memperoleh hak daluarsa penuntutan sebagaimana
dalam Pasal 78 dan 80 KUHAP.
Oleh karena itu, untuk kesempurnaan prapenuntutan, jaksa calon penuntut
umum dalam memberikan petunjuknya agar sejelas mungkin dan benar-benar
sesuai yang diperlukan untuk kepentingan sempurna berkas perakara tersebut.
Tujuan dilakukannya prapenuntutan ini adalah dengan maksud
pengembalian berkas perkara hasil penyidikan oleh penuntut umum kepada
Universitas Sumatera Utara
penyidik merupakan penggodokan berkas perkara agar memenuhi kelengkapan
formal maupun kelengkapan materiil. Hal ini erat kaitannya sehubungan dengan
penuntut umum untuk menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah
memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan yang
berwenang mengadili. Apabila penuntut umum berpendapat hasil penyidikan
dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya penuntut umum
membuat surat dakwaan.
56
56
RM. Surachman., Op. cit, hal. 35.
















Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai