Anda di halaman 1dari 23

Modul -1

PENGERTIAN
PENGELOLAAN DAS


OLEH
DIDIK SUPRAYOGO, WIDIANTO DAN
KURNIATUN HAIRIAH



2011
J L V E T E R A N , MA L A N G 6 5 1 4 5 , I N D O N E S I A
T E L P ( 0 3 4 1 ) - 5 5 1 6 6 5 , 5 6 5 8 4 5 , F A X 0 3 4 1 5 6 0 0 0 1 1
E - M A I L : F A P E R T A @ U B . A C . I D ,
W E B S I T E : W W W . F P . U B . A C . I D


2

DAFTAR ISI

1. PEDAHULUA ................................................................................................................................... 3
1.1. APAKAH ADA MASALAH (GANGGUAN) DENGAN DAS KITA ? ............................................................. 3
1.2. MENGAPA PERLU PEDULI DENGAN SUMBERDAYA ALAM ? ................................................................. 4
1.3. PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN FUNGSI DAS ....................................................................... 5
1.4. APA YANG BISA KITA LAKUKAN ? ...................................................................................................... 6
2. SISTEM PEGGUAA LAHA DALAM DAS ............................................................................. 8
2.1. PENGGUNAAN LAHAN DAN PENUTUPAN LAHAN ............................................................................... 8
2.2. SISTEM TEBAS-BAKAR : DINAMIKA TIPE PENUTUPAN LAHAN DALAM MEMBENTUK SEBUAH SISTEM
PENGGUNAAN LAHAN TUNGGAL .............................................................................................................. 9
3. PEGERTIA DAS ............................................................................................................................ 10
3.1. APA YANG DIMAKSUD DENGAN DAS? ............................................................................................. 10
3.2. BENTUK DAN KARAKTERISTIK DAS ................................................................................................ 11
3.3. DAS SEBAGAI SEBUAH EKOSISTEM .................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................... 17

3




1. PEDAHULUA


1.1. Apakah ada masalah (gangguan) dengan DAS kita ?
Masalah DAS pada umumnya sangat serius di negara-negara berkembang,
karena laju pertambahan penduduk memberikan tekanan yang sangat
besar terhadap sumber daya lahan. Sebagian terbesar penduduk di daerah
ini tinggal dan bekerja di kawasan pedesaan dan sangat tergantung dari
sumberdaya lahan. Karena jumlah penduduk bertambah banyak maka
lahan yang dulu digunakan untuk usaha pertanian secara ekstensif,
sekarang berubah menjadi pertanian yang intensif. Tanah yang dulu sering
diberakan kemudian ditanami secara terus-menerus menjadi sangat peka
terhadap erosi. Pengusahaan pertanian intensif juga sering diikuti dengan
penggunaan pupuk dan pestisida, yang tidak jarang menggunakan dosis
tinggi. Praktek ini bisa mecemari sistem perairan baik di daerah hulu
maupun daerah hilir, karena mungkin ada sebagian yang terangkut aliran
air melalui limpasan permukaan dan aliran bawah tanah. Demikian pula
penggunaan lahan penggembalaan secara salah dapat mengakibatkan
kerusakan DAS. Penebangan hutan khususnya didaerah hulu dengan alasan
apapun (misalnya pengembangan pemukiman, pertanian, peternakan,
pariwisata, industri, dsb atau untuk pengusahaan hutan) dapat menurunkan
fungsi hidrologi hutan sehingga mengakibatkan erosi dan kerusakan lahan
di daerah hulu maupun hilir.
Perubahan yang terjadi di dunia pada akhir milenium kedua berlangsung
sangat cepat, seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggal
didalamnya. Jika pada tahun 1950-an jumlah manusia di bumi baru
sekitar 2 milliar, maka pada tahun 2000-an ini telah mencapai 6,1 milliar
orang. Sementara itu jumlah penduduk Indonesia pada periode yang sama
juga mengalami kenaikan hampir sama, yaitu dari 83 juta (1950) menjadi
224 juta (2000). Penduduk yang sangat banyak ini tentu saja memerlukan
pangan, tempat tinggal dan tempat bergerak. Kegiatan manusia yang
sangat dinamis untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, sehingga
membawanya ke dalam suatu kondisi di mana seolah-olah terjadi
kekurangan lahan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan (alih-guna lahan) secara besar-besaran.
Kegiatan manusia yang sangat berlebihan itu seringkali dilakukan sampai
melampaui batas kemampuan alam, sehingga mengakibatkan timbulnya
berbagai masalah lingkungan, diantaranya adalah kerusakan fungsi hutan
dan pengurasan sumberdaya alam (termasuk tanah dan air). Badan
Planologi Kehutanan (2000) melaporkan bahwa laju deforestasi nasional di
Indonesia dari tahun 1985 s/d 1997 rata-rata mencapai 1,87 juta ha tahun
-
1
. Akibat tingginya laju deforestasi ini, pada tahun 1999 telah terjadi
kerusakan fungsi hutan pada areal seluas 56,98 juta ha, bahkan 23 juta ha
4
diantaranya dimasukkan dalam kategori lahan kritis (Badan Planologi
Kehutanan, 2000). Dampak lingkungan yang mengikuti kerusakan lahan ini
antara lain terjadinya banjir, erosi, longsor, kekeringan, dan kebakaran
hutan berikut polusi udara oleh asap yang ditimbulkannya. Bencana alam
(banjir, longsor dan kekeringan) yang sangat sering terjadi pada awal tahun
2000-an di berbagai daerah di Indonesia sangat mengganggu kehidupan
masyarakat. Analisis mendalam terhadap timbulnya bencana alam tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar dipicu oleh tindakan manusia. Oleh
karena itu diperlukan kearifan untuk mengelola sumberdaya alam kita agar
dapat mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan, serta
yang lebih penting lagi adalah untuk menjamin kelangsungan hidup
generasi mendatang dalam menikmati kehidupan di bumi ini.
1.2. Mengapa perlu peduli dengan sumberdaya alam ?
Pengelolaan sumberdaya alam khususnya air dan tanah secara profesional
diberbagai tempat terbukti lebih efektif jika didasarkan pada pengelolaan
suatu kawasan alami yang dikenal sebagai daerah aliran sungai. Pengertian
daerah aliran sungai atau sering disingkat dengan DAS dibahas dalam bab
2.1. Pemilihan kawasan DAS sebagai satuan pengelolaan sumberdaya (air)
didasarkan pada alasan yang masuk akal, berkaitan dengan faktor-faktor
lingkungan, sosial dan keuangan [EPA, 1996 (EPA800-F-96-001, February
1996)].
Pengelolaan sumberdaya alam dalam kawasan DAS difokuskan pada
praktek-praktek penggunaan sumber daya tanah, air dan vegetasi (hutan)
yang juga terkait dengan aktivitas manusia yang tinggal di dalamnya.
Praktek-praktek penggunaan lahan yang kurang tepat dapat menyebabkan
terjadinya erosi yang sangat besar, sebagaimana yang terjadi di berbagai
wilayah sehingga mengakibatkan degradasi lahan di wilayah DAS
bersangkutan (Eckhlom,1978). Erosi di suatu tempat akan mengakibatkan
terjadinya pengendapan atau sedimentasi di tempat lain. Sedimen yang
dihasilkan dengan cepat mengisi sistem aliran sungai dan danau atau
waduk, sehingga dapat mengurangi umur efektif waduk sehingga fungsinya
seperti irigasi, pengendali banjir, produksi tenaga listrik, tidak dapat
terpenuhi. Sebagai contoh Waduk Karangkates (di Sungai Brantas, Jawa
Timur) yang selesai dibangun tahun 1972 direncanakan mempunyai umur
efektif sampai 100 tahun jika laju sedimentasi kedalam waduk kurang dari
51.000 m
3
tahun
-1
. Braben (1980) mengukur sedmentasi yang terjadi di
waduk tersebut antara tahun 1973 sampai 1977, mendapatkan bahwa laju
sedimentasi rata-rata mencapai 6,2 juta m
3
tahun
-1
. Jika hal ini berlangsung
terus, maka Waduk Karangkates sudah tidak bisa berfungsi optimal sesuai
rancangan pembuatannya dalam waktu 30 tahun kemudian. Dampak dari
erosi tanah juga berakibat pada kehidupan masyarakat penghuni DAS
melalui penurunan produktivitas lahan, pendapatan dan penyediaan air
bersih. Disamping itu, masyarakat mungkin harus mengeluarkan biaya
atau enerji yang lebih besar untuk memperoleh sumberdaya dengan
kualitas dan kuantitas yang sama.
Sejauh ini dampak langsung yang muncul akibat peningkatan erosi dan
kerusakan lahan di daerah hulu adalah berbagai berbagai masalah fisik
didaerah hilir. Namun perlu dicermati lebih jauh bahwa masalah DAS
ternyata merupakan campuran dari masalah-masalah biofisik, ekonomi,
sosial-budaya, politik dan kelembagaan (institusi). Beberapa konsekuensi
5
dari masalah ini adalah penurunan produktivitas pertanian, hutan,
peternakan dan perikanan; penurunan pengembalian investasi untuk
produksi energi listrik dan proyek-proyek irigasi ; serta timbulnya gangguan
terhadap kesehatan masyarakat.
Penggunaan lahan di kawasan DAS pada dasarnya memadukan penggunaan
sumberdaya alam dengan kepentingan manusia. Oleh karena itu sangat
diperlukan perlindungan DAS dari ancaman kerusakan atau degradasi.
Namun demikian, ternyata pengelolaan DAS banyak yang kurang berhasil.
Salah satu penyebab kegagalan itu dikarenakan pengelolaan DAS lebih
banyak ditekankan pada aspek biofisik saja, seperti aspek kelerengan, sifat-
sifat fisik tanah dan penutupan vegetasi, sementara aspek ekonomi dan
sosial-budaya belum mendapat bagian yang memadai.
Diberbagai kawasan DAS pada saat ini sudah tersedia data biofisik yang
bisa dianggap memadai untuk perencanaan pengelolaan DAS. Persoalan
yang lebih sering dihadapi adalah bagaimana mengolah,
menginterpretasikan dan menggunakan informasi biofisik tersebut untuk
perencanaan dan implementasi pengelolaan DAS sehingga penggunaan
sumberdaya alam dapat termanfaatkan secara optimal. Suatu impian yang
sangat diharapkan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah bila
berhasil memasukkan pertimbangan-pertimbangan biofisik, ekonomis,
sosial-budaya, politik dan institusial dalam mengimplementasikan kegiatan
pengelolaan DAS. Salah satu contoh, walaupun aspek ekonomi-sosial-
budaya diyakini sangat penting, tetapi isu-isu tersebut sering dihindari
karena kesulitan untuk memperhitungkannya.
1.3. Perubahan penggunaan lahan dan fungsi DAS
Perhatian untuk memahami hubungan penggunaan lahan dan sumberdaya
air di seluruh dunia dewasa ini terus meningkat. Hal tersebut terjadi karena
hampir semua negara berkembang (dan negara maju) menghadapi
permasalahan yang sama yaitu degradasi lahan dan penurunan sumber
daya air, sementara kebutuhan akan sumberdaya alam tersebut selalu
meningkat. Pengelolaan lahan yang kurang benar dan alih-guna hutan
menjadi penyebab utama terjadinya degradasi DAS. Di daerah tropis,
proses deforestasi ditambah dengan semakin pendeknya periode bera
dalam siklus perladangan berpindah dituduh menjadi salah-satu penyebab
utama kehancuran fungsi DAS. Apa benar? Beberapa peneliti diberbagai
tempat mepertanyakan tentang pandangan yang terlalu sederhana dalam
melihat hubungan antara fungsi hutan dan pengaruhnya dalam DAS.
Paradigma lama menganjurkan reforestasi (penghutanan kembali) sebagai
pemecahan masalah turunnya fungsi DAS akibat deforestasi. Paradigma ini
telah menyerap penggunaan dana yang sangat besar untuk program
penghijauan atau penanaman pohon. Review yang dilakukan oleh
Program Hydrologi Internasional terhadap program tersebut, menyimpulkan
bahwa program penghijauan belum mampu memulihkan fungsi hutan
dalam mempertahankan kesehatan DAS. Pemecahan degradasi
sumberdaya tanah dan air tidak semudah membalikkan telapak tangan!
Beberapa tahapan analisis yang mendalam dan menyeluruh masih perlu
dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan antara lain: Apa
masalahnya, apa penyebabnya? Masalah bagi siapa dan dimana masalah
tersebut timbul? Bagaimana pengaruh dan keterkaitannya dengan faktor
6
lain? adakah solusinya? Bila ada, apa konsekuensinya? Dengan demikian,
pemahaman yang mendalam dan benar akan siklus hidrologi dan peran
hutan dalam siklus hidrologi sangat diperlukan dalam pengambilan
keputusan yang tepat pada berbagai tingkatan.
1.4. Apa yang bisa kita lakukan ?
Suatu pertanyaan yang perlu kita jawab adalah bagaimana kita mengelola
sumberdaya alam melalui pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah
upaya sadar dan berencana dalam rangka menggunakan dan mengelola
sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkelanjutan
untuk meningkatkan mutu hidup.
Pengertaian pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
merupakan sebuah konsep yang relatif baru, sehingga walaupun telah ada
sekitar lebih dari 60 definisi mengenai konsep pebangunan berkelanjutan
(Van Kooten dan Bulte 2000 dalam Suyanto, 2002), tetapi belum ada suatu
kesepakatan yang sama mengenai definisi baku konsep tersebut.
Perdebatan diantara para ahli masih terus berlanjut. Suyanto (2002)
memberikan contoh definisi pembangunan berkelanjutan yang paling sering
dikutip antara lain:
1. Brundtland (1987): sustainable development is development that meets
the needs of the present without compromising the needs of future
generations to meet their own needs.
2. Pearce, Makandia and Barbier (1989): sustainable development involves
devising a social and economic sistem, which ensures that these goals
are sustainable, i.e. that real income rise, that educational standard
increase, that the heath of the nation improves, that general quality of
life is edvanced.
3. Harwood (1990): sustainable agriculture is a sistem that can evolve
indefinitely toward greather human utility, greater efficiency of resource
use and a balance with the environment which is favourable to human
and most other species.
4. Crossen (1992): sustainable agriculture sytem is one that can
indefinitely meet the requirement for food and fibre at socially
acceptable, economical and environmental cost.
Namun, pada dasarnya sebagian besar definisi pembangunan berkelanjutan
mengandung salah satu atau lebih elemen-elemen berikut ini (Van Kooten
and Bulte, 2000):
1. Peduli terhadap kualitas lingkungan hidup
2. Peduli terhadap kesejahteraan generasi mendatang
3. Peduli terhadap masalah pertumbuhan penduduk
4. Peduli untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dengan
keterbatasan sumberdaya.
Makna konsep pembangunan yang berkelanjutan, mencakup empat hal
yang harus diperhatikan:
7
1. Sumberdaya penunjang. Pembangunan dapat berlanjut harus ditopang
dengan sumberdaya alam (SDA), kualitas lingkungan dan sumberdaya
manusia (SDM) yang berkembang secara berkelanjutan.
2. Nilai ambang batas SDA. Sumberdaya alam memiliki nilai ambang batas,
pada penggunaan yang tidak terkendali akan menurunkan kualitas dan
kuantitasnya. Penurunan ini akan mempengaruhi kemampuan topangan
pada pembangunan berkelanjutan.
3. Kualitas lingkungan. Kualitas lingkungan secara langsung berkorelasi
dengan kualitas hidup.
4. Kualitas hidup generasi mendatang. Adanya usaha peningkatan
kesejahteraan generasi sekarang tanpa mengurangi harapan kualitas
hidup generasi mendatang.
Pelaksanaan pola pembangunan berkelanjutan harus mempertimbangkan
lingkungan, walaupun di tingkat masyarakat masih ada anggapan dari
beberapa pihak bahwa pemeliharaan lingkungan bertentangan dengan
pembangunan. Bahkan ada anggapan yang ekstrim bahwa pembangunan
berkelanjutan adalah identik dengan mempertahankan kemiskinan !
Tindakan-tindakan yang terlibat dalam pembangunan berkelanjutan antara
lain:
1. Menekan kerugian sebesar mungkin karena disadari adanya trade off
(tarik ulur). Pemanfaatan SDA dalam pembangunan berkelanjutan selalu
menjaga keutuhan ekosistemnya. Bila ada dampak negatif dari
pembangunan terhadap lingkungan baik fisik, ekonomi maupun sosial
harus dipertimbangkan dengan matang.
2. Selalu berorientasi pada dampak pembangunan jangka panjang karena
dampak lingkungan seringkali timbul pada kurun waktu yang lama,
sehingga menjamin kepentingan generasi mendatang,
3. Selalu memberi kesempatan kepada masyarakat untuk partisipasi baik
dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan, bahkan
pengawasannya.
Pertimbangan lingkungan yang dimasukkan pada kebijakan pembangunan
membuat pembangunan berkelanjutan tidak saja memiliki ciri kelayakan
fisik atau teknik dan ekonomi, melainkan juga ciri kelayakan lingkungan.
Upaya-upaya strategis yang bisa dilakukan dalam pembangunan yang
berkelanjutan antara lain :
1. Mengutamakan penggunaan SDA yang dapat diperbaharui (renewable
resources),
2. Mengusahakan penghematan terhadap SDA langka, dan memberikan
prioritas terhadap upaya penyelamatan serta perlindungannya
3. Melakukan rehabilitasi terhadap SDA yang rusak, misalnya tanah kritis
dan gundul, fungsi hutan yang rusak dan sebagainya,
4. Pengembangan rencana tata-guna lahan dan tata-ruang dan
pengendaliannya
5. Mempertahankan kemampuan SDA sebagai penopang pembangunan

8




2. SISTEM PEGGUAA LAHA
DALAM DAS

2.1. Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan
Penutup lahan (land cover) bisa diartikan sebagai apa saja yang berada di
permukaan atau menutupi permukaan tanah. Penutup lahan bisa dikenali
dengan teknik penginderaan jauh. Penutup lahan memiliki atribut yang
spesifik, yaitu vegetasi, cadangan karbon dan unsur hara, serta habitat
untuk tumbuhan, hewan dan manusia. Jadi, padang rumput, pepohonan,
hutan, padang pasir, lahan pertanian, bangunan, dsb merupakan elemen-
elemen penutup lahan.
Penggunaan lahan (landuse) adalah tindakan manusia terhadap lahan
dalam upaya untuk mencapai satu atau lebih tujuan. Jadi, pengertian
penggunaan lahan berbeda dari penutupan lahan. Namun, pada suatu
ketika kedua kata itu bisa memiliki pengertian yang sama, misalnya
padang rumput penggembalaan. Sistem penggunaan lahan bisa jadi
terdiri dari beberapa tipe penutupan lahan. Contohnya, sistem penggunaan
lahan ladang berpindah (shifting cultivation), jika dilihat pada periode
yang berbeda-beda penutupan lahan bisa berupa bera, tanaman semusim,
semak, hutan sekunder atau bahkan berupa hutan. Tidak jarang bahwa
suatu penutupan lahan yang spesifik merupakan bagian dari beberapa tipe
penggunaan lahan, misalnya tanaman semusim dapat menjadi bagian dari
pola tanam permanen
Penutup lahan secara formal diartikan sebagai kondisi biofisik permukaan
bumi yaitu vegetasi dan lapisan yang ada di bawahnya. Sementara itu
istilah penggunaan lahan memadukan dua hal yaitu biofisik permukaan dan
tujuan pemanfaatan lahan oleh manusia.
Istilah hutan dapat dipakai untuk menunjukkan penutupan lahan maupun
penggunaan lahan. Hutan atau silva (dalam bahasa Latin) pada awalnya
mempunyai makna penutup lahan berupa vegetasi berkayu. Sementara itu
ada istilah hutan negara, di mana hutan di sini tidak selalu berarti lahan
yang ditutupi oleh vegetasi berkayu, melainkan lebih diartikan sebagai
fungsi lahan tersebut (sebagai hutan) dan berhubungan dengan siapa yang
menguasai lahan tersebut (yaitu pemerintah). Seringkali di kawasan desa
atau pemukiman dijumpai lebih banyak pepohonan dibandingkan dengan di
kawasan hutan negara.
Dalam bahasa sehari-hari, istilah hutan digunakan untuk menunjukkan
penutup lahan yang berupa pepohonan meliputi tegakan vegetasi alami,
monokultur atau tanaman perkebunan yang seragam. Oleh karena istilah
hutan (forest) sendiri sudah rancu, maka istilah-istilah seperti deforestasi
dan reforestasi juga sering membingungkan. Untuk keperluan yang
berhubungan dengan lingkungan dan dampak alihguna lahan dan konversi
hutan, maka diperlukan definisi yang jelas dari istilah-istilah itu.
9












2.2. Sistem Tebas-Bakar : Dinamika Tipe Penutupan Lahan dalam
membentuk sebuah Sistem Penggunaan Lahan Tunggal
Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan maupun hewan, namun
hanya sedikit yang bisa dimakan oleh manusia. Di masa lampau di mana
manusia masih sebagai pemburu dan pengumpul, populasi manusia
disekitar hutan sangat jarang. Kelompok pemburu dan pengumpul ini
bertindak sebagai penyedia hasil hutan untuk dunia luar dengan
memperoleh imbalan sesuai kebutuhan (terutama untuk kelengkapan diet).
a. Hutan alami terdiri dari beraneka species tumbuhan dan hewan, namun
hanya sebagian kecil saja yang bisa dimakan oleh manusia. Manusia
harus mencari hewan dan mengumpulkan tumbuhan yang bisa dimakan
dari hutan dengan cara berburu dan mencari.
b. Manusia mulai mengusahakan pertanian menetap dengan cara menanam
dan mengembang-biakkan species yang dikehendaki.
Sistem pertanian menetap berawal dari upaya kelompok pemburu dan
pengumpul, yang mengusahakan dan mengembang-biakkan species
tanaman yang dikehendaki. Kesempatan untuk mencoba, lebih
memungkinkan terjadi di luar kawasan hutan. Secara naluriah untuk
mengembangkan sistem pertanian menetap harus membersihkan
(menebang) hutan, dengan maksud untuk memperoleh ruangan yang lebih
luas bagi pertumbuhan dan perkembang-biakan tanaman yang dapat
dimakan. Tebas-bakar merupakan salah satu cara untuk membersihkan
hutan dalam upaya membangun pertanian.
Beberapa jenis tumbuhan hutan mampu tumbuh dan berkembang lagi dari
sisa-sisa biji atau bagian tanaman yang lain setelah mengalami proses
tebas-bakar pada saat pembersihan hutan. Tumbuhan baru ini akan
berkompetisi dengan tanaman yang sengaja dibudi-dayakan.

Latihan :
1. Ambillah satu lembar foto udara atau citra satelit dari kawasan
yang anda kenal.
a. Buatlah daftar tipe penutup lahan yang dijumpai untuk
setiap satuan (pixel) dari foto tersebut
b. Buatlah juga daftar tipe penggunaan lahan pada kawasan
yang sama
2. Diskusikan lebih lanjut tentang penggunaan istilah hutan dalam
bahasa pergaulan sehari-hari (lisan maupun tulis). Apakah istilah
hutan mempunyai arti sebagai penutup lahan atau penggunaan
lahan ?
10



3. PEGERTIA DAS


3.1. Apa yang dimaksud dengan DAS?
Dalam memberikan pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) hingga saat ini
masih belum disepakati dalam satu definisi baku namun pada umumnya
mengacu pada batasan sistem, yang wujudnya digambarkan secara
skematis pada Gambar 1. Berdasarkan wujud di lapangan pendekatan
sistem, terutama sistem aliran air, Linsley (1975) memberikan batasan DAS
yang dalam bahasa asing (Inggris) adalah watershed dengan sinonim river
basin, drainage basin, chatment area, sebagai:
the entire area drained by a stream or sistem of connecting streams
such that all streamflow originating in the area discharged through a
single out-let.
Mengacu pada difinisi tersebut, diskusi Pengelolaan DAS di Bogor tahun
1978 (Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi, 1978) memberikan batasan
DAS sebagai:
satu wilayah daratan yang menampung dan menyimpan air hujan
untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui satu sungai utama.
Bila didasarkan pada fungsi sungai yang menerima air dan mengalirkannya,
maka Seyhan (1977) dan Manan (1978) (Dalam Hadi Purnomo, 1990)
mendefinisikan DAS sebagai berikut:
DAS sebagai wilayah daratan yang dibatasi oleh pemisahan
topografis, berfungsi untuk menampung, menyimpan dan selanjutnya
mengalirkan seluruh air hujan yang jatuh diatasnya menuju ke
sistem sungai terdekat, dan pada akhirnya bermuara ke waduk,
danau dan ke laut.
Mengingat DAS sebagai satuan tata air yang merupakan gabungan dari
sifat-sifat individual unsur hidrologis yang meliputi hujan, aliran sungai,
evapotranspirasi dan unsur lainnya yang mempengaruhi neraca air maka
Hadipurnomo (1990) merangkum definisi DAS sebagai berikut:
1. Satu satuan wilayah tata air yang menampung dan menyimpan air
hujan yang jatuh diatasnya, untuk kemudian mengalirkannya melalui
saluran utama ke laut.
2. Satu satuan ekosistem dengan unsur-unsur utamanya berupa SDA
flora, fauna, tanah dan air, serta manusia dengan segala aktivitasnya
yang berinteraksi satu sama lain.

11

Gambar 1. Sketsa Daerah Aliran Sungai (DAS)

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Nomor : 52/Kpts-II/2001, DAS
didefinisikan sebagai:
Suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya
sedemikian rupa, sehingga merupakan kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam
fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan
dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui
sungai utamanya (single outlet). Satu DAS dipisahkan dari
wilayah lain disekitarnya (DAS-DAS lain) oleh pemisah dan
topografi, seperti punggung perbukitan dan pegunungan.
Memperhatikan DAS tidak hanya sebagai satuan tata air dan satuan
ekosistem, tepai juga tempat berinteraksinya manusia maka Easter dan
Hufschmidt (1985) mendefinisi-kan sebagai:
Suatu kawasan yang dibatasi oleh suatu topografi yang mana
mendrainasikan air melalui sistem aliran sungai. DAS sebagai
unit hidrologis dan sebagai unit sosioekonomik dan sosiopolitik
untuk merencanakan dan mengiplementasikan aktivias
pengelolaan sumberdaya alam.
3.2. Bentuk dan Karakteristik DAS
Dalam DAS, jalur-jalur sungai dengan tanpa cabang pada ujung
pengalirannya disebut orde pertama sungai. Penggabungan dua orde
pertama sungai membentuk order kedua, dua orde kedua sungai

12
membentuk orde ketiga dan seterusnya. Aliran sungai di kawasan hutan
dalam DAS secara umum pada orde yang lebih rendah (Gambar 2).
Bentuk DAS akan mempengaruhi debit pengaliran, pola banjir dan debit
banjir. Beberapa bentuk DAS yang terdapat di Indonesia secara skematis
dapat dilihat dalam Gambar 3 :
1. berbentuk bulu burung, disebut demikian karena jalur anak sungai di kiri
kanan sungai utama langsung mengalir ke sungai utama. DAS seperti ini
mempunyai debit banjir yang relatif kecil, namun banjir yang terjadi
berlangsung relatif lama. Hal ini karena waktu tiba banjir dari anak-anak
sungai berbeda-beda.
2. berbentuk menyebar (radial). Bentuk ini mempunyai karakteristik
dimana anak-anak sungai terkonsentrasi ke suatu titik secara radial.
DAS dengan karakteristik demikian, berpotensi menyebabkan banjir
besar di dekat titik pertemuan anak-anak sungai,
3. berbentuk sejajar (pararel). Bentuk ini mempunyai karakteristik dimana
dua jalur daerah pengaliran yang bersatu di bagian hilir. DAS dengan
karakteristik demikian, jika terjadi banjir maka akan terjadi di bagian
hilir titik-titik pertemuan sungai.
Disamping bentuk dan karakteristik DAS tersebut diatas, debit pengaliran,
pola banjir dan debit banjir juga ditentukan oleh faktor iklim, topografi,
vegetasi dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri.


Gambar 2. Keempat orde aliran sungai





1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
4 4
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
4 4

13











Gambar 3. Bentuk-bentuk DAS

3.3. DAS sebagai sebuah ekosistem
DAS sebagai satuan ekosistem merupakan suatu kawasan alami yang
kompleks. Ekosistem merupakan rangkaian kata sistem + ekologi, yaitu
suatu tatanan dan keteraturan dari beberapa komponen penyusun yang
saling berhubungan satu sama lain. Kata ekologi berasal dari kata Yunani
yaitu OIKOS + LOGOS (OIKOS = rumah tangga dan LOGOS = ilmu atau
pengetahuan). Disini dipelajari hubungan antar anggota rumah tangga,
yaitu antara hewan (termasuk manusia sebagai salah satu species) dengan
tumbuhan, antar jenis-jenis binatang itu sendiri, antar jenis-jenis
tumbuhan, antar unsur biotis (makhluk hidup) dan unsur abiotis (benda
mati) dan sebagainya.

DAS sebagai suatu ekosistem ditandai oleh adanya kriteria sebagai berikut:
1. Terdapat unsur biotis (makhluk hidup) misalnya hewan dan tumbuh-
tumbuhan, serta unsur abiotis (benda mati) misalnya air dan tanah.
2. Terdapat interaksi atau hubungan timbal balik antara berbagai unsur
dalam DAS
3. Terjadi aliran materi, energi dan informasi didalam ekosistem; dari
dalam ekosistem keluar ekosistem ; dan dari luar ekosistem kedalam
ekosistem


Latihan:
Apa yang saudara pahami tentang karakteristik DAS?
Lakukan diskusi tentang pengaruh faktor iklim, topografi, vegetasi
dan jenis tanah di dalam DAS itu sendiri terhadap debit pengaliran,
pola banjir dan debit banjir. Kembangkan diskusi untuk menjawab
alasan-alasan peserta diskusi dari sudut pandang pemahaman
peserta terhadap faktor-faktor tersebut!
14
4. Dalam keadaan alamiah terjadi keseimbangan dinamis pada suatu
ekosistem
DAS merupakan suatu ekosistem yang luas, yang terdiri dari beberapa
(sub) ekosistem utama (Gambar 4):
1. Ekosistem hutan, yang bersifat sebagai ekosistem alamiah,
2. Ekosistem lahan budi daya pertanian dan pedesaan yang bersifat
sebagai ekosistem peralihan
3. Ekosistem perkotaan, yang bersifat ekosistem buatan atau ekosistem
binaan

Dalam suatu ekosistem berlaku dalil-dalil sebagai berikut:
Dalil pertama
Unsur biotis penghuni (mayoritas) suatu ekosistem menguasai suatu bentuk
informasi dalam tingkat-tingkat tertentu:
1. Penghuni eksositem hutan yaitu binatang, menguasai informasi
berdasarkan naluri. Binatang merasa bila akan terjadi bencana letusan
gunung berapi berdasarkan nalurinya, binatang punya naluri kemana
mencari makan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan sebagainya.

Gambar 4. Ekosistem Utama dalam DAS

2. Penghuni ekosistem lahan budidaya pertanian/pedesaan yaitu
masyarakat desa menguasai infromasi tradisional, misalnya: masyarakat
desa tahu tentang informasi siklus alam (iklim) yang dituangkan dalam
pranata mongso bagi orang Jawa. Berdasarkan pranata mongso mereka

15
melakukan pengelolaan usaha taninya. Informasi tradisional ini
biasanya bersifat empiris atau berdasarkan pengalaman terhadap
kejadian yang telah berlangsung lama dan berulang-ulang. Pengalaman
ini tidak atau belum dianalisa secara ilmiah.
3. Penghuni ekosistem perkotaan yaitu masyarakat modern, menguasai
ekosistem yang canggih. Mereka telah menguasai infromasi
berdasarkan analisa ilmu pengetahuan dan hasil rekaman peralatan
canggih, misalnya informasi satelit, radar, komputer, internet dan
sebagainya.

Dalil kedua
Ekosistem yang penghuninya menguasai informasi paling canggih adalah
ekosistem yang kuat. Jadi ekosistem kota lebih kuat dari pada ekosistem
desa dan hutan. Ekosistem desa lebih kuat dari pada ekosistem hutan,
tetapi lebih lemah dari pada eksositem kota.

Dalil ketiga
Ekosistem yang kuat cenderung mengeksploitasi ekosistem yang lebih
lemah. Jadi ekosistem kota akan cenderung menyedot materi, energi dan
informasi dari ekosistem hutan dan ekosistem desa. Contoh: hasil hutan,
hasil pertanian (materi dan energi) banyak dieksploitasi dan diangkut serta
ditimbun ke kota. Infromasi hasil penelitian dibidang pertanian, kehutanan,
sosial pedesaan juga tersimpan di kota yaitu di lembaga-lembaga
penelitian, Universitas-universitas dan sebagainya.

Dalil keempat
Dalam kondisi alamiah, suatu ekosistem bisa berada dalam keadaan
keseimbangan dinamis. Keseimbangan dinamis ini bersifat mantap. Bila
terjadi campur tangan manusia, maka terjadi eksploitasi ekosistem yang
lemah oleh eksosistem yang lebih kuat. Jika penyedotan materi, energi dan
informasi ini berlangsung terus menerus dan sangat intensif tanpa atau
sedikit sekali pengembaliannya ke ekosistem yang lemah, maka akan
terjadi kebocoran ekosistem yang ditandai oleh berbagai peristiwa seperti
erosi, banjir, terjadinya lahan kritis, kemiskinan, urbanisasi dan sebaginya.

Kebocoran Ekosistem
Berdasarkan kriteria-kriteria dan dalil-dalil yang berlaku dalam ekosistem
DAS, maka perlu diamati dengan seksama terhadap gejala yang terjadi
dalam suatu DAS. Apabila terjadi kebocoran dalam suatu ekosistem, maka
bisa timbul akibat berikut :
1. Dalam ekosistem lemah. Akan terjadi proses degradasi yaitu penurunan
daya dukung lingkungan akhirnya terjadi bencana berupa: erosi,
sedimentasi, banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau,
timbulnya lahan kritis dan bencana-bencana alam lainnya.
16
2. Dalam ekosistem kuat. Dalam ekosistem yang kuat akan terjadi
penimbunan materi, enerji dan informasi. Hal ini akan menimbulkan
dampak positif maupun negatif. Dampak positif berupa kemakmuran,
kemajuan yang pesat dalam laju pembangunan, kemajuan tehnologi,
membaiknya sarana dan prasarana kehidupan di perkotaan dan
sebagainya. Namun dampak negatifnya juga ada yaitu akibat
menumpuknya materi dan enerji dapat menimbulkan pemborosan, pola
hidup mewah, kecenderungan timbulnya hiburan menjurus kepada
perubahan tata nilai susila, terjadinya kesenjangan dan kecemburuan
sosial .
3. Upaya penanggulangan kebocoran ekosistem. Untuk mengatasi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kebocoran ekosistem, perlu dilakukan
upaya untuk melakuakn keseimbangan dalam aliran materi, enerji dan
informasi dari dan ke ekosistem yang kuat kepada ekosistem yang lebih
lemah dan sebaliknya.




17




DAFTAR PUSTAKA

Badan Planologi kehutanan, 2000. www.dephut.go.id/informasi/intag/ statistik/
IV.1.3.htm
Braben, T.A. 1979. Resevoir Sedimentation East java. Indonesia Report O.D.A 15.
Hydraulics. Res. Sta. Walingfort. England.
Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion:
A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological
Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International
Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.
Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources
Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.
Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press
LCC. 373 pp
Departemen Kehutanan, 2004. Siaran Pers: No: S.491/II/PIK-1/2004 tentang DIP
Gerhan Tahun 2004 Diserahkan Ke Daerah: GERAKAN NASIONAL
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN (GN.RHL).
Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1978. Proceeding Pertemuan Diskusi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Cibulan.
Easter, K.W., J.A. Dixon and M.M. Hufschmidt. 1986. Watershed Resources
Management: An Intergrated Framework with Studies from Asia and the
Pacific. Studies in Water Policy and Management, No 10. Westview Press.
Ekholm, E.P. 1978. Losing Ground: Environmental Stress and World Food
Problems. London: Pergamon Press.
Environmental Protection Agency (EPA) U.S, 1996. Watershed Management
(EPA800-F-96-001) Assessment and Watershed Protection Division. U.S.
EPA (4503F) , Ariel Rios Building, 1200 Pennsylvania Ave NW. Washington,
DC 20460
FWI/GFW. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia: Forest Watch
Indonesia dan Wasington D.C.:Global Forest Watch. 117 pp.
Hadipurnomo, 1990. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). BRLKT-Sub DAS
Brantas. Malang
Hairiah K, Widianto, D Suprayogo, R H Widodo, P Purnomosidhi, S Rahayu dan M
Van Noordwijk, 2004. Ketebalan seresah sebagai indikator daerah aliran
sungai (DAS) sehat. World Agroforestry Centre, ICRAF Bogor, ISBN 979-
3198-17-6, 41 p.
Harsono, S. 1995. Pengarahan Mentri Negara Agraria/ Kepala badan Pertanahan
Nasional dalam Kongres Nasional VI HITI. PUSPITEK, SERPONG, Tangerang.
Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and
nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles
and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus
F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356.
18
Keputusan Menteri Kehutanan No 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Linsley, R.K., Kohler, M.A. and Paulhus, J.L.H., 1975. Applied Hydrology. Mc.Graw-
Hill, New Delhi.
Magrath W.B.and Doolette J.B., 1990. Strategic issues in watershed development.
In Magrath W.B.and Doolette J.B (ed.) Watersehed Development in Asia:
Stategies and technologies. Wolrd bank technical paper.US.
Mangundikoro. A. 1985. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. UGM,
Jogyakarta.
Purwanto E dan Ruijter J, 2004. Hubungan antara hutan dan fungsi daerah aliran
sungai. Dalam: Agus F, Van Noordwijk M dan Rahayu S (Eds.). Dampak
hidrologis hutan, agroforestri dan pertanian lahan kering sebagai dasar
pemberian imbalan kepada penghasil jasa lingkungan di Indonesia. Hal 1-
22.
RePPProT, 1990. The Land Resources of Indonesia. A National Overview. Regional
Physical Planning Programme for Transmigration. Final Report date 1990.
Land Resources Departement of the Overseas Development Administration,
London (Government of UK), and Ministry of Transmigration (Government of
Indonesia), Jakarta.
Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion.
Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J.
CABI
Sinukaban,N., 1995. Kebijaksanaan dan Strategi Konservasi Tanah di Indonesia.
Pertemuan MKTI Jawa Timur. Malang.
Sunderlin W.D. dan Resosudarmo I.A.P, 1996. Rates and Couses of Deforestation in
Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities. Bogor.
Indonesia:Center for International Forestry Research.
Suyanto, 2002. Pertanian Sehat: Pandangan dari Aspek Ekonomi. Dalam preceding
Sitompul S.M. dan Utami S.R. (editors) Akar Pertanian Sehat: Refleksi
pengalaman belajar meneliti dan mengajar dipersembahkan untuk
mahasiswa pertanian dan petani. Universitas Brawijaya. Malang. 158 pp.
Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely
Planet Publications Pty Ltd., Australia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Utomo, W.H. 1987. Erosi dan Konservasi Tanah. Universitas Brawijaya. Malang.
Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and
Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in
Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph.
Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and
sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models,
experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr
J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing
Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International
Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255.
Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for
integrated natural resource management in forest margins and in
landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?"
Conservation Ecology: 18 pp.
19
Van Noordwijk M, Agus F., Suprayogo D., Hairiah K., Pasya G., Farida. 2004.
Peranan agroforesti dalam mempertahankan fungsi daerah aliran sungai
(DAS). Jurnal AGRIVITA. Volume 26 No 1: hal 1-7.
World Forests, Society and Environment (1999)

BAHAN BACAAN LANJUTAN
Buku
Bergsma C et al. 1996. Terminology for soil erosion and conservation.
Bruijnzeel LA. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion:
A State of Knowledge Review. UNESCO International Hydrological
Programme; a publication of the Humid Tropics Program and International
Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences.
Calder IR. 1999. The Blue Revolution. Land Use and Integrated Water Resources
Management. Earthscan Publications, London. 192 pp.
Chang, M. 2003. Forest Hydrology: An Introduction to water and forests. CRC Press
LCC. 373 pp
Gordon, N.D., McMahon T.A., and Finlayson B.L. 1994. Stream Hydrology: An
Introduction for Ecologists. Jhon Wiley and Sons
Jones C., Palmer R.M., Motkaluk S., and Walters M. 2002. Watershed Health
Monitoring: Emerging Technologies. Lewis Publishers. 227 pp.
Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J. (eds.), 1998. Soil Erosion at Multiple
Scales. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI
Publishing in association with the International Board for Soil Research and
Management (IBSRAM). 390 pp.
Rose, C. 2004. An Introduction to the Environmental Physics of Soil, Water and
Watersheds. Cambridge. University Press, 439 pp
Rosegrant M.W., Cai.X., and Cline S.A. 2002. World Water and Food to 2025:
Dealing with scarcity. International Food Policy Research Institute.
Washington DC. 322 pp.

Bab Buku
Garrity DP. 1996. Tree-crop-soils interactions on slopes. In Ong, C. K. and Huxley,
P.A. (eds.). Tree-Crop Interactions a Physiological Approach. CAB
International, Wallingford, UK. pp. 299-318.
Garrity DP, Mercado AR, Jr. and Stark M. 1998. Building the smallholder into
successful natural resource management at the watershed scale. In: de
Vries P, Frits WT, Agus F and Kerr J eds. Soil erosion at multiple scales:
Principles and methods for assessing causes and impacts. CABI and IBSRAM.
p 73-82.
Jakeman AJ, Green TR, et al. 1998. Modeling catchment erosion, sediment and
nutrient transport in large basins. Soil erosion at multiple scales: Principles
and methods for assessing causes and impacts. Penning de Vries FWT, Agus
F and Kerr J. Wallingford (UK), CAB International: 343-356.
Lal, R. 1999. Soil quality and food security: The global perspective. Dalam Lal,(
Editor) R Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 3-16
Lal, R. 1997. Degradaation and resilience of soil. Philos. Trans. R. Soc. London Ser.
B 352:997-1010
20
Lal, R. 1999. Applying Soil Quality Concepts for Combating Soil Erosion. Dalam
Lal, R (editor) Soil Quality and Soil Erosion CRC Press. P 309-316
Rose CW, Yu B. 1998. Dynamic process modelling of hydrology and soil erosion.
Soil erosion at Multiple scales. Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr J.
CABI
Van Noordwijk M, van Roode M, McCallie EL and Lusiana B. 1998. Erosion and
sedimentation as multiscale, fractal processes: implications for models,
experiments and the real world. In: Penning de Vries FWT, Agus F and Kerr
J (eds.) Soil Erosion at Multiple Scales. Principles and Methods for Assessing
Causes and Impacts. CABI Publishing in association with the International
Board for Soil Research and Management (IBSRAM). pp. 223-255.

Artikel Scientific journal
Sanchez P. 1995. Science in Agroforestry. Agroforestry Sistems 30, 5 55.
Van Noordwijk M, Tomich T and Verbist B. 2000. "Negotiation support model for
integrated natural resource management in forest margins and in
landscapes with trees: can they solve local as well as global problems?"
Conservation Ecology: 18 pp.

Laporan / Manual
Brooks, K.N, Gregersen, H.M, Lundgren A.L, and Quinn R.M. 1990. Manual on
watershed management project planning, monitroring and evaluation.
ASEAN-US Watersehed Project.
Ffolliot, P.F. 1990. Manual on Watershed Instrumentation and Measurement.
ASEAN-US Watershed Project. Philippines. 193 pp
Proyek kali Konto, 1988. Studi screening DAS Brantas. DHV Consultant dan Dirjen
RRL
Proyek kali Konto, 1990. Pengalaman pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
DHV Consultant dan Dirjen RRL
Schmitz K and Tameling A. 2000. Modelling erosion at different scales, a
preliminary 'virtual' exploration of the Sumber Jaya watershed. Enschede,
ICRAF, Bogor, Indonesia and University of Twente, Enschede, The
Netherlands: 84.
Turner P. 1999. Java. Behind the Temples, Volcanoes and Fertile Plains. Lonely
Planet Publications Pty Ltd., Australia.
Van der Poel P and Subagyono K. 1998. National watershed management and
conservation project, the use of the universal soil loss equation in the RTL
process. Bandung, Indonesia.
Van Kooten G.C., and Bulte E.H. 2000. The Economics of Nature. Malden, MA:
Blackwell Publiher.
Van Noordwijk M and Lusiana B. 1998. WaNuLCAS, a Model of Water, Nutrient and
Light Capture in Agroforestry Sistems. International Centre for Research in
Agroforestry (ICRAF), Bogor, mimeograph.
21
Websites
International Hydrological Program: http://www.unesco.org/water
Karssenberg, D.J., 1996. PCRaster manual. Department of Physical Geography, Utrecht
University, The Netherlands (check also at http://www.pcraster.nl)
River Sistems Research Group: http://boto.ocean.washington.edu/
World Commission on Dams: Http://www.dams.org








22
VLIR
logo
23

Anda mungkin juga menyukai