Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola dinasti
atau kerajaan. Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan
turun temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak,
kekerasan, diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah
dalam menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur
rasyidin. Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi
Sufyan. Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembaiatan terhadap khalifah Ali bin Abi
Thalib, kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik
yang sangat menguntungkan baginya. Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan
pihak khawarij (kelompok yang menentang dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampak
kekuasaan dipegang oleh putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau
akhirnya kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan
menyerahkan kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemilihan
kepemimpinan sesudahnya adalah diserahkan kepada ummat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun
661 M / 41 H dan dikenal dengan nama jamaah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam
menjadi satu kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi
kerajaan. Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan
peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B. Tujuan Makalah
Adapun tujuan kami menyusun makalah ini adalah:
1. Agar bisa mengetahui bagaimana sejarah berdirinya Dinasti Umayyah.
2. Agar bisa mengetahui bagaimana sistem pemerintahan Dinasti Umayyah.
3. Untuk mengetahui apa saja kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Umayyah.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti Umayyah.

BAB II
DINASTI UMAYYAH (662- 750)
A. Pengertian Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah
Sejarah berdirinya Daulah Umayyah berasal dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf, yaitu
salah seorang dari pemimpin kabilah Quraisy pada zaman jahiliyah. Bani Umayyah baru masuk agama Islam
setelah mereka tidak menemukan jalan lain selain memasukinya, yaitu ketika Nabi Muhammad berserta
beribu-ribu pengikutnya yang benar-benar percaya terhadap kerasulan dan kepemimpinan yang menyerbu
masuk ke dalam kota Makkah. Memasuki tahun ke 40 H/660 M, banyak sekali pertikaian politik dikalangan
ummat Islam, puncaknya adalah ketika terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Muljam. Setelah
khalifah terbunuh, kaum muslimin diwilayah Iraq mengangkat al-Hasan putra tertua Ali sebagai khalifah
yang sah. Sementara itu Muawiyah sebagi gubernur propinsi Suriah (Damaskus) juga menobatkan dirinya
sebagai Khalifah.
Namun karena Hasan ternyata lemah sementara Muawiyah bin Abi Sufyan bertambah kuat, maka Hasan
bin Ali menyerahkan pemerintahannya kepada muawiyyah bin abi sufyan.Mu'awiyah sebagai pendiri
dinasti Umayyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy yang menjadi musuh Nabi Muhammad
saw. Mu'awiyah dan keluarga keturunan Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan kota
Makkah. Nabi pernah mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi dan Nabi berkenan menikahi saudaranya
yang perempuan yang bernama Umi Habibah. Karier politik Mu'awiyah mulai meningkat pada masa
pemerintahan Umar Ibn Khattab. Setelah kematian Yazid Ibn Abu Sufyan pada peperangan Yarmuk,
Mu'awiyah diangkat menjadi kepala di sebuah kota di Syria. Karena keberhasilan kepemimpinannya, tidak
lama kemudian dia diangkat menjadi gubernur Syria oleh khalifah Umar. Mu'awiyah selama menjabat
sebagai gubernur Syria, giat melancarkan perluasan wilayah kekuasaan Islam sampai perbatasan wilayah
kekuasaan Bizantine.Pada masa pemerintahan khalifah Ali Ibn Abu Thalib, Mu'awiyah terlibat konflik
dengan khalifah Ali untuk mempertahankan kedudukannya sebagai gubernur Syria.Sejak saat itu Mu'awiyah
mulai berambisi untuk menjadi khalifah dengan mendirikan dinasti Umayyah. Setelah menurunkan Hasan
Ibn Ali, Mu'awiyah menjadi penguasa seluruh imperium Islam,dan menaklukan Afrika Utara merupakan
peristiwa penting dan bersejarah selama masa kekuasaannya[1].
B. Sistem Pemerintahan Bani Umayyah
Untuk mengamankan tahtanya dan memperluas batas wilayah Islam, Muawiyah sangat mengandalkan
orang-orang Suriah. Para sejarawan mengatakan bahwa orang-orang Suriah itu sangat menjunjung tinggi
kesetian terhadap khalifah tersebut.
Sebagai organisator militer, Muawiyah adalah yang paling unggul diantara rekan-rekan se-zamannya. Ia
mencetak bahan mentah yang berupa pasukan Suriah menjadi satu kekuatan militer Islam yang
terorganisir dan berdisiplin tinggi, ia membangun sebuah Negara yang stabil dan terorganisir. Ketika
berkuasa, Muawiyah telah banyak melakukan perubahan besar dan menonjol di dalam pemerintahan
negeri waktu itu. Mulai dari pembentukan angkatan darat yang kuat dan efisien, dia juga merupakan
khalifah pertama yang yang mendirikan suatu departemen pencatatan (diwanulkhatam) yang fungsinya
adalah sebagai pencatat semua peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah. Dia juga telah mendirikan
(diwanulbarid) yang memberi tahu pemerintah pusat tentang apa yang sedang terjadi di dalam
pemerintahan provinsi. Dengan cara ini, Muawiyah melaksanakan kekuasaan pemerintahan pusat.
Pada 679 M, Muawiyah menunjuk puteranya Yazid untuk menjadi penerusnya. Ketika itulah ia
memperkenalkan sistem pemerintahan turun temurun yang setelah itu diikuti oleh dinasti-dinasti besar
Islam, termasuk dinasti Abbasiyah.
Pada perkembangan berikutnya, setiap khalifah mengikuti caranya, yaitu menobatkan salah seorang anak
atau kerabat sukunya yang dipandang sesuai untuk menjadi penerusnya. Pemindahan kekuasaan
Muawiyah mengakhiri bentuk demokrasi, kekhalifahan menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun
temurun), yang di peroleh tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak. Sikap Muawiyah seperti ini di
pengaruhi oleh keadaan Syiria selama dia menjadi gubernur disana[2].
Sistem dan model pemerintahan yang diterapkan Dinasti Umayyah ini mengundang kritik keras, terutama
dari golongan Khawarij dan Syiah. Sebagian besar khalifahnya sangat fanatik terhadap kearaban dan bahasa
Arab yang mereka gunakan. Mereka memandang rendah orang non-Arab dan memposisikan mereka
sebagai warga kelas dua. Kondisi tersebut menimbulkan kebencian penduduk non-Muslim kepada Bani
Umayyah. Di bidang yudikatif, para qadi (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh
khalifah. Ketika Abdul Malik naik tahta, perbaikan di bidang administrasi pemerintahan dan pelayanan
umum digalakkan. Ia memerintahkan penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di setiap kantor
pemerintahan. Sebelum itu, bahasa Yunani digunakan di Suriah, bahasa Persia di Persia, dan bahasa Qibti di
Mesir.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik, para gubernur yang diangkatnya menjalankan fungsinya dengan
baik. Gubernur Mesir saat itu, Abdul Aziz bin Marwan, membuat alat pengukur Sungai Nil, membangun
jembatan, dan memperluas Masjid Jami Amr bin Ash. Sementara itu, gubernur Irak, Hajjaj bin Yusuf,
melakukan perbaikan sistem irigasi dengan mengalirkan air Sungai Tigris dan Eufrat ke seluruh pelosok Irak
sehingga kesuburan tanah pertanian terjamin. Ia juga melarang keras perpindahan orang desa ke kota.
Kehidupan ekonomi juga dibangun dengan memperbaiki sistem keuangan, alat timbangan, takaran, dan
ukuran.
Pada masa Hisyam bin Abdul Malik, seorang gubernur juga mempunyai wewenang penuh dalam hal
administrasi politik dan militer dalam provinsinya. Ketika al-Walid I naik tahta menggantikan Abdul Malik,
kesejahteraan rakyat mendapat perhatian besar. Ia mengumpulkan anak yatim, memberi mereka jaminan
hidup, dan menyediakan guru untuk mengajar mereka. Bagi orang cacat, ia menyediakan pelayan khusus
yang diberi gaji. Orang buta diberikan penuntun dan bagi orang lumpuh disediakan perawat. Ia juga
mendirikan bangunan khusus untuk orang kusta agar mereka dirawat sesuai dengan persyaratan
kesehatan. Al-Walid I juga membangun jalan raya, terutama jalan ke Hedzjaz. Di sepanjang jalan itu, digali
sumur untuk menyediakan air bagi orang yang melewati jalan. Untuk mengurus sumur-sumur itu, ia
mengangkat pegawai. Pada saat Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia melakukan pembersihan di kalangan
keluarga Bani Umayyah. Tanah-tanah atau harta lain yang pernah diberikan kepada orang tertentu
dimasukkannya ke dalam baitul mal. Terhadap para gubernur dan pejabat yang bertindak sewenang-
wenang, ia tidak ragu-ragu mengambil tindakan tegas berupa pemecatan. Kebijakannya di bidang fiskal
mendorong orang non-Muslim memeluk agama Islam. Pajak yang dipungut dari orang Nasrani dikurangi.
Jizyah atau pajak yang masih dipungut dari orang yang telah masuk Islam di antara mereka dihentikan.
Dengan demikian, mereka berbondong-bondong masuk Islam. Selama masa pemerintahannya, Umar bin
Abdul Aziz melakukan berbagai perbaikan dan pembangunan sarana pelayanan umum, seperti perbaikan
lahan pertanian, penggalian sumur baru, pembangunan jalan, penyediaan tempat penginapan bagi para
musafir, memperbanyak masjid, dan sebagainya[3].
C. Kemajuan yang Dicapai Dimasa Pemerintahan Umayyah
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara islam yang besar dan
luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan
peradaban islam yang baru. Meskipun demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian pada
kebudayaan arab[4] .
pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih Ibn Abdur Rahman, sekretaris al-Hajjaj, mencoba menjadikan
bahasa arab sebagai bahasa resmi di seluruh negeri. Meskipun, bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya
dihilangkan. Orang-orang non Arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan bahasa
arab. Perhatian bahasa arab mulai diberikan untuk menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa
arab.Hal inilah yang mendorong lahirnya seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu,
perhatian pada syair arab jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami kemajuan.
Bidang pembangunan juga di perhatian para khalifah Bani Umayyah. Masjid-masjid di semenanjung Arabia
dibangun, katedral st. John di Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims digunakan sekaligus
sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah telah berkembang pula, seperti
dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat. Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di
Iraq[5] .
Ekspansi ke barat dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Al-Walid ibn Abdul Malik. Pada
masa ini dikenal dengan masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Pada masa pemerintahannya
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya benua Eropa yaitu pada tahun
771 M. Ekspedisi tersebut dipimpin oleh Tariq bin Ziyad dengan menyeberangi selat yang memisahkan
antara Maroko dan benua Eropa. Mereka kemudian mendarat di suatu tempat yang dinamakan dengan
Gibraltar (jabal tariq).Tariq berhasil mengalahkan tentara Spanyol dan dapat menguasai Kordova, Seville,
Elvira, dan Toledo. Pasukan Islam dapat memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Dinasti Umayyah
disamping telah berhasil dalam ekspansi teritorialnya sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam berbagai
bidang, diantaranya adalah:
Dalam bidang administrasi pemerintahan meliputi:
1. Pemisahan kekuasaan. Terjadi dikotomi antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik.
2. Pembagian wilayah. Wilayah kekuasaan terbagi menjadi beberapa provinsi, yaitu: Syiria dan Palestina,
Kuffah dan Irak, Basrah dan Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd dan Yamamah, Arenia, Hijaz,
Karman dan India, Egypt (Mesir), Ifriqiyah (Afrika Utara), Yaman dan Arab Selatan,serta Andalusia.
3. Bidang administrasi pemerintahan. Organisasi tata usaha negara terpecah menjadi bentuk dewan.
Departemen pajak dinamakan dengan dewan Al-Kharaj, departemen pos dinamakan dengan dewan Rasail,
departemen yang menangani berbagi kepentingan umum dinamakan dengan dewan Musghilat,
departemen dokumen negara dinamakan dengan dewan Al- Khatim.
4. Organisasi keuangan. Terpusat pada baitul maal yang asetnya diperoleh dari pajak tanah, perorangan
bagi non muslim. Percetakan uang dilakukan pada khalifah Abdul Malik bin Marwan.
5. Bidang arsitektur. Terlihat pada kubah Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada
masa khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 691 M.
6. Bidang pendidikan. Pemerintah memberikan dorongan kuat dalam memajukan pendidikan dengan
menyediakan sarana dan prasarana. Hal tersebut dilakukan agar para ilmuan, ulama dan seniman mau
melakukan pengembangan dalam ilmu yang didalaminya serta dapat melakukan kadernisasi terhadap
generasi setelahnya.
Pada masa ini telah dilakukan penyempurnaan penulisan al-Quran dengan memberikan baris dan titik pada
huruf-hurufnya. Hal tersebut dilakuakn pada masa pemerintahan Abd Malik Ibn Marwan yang menjadi
khalifah antara tahun 685-705M. Pada masa Dinasti ini juga telah dilakukan pembukuan hadist tepatnya
pada waktu pemerintahan khalifah Umar Ibn Abd Al-Aziz (99-10 H), mulai saat itu ilmu hadist berkembang
dengan sangat pesat. Khalifah-khalifah dinasti Umayyah juga menaruh perhatian pada perkembangan ilmu-
ilmu lain, seperti ilmu agama yang mencakup al-Quran, hadist,fikih,sejarah dan geografi. Ilmu sejarah dan
geografi, yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah, dan riwayat.Ubaid Ibn Syariyah
Al Jurhumi telah berhasil menulis berbagai peristiwa sejarah.Ilmu pengetahuan bidang bahasa, yaitu segala
ilmu yang mempelajari bahasa seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain. Bidang filsafat, yaitu segala ilmu yang
pada umumnya berasal dari bangsa asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran. Khalifah Al-Walid mendirikan sekolah kedokteran, ia
melarang para penderita kusta meminta-minta di jalan bahkan khalifah menyediakan dana khusus bagi para
penderita kusta tersebut, pada masa ini sudah ada jaminan sosial bagi anak-anak yatim dan anak terlantar.
D. Faktor-Faktor Penyebab Mundurnya Dinasti Umayyah
Kebesaran yang dibangun oleh Daulah Bani Umayyah ternyata tidak dapat menahan kemunduran dinasti
yang berkuasa hampir satu abad ini, hal tersebut diakibatkan oleh beberapa factor yang kemudian
mengantarkan pada titik kehancuran. Diantara fakto-faktor tersebut adalah:
1. Terjadinya pertentangan keras antara kelompok suku Arab Utara (Irak) yang disebut Mudariyah dan
suku Arab Selatan (Suriah) Himyariyah, pertentangan antara kedua kelompok tersebut mencapai
puncaknya pada masa Dinasti Umayyah karena para khalifah cenderung berpihak pada satu etnis
kelompok.
2. Ketidakpuasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari
kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan Mawali, suatu status yang menggambarakan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa
Umayyah. Mereka bersama-sama orang Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan diatas rata-rata
orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan.
Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding
tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3. Konfllik-konflik politik yang melatar belakangi terbentuknya Daulah Umayyah. Kaum syi`ah dan khawarij
terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan
kekuasaan Umayyah. Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani
Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan
Bani Umayyah dalam memimpin umat.
Dari penjelasan di atas dapat saya simpulkan bahwa faktor-faktor keruntuhan dinasti Bani Umayyah secara
umum ada dua yaitu:
a. Faktor Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena
kekuasaan wilayah yang sangat luas tidak dibaringi dengan komunikasi yang baik, sehingga menyebabkan
suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para khalifah yang memimpin. Diantara khalifah-khalifah yang ada, hanya
beberapa saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas negara. Selain itu, di
antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-
minuman keras, dan sebagainya. Situasi semacam ini pun mengakibatkan munculnya konflik antar
golongan, para wazir dan panglima yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.
b. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II
berkuasa dengan kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang memusuhinya.
Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap
keamanan pemerintahannya. Semasa pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh
Bani Abbas mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan Syiah yang
tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah Umar II wafat, barulah gerakan ini
melancarkan permusuhan dengan Dinasti Umayah. Gerakan yang dilancarkan untuk mendirikan
pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamasikan berdirinya
pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang bernama Ibrahim lalu dibunuh.
Setelah dibunuh, pemimpin gerakan diambil alih oleh seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah
yang berangkat bersama-sama dengan keluarganya menuju Kuffah. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak
akan tegak berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu[6].
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan untuk menentang
Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin tentara tersebut. Antara pasukan
Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai
akhirnya pasukan Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah pun tertuju kepada
Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat itu Yazid mengambil sikap damai setelah
mendengar berita kematian Marwan. Di tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan
keselamatan oleh Abu Jafar al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran tersebut dan
disahkan oleh As-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid dan pengikut-pengikutnya telah
meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani menuliskan sesuatu kepada As-Saffah yang menyebabkan
Khalifah Bani Abbasyiah itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf, Dinasti ini sebenarnya mulai
dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian berhasil
dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali terbunuh
dan Hasan Ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada Muawiyah
setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu kepemimpinan pada
masa itu disebut dengan tahun jamaah (Am al Jamaah) tahun 41 H (661 M).
Pemilihan khalifah dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah
ketika menunjuk anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679
M,yang kemudian diikuti oleh dinasti-dinasti besar islam yaitu dinasti Abbasyiah.
Kemajuan dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi,sehingga menjadi negara islam yang besar luas
serta sangat memperhatikan kemajuan pembangunan. Pada masa pemerintahan Al-walid Ibn Abdul
Malik,ekspansi kebarat dilakukan secara besar-besaran,dan pada masa itu dikenal dengan masa
ketentraman,kemakmuran dan ketertiban. Pada masa itulah disempurnakan penulisan al-Quran dengan
memberikan baris dan titik pada huruf-hurufnya.
Kekuasaan Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran,karena adanya dua faktor yang sangat
berpengaruh yaitu faktor internal dan eksternal.
B. Saran
Dari pembahasan makalah diatas kami mangharapkan kritik dan saran dari pembaca sangatlah di
perlukan,guna untuk perbaikan dan penyempurnaan tugas pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSATAKA
al-Usairy, Ahmad. 2007. Sejarah Islam. Jakarta:Akbar.
Bisri, M. Jaelani. 2007. Ensiklopedi Islam . Yogyakarta: Panji Pustaka.
Murodi. 2004. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah.html, diakses tanggal 5 Nopember 2012.
http://mtsbahrululumawipari.wordpress.com/2010/04/21/dinasti-bani umayah/, diakses tanggal 5
Nopember 2012 jam 18:51 WIB.

[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Bani_Umayyah.html, sabtu 05 november 2012
[2]http://mtsbahrululumawipari.wordpress.com/2010/04/21/dinasti-bani-umayah/18:51, sabtu 05
november2012
[3]Ibid
[4]Bisri M. Jaelani, Ensiklopedi Islam (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), hal. 436
[5]Bisri M. Jaelani, loc. cit. hal. 437
[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta:Akbar, 2007), hal. 211.




























KATA PENGANTAR



Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan kepada kita berupa
kesehatan jasmaniah dan rohaniyah serta masih memberikan kita iman dan ihsan. Shalawat dan
salam kita panjatkan keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang membawa kita semua dari
alam kegelapan kepada alam yang terang benderang, dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
dengan hikmah.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
terlaksananya makalah dari hasil diskusi ini terutama kepada Ibu Dosen selaku pembimbing mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam yang tidak henti-hentinya memberikan kami motivasi dalam
pembuatan makalah ini, dan kepada teman-teman yang juga turut membantu dalam penyelesaian
makalah ini baik itu berupa tenaga maupun pikiran yang menurut kami sangat membantu dalam
penyelasaian makalah ini.
Kami menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini yang tidak bisa kami
selesaikan tanpa bantuan para pembaca sekalian. Oleh karena itu, kami memohonkan saran dan
kritik yang membangun guna menyempurnakan isi dari makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun bagi kawan-kawan yang membacanya.
Amien!!!


Banjarmasin,


Penulis

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 2
A. Perkembangan Islam di Masa Bani Umayyah 2
B. Tokoh-tokoh Bani Umayyah 3
C. Kejayaan dan Kemunduran 11
D. Keruntuhan Dinasti Umayyah dan Hikmahnya 15
BAB III PENUTUP 17
Simpulan 17
DAFTAR PUSTAKA 18



BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Keberhasilan Muawiyah mencapai ambisi mendirikan kekuasaan dinasti Umayyah disebabkan di
dalam diri Muawiyah terkumpul sifat-sifat penguasa, politikus dan adiministratur. Ia pandai bergaul
dengan berbagai temperamen manusia, sehingga ia dapat mengakumulasikan berbagai kecakapan
tokoh-tokoh pendukungnya, bahkan bekas lawan politiknya sekalipun.
Berdirinya pemerintahan dinasti Umayyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun peristiwa
tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam.
Memasuki masa kekuasaan Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintahan
yang bersifat demokaratis berubah menjadi monarchi heridetis (kerajaan turun temurun).



BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Islam di Masa Bani Umayyah
Daulat Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah
pada tahun 41 H.
Berdirinya daulah ini, karena Muawiyah tidak mau meyakini kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Sehingga pada waktu itu terjadi perang saudara di antara umat Islam yaitu anatar pasukan Ali
melawan pasukan Muawiyah. Dalam pertempuran yang sengit itu banyak mengorbankan jiwa kaum
muslimin, hingga pada akhirnya diadakan perundingan.
Dalam perundingan itu Ali mengutus Abu Musa Al-Asyari seorang ahli hukum, zakelyk dan jujur.
Sedang Muawiyah mengutus Amr bin Ash, seorang diplomat yang ulung, cerdik dan pandai
mengatur siasat. Dari perundingan tersebut keduanya memutuskan akan menurunkan Ali serta
Muawiyah dari kekhalifahan, dan untuk selanjutnya khalifah akan diangkat oleh kaum muslimin.
Atas kelicikan Amr bin Ash, maka Abu Musa dipersilahkan terlebih dahulu untuk mengumumkan
penurunan Ali dari jabatannya sebagai khalifah, dengan alasan karena Abu Musa lebih tua usianya
dari Amr bin Ash, maka sudah sepantasnyalah diberi kesempatan yang pertama.
Sesudah Abu Musa mengumumkan penurunannya Ali sebagai khalifah di hadapan kaum muslimin,
naiklah Amr bin Ash, dan berkata: Wahai kaum muslimin tadi barulah kita dengar bersama
pernyataan dari Abu Musa Al-Asyari, bahwa beliau pada hari ini telah menurunlkan Ali bin Abi
Thalib dari jabatannya sebagai khalifah. Dengan kekosongan khalifah itu, maka pada hari ini saya
mengangkat Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai khalifah.
Sejak itulah Muawiyah menjadi khalifah kaum muslimin secara resmi, meskipun diperoleh dengan
tidak wajar dan sekaligus menyimpang dari ajaran Islam.[1]
Sejak berdirinya pemerintahan Bani Umayah pada tahun 661 M dimulai pula tradisi baru dalam
sistem pemerintahan Islam. Sistem pemilihan secara demokratis yang dikembangkan selama masa
kekhalifahan ar-Rasyidin telah tidak dikenal lagi dalam proses pemilihan khlaifah. Proses
pergantian khalifah untuk seterusnya dilakukan mengikuti sistem turun-temurun. Dalam literatur
Islam sistem itu dikenal sebagai Daulah Islamiyah, yang berarti kekuasaan Islam yang berciri
kedinastian atau ashobiyah.
Dalam pada itu pemerintahan Islam yang ditegakkan dengan cara perebutan kekuasaan oleh
Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang sah, harus tetap waspada terhadap setiap pengkritik. Oleh
karenanya selalu menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya intrik istana maupun
gerakan perlawanan terhadap khalifah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau Bani
Umayyah menjadi sangat kuat, sehingga berhasil menegakkan kekhalifahan Bani Umayyah selama
90 tahun. Selama itu pula telah memerintah 14 orang khalifah, sebagai berikut:
1. Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-689 M)
2. Khalifah Yazid I (680-683 M)
3. Khalifah Muawiyah II (683-684 M)
4. Khalifah Marwan I bin al-Hakam (684-685 M)
5. Khalifah Abdul Malik (685-705 M)
6. Khalifah Al-Walid (705-715 M)
7. Khalifah Sulaiman (715-717 M)
8. KhalifahUmar bin Abdul Aziz (717-720 M)
9. Khalifah Yazid II (720-724 M)
10. Khalifah Hisyam (724-743 M)
11. Khalifah Al-Walid II (743-744 M)
12. Khalifah Yazid III dan Ibrahim (744-744 M)
13. Khalifah Marwan II bin Muhammad (744-750 M)[2]

B. Tokoh-Tokoh Bani Umayah
. Empat orang khalifah memegamg kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu Muawiyah, Abdul
Malik, al-Walid I, dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam
jangka waktu 20 tahun saja. Para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalihah-khalifah
terbesar mereka ialah: Muawiyah, Abdul Malik dan Umar bin Abdul Aziz.
Muawiyah adalah bapak pendiri dinasti Umayah. Dialah pembangun besar. Namanya
disejajarkan dalam deretan Khulafa ar-Rasyidin. Bahkan kesalahannya yang mengkhianati prinsip
pemilihan kepala negara oleh rakyat, dapat dilupakan orang karena jasa-jasa dan kebijaksanaan
politiknya yang mengagumkan. Muawiyah mendapat kursi kekhalifahan setelah Hasan ibn Ali ibn
Abi Thalib berdamai dengannya pada tahun 41 H. Umat Islam sebagiannya membaiat Hasan setelah
ayahnya itu wafat. Namun Hasan menyadari kelemahannya sehingga ia berdamai dan menyerahkan
kepemimpinan umat kepada Muawiyah sehingga tahun itu dinamakan amul jamaah, tahun
persatuan. Muawiyah menerima kekhalifahan di Kufah dengan syarat-syarat yang diajukan oleh
Hasan, yakni:
1. Agar Muawiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun penduduk Irak.
2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
4. Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya, Husain, 2 juta dirham.
5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdis
Syams.
Muawiyah dibaiat oleh umat Islam di Kufah sedangkan Hasan dan Husain dikembalikan ke
Madinah. Hasan wafat di kota Nabi itu tahun 50 H. diantara jasa-jasa Muawiyah ialah mengadakan
dinas pos kilat dengan menggunakan kuda-kuda yang selalu siap di tiap pos. ia juga berjasa
mendirikan Kantor Cap (percetakan mata uang), dan lain-lain.[3]
Miawiyah bin Abi Sufyan dapat menduduki kursi khalifah dengan berbagai cara dan tiga, yaitu
dengan ketajaman mata pedangnya, dengan siasatnya yang halus dan dengan tipu muslihatnya yang
amat licin. Bukanlah ia mendapat pangkat yang mulia itu dengan ijma dan persetujuan umat Islam,
melainkan karena licinnya jua.
Dengan kenaikan Muawiyah, berakhirlah hukum syura, pilihan menurut hasil permusyawaratan
yang terbanyak, yang berlaku di zaman al-Khulafaur Rasyidin, yaitu hukum yang menyerupai
aturan pemerintahan Republik (Jumhuriyah) di zaman kita ini. Dan pangkat khalifah menjadi
pusaka turun-temurun, maka daulat Islampun telah berubah sifatnya menjadi daulat yang bersifat
kerajaan (monarchie).
Sesungguhnya Muawiyah telah amat terpengaruh oleh peraturan-peraturan peninggalan orang
Romawi di negeri Syam, yakni di negeri tempat ia memerintah.
Kemegahan dan kemuliaan raja-raja yang belum pernah ditiru oleh khalifah-khalifah yang terdahulu
daripadanya, telah diteladan dan dipakainya. Dia telah memakai singggasana dan kursi kerajaan
serta mengadakan barisan pengawal yang senantiasa menjaga dirinya siang malam. Bahkan dalam
mesjidpun dibuatnya suatu kamar istimewa, tempat dia sembahyang sorang diri, dijaga oleh
pengawalnya dengan pedang tercabut. Hal ini dilakukannya karena ia takut kalau-kalau terjadi pula
atas dirinya apa yang telah terjadi atas diri Ali bin Abi Thalib.[4]
Muawiyah wafat tahun 60 H. di Damaskus karena sakit dan digantikan oleh anaknya, Yazid yang
telah ditetapkannya sebagai putra mahkota sebelumnya. Yazid tidak sekuat ayahnya dalam
memerintah, banyak tantangan yang yang dihadapinya, antara lain ialah membereskan
pemberontakan kaum Syiah yang telah membaiat Husain sepeninggal Muawiyah. Terjadi perang di
Karbala yang menyebabkan terbunuhnya Husain, cucu nabi SAW itu. Yazid menghadapi para
pemberontak di Mekkah dan Madinah dengan keras. Dinding Kabah runtuh dikarenakan terkena
lemparan manjaniq, alat pelempar batu kearah lawan. Peristiwa tersebut merupakan aib besar pada
masanya.
Penduduk Madinah memberontak terhadap Yazid dan memecatnya untuk kemudian mengangkat
Abdullah ibn Hanzalah dari kaum Anshar. Mereka juga memenjarakan kaum Umaiyah di Madinah
dan mengusirnya dari kota suci kedua bagi umat Islam itu, sehingga terjadilah bentrok pisik antara
pasukan yang dikirim oleh Yazid yang dipimpin oleh Muslim ibn Uqbah al-Murri, dan penduduk
Madinah. Peperangan antara kedua pasukan itu terjadi di al-Harrah yang dimenangkan oleh pasukan
Yazid, pada tahun 63 H. sedangkan kaum Quraisy mengangkat Abdullah ibn Muti sebagai
pemimpin mereka tanpa pengkuan terhadap kepemimpinan Yazid.
Penduduk Makkah lain lagi keadaannya, sebagian dari mereka membaiat Abdullah ibn Zubair
sebagai khalifah. Maka, pasukan Yazid yang telah menundukkan Madinah meneruskan
perjalanannya ke Makkah untuk menguasainya. Abdullah ibn Zubair selamat dari gempuran
pasukan Yazid karena ada berita bahwa Yazid mangkat sehingga ditariklah pasukannya ke Suriah.
Tetapi kota Mekkah menjadi porak poranda akhir perlakuan pasukan Yazid tersebut. Yazid
meninggal tahun 64 H setelah memerintah 4 tahun dan digantikan oleh anaknya, Muawiyah II.[5]
Sebelum Yazid meniggal dunia dia telah berwasiat supaya putranya Muawiyah diangkat
menggantikan dia menjadi khalifah, menurut cara yang telah dilakukan oleh ayahandanya
Muawiyah bin Abi Sufyan.
Akan tetapi Muawiyah II bin Yazid ini hanya memerintah 40 hari saja lamanya. Oleh karena dia
berpenyakitan dan jiwanya sendiri memberontak, tidak dapat menanggung jawab atas perobahan-
perobahan dan kerusakan-kerusakan yang ditinggalkan ayahnya. Maka turunlah dia dengan
kemauan sendiri dari singgasana khilafat dan pangkat khalifah itupun diserahkannya kepada
permusyawaratan umat Islam, agar mereka dengan merdeka memilih dan mengangkat siapa yang
mereka kehendaki. Tetapi cita-citanya itu tidak dapat berlaku, sebab pemilihan khalifah telah
ditentukam oleh kemauan Bani Umayyah.[6]
Muawiyah diganti oleh Marwan ibn Hakam, seorang yang memegang stempel khilafah pada masa
Utsman ibn Affan. Ia adalah Gubernur Madinah dimasa Muawiyah dan penasehat Yazid di
Damaskus dimasa pemerintahan putra pendiri Daulah Umayyah itu. Ketika Muawiyah II wafat dan
tidak menunjuk siapa penggantinya, maka keluarga besar Muawiyah mengangkatnya sebagai
khalifah. Ia dianggap orang yang dapat mengendalikan kekuasaan karena pengalamannya,
sedangkan orang lain yang pantas memegang jabatan khilafah itu tidak didapatkannya. Padahal
keadaan begitu rawan dengan perpecahan di tubuh bangsa Arab sendiri dan ditambah dengan
pemberontakan kaum Khawarij dan Syiah yang bertubi-tubi. Khalifah yang baru itu menghadapi
segala kesulitan satu demi satu. Ia dapat mengalahkan kabilah ad-Dahhak ibn Qais. Kemudian
menduduki Mesir, dan menetapkan putranya, Abdul Aziz sebagai Gubernurnya. Abdul Aziz adalah
ayah Umar, seorang khalifah Bani Umayyah yang masyhur itu. Marwan menundukkan Palestina,
Hijaz, dan Irak. Namun ia cepat pergi, hanya sempat memerintah 1 tahun saja, ia wafat tahun 65 H
dan menunjuk anaknya, Abdul Malik dan Abdul Aziz sebgai pengganti sepeniggalnya secara
berurutan.
Khalifah Abdul Malik adalah orang kedua yang terbesar dalam deretan para khlaifah Bani Umayyah
yang disebut-sebut sebgai Pendiri Kedua bagi kedaulatan Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang
khalifah yang dalam ilmu agamanya, terutama di bidang fiqih. Dia telah berhasil mengembalikan
sepenuhnya intregitas wilayah dan wibawa dan kekuasaan keluarga Umayyah dari sagala pengacau
negara yang merajalela pada masa-masa sebelumnya. Mulai dari gerakan separatis Abdullah ibn
Zubair di Hijaz, pemberontakan kaum Syiah dan Khawarij sampai kepada aksi teror yang
dilakukan oleh Mukhtar ibn Ubaidah as-Saqafy di wilayah Kufah, dan pemberontakan yang
dipimpin oleh Musab ibn Zubair di Irak. Ia juga menundukkan tentara Romawi yang sengaja
membuat kegoncangan sendi-sendi pemerintahan Umayyah. Ia memerintahkan pemakaian bahasa
Arab sebagai bahasa administrasi di wilayah Umayyah, yang sebelumnya masih memakai bahasa
yang bermacam-macam, seperti bahasa Yunani di Syam, bahasa Persia di Persia, dan bahas Qibti di
Mesir. Ia juga memerintahkan untuk mencetak uang secara teratur, membangun gedung-gedung,
masjid-masjid dan saluran-saluran air.
Khalifah Abdul Malik memerintah paling lama, yakni 21 tahun ditopang oleh para pembantunya
yang juga termasuk orang kuat dan menjadi kepercayaannya, seperti al-Hajjaj ibn Yusuf yang gagah
berani di medan perang, dan Abdul Aziz, saudaranya yang dipercaya memegang jabatan sebagai
Gubernur Mesir. Yang tersebut pertama itu menjadi Gubernur wilayah Hijaz setelah menundukkan
Abdullah ibn Zubair yang memberontak di wilayah tersebut. Gubernur itu dipindahkan ke Irak
setelah dapat pula menaklukkan raja bangsa Turki, Ratbil yang berusaha menyerang Sijistan yang
sudah menjadi wilayah Islam dan membunuh Gubernurnya, dengan pasukan yang dipimpin oleh
Abdurrahman ibn al-Asyas. Padahal telah disepakati perjanjian damai antara kedua belah pihak,
sehingga penguasa Turki itu harus membayar jizyah kepada Umayyah. Tetapi pasukan Islam
berakhir dengan tragis karena perselisihan intern yang terdapat dalam elite penguasa Muslim
sendiri, yakni antara al-Hajjaj dengan al-Asyas. Tidak terelakkan lagi terjadinya kontak senjata
antara keduanya yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan al-Hajjaj karena dibantu oleh Khalifah
Abdul Malik. Disamping berjaya di medan perang al-Hajjaj juga berhasil memperbaiki saluran-
saluran sungai Euphrat dan Tigris, memajukan perdagangan, dan memperbaiki sistem ukuran
timbang, takaran dan keuangan, disamping menyempurnakan tulisan mushhaf al-Quran dengan titik
pada huruf-huruf tertentu. Khalifah Abdul Malik wafat tahun 86 H dan diganti oleh putranya yang
bernama al-Walid.
Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik memerintah sepuluh tahun lamanya (86-96 H). pada masa
pemerintahannya kejayaan dan kemakmuran melimpah ruah. Kekuasaan Islam melangkah ke
Spanyol di bawah pimpinan pasukan tariq ibn Ziyad ketika Afrika Utara dipegang oleh Gubernur
Musa ibn Nusair. Karena kekayaan melimpah maka ia sempurnakan gedung-gedung, pabrik-pabrik,
dan jalan-jalan yang dilengkapi dengan sumur untuk para kafilah yang berlalu lalang di jalur
tersebut. Ia membangun masjid al-Amawi yang terkenal hingga masa kini di Damaskus. Di samping
itu ia menggunakan kekayaan negerinya untuk menyantuni para yatim piatu, fakir miskin, dan
pederita cacat seperti orang lumpuh, buta, sakit kusta. Khalifah itu wafat tahun 96 H dan digantikan
oleh adiknya, Sulaiman sebagaimana wasiat ayahnya.
Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik tidak sebijaksana kakaknya, ia kurang bijaksan, suka harta
sebagaimana yang diperlihatkan ketika ia menginginkan harta rampasan perang (ganimah) dari
Spanyol yang dibawa oleh Musa ibn Nusair. Ia menginginkan harta itu jatuh ke tangannya, bukan
ke tangan kakaknya, al-Walid yang saat itu masih hidup walau dalam keadaan sakit. Musa ibn
Nusair diperintahkan oleh Sulaiman agar memperlambat datangnya ke Damaskus dengan harapan
harta yang dibawanya itu jatuh ke tangannya. Namun Musa enggan melaksanakan perintah
Sulaiman tersebut, yang mengakibatkan ia disiksa dan dipecat dari jabatannya ketika Sulaiman naik
menjadi Khalifah menggantikan al-Walid.
Ia dibenci oleh rakyatnya karena tabiatnya yang kurang bijaksana itu. Para pejabatnya terpecah
belah, demikian pula masyarakatnya. Orang-orang yang berjasa dimasa para pendahulunya
disiksanya, seperti keluarga al-Hajjaj ibn Yusuf dan Muhammad ibn Qasim yang menundukkan
India. Ia menunjuk Umar ibn Adul Aziz sebagai penggantinya sebelum meninggal pada tahun 99
H.
Adapun khalifah ketiga yang besar ialah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun masa pemerintahannya
sangat pendek, namun Umar merupakan lembaran putih Bani Umayyah dan sebuah periode yang
berdiri sendiri, mempunyai karakter yang tidak terpengaruh oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan
Daulah Umayyah yang banyak disesali. Dia merupakan personifikasi seorang khalifah yang takwa
dan bersih, suatu sikap yang jarang sekali ditemukan pada sebagian besar pemimpin Bani Umayyah.
Khalifah yang adil itu adalah putra Abdul Aziz, Gubernur Mesir. Ia lahir di Hilwan dekat Kairo,
atau Madinah kata sumber yang lain. Rupanya keadilannya itu menurun dari Khalifah Umar ibn
Khattab yang menjadi kakeknya dari jalur ibunya. Ia menghabiskan waktunya di Madinah untuk
mendalami ilmu pengetahuan dimasa kecil, dan memang kota tersebut menjadi pusat ilmu dan
kebudayaan Islam pada saat itu. Ia mendalami ilmu agama Islam khususnya ilmu hadits, dan ketika
ia menjadi khalifah memerintahkan kaum Muslimin untuk menuliskan hadits, dan inilah perintah
resmi pertama dari penguasa Islam. Umar adalah orang yang rapi dalam berpakaian, memakai
wewangian dengan rambut yang panjang dan cara jalan yang tersendiri, sehingga mode Umar itu
ditiru banyak orang di masanya.
Ia dikawinkan dengan Fatimah, putri Abdul Malik, Khalifah Umayyah yang sekaligus sebagai
pamannya. Ia diangkat menjadi Gubernur Madinah oleh Khalifah al-Walid ibn Abdul Malik, salah
seorang sepupunya, tetapi ia dipecat dari jabatannya itu karena masalah putra mahkota. Berbekal
dengan pengalamannya sebagai pejabat, kaya akan ilmu dan harta sebagi bangsawan Arab yang
mulia, ia diangkat menjadi Khalifah menggantikan Sulaiman, adik al-Walid. Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz berubah tingkah lakunya, ia menjadi seorang zahid, sederhana, bekerja keras, dan
berjuang tanpa henti sampai akhir hayatnya yang hanya memerintah kurang lebih dua tahun saja.
Khalifah yang kaya itu dengan menguasai tanah-tanah perkebunan di Hijaz, Syam, Mesir, Yaman,
dan Bahrain, yang menghasilkan kekayaan 40.000 dinar tiap tahun, setelah menduduki jabatan
barunya mengembalikan tanah-tanah yang dihibahkan kepadanya dan meninggalkan kebiasaan-
kebiasaan lamanya serta menjual barang-barang mewahnya untuk diserahkan hasil penjualannya ke
baitul mal. Disamping itu ia mengadakan perdamaian antara Amawiyah dan Syiah serta Khawarij,
menghentikan peperangan, mencegah caci maki terhadap Khalifah Ali ibn Abi Thalib dalam
khutbah Jumat dan diganti dengan bacaan ayat:
e u)eIt-! u#-}M(T,~ /e--9.\(A t(B #-!v )e|+ 4 u#-9.7t|.
u#-9.0+6c #-9.o(t-!'e t utZ|Eo4 #-9.)^|1v4 ?o.v_
9o\=+6^N| t\e^l3'N|
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(An-Nahl: 90)
Khalifah yang adil itu berusaha memperbaiki segala tatanan yang ada dimasa kekhalifahannya,
sepeti menaikan gaji para gubernurnya, memeratakan kemakmuran dengan memberikan santunan
kepada para fakir dan miskin, dan memperbaharui dinas pos. Ia juga menyamakan kedudukan
orang-orang non Arab yang menempati sebagai warga negara kelas dua, dengan orang-orang Arab
ia mengurangi beban pajak dan menghentikan pembayaran jizyah bagi orang Islam baru. Khalifah
Umar meninggal pada tahun 101 H dan diganti oleh Yajid II ibn Abdul Malik (101-105 H) pada
masa pemerintahannya timbul lagi perselisihan antara kaum Mudhariyah dan Yamaniyah.
Pemerintahannya yang singkat itu mempercepat proses kemunduran Umayyah.
Kekhalifahan Umayyah mulai mundur sepeninggal Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Walau tidak
secemerlang tiga khalifah yang masyhur sebagaimana tersebut di atas, Khalifah Hisyam ibn Abdul
Malik perlu dicatat juga sebagai khalifah yang sukses. Ia memerintah dalam waktu yang panjang,
yakni 20 tahun (105-125 H). Ia dapat pula dikategorikan sebagai khalifah Umayyah yang terbaik,
karena kebersihan pribadinya, pemurah, gemar kepada keindahan, berakhlak mulia dan tergolong
teliti terutama dalam soal keuangan, disamping bertaqwa dan berbuat adil. Dalam masa
pemerintahannya terjadi gejolak yang dipelopori oleh kaum Syiah yang bersekutu dengan kaum
Abbasiyah. Mereka menjadi kuat karena kebijaksanaan yang diterapkan oleh Khalifah Umar ibn
Abdul Aziz yang bertindak lemah lembut kepada semua kelompok. Dalam diri keluarga Umayyah
sendiri terjadi perselisihan tentang putra mahkota yang melemahkan posisi Umayyah.
Masih ada empat khalifah lagi setelah Hisyam yang memerintah hanya dalam waktu tujuh tahun,
yakni al-Walid II ibn Yazid II, Yazid III ibn al-Walid, Ibrahim ibn al-Walid dan Marwan ibn
Muhammad. Yang tersebut terakhir adalah penguasa Umayyah penghabisan yang terbunuh di Mesir
oleh pasukan Bani Abbasiyah pada tahun 132 H/750 M.[7]

C. Kejayaan dan Kemunduran
Masa pemerintahan Bani Umayyah terkenal sebagai suatu era agresif, dimana perhatian tertumpu
kepada usaha perluasan wilayah dan penaklukan, yang terhenti sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin
terakhir. Hanya dalam jangka waktu 90 tahun, banyak bangsa di penjuru empat mata angin beramai-
ramai masuk kedalam kekuasaan Islam, yang meliputi tanah Spanyol, seluruh wilayah Afrika Utara,
Jazirah Arab, Suriyah, Palestina, separoh daerah Anatolia, Irak, Persia, Afganistan, India dan
negeri-negeri yang sekarang dinamakan Turkmenistan, Uzbekistan dan Kirgiztan yang termasuk
Sovyet Rusia.[8]
Memasuki kekuasaan masa Muawiyah yang menjadi awal kekuasaan Bani Umayyah, pemerintah
yang bersifat demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun temurun).
Kekhalifahan Muawiyah diperoleh dengan kekerasaan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika
Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk meyatakan setia terhadap anaknya, Yazid.
Muawiyah mencontoh monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang menggunakan istilah
khalifah, namun dia menberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan
tersebut. Dia menyebutkan khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh
Allah.[9]
Kekuasaan Bani Umayyah berumur kurang lebih 90 tahun. Ibu kota negara dipindahkan Muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat ia berkuasa menjadi gubernur sebelumnya. Khalifah-khalifah
besar dinasti Bani Umayyah ini adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn
Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abd Malik (705-715), Umar ibn Abdul Aziz (71720 M) dan
Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Ekspansi yang terhenti pada masa Usman dan Ali dilanjutkan oleh dinasti ini. Di zaman Muawiyah,
Tunisia dapat ditaklukan. Di sebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke
sungai Oxus dan afganistan sampai ke Kabul. Angkatan-angkatan lautnya melakukan serangan-
serangan ke Bizantium, Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian
dilakukan oleh Abd al-Malik. Dia mengirim tentaranya menyebrangi sungai Oxus dan dapat
berhasil menundukan Balk, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan
sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan oleh al-Walid ibn Abd al-Malik. Masa
pemerintahan al-Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran dan ketertiban. Umat Islam merasa
hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung kurang lebih sepuluh tahun itu
tercatat suatu ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju wliyah barat daya, Benua Eropa, yaitu
pada tahun 711 M setelah al-Jazair dan Marokko dapat ditundukan, Thariq bin Ziyad, pemimpin
pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi laut yang memisahkan antara Marokko dengan
benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal
Tariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi
selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-
kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah
jatuhnya Kordova. Pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar
ibn Abd Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin
oleh Abd al-Rahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana dia
menyerang Tours, namun peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan
tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau
yang berada di laut tengah juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun barat, wilayah kekuasaan
Bani Umayyah ini betul-betul sangat luas. Daerah-daerah ini meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syiria,
Palestina, Jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang ini
disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa dalam pembangunan di
berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan
kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan
angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadhi)
mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul
Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai
Islam. Untuk itu, dia mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan
tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi Islam. Keberhasilan
Khalifah Abdul Malik diikuti oleh putranya al-Walid ibn Abdul Malik (705-715 M) seorang yang
berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan. Dia membangun panti-panti
untuk orang cacat. Semua personel yang terlibat dalam kegiatan yang humanis ini digaji oleh negara
secara tetap. Dia juga membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan
daerah lainnya, pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.[10]
Ibu kota Daulah Umayyah pindah ke Damaskus, suatu kota tua di negeri Syam yang telah penuh
dengan peninggalan kebudayaan maju sebelumnya.
Daerah kekuasaannya, selain yang diwariskan oleh Khulafa ar-Rasyidin, telah pula menguasai
Andalu, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan, terus ke Timur sampai benteng Tiongkok. Dalam
daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan, seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia,
Harran, Yunde, Sahfur, yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan beragama Yahudi, Nasrani dan
Zoroaster. Setelah masuk Islam para ilmuwan itu tetap memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani
itu, bahkan mendapat perlindungan. Di antara mereka ada yang mendapat jabatan tinggi di istama
Khalifah. Ada yang menjadi dokter pribadi, bendaharawan, atau wazir, sehingga kehadiran mereka,
sedikit banyak, mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan.[11]
Dinasti Bani Umayyah mengalami masa kemunduran, ditandai dengan melemahnya sistem politik
dan kekuasaan karena banyak persoalan yang dihadapi para penguasa dinasti ini. Diantaranya
adalah masalah polotik, ekonomi, dan sebagainya.[12]
Adapun sebab-sebab kemunduran dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Khalifah memiliki kekuasaan yang absolute. Khalifah tidak mengenal kompromi. Menentang
khalifah berarti mati. Contohnya adalah peristiwa pembunuhan Husein dan para pengikutnya di
Karbala. Peritiwa ini menyimpan dendam dikalangan para penentang Bani Umayyah. Sehingga
selama masa-masa kekhalifahan Bani Umayyah terjadi pergolakan politik yang menyebabkan
situasi dan kondisi dalam negeri dan pemerintahan terganggu.
2. Gaya hidup mewah para khalifah. Kebiasaan pesta dan berfoya-foya dikalangan istana,
menjadi faktor penyebab rendahnya moralitas mereka, disamping mengganggu keuangan Negara.
Contohnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai seorang khalifah yang suka berfoya-
foya dan memboroskan uang Negara. Sifat-sifat inilah yang tidak disukai masyarakat, sehingga
lambat laun mereka melakukan gerakan pemberontakan untuk menggulingkan kekuasaan dinasti
Bani Umayyah.
3. Tidak adanya ketentuan yang tegas mengenai sistem pengangkatan khalifah. Hal ini berujung
pada perebutan kekuasaan diantara para calon khalifah.
4. Banyaknya gerakan pemberontakan selama masa-masa pertengahan hingga akhir
pemerintahan Bani Umayyah. Usaha penumpasan para pemberontak menghabiskan daya dan dana
yang tidak sedikit, sehingga kekuatan Bani Umayyah mengendur.
5. Pertentangan antara Arab Utara (Arab Mudhariyah) dan Arab Selatan (Arab Himariyah)
semakin meruncing, sehingga para penguasa Bani Umayah mengalami kesulitan untuk
mempertahankan kesatuan dan persatuan serta keutuhan Negara.
6. Banyaknya tokoh agama yang kecewa dengan kebijaksanaan para penguasa Bani Umayah,
karena tidak didasari dengan syariat Islam.[13]

D. Keruntuhan Dinasti Umayyah dan Hikmahnya
Setelah sekian lama mengalami masa-masa kemunduran, akhirnya dinasti Bani Umayah
benar-benar mengalami kehancuran atau keruntuhan. Keruntuhan ini terjadi pada masa
pemerintahan Marwan bin Muhammad setelah memerintah lebih kurang 6 tahun (744-750 M).
Keruntuhan dinasti Bani Umayyah ditandai dengan kekalahan Marwan bin Muhammad dalam
pertempuran zab hulu melawa pasukan Abu Muslim al-Khurasani pada tahun 748 M. pada peristiwa
itu terjadi pembersihan etnis terhadap anggota keluarga Bani Umayyah. Selain itu, pasukan Marwan
bin Muhammad yang ditawan dibunuh. Sementara yang tersisa dan masih hidup, terus dikejar dan
kemudian dibunuh. Bahkan Marwan bin Muhammad yang sempat melarikan diri dapat ditangkap
dan kemudian dibunuh oleh pasukan Abu Muslim al-Khurasani.
Pertikaian dan pembunuhan ini menimbulkan kekacauan sosial dan politik, sehingga negara
menjadi tidak aman dan masyarakat yang pernah merasa tersisih bersatu dengan kelompok Abu
Muslim dan Abul Abbas. Bergabungnya masyarakat untul mengalahkan kekuatan Bani Umayyah,
menandai berakhirnya masa-masa kejayaan Bani Umayyah, sehingga sekitar tahun750 M Bani
Umayyah tumbang.
Adapun sebab-sebab utama terjadinya keruntuhan dinasti Bani Umayyah adalah sebagai berikut:
1. Terjadinya persaingan kekuasaan di dalam anggota keluarga Bani Umayyah.
2. Tidak ada pemimpin politik dan militer yang handal yang mampu mengendalikan kekuasaan
dan menjaga keutuhan negara.
3. Munculnya berbagai gerakan perlawanan yang menentang kekuasaan Bani Umayyah, antara
lain gerakan kelompok Syiah.
4. Serangan pasukan Abu Muslim al-Khurasani da pasukan Abul Abbas ke pusat-pusat
pemerintahan dan menghancurkannya.
Banyak hikmah yang dapat diambil dari kehancuran dinasti Bani Umayyah. Diantaranya adalah:
1. Tidak boleh rakus dalam kekuasaan.
2. Tidak boleh boros, apalagi menggunakan uang negara yang sumbernya berasal dari uang
rakyat.
3. Harus berlaku adil dalam segala hal ketika menjadi penguasa dan setelahnya.
4. Berakhlak mulia dan jangan sombong.
5. Harus dekat dengan Tuhan dan rakyat yang mendukung kekuasaannya.
6. Mengasihi fakir miskin dan orang-orang lemah.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Berdirinya pemerintahan dinasti Bani Umayyah tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun
peristiwa tersebut mengandung banyak implikasi, diantaranya adalah perubahan beberapa prinsif
dan berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat
Islam.
Muawiyah adalah putra Abu Sufyan, seorang pemuka Quraisy telah sekian lama menjadi musuh
nabi yang sangat kejam. Muawiyah beserta seluruh keluarganya dan seluruh keluarga keturunan
Bani Umayyah memeluk Islam pada saat terjadi penaklukan Makkah.
Muawiyah adalah penguasa Islam pertama yang menggantikan sistem demokratis republik Islam
menjadi sistem Monarkis (kerajaan). Ia pendiri dinasti Bani Umayyah dan penguasa imperium
Islam yang sangat luas. Selama 19 tahun masa pemerintahannya ia terlibat sejumlah peperangan
dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut.
Penguasa sesudah Muawiyah antara lain Yazid ibn Muawiyah, Muawiyah II, Marwan, Abdul
Malik, Walid ibn Abdul Malik/Walid I, Sulaiman ibn Abul Malik, Umar ibn Abdul Aziz, Yazid II,
hisyam, al-Walid II, Yazid III dan ibrahim, Marwan bin Muhammad.



DAFTAR PUSTAKA


Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
Suud, Abu. Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Islam).
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Rasyidi, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Armico, 1997.
Syalahi. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Alhusna, 1997.
Murodi. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1987.
Asman, Latif. Ringkasan Sejarah Islam. Jakarta: Widjaya, 1983.
Mufradi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan. Jakarta: Logos, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta
Timur: Prenada Media, 2004.

[1] Drs. H. Badri Rasyidi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV. Armico, hal 28.
[2] Prof. Dr. Abu Suud, Sejarah Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia, Jakarta:
RINEKA CIPTA, hal. 66-67.
[3] Dr. Ali Mufradi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Logos, hal 72-73.
[4] A. Latif Asman, Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta: Widjaya, hal. 28.
[5] Ali Mufradi, op. cit., hal 74.
[6] Latif Asman, op. cit., hal 83.
[7] Ali Mufradi, op.cit., hal 75-80.
[8] Ibid., hal 81
[9] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 42.
[10] Ibid., hal. 43-45.
[11] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
Jakarta: Prenada Media, hal. 38-39.
[12] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, hal. 26.
[13] Ibid., hal. 27-28.







KATA PENGANTAR



Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah memberikan kekuatan dan
keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam semoga senantiasa
tercurah limpahan kepada nabi Muhammad saw. yang menjadi tauladan para umat manusia yang
merindukan keindahan syurga.
Kami menulis makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui ilmu tentang Sejarah
Perkembangan Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah. Selain bertujuan untuk memenuhi tugas, tujuan
penulis selanjutnya adalah untuk mengetahui proses pendirian bani Umayah, pola pemerintahan Bani
Umayah, Pola pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Ekspansi wilayah, dan Peradaban Islam Pada masa
Dinasti Bani Umayyah.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu
pengtahuan. Namun, berkat kerjasama yang solid dan kesungguhan dalam menyelesaikan makalah ini,
akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu
belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang positif demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi, serta
berdayaguna di masa yang akan datang.
Besar harapan, mudah-mudahan makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat dan maslahat
bagi semua orang.
Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Penyusun






BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan lahirnya kekuasan yang berpola
Dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola
keteladanan Nabi Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa berbeda
ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya.
Bentuk pemerintahan dinasti atau kerajaan yang cenderung bersifat kekuasaan foedal dan turun
temurun, hanya untuk mempertahankan kekuasaan, adanya unsur otoriter, kekuasaan mutlak, kekerasan,
diplomasi yang dibumbui dengan tipu daya, dan hilangnya keteladanan Nabi untuk musyawarah dalam
menentukan pemimpin merupakan gambaran umum tentang kekuasaan dinasti sesudah khulafaur rasyidin.
Dinasti Umayyah merupakan kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
Perintisan dinasti ini dilakukannya dengan cara menolak pembaiatan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib,
kemudian ia memilih berperang dan melakukan perdamaian dengan pihak Ali dengan strategi politik yang
sangat menguntungkan baginya.1[1]
Jatuhnya Ali dan naiknya Muawiyah juga disebabkan keberhasilan pihak khawarij (kelompok yang
membangkan dari Ali) membunuh khalifah Ali, meskipun kemudian tampuk kekuasaan dipegang oleh
putranya Hasan, namun tanpa dukungan yang kuat dan kondisi politik yang kacau akhirnya
kepemimpinannya pun hanya bertahan sampai beberapa bulan. Pada akhirnya Hasan menyerahkan
kepemimpinan kepada Muawiyah, namun dengan perjanjian bahwa pemmilihan kepemimpinan
sesudahnya adalah diserahkan kepada umat Islam. Perjanjian tersebut dibuat pada tahun 661 M / 41 H dan
dikenal dengan am jamaah karena perjanjian ini mempersatukan ummat Islam menjadi satu
kepemimpinan, namun secara tidak langsung mengubah pola pemerintahan menjadi kerajaan.
Meskipun begitu, munculnya Dinasti Umayyah memberikan babak baru dalam kemajuan
peradaban Islam, hal itu dibuktikan dengan sumbangan-sumbangannya dalam perluasan wilayah, kemajuan
pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Ada pun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
2. Pola Pemerintahan Dinasti bani Umayyah
3. Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
4. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
5. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah

1[1] Mashurimas, Makalah Kekuasaan Dinasti Umayyah , di akses dari
http://mashurimas.blogspot.com/2011/01/makalah-kekuasaan-dinasti-umayyah.html, pada tanggal 30 September 2012,
pukul 14.49
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendirian Dinasti Bani Umayyah
1.1 Asal Mula Dinasti Bani Umayyah
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas
terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman
bin Affan di anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para
pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam.
Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam mendatangi shahabat Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin
Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan masak dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima
tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar diatas merasa tenang, dan
kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia
(baiat) kepada Ali pada tanggal 17 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembaiatan ini mengindikasikan
pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang
paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat madinah dan
sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah2[2] ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang
merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus, Syiria, dan Marwan bin Hakam
yang ketika pada masa Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah.
Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk
bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur
darah.
Penolakan Muawiyah bin Abi Sufyan dan sekutunya terhadap Ali bin Abi Thalib menimbulkan
konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan
dikenal dengan perang Sifin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan
(sepupu dari Usman bin Affan) dan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam)
pada 1 Shafar tahun 37 H/657 M3[3]. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan
umat Islam yang baru.
Beberapa saat setelah kematian khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di
Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah pengganti

2[2] Kufah merupakan sebuah kota di Iraq. terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad. Diperkirakan
kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada 2003. (sumber : Wikipedia bahasa Indonesia), pada tanggal 3 Oktober 2012,
pukul 15:29
3[3] Wikipedia, Perang Saudara Islam Pertama, di akses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_saudara_Islam_pertama,
pada tanggal 3 Oktober 2012, pukul 15.49
Utsman. Kenyataan ini membuat Muawiyah tidah punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali
bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut juga karena
ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat
Utsman bin Affan.
Muawiyah mengecam agar tidak mengakui (baiat) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali
berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang
dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan
menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam
negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya
seperti Kuffah, Bashra4[4] dan Mesir.
Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang
dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang
situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika
bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian
terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di
Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi.
Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa
khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk
keuntungan dari krisis tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus
pembunuhan tersebut.
Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua
putranya Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga
dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah.
Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana
yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara
mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan
masalah yang dihadapi khalifah.
Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para
gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah
gubernur Mesir, Abdullah Saad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku
sewenang-wenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan
masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Saad segera di ganti. Kemarahan para
pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat
resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Saad sebagai gubernur Mesir untuk
membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar

4[4] Bashra adalah kota terbesar kedua di Irak, terletak sekitar 545 km dari Bagdad. Penduduknya berjumlah 2.016.217 jiwa
(per 1 Januari 2005),(sumber : Wikipedia bahasa Indonesia), pada tanggal 1 oktober 2012, pukul 14.49
diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Saad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin
Affan.
Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman
bin Affan melakukan kebajikan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan
protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak
menyenangi atas sistem pemerintahan yang sangat sarat dengan kolusi dan nepotisme. Keadaan ini
menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera
meletakkan jabatan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks,
sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan
emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman terbunuh dengan
sangat mengenaskan.
Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali, antara lain Muawiyah bin
Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di
tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang
pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan
yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak
sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

1.2 Usaha Untuk Memperoleh Kekuasaan
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M, karena terbunuh oleh
tusukan pedang beracun saat sedang beribadah di masjid Kufah, oleh kelompok khawarij5[5] yaitu
Abdurrahman bin Muljam, menimbulkan dampak politis yang cukup berat bagi kekuatan umat Islam
khususnya para pengikut setia Ali (Syiah). Oleh karena itu, tidak lama berselang umat Islam dan para
pengikut Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (baiat) atas diri Hasan bin Ali untuk di angkat menjadi
khalifah pengganti Ali bin Abi Thalib.
Proses penggugatan itu dilakukan dihadapan banyak orang. Mereka yang melakukan sumpah setia ini
(baiat) ada sekitar 40.000 orang jumlah yang tidak sedikit untuk ukuran pada saat itu. Orang yang pertama
kali mengangkat sumpah setia adalah Qays bin Saad, kemudian diikuti oleh umat Islam pendukung setia Ali
bin Abi Thalib.
Pengangkatan Hasan bin Ali di hadapan orang banyak tersebut ternyata tetap saja tidak mendapat
pengangkatan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Dimana pada saat itu Muawiyyah

5[5] Khawrij (baca Khowaarij, secara harfiah berarti "Mereka yang Keluar") ialah istilah umum yang mencakup sejumlah
aliran dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib, lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada
pertengahan abad ke-7, terpusat di daerah yang kini ada di Irak selatan, dan merupakan bentuk yang berbeda dari Sunni dan
Syi'ah, (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia), pada tnggal 29 September 2012, pukul 14.30
yang menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah. Hal ini disebabkan
karena Muawiyah sendiri sudah sejak lama mempunyai ambisi untuk menduduki jabatan tertinggi dalam
dunia Islam.
Namun Al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk
menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Hal ini dimanfaatkan oleh
muawiyah untuk mempengaruhi massa untuk tidak melakukan baiat terhadap hasan Bin ali. Sehingga
banyak terjadi permasalahan politik, termasuk pemberontakan pemberontakan yang didalangi oleh
Muawiyah bin Abi Sufyan. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai dengan kelompok Muawiyah
dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun
kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jamaah karena kaum muslimn sepakat
untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, khalifah
Hasan bin Ali tidak mempunyai pilihan lain kecuali perundingan dengan pihak Muawiyah. Untuk itu maka di
kirimkan surat melalui Amr bin Salmah Al-Arhabi yang berisi pesan perdamaian.
Dalam perundingan ini Hasan bin Ali mengajukan syarat bahwa dia bersedia menyerahkan
kekuasaan pada Muawiyah dengan syarat antaralain:
1. Muawiyah menyerahkan harat Baitulmal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada
pihak lain.
2. Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
3. Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan daerah dari Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4. Setelah Muawiyah berkuasa nanti, maka masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan
kepada umat Islam untuk melakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5. Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu
telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.

Untuk memenuhi semua persyaratan, Hasan bin Ali mengutus seorang shahabatnya bernama Abdullah
bin Al-Harits bin Nauval untuk menyampaikan isi tuntutannya kepada Muawiyah. Sementara Muawiyah
sendiri untuk menjawab dan mengabulkan semua syarat yang di ajukan oleh Hasan mengutus orang-orang
kepercayaannya seperti Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syama.
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi
tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis Aku mengakui bahwa karena
hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan
Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia
kepadamu.
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan
seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan
pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal
berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
Proses penyerahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah bin Abi Sufyan dilakukan di suatu tempat
yang bernama Maskin dengan ditandai pengangkatan sumpah setia. Dengan demikian, ia telah berhasil
meraih cita-cita untuk menjadi seorang pemimpin umat Islam menggantikan posisi dari Hasan bin Ali
sebagai khalifah.
Meskipun Muawiyah tidak mendapatkan pengakuan secara resmi dari warga kota Bashrah, usaha
ini tidak henti-hentinya dilakukan oleh Muawiyah sampai akhirnya secara defacto dan dejure jabatan
tertinggi umat Islam berada di tangan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah dinasti baru yaitu Dinasti Bani Umayyah (661-750 M) yang mengubah
gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa
peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun. Keadaan ini yang menandai berakhirnya
sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas demokrasi untuk menentukan pemimpin umat Islam
yang menjadi pilihan mereka. Pada masa kekuasaan Bani umayyah ibukota Negara dipindahkan muawiyah
dari Madinah ke Damaskus, tempat Ia berkuasa Sebagai gubernur Sebelumnya.6[6]
Namun perlawanan terhadap bani Umayyah tetap terjadi, perlawanan ini dimulai oleh Husein ibn
Ali, Putra kedua Khalifah Ali bin Abi Thalib. Husein menolak melakukan baiat kepada Yazid bin Muawiyah
sebagai khalifah ketika yazid naik tahta. Pada tahun 680 M, ia pindah dari Mekah ke Kufah atas permintaan
golongan syiahyang ada di Irak. Umat islam Di daerah ini tidak mrngakui Yazid. Mereka Mengangkat Husein
sebagai Khalifah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbela, sebuah daerah di dekat Kufah,
tentara Husein kalah dan Husein sendiri mati terbunuh. Kepalanya dipengal dan dikirim ke damaskus,
sedang tubuhnya dikubur di Karbela.7[7]

B. Pola Pemerintahan Dinasti Bani Umayyah
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan
mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan
sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan
melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah
ibn Abi Sufyan).8[8]

6[6] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 43
7[7] Badri yatim, op.cit., hlm.45
8[8] Philip K. Hitti, The History of Arabs. Terjemahan dari The History of Arabs; From The Earliest Times to The Present Oleh R.
Cecep Lukman Yasin dan deDi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), Cet. Ke-1, hlm..257.
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang
politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik
kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah
pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.
Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni
berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Gaya dan corak kepemimpinan pemerintahan Bani Umayyah (41 H/661 M) berbeda dengan
kepemimpinan masa-masa sebelumnya yaitu masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Pada masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin dipilih secara demokratis dengan kepemimpinan kharismatik yang
demokratis sementara para penguasa Bani Umayyah diangkat secara langsung oleh penguasa sebelumnya
dengan menggunakan sistem Monarchi Heredities, yaitu kepemimpinan yang di wariskan secara turun
temurun. Kekhalifahan Muawiyyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan
pemilihan atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika Muawiyyah
mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud
mencontoh Monarchi di Persia dan Binzantium. Dia memang tetap menggunakan istilah Khalifah, namun
dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut9[9]. Dia
menyebutnya Khalifah Allah dalam pengertian Penguasa yang di angkat oleh Allah.10[10]
Karena proses berdirinya pemerintahan Bani Umayyah tidak dilakukan secara demokratis dimana
pemimpinnya dipilih melalui musyawarah, melainkan dengan cara-cara yang tidak baik dengan mengambil
alih kekuasaan dari tangan Hasan bin Ali (41 H/661M) akibatnya, terjadi beberapa perubahan prinsip dan
berkembangnya corak baru yang sangat mempengaruhi kekuasaan dan perkembangan umat Islam.
Diantaranya pemilihan khalifah dilakukan berdasarkan menunjuk langsung oleh khalifah sebelumnya
dengan cara mengangkat seorang putra mahkota yang menjadi khalifah berikutnya.
Orang yang pertama kali menunjuk putra mahkota adalah Muawiyah bin Abi Sufyan dengan
mengangkat Yazib bin Muawiyah. Sejak Muawiyah bin Abi Sufyan berkuasa (661 M-681 M), para penguasa
Bani Umayyah menunjuk penggantinya yang akan menggantikan kedudukannya kelak, hal ini terjadi karena
Muawiyah sendiri yang mempelopori proses dan sistem kerajaan dengan menunjuk Yazid sebagai putra
mahkota yang akan menggantikan kedudukannya kelak. Penunjukan ini dilakukan Muawiyah atas saran Al-
Mukhiran bin Sukan, agar terhindar dari pergolakan dan konflik politik intern umat Islam seperti yang
pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Sejak saat itu, sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah telah meninggalkan tradisi musyawarah
untuk memilih pemimpin umat Islam. Untuk mendapatkan pengesahan, para penguasa Dinasti Bani
Umayyah kemudian memerintahkan para pemuka agama untuk melakukan sumpah setia (baiat) dihadapan

9[9] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam,Dirasah islamiyah II, PT Raja Grafindo Persada, Cet.XII, 2001, hlm. 42
10[10] Abu Ala al-maududi, Khalifah dan Kerajaan, op.cit, hlm.42
sang khalifah. Padahal, sistem pengangkatan para penguasa seperti ini bertentangan dengan prinsip dasar
demokrasi dan ajaran permusyawaratan Islam yang dilakukan Khulafaur Rasyidin.
Selain terjadi perubahan dalm sistem pemerintahan, pada masa pemerintahan Bani Umayyah juga
terdapat perubahan lain misalnya masalah Baitulmal. Pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin,
Baitulmal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat, dimana setiap warga Negara memiliki hak yang sama
terhadap harta tersebut. Akan tetapi sejak pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, Baitulmal beralih
kedudukannya menjadi harta kekayaan keluarga raja seluruh penguasa Dinasti Bani Umayyah kecuali Umar
bin Abdul Aziz (717-729 M). Berikut nama-nama ke 14 khalifah Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa:
1. Muawiyah bin Abi Sufyan (41-60 H/661-680 M)
2. Yazid bin Muawiyah (60-64 M/680-683 M)
3. Muawiyah bin Yazid (64-64 H/683-683 M)
4. Marwan bin Hakam (64-65 H/683-685 M)
5. Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
6. Walid bin Abdul Malik (86-96 H/705-715 M)
7. Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
8. Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
9. Yazid bin Abdul Malik (101-105 H/720-724)
10. Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
11. Walid bin Yazid (125-126 H/743-744 M)
12. Yazid bin Walid (126-127 H/744-745 M)
13. Ibrahim bin Walid (127-127 H/745-745 M)
14. Marwan bin Muhammad (127-132 H/745-750 M)11[11]

C. Masa Pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz
Umar ibn Abdul Aziz adalah putra saudara Sulayman, yaitu Abdul Aziz. Umar pantas diberi gelar
khalifah kelima khulafaur rasyidin karena kesholihan dan kemulyaannya. Sebelum ia diangkat menjadi
khalifah Dinasti Umayyah kedelapan, ia seorang yang kaya raya dan hidup dalam kemegahan. Ia suka
berpoya-poya dan menghambur-hamburkan uang. Namun setelah diangkat menjadi khalifah, ia berubah
total menjadi seorang raja yang sangat sederhana, adil dan jujur.12[12] Karena kesholihannya, ia dianggap
sebagai seorang sufistik pada jamannya. Ia juga disebut sebagai pembaharu islam abad kedua hijriyah.
Walaupun masa pemerintahnnya relatif singkat, yaitu sekitar tiga tahunan, namun banyak
perubahan yang ia lakukan. Diantaranya, ia melakukan komunikasi politik dengan semua kalangan,
termasuk kaum Syiah sekalipun. Ini tidak dilakukan oleh saudara-saudaranya sesama raja dinasti Umayyah.
Ia banyak menghidupkan tanah-tanah yang tidak produktif, membangun sumur-sumur dan masjid-masjid.

11[11] Istian Aby Bakar, Sejarah Peradaban Islam untuk perguruan tinggi islam dan umum,UIN malang pres,2008, Cet-1,
hlm.49
12[12] Al-Usairy, Sejarah Islam, hlm. 204
Yang tidak kalah pentingnya, ia juga melakukan reformasi sistem zakat dan sodaqoh, sehingga pada
jamannya tidak ada lagi kemiskinan.13[13]
Pada masa pemerintahnnya, tidak ada perluasan daerah yang berarti. Menurutnya, ekspansi islam
tidak harus dilakukan dengan cara imprealisme militer, tapi dengan cara dakwah. Dia juga memberi
kebebasan kepada penganut agama lain sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya. Pajak
diperingan,kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Umar mangkat dari jabatannya pada tahun 101 H/719 M dengan meninggalkan karakter
pemerintahan yang adil dan bijaksana terhadap semua golongan dan agama. Penerusnya nanti justru
berbanding terbalik dengan karakter kepemimpinannya.

D. Ekspansi Wilayah Dinasti Bani Umayyah
Ekspansi yang terhenti pada masa khalifah Usman dan Ali, dilanjutkan kembali oleh dinasti ini. Di
zaman Muawiyah,Tuniasia dapat ditaklukan. Disebelah timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan
sampai ke sungai oxus dan Afghanistan sampai ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan
ke Ibukota Binzantium, Konstantinopel.ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan
oleh khalifah Abd al-Malik. Ia mengirim tentara menyebrangi sungai Oxus dan dapat berhasil menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Markhand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat
menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.14[14]
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Walid ibn Abdul Malik. Masa
pemerintahan Walid adalah masa ketentraman, kemakmuran, dan ketertiban. Umat Islam mersa hidup
bahagia. Pada masa pemerintahannya yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. setelah al-Jajair
dan Marokko dapat ditaklukan, Tariq bin ziyad, pemimpin pasukan Islam,menyeberangi selat yang
memisahkan antara Marokko dengan benua Eropa, dan mendapat di suatu tempat yang sekarang dikenal
dengan nama Gibraltar (Jabal Tariq). Tentara Spanyol dapat ditaklukkan. Dengan demikian Spanyol menjadi
sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Kordova, dengan cepat dikuasai. Menyusul kota-kota lain
seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya
Kordova15[15]. Pada saat itu, pasukan Islam memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat
dukungan dari rakyat setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa. Di zaman Umar bin
Abdul Aziz, serangan dilakukan ke Prancis melalui pegunungan Piranee. Serangan ini dipimpin oleh
Abdurahman ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai menyerang Bordeau, Poitiers. Dari sana ia menyerang Tours.
Namun dalam peperangan di luar kota Tours, al-Qhafii terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke
Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah juga jatuh ke tangan
Islam di zaman Bani Umayyah.

13[13] ibid
14[14] Badri Yatim, op.cit.,hlm. 43
15[15] Ibid, hlm. 44
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan
Islam masa Bani Umayyah sangat luas. Daerah-daerah tersrebut meliputi: Spanyol, Afrika Utara, Syria,
Palestina, jazirah Arabia, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut
Pakistan, Purkmenia, Uzbek dan Kirgis di Asia Tengah (Nasution, 1985:62).

E. Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah
Dinasti Umayyah telah mampu membentuk perdaban yang kontemporer dimasanya, baik dalam
tatanan sosial, politik, ekonomi dan teknologi. Berikut Prestasi bagi peradaban Islam dimasa kekuasaan Bani
Umayah didalam pembangunan berbagai bidang antara lain:
- Masa kepemimpinan Muawiyah telah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat dengan
menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan.
- Menertibkan angkatan bersenjata.
- Pencetakan mata uang oleh Abdul Malik, mengubah mata uang Byzantium dengan Persia yang
dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Mencetak mata uang sendiri tahun 659 M dengan
memakai kata dan tulisan Arab.
- Jabatan khusus bagi seorang Hakim ( Qodli) menjadi profesi sendiri .
- Keberhasilan kholifah Abdul Malik melakukan pembenahan-pembenahan administrasi
pemerintahan Islam dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi
pemerintahan Islam. Keberhasilannya diikuti oleh putranya Al-Walid Ibnu Abdul Malik (705 719
M) yang berkemauan keras dan berkemampuan melaksanakan pembangunan.
- Membangun panti-panti untuk orang cacat. Dan semua personil yang terlibat dalam kegiatan
humanis di gaji tetap oleh Negara.
- Membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya.
- Membangun pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan, dan masjid-masjid yang megah.
- Hadirnya Ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah, bayan, badi, Istiarah dan sebagainya.
Kelahiran ilmu tersebut karena adanya kepentingan orang-orang Luar Arab (Ajam) dalam rangka
memahami sumber-sumber Islam (Al-quran dan Al-sunnah).
- Pengembangan di ilmu-ilmu agama, karena dirasa penting bagi penduduk luar jazirah Arab yang
sangat memerlukan berbagai penjelasan secara sistematis ataupun secara kronologis tentang
Islam. Diantara ilmu-ilmu yang berkembang yakni tafsir, hadis, fiqih, Ushul fiqih, Ilmu Kalam dan
Sirah/Tarikh.


Asy-Syakhsiyyah al-Islmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, Srah wa at-Trkh,
yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasanpenjelasan yang telah disebutkan, maka dapat kita ambil beberapa kesimpulan.
Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh
oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan di
anggap terlalu nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri). Setelah wafatnya Utsman bin Afan
maka masyarakat Madinah mengangkat sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang baru. Dan
masyrakat melakukan sumpah setia ( baiat ) terhadap Ali pada tanggal 17 Juni 656 M / 18 Djulhijah 35 H.
Dinasti umayyah diambil dari nama Umayyah Ibn Abdi Syams Ibn Abdi Manaf, Dinasti ini
sebenarnya mulai dirintis semenjak masa kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan namun baru kemudian
berhasil dideklarasikan dan mendapatkan pengakuan kedaulatan oleh seluruh rakyat setelah khalifah Ali
terbunuh dan Hasan ibn Ali yang diangkat oleh kaum muslimin di Irak menyerahkan kekuasaanya pada
Muawiyah setelah melakukan perundingan dan perjanjian. Bersatunya ummat muslim dalam satu
kepemimpinan pada masa itu disebut dengan tahun jamaah (Am al Jamaah) tahun 41 H (661 M).
Sistem pemerintahan Dinasti Bani Umayyah diadopsi dari kerangka pemerintahan Persia dan
Bizantium, dimana ia menghapus sistem tradisional yang cenderung pada kesukuan. Pemilihan khalifah
dilakukan dengan sistem turun temurun atau kerajaan, hal ini dimulai oleh Umayyah ketika menunjuk
anaknya Yazid untuk meneruskan pemerintahan yang dipimpinnya pada tahun 679 M.
Pada masa kekuasannya yang hampir satu abad, dinasti ini mencapai banyak kemajuan. Dintaranya
adalah: kekuasaan territorial yang mencapai wilayah Afrika Utara, India, dan benua Eropa, pemisahan
kekuasaan, pembagian wilayah kedalam 10 provinsi, kemajuan bidang administrasi pemerintahan dengan
pembentukan dewan-dewan, organisasi keuangan dan percetakan uang, kemajuan militer yang terdiri dari
angkatan darat dan angkatan laut, organisasi kehakiman, bidang sosial dan budaya, bidang seni dan sastra,
bidang seni rupa, bidang arsitektur, dan dalam bidang pendidikan.
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Bani Umayyah disebabkan oleh banyak faktor, dinataranya
adalah: perebutan kekuasaan antara keluarga kerajaan, konflik berkepanjagan dengan golongan oposisi
Syiah dan Khawarij, pertentangan etnis suku Arab Utara dan suku Arab Selatan, ketidak cakapan para
khalifah dalam memimpin pemerintahan dan kecenderungan mereka yang hidup mewah, penggulingan
oleh Bani Abbas yang didukung penuh oleh Bani Hasyim, kaum Syiah, dan golongan Mawali.

B. SARAN
Demikianlah isi dari makalah kami, yang menurut kami telah kami susun secara sistematis agar
pembaca mudah untuk memahaminya. Berbicara mengenai sejarah, maka sejarah merupakan ilmu yang
tidak akan pernah ada habisnya. Ingatlah, orang yang cerdas adalah orang yang belajar dari sejarah.
Sering kali kita lupa bahwa meskipun berkisah mengenai masa lampau, tapi sejarah begitu penting bagi
perjalanan suatu bangsa. Melalui sejarah, kita belajar untuk menghargai perjuangan para pendahulu kita,
belajar menghargai tetes darah dan keringat mereka untuk apa yang kita nikmati saat ini. Lewat sejarah kita
juga belajar dari pengalaman masa lalu, dan menjadikannya sebagai modal berharga untuk melangkah di
masa depan
Islam merupakan agama yang besar dengan perjalanan sejarah yang panjang. maka dari itu, marilah kita
menggali lebih jauh lagi ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sejarah Islamiah. Demi menguatkan keteguhan
dan rasa kebanggaan hati kita terhadap agama Islam yang kita peluk ini.

Anda mungkin juga menyukai