Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH SIKLUS PENGERINGAN DAN PEMBASAHAN TERHADAP KUAT

GESER DAN VOLUME TANAH



Sukiman Nurdin*
*





Abstract
Dry and wetting cycle in tropical area are usual cycle with high intensity. Those usually affect soils to be
shrinkage at drying condition. It can be determine by the decrease of soil moisture content. In other hand,
swelling process will occur in wetting side that actually cause the increase of volume of soils due to water
content. This phenomena should be can caused by several factors such as soils mineral, climate (intensity of
rain), humidity and gravitation. This study aims to explore the change of volume and shear strength of soils
due to dry and wetting cycle.
Shrinkage limits test shows that shrinkage limit of soils more than 12%, it can be conclude that the type
soils at Kalukubula regency have slightly swelling potential. At 2 days until 10 days in drying process, the
shrinkage limit was 21.37% to 47.87% with soils volume change from 18.06% decrease to 6.06%. while in
wetting process, the shrinkage limit of soils was 46.70% to 26.06% with soils volume change from 0.18%
increase to 10.17%. Swelling test shows that the swelling potential of soils was lower that 0.5% to average
(0.5%- 1.5%). Shear test results in drying condition had the value of cohesion (c) and soil friction angle ()
higher than in wetting condition.

Keyword: wetting and drying, shrinkage limit, swelling, shear strength.




*
Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu

1. Pendahuluan
Tanah merupakan material konstruksi
khususnya pada pekerjaan bangunan sipil dalam
usaha pemanfaatannya sebagai lahan pemukiman,
perkerasan jalan, hingga pembangunan struktur-
struktur besar lainnya. Namun dalam
pelaksanaannya di lapangan seringkali terdapat
persoalan yang disebabkan pengaruh perubahan
iklim dan cuaca sehingga menurunnya faktor-faktor
pendukung parameter tanah.
Berbagai peristiwa alam yang terjadi
secara terus-menerus berupa siklus pengeringan dan
pembasahan pada daerah beriklim tropis,
menyebabkan terjadinya retakan atau penyusutan
tanah pada waktu kering (musim kemarau) dan
menutupnya retakan tersebut pada waktu basah
(musim hujan). Perubahan ini juga dipengaruhi oleh
perbedaan partikel-partikel penyusun tanah serta
faktor-faktor lingkungan berupa tingkat curah hujan
yang tinggi, kisaran temperatur dan adanya
pengaruh gravitasi.
Tanah dasar yang baik merupakan syarat
material untuk memikul beban konstruksi,
khususnya tanah lempung ekspansif yang banyak
terdapat di Indonesia, mempunyai sifat kekuatan
geser rendah, kemampatan dan plastisitas tinggi
serta potensi kembangsusut yang besar sehingga
mengakibatkan terjadinya kerusakan konstruksi
yang akan dibangun di atas tanah tersebut.
Demikian halnya siklus kekeringan dan curah hujan
yang tinggi akan berpengaruh terhadap perubahan
volume tanah, perubahan sifat-sifat fisik dan
mekanis tanah.

2. Tinjauan Pustaka
2.1 Tanah lempung
Menurut Das (1993), lempung (clay)
merupakan material yang memiliki ukuran butir
kurang dari 0,002 mm (2 mikron) yang bersifat
plastis kalau basah dan keras bila dalam keadaan
kering. Wesley (1977), menjelaskan sifat plastis
tersebut menunjukkan sifat bahan yang dapat
diubah-ubah tanpa mengalami perubahan volume
dan kembali ke bentuk asalnya, serta tidak disertai
retak-retak pada saat perubahan tersebut. Tanah
yang memiliki butiran halus, tetapi tidak memiliki
Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

9
sifat plastis disebut sebagai tanah bukan lempung
(non clay soils).
Tanah lempung terbentuk dari banyak
jenis mineral, dimana jika mineral pembentuknya
berbeda, maka berbeda pula sifatnya. Perbedaan ini
meliputi kelakuannya terhadap penambahan atau
pengurangan kadar air, dan terhadap pengaruh
gangguan susunan tanah. Beberapa lempung sangat
sensitif terhadap gangguan, sehingga akan terjadi
pengurangan nilai kuat geser akibat terganggunya
struktur asli tanah (Hardiyanto, 2002).
Tanah lempung tersusun oleh mineral-
mineral lempung yang terdiri dari silikat aluminium
dan/atau besi dan magnesium, yang beberapa
diantaranya mengandung alkali dan/atau tanah
alkalin sebagai komponen dasarnya. Sebagian besar
mineral lempung mempunyai struktur berlapis,
sebagian mempunyai bentuk silinder memanjang
atau struktur yang berserat, sehingga menunjukkan
karakteristik daya tarik menarik dengan air dan
menghasilkan plastisitas yang tidak ditunjukkan
oleh material lain walaupun material tersebut
berukuran lempung atau lebih kecil.
Beberapa mineral lempung yang biasa
terdapat di alam antara lain kaolinit, illit dan
montmorilonit. Sifat atau karakteristik dari
beberapa jenis mineral lempung pada umumnya
adalah sebagai berikut :
a. Hidrasi, partikel lempung dikelilingi oleh
lapisan-lapisan molekul air disebut air
terabsorbsi.
b. Aktivitas, akibat tepi-tepi mineral lempung
mempunyai muatan negatif netto,
mengakibatkan terjadinya usaha
penyeimbangan muatan dengan tarikan kation.
Tarikan ini akan sebanding dengan kekurangan
muatan netto dan dapat dihubungkan dengan
aktivitas lempung tersebut.
Aktivitas digunakan untuk mengidentifikasi
kemampuan mengembang dari suatu tanah.
c. Pengaruh air, air dalam tanah lempung
menentukan sifat plastisitas lempung. Massa
lempung yang telah mengering dari suatu kadar
air awal mempunyai kekuatan yang cukup
besar. Apabila bongkahan ini dipecah-pecah
menjadi partikel-partikel kecil, bahan tersebut
akan berperilaku sebagai bahan yang tidak
kohesif. Apabila air ditambahkan kembali,
bahan tersebut akan menjadi plastis dengan
kekuatan yang lebih kecil. Jika lempung basah
ini mengering, akan terbentuk bongkahan yang
keras dan kuat. Berikut ini nilai-nilai batas cair
dan batas plastis dari beberapa mineral
lempung:

2.2 Kuat Geser Tanah
Kuat geser tanah adalah gaya perlawanan
internal oleh butir-butir tanah per satuan luas
terhadap desakan atau tarikan sepanjang bidang
geser dalam tanah (Das, 1993).
Bila tanah mengalami pembebanan maka
beban akan ditahan karena pengaruh adanya
kekuatan geser tanah yaitu, oleh adanya gesekan
dalam () antara butir-butir tanah berbanding lurus
dengan tegangan vertikal (tegangan efektif) yang
bekerja pada bidang geser dan kohesi tanah yang
bergantung pada jenis tanah dan kepadatannya,
tetapi tidak tergantung dari tegangan vertikal yang
bekerja pada bidang gesernya.
Kekuatan geser ditentukan untuk
mengukur kemampuan tanah menahan tekanan
tanpa terjadinya pergeseran. Dalam tanah tidak
berkohesi, kekuatan gesernya hanya terletak pada
gesekan antar butir tanah saja (c = 0) sedangkan
pada tanah berkohesi dalam kondisi jenuh, maka
= 0 dan S = c. Formulasi kuat geser tanah seperti
yang dikemukakan oleh Coulomb (1776) dalam
Das (1993), merupakan sebuah garis lurus yang
menunjukkan hubungan linier antara tegangan
normal dan geser dapat dilihat pada gambar 2.4
yang dinyatakan dalam persamaan berikut:


+ = tan c S
(1)

dengan :
S=kekuatan geser (kg/cm
2
)
c=kohesi tanah (kg/ cm
2
)
=sudut gesek dalam ()
=tegangan normal (kg/ cm
2
)


Gambar 1. Tegangan geser tanah

10
Hubungan diatas disebut sebagai kriteria
keruntuhan Mohr Coulomb dengan pengertian
bahwa jika titik A yang berada di bawah garis
selubung kegagalan, mempunyai tegangan geser
yang lebih kecil daripada kuat geser bagi tekanan
konsolidasi yang bersangkutan dan dengan
demikian mempunyai faktor aman terhadap
keruntuhan. Titik B yang terletak diatas garis
selubung keruntuhan adalah keadaan yang tidak
mungkin terjadi karena tegangan gesernya lebih
besar daripada kuat geser bagi tegangan normal
yang bersangkutan (sebelum tegangannya mencapai
titik B, bahan sudah mengalami keruntuhan).
Keruntuhan geser akan terjadi jika tegangan-
tegangan terletak pada garis selubung kegagalan.
Hubungan diatas disebut sebagai kriteria
keruntuhan Mohr Coulomb dengan pengertian
bahwa jika titik A yang berada di bawah garis
selubung kegagalan, mempunyai tegangan geser
yang lebih kecil daripada kuat geser bagi tekanan
konsolidasi yang bersangkutan dan dengan
demikian mempunyai faktor aman terhadap
keruntuhan. Titik B yang terletak diatas garis
selubung keruntuhan adalah keadaan yang tidak
mungkin terjadi karena tegangan gesernya lebih
besar daripada kuat geser bagi tegangan normal
yang bersangkutan (sebelum tegangannya mencapai
titik B, bahan sudah mengalami keruntuhan).
Keruntuhan geser akan terjadi jika tegangan-
tegangan terletak pada garis selubung kegagalan.
Nilai kuat geser tanah dapat ditentukan dari
pengujian-pengujian sebagai berikut:
Percobaan geser langsung (Direct Shear Test)
Percobaan Triaxial (Triaxial Test)
Percobaan Tekan Bebas (Unconfined
Compession Test)
Parameter kuat geser tanah dapat
ditentukan dengan pengujian di laboratorium, yaitu
melakukan uji geser langsung terhadap contoh
tanah yang diambil dari lapangan. Pengujian
dilakukan terhadap contoh tanah tidak terganggu
dan diusahakan kondisi tanah tidak berubah,
terutama kadar air dan susunan tanahnya.
Pada umumnya terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kuat geser tanah di lapangan,
antara lain keadaan tanah (angka pori, ukuran
butiran dan bentuk), jenis tanah, kadar air serta
jenis beban dan tingkatnya. Pengujian kuat geser
biasanya dilakukan dalam dua tingkat yaitu, dengan
pemberian tegangan normal dan pemberian
tegangan geser sampai terjadi keruntuhan (failure)
hingga tercapai tegangan geser maksimum.
2.3 Faktor-faktor penyebab menurunnya Kuat geser
tanah
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
menurunnya kuat geser tanah (Sosrodarsono, 1987)
antara lain :
a. Sifat bawaan yang meliputi komposisi, struktur
geologi dan geometri bidang.
- Komposisi, kondisi material dapat menjadi
lemah (weak) pada peningkatan kadar air.
Hal ini terjadi pada tanah lempung
terkonsolidasi lebih dan terkonsolidasi sangat
lebih dan tanah lempung organik.
- Struktur geologi dan geometri lereng, dapat
berupa bidang diskontinuitas (sesar,
perlapisan, kekar, cermin sesar dan
breaksiasi), lapisan yang berada di atas tanah
lempung yang lemah atau selang-seling
antara lapisan lulus air, pasir dan kedap air
(lempung).
b. Reaksi kimia/fisika, antara lain yaitu :
- Hidrasi dari mineral lempung seperti absorbsi
air oleh mineral lempung sehingga
kadar air meningkat. Hal ini biasanya diikuti
dengan penurunan harga kohesi, contohnya
lempung montmorillonit.
- Penyusutan tanah lempung akibat
pengeringan dapat menimbulkan retakan
susut sehingga kuat geser tanah menurun dan
memberikan kesempatan air mengalir masuk
kedalamnya.
- Erosi oleh air pada tanah lempung
dispersive menyebabkan terbentuknya
rongga yang menurunkan kuat geser tanah.
c. Perubahan tekanan air pori dan berat isi, antara
lain:
- Berat isi bertambah karena penjenuhan. Daya
apung pada kondisi jenuh menurunkan
tegangan efektif pada butir, sehingga kuat
geser menurun.
- Muka air tanah naik karena air hujan, kolam,
waduk dan faktor lainnya.
d. Perubahan sistem pembebanan antara lain :
- Karena tegangan tanah berkurang kondisi
lapisan tanah lempung terkonsolidasi lebih
dan terkonsolidasi sangat lebih yang
sebelumnya telah dibebani lapisan diatasnya
kemudian lapisan atas tersebut digali
(dibuang), dapat menyebabkan terjadinya
perubahan beban pada lapisan lempung yang
menyebabkan berkurangnya kuat geser tanah.

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kuat
geser tanah lempung adalah kondisi tanah lempung
Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

11
yang tidak sempurna seperti lempung retak-retak,
lapisan tanah yang berlapis-lapis, tanah organik,
lempung sensitif. Pada kondisi ini lempung
biasanya mengandung retakan, kotoran, dan
masalah lainnya yang berakibat menyulitkan
pengujian tanah di laboratorium.

2.4. Siklus Pengeringan dan Pembasahan
Siklus pengeringan dan pembasahan
merupakan peristiwa pengurangan dan
penambahan kadar air pada massa tanah, yang
menyebabkan terjadinya perubahan volume dan
perubahan tegangan air pori negatif (suction),
sehingga menyebabkan terjadinya perubahan
tegangan geser.
Pengaruh perubahan kondisi tanah
akibat adanya siklus pengeringan dan
pembasahan yang terdapat dilapangan khususnya
di beberapa tempat menunjukkan keadaan tanah
yang berbeda-beda. Terkadang tanah lempung
bersifat sangat keras dan cenderung menyusut
apabila tanah kering dan bersifat sangat lunak,
plastis, dan cenderung memuai apabila tanah
dalam kondisi basah.
Dalam hal ini pengembangan tanah
merupakan proses yang agak kompleks
dibandingkan dengan penyusutan dimana besar dan
nilai tekanan pengembangan bergantung pada
banyaknya mineral lempung di dalam tanah, Yong
dan Warketin (1975) dalam Hardiyatmo (2002).
Berdasarkan penelitian Raharjo (2005),
Gambar 2, diperoleh adanya pengaruh pembasahan
berulang pada jenis tanah pasir berlanau yang diberi
perlakuan pengeringan dan pembasahan terhadap
sampel yang sama secara berulang-ulang sehingga
diperoleh nilai kuat geser tanah pada kondisi kering
lebih besar daripada kondisi basah. Dalam hal ini
untuk jenis tanah yang sama pada siklus kering dan
basah tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai kuat
gesernya.
Hasil perhitungan diperoleh bahwa pada
kondisi kering tanah memiliki nilai kohesi (c) dan
sudut gesek dalam () yang lebih besar daripada
kondisi basah sehingga nilai kuat geser semakin
besar. Makin besar nilai kuat geser yang di kandung
oleh tanah, maka kemungkinan terjadinya
pergeseran tanah akan semakin kecil.
Pada penelitian Fatah, dkk (2006)
diperoleh parameter kuat geser tanah lempung
berpasir hampir sama dengan hasil penelitian ini
yaitu diberi perlakuan kering-basah terhadap
sampel yang berbeda dengan waktu pemeraman 2
hari, 5 hari dan 10 hari. Untuk kondisi kering nilai c
dan hampir 2 kali lebih besar daripada kondisi
basah, sebagaimana ditunjukkan pada grafik
Gambar 3.


Tanah Pasi r Berl anau
0,2075 0,2125 0,2174
0,1448 0,1488
0,1559
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5
Pengulangan Basah Kering
K
u
a
t

G
e
s
e
r

(
S
)
Linear (A Kering) Linear (A Basah)

Gambar 2. Hubungan antara Kuat Geser dan Pengulangan Basah Kering
Untuk Sampel A pada Tanah Pasir Berlanau (Sumber :
Raharjo, 2005)
12
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0 0,1 0,2 0,3 0,4
Tegangan Normal
K
u
a
t

G
e
s
e
r

(
S
)

Gambar 3. Hubungan Nilai Tegangan Normal dan Kuat Geser pada Siklus
Kering Basah (Sumber : Fatah, dkk, 2006)

Tabel 1. Hubungan Indeks Plastisitas dan Batas Susut Terhadap
Perubahan Volume

Potensi
Perubahan
Volume
Indeks Plastisitas (PI)
Batas susut
(SL)
Daerah
Kering

Daerah
Lembab

Kecil
Sedang
Tinggi
0 - 15
15 - 30
> 30
< 30
30 50
> 50
> 12
10 12
< 10
(Sumber : Holtz dan Gibs, 1956 dalam Bowles, 1993)

Dari grafik pada Gambar 3 dapat dilihat
bahwa pada kondisi kering, terjadi peningkatan
nilai kuat geser dengan bentuk kurva hampir sama,
sedang untuk kondisi basah terjadi penurunan yang
kuat geser yang cukup tajam.

2.5 Kembang susut terhadap perubahan volume
tanah
Tanah-tanah yang banyak mengandung
lempung akan mengalami perubahan volume ketika
kadar air berubah, dimana pengurangan kadar air
dapat menyebabkan lempung menyusut dan
sebaliknya bila kadar air bertambah lempung akan
mengembang (Hardiyatmo, 2002).
Perubahan volume tanah berkaitan dengan
pengaruh kembang-susut pada tanah berbutir halus
yang merupakan akibat dari perubahan kadar air
dalam tanah seperti pada daerah-daerah yang
kurang kering karena lebih banyak terdapat belukar
dan pepohonan, sehingga terjadi penyerapan air
berlebihan. Retak akibat susut dapat muncul secara
lokal jika tekanan kapiler melampaui kohesi atau
kuat tarik tanah.
Susut dan retak disebabkan oleh
penguapan permukaan tanah saat musim panas,
penurunan muka air tanah, dan isapan akar tumbuh-
tumbuhan. Ketika musim hujan, tanah mendapatkan
air dan volume tanah bertambah sehingga terjadi
pengembangan tanah. Hubungan indeks plastisitas
dan perubahan volume tanah dapat dilihat pada
tabel 1.
Pengembangan tanah seperti juga
penyusutan biasanya tanah terkekang di bagian atas
permukaan tanah sehingga merusakkan struktur
diatasnya. Perubahan volume akibat kembang susut
sering merusakkan bangunan seperti perkerasan
jalan, bangunan gedung ringan dan perkerasan
dinding saluran.
Potensi pengembangan didefinisikan
sebagai keseimbangan perubahan volume vertikal
(deformasi contoh benda uji) yang dinyatakan
dalam persen dari tinggi awal contoh undisturbed
Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

13
dengan kadar air dan kepadatan di alam pada
kedudukan jenuh dibawah beban ekivalen dengan
tekanan overburden di tempat Snethen (1984)
dalam Hardiyatmo (2002).
Bangunan yang menutup tanah
menyebabkan berkurangnya penguapan sehingga
tanah di bawah bangunan akan bertambah kadar
airnya oleh kapiler yang menyebabkan tanah
lempung mengembang. Adanya gangguan tanah
atau pembentukan kembali tanah lempung dapat
menambah sifat mudah mengembang, akan tetapi
pengaruh sementasi dan bahan-bahan organik
cenderung mengurangi pengembangan.
Tabel 2 menyajikan klasifikasi tanah
ekspansif berdasarkan kriteria pengujian Snethen.

Tabel 2. Klasifikasi Tanah Ekspansif Terhadap Uji
Beban Pengembangan pada Tekanan
Overburden di Tempat
Potensi
Pengembangan
(%)
Klasifikasi
Pengembangan
< 0,5
0,5 1,5
> 1,5
Rendah
Sedang
Tinggi
(Sumber : Snethen 1984 dalam Hardiyatmo, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Vijayvergiya
dan Ghazzaly (1973), dalam Hardiyatmo (2002),
mengembangkan hubungan-hubungan untuk contoh
tanah asli terhadap potensi pengembangan dan
sifat-sifat indeks tanah, seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.


3. Metode Penelitian
Proses Pengeringan dan Pembasahan
Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui
kondisi sampel tanah yang terjadi di lapangan serta
sejauh mana besarnya pengaruh pengeringan dan
pembasahan akibat perubahan iklim dan cuaca yang
menyebabkan terjadinya pergeseran atau perubahan
terhadap volume tanah. Pada penelitian ini sampel
diambil dari satu titik dengan jenis tanah yang
sama kemudian diberi perlakuan pengeringan dan
pembasahan terhadap contoh tanah asli
(undisturb), setelah itu dilakukan pengujian
swelling, batas susut dan uji geser langsung.







Gambar 4. Hubungan antara Potensi Pengembangan, Batas Cair, Kadar Air Awal dan
Berat Volume Kering
(Sumber : Vijayvergiya dan Ghazzaly, 1973 dalam Hardiyatmo, 2002)

14
Sampel asli yang berada dalam tabung
dengan perlakuan pengeringan masing-masing
sampel dikeringkan udara selama 2 hari setelah itu
sampel dicetak dalam cincin uji sebanyak 5 sampel
yaitu 2 sampel uji batas susut dan 3 sampel uji
geser langsung. Untuk perlakuan pembasahan
sampel direndam terlebih dahulu selama 2 hari
setelah itu dicetak dalam cincin uji sebanyak 5
sampel. Untuk waktu pengeringan dan pembasahan
4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari prosedur
pengerjaannya sama seperti di atas, setelah sampel
dicetak kemudian siap untuk diuji batas susut dan
geser langsung.

3.1 Uji pengembangan tanah (swelling)
Pengujian ini dimaksudkan untuk
mengetahui persentase pengembangan dari tanah
yang diuji dengan perlakuan pembasahan dengan
variasi waktu selama 2 hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari
dan 10 hari. Dari hasil pengujian diperoleh persen
pengembangan serta nilai indeks pengembangan
tanah (C
s
).
Pada pengujian tekanan pengembangan
menggunakan alat consolidometer atau oedometer
yang sama digunakan pada pengujian konsolidasi
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.












Gambar 5. Uji Konsolidometer

Adapun rumus potensial pengembangan yang
digunakan yaitu:

S
w
=
H
h
x 100% ..............................(2)

h = Besar pengembangan vertikal
H = Tinggi contoh tanah (cm)
Dari hasil uji swell diperoleh nilai indeks
pemampatan (C
c
) dan indeks pengembangan (C
s
)
dengan rumus sebagai berikut :

C
c
=

1
2
p
p
Log
e
... ...............................(3)

C
s
=
5
1
.C
c
............................................(4)

dengan :
C
c
= Indeks pemampatan
C
s
= Indeks pengembangan
e = Perubahan angka pori
P
1
= Tekanan yang diberikan sebesar 0,25 kg/cm
2

P
2
= Tekanan yang diberikan sebesar 0,50 kg/cm
2


4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil pengujian sifat fisik
Pengujian sifat fisik tanah dilakukan untuk
mengetahui karakteristik dan mengklasifikasi jenis
tanah yang digunakan dalam penelitian. Pengujian
laboratorium yang dilaksanakan meliputi uji
analisis saringan, berat jenis, analisis hidrometer,
atterberg, swelling, kadar air tanah asli, berat isi dan
uji kuat geser langsung. Adapun hasil pengujiannya
adalah sebagai berikut :
Uji analisis saringan dan hidrometer dilakukan
terhadap contoh tanah terganggu (disturb) yang
beratnya 50 gram. Dari grafik analisis saringan
diperoleh persentase butiran yang tertahan
saringan no. 200 (diameter butir tanah lebih kecil
dari 0,075 mm) adalah sebesar 73,40%,
sehingga dapat dikelompokkan ke dalam jenis
tanah berbutir halus (> 50%) yaitu termasuk
lempung dan lanau. Sedangkan dari hasil analisis
hidrometer diperoleh persentase gradasi dari
masing-masing jenis tanah yaitu lempung
sebesar 30,61%, lanau 42,79% dan pasir
25.40%, Uji kadar air (w) diperoleh nilai kadar
air tanah asli (w) rata-rata sebesar 24,81%.
Sedangkan nilai berat isi basah (
b
) sebesar 1,90
gr/cm
3
dan berat isi kering (
d
) tanah sebesar
1,48 gr/cm
3
. Untuk nilai berat jenis tanah (G
s
)
adalah sebesar 2,58.
Berdasarkan hasil analisa saringan di atas
dengan persentase butiran lempung sebesar
30,61%, dan menurut Bowles (1993) apabila
Skala
Ukur
Beban
Batu
Berpori
Batu
Berpori
Cincin
konsoli
dasi
Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

15
deposit lanau yang dominan dengan kandungan
lempung lebih dari 10% sampai 25%, maka
material tersebut dapat digolongkan sebagai
tanah lempung.
Dari hasil pengujian batas-batas atterberg
diperoleh nilai batas cair (LL) = 51% dan indeks
plastisitas (PI) = 23,43%, dimana (LL > 50%)
yang kemudian diplotkan ke dalam diagram
plastisitas berikut ini.
Berdasarkan gambar diagram plastisitas, dimana
persamaan garis A yaitu PI = 0,73 (LL 20)
maka tanah lempung tersebut dominan berada di
atas garis A sehingga dapat ditentukan jenis
tanah yang digunakan yaitu termasuk dalam
kelompok CH adalah lempung nonorganik
dengan plastisitas tinggi lempung gemuk
(fat clays).

4.2 Pengaruh siklus pengeringan dan pembahasan
pada tanah lempung
a. Pengaruh hasil uji batas susut terhadap
perubahan volume tanah
Pengujian batas susut pada tanah penting untuk
mengetahui potensi perubahan volume yang
terjadi khususnya akibat pengaruh perubahan
iklim dan cuaca terhadap siklus pengeringan
dan pembasahan. Berikut ini tabel hasil
pengujian batas susut terhadap perubahan
volume tanah.
Dari hasil uji batas susut diperoleh volume
tanah sebelum dan sesudah dikeringkan,
menunjukkan perbedaan volume untuk kondisi
tanah kering udara maupun tanah dalam
kondisi basah sedangkan untuk sampel 0 hari
diasumsikan bahwa belum terjadi perubahan
volume tanah.
Berdasarkan tabel 2.6, Holtz dan Gibs (1956)
dalam Bowles (1993), dari hasil penelitian ini
diperoleh nilai batas susut rata-rata SL > 12%,
sehingga termasuk tanah lempung yang
memiliki potensi perubahan volume yang kecil.
Perubahan volume tanah pada proses kering
dan basah dapat dilihat pada Gambar 6.
Dari gambar 6 ,dapat dilihat bahwa dengan
variasi waktu terhadap kondisi kering diperoleh
nilai batas susutnya (SL) semakin bertambah
yang menyebabkan persen perubahan volume
tanahnya (v) semakin kecil yaitu pada sampel
2 hari dari 18,06% turun menjadi 6,16% pada
sampel 10 hari. Sebaliknya terhadap kondisi
basah nilai batas susutnya (SL) semakin
berkurang sehingga perubahan volume
tanahnya (v) semakin besar yaitu pada sampel
2 hari dari 0,18% meningkat menjadi 11,72%
pada sampel 8 hari, tetapi karena pengaruh
kondisi tanah yang semakin jenuh maka terjadi
penurunan perubahan volume pada sampel 10
hari menjadi 10,17%.
Semakin kering kondisi tanah menyebabkan
persentase perubahan volumenya semakin
kecil, dan semakin basah kondisi tanah persen
perubahan volumenya semakin besar. Hal ini
disebabkan perbedaan kadar air yang
dikandung tanah khususnya lempung, dimana
terjadinya pengurangan kadar air menyebabkan
berat volume kering meningkat sehingga
lempung menyusut, dan bertambahnya kadar
air pada kondisi basah menyebabkan berat
volume kering berkurang sehingga terjadi
pengembangan tanah..


0
5
10
15
20
2 4 6 8 10 S iklus Kering dan Basah (Hari)
P
e
r
u
b
a
h
a
n

V
o
l
u
m
e

(
%
)
Basah
Kering

Gambar 6. Perubahan Volume Akibat Proses Pengeringan dan Pembasahan

16
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0 2 4 6 8 10 12
Waktu P embasahan (Hari)
P
e
n
g
e
m
b
a
n
g
a
n

(
%
)


Gambar 7. Hubungan Waktu Pembasahan Terhadap Persen Pengembangan


















Gambar 8. Hubungan Angka Pori dengan Tekanan untuk Sampel 2 Hari



b. Pengaruh hasil uji Swelling terhadap persen
pengembangan tanah
Pengujian swelling ini diperlukan untuk
mengetahui potensi pengembangan tanah yang
digunakan dalam penelitian ini.
Berdasarkan gambar 2.8, Vijayavergiya dan
Ghazzaly (1973) dalam Hardiyatmo (2002)
berdasarkan nilai kadar air awal (w) = 24,81%
dan batas cair (LL) = 51% sehingga dapat
ditarik garis nilai potensi pengembangannya
sebesar 1,7%. Sedangkan dari berat volume
kering (
d
) = 1,48 gr/cm
3
= 14,52 KN/m
3
dan
batas cair (LL) = 51%, diperoleh nilai potensi
pengembangannya sebesar 0,6% yang termasuk
tanah lempung dengan potensi pengembangan
sedang sampai tinggi.
Dari tabel 2.7, Snethen (1984) dalam
Hardiyatmo (2002), dari hasil penelitian ini
diperoleh persen pengembangan dari hasil
penelitian ini sebesar 0,39% sampai 0,78% yaitu
termasuk tanah lempung dengan potensi
pengembangan rendah (< 0,5%) sampai sedang
(0,5% - 1,5%). Berikut ini grafik hubungan
antara waktu pembasahan terhadap persen
pengembangan tanah seperti ditunjukkan pada
Gambar 7.
Dari Gambar 7 menunjukkan adanya kenaikan
persen pengembangan tanah dari kondisi sampel
Sampel 2 Hari


Cs = 0,004
0 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60
P1 P2
0,530

0,528

0,526

0,524

0,522

Tekanan (kg/cm
2
)
A
n
g
k
a

P
o
r
i

Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

17
awal 2 hari sampai kondisi sampel 10 hari,
dengan asumsi pada sampel 0 hari belum terjadi
pengembangan tanah.
Variasi waktu pembasahan 2 hari diperoleh
persen pengembangan tanah sebesar 0,49% dan
pada sampel 4 hari turun menjadi 0,39%. Hal ini
dapat disebabkan kondisi tanah pada saat
dibasahkan mengalami perubahan volume
dimana ikatan antara butir-butir tanah
mengalami deformasi sehingga memudahkan
masuknya air dan udara ke dalam tanah, serta
kurangnya ketelitian saat pengujian di
laboratorium.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin kecil
persen pengembangan lempung yang terjadi,
maka kecil kemungkinan naiknya permukaan
tanah. Persen pengembangan tergantung pada
besarnya jumlah mineral lempung dalam tanah.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik
hubungan angka pori dengan tekanan pada
variasi waktu 2 hari seperti pada Gambar 8.
Dari Gambar 8, menunjukkan hubungan angka
pori terhadap tekanan awal (P
1
) sebesar 0,25
kg/cm
2
dan penambahan tekanan (P
2
) menjadi
0,50 kg/cm
2
sehingga diperoleh nilai indeks
pemuaian/pengembangan tanah (C
s
).
Untuk kondisi 2 hari diperoleh angka pori awal
pada beban 0,25 kg/cm2 sebesar 0,529, pada
penambahan beban menjadi 0,50 kg/cm
2
nilai
angka pori turun menjadi 0,523, dan saat beban
dikurangi menjadi beban semula yaitu 0,25
kg/cm, nilai angka pori mulai bertambah
sebesar 0,526 dan diperoleh nilai indeks
pengembangan Cs = 0,004.
Lamanya waktu pembasahan dapat
mempengaruhi bertambahnya nilai angka pori
tanah. Pada kondisi sampel 2 hari hingga sampel
6 hari terjadi proses penyerapan air sehingga
pori-pori tanah terisi penuh oleh air dan tanah
menjadi jenuh, sementara pada sampel 8 dan 10
hari terjadi pengurangan angka pori disebabkan
karena kondisi tanah yang semakin jenuh
sehingga semakin besar
Pembebanan yang diberikan maka semakin besar
pula pengaruh kecepatan air pori untuk mengalir
keluar dari dalam tanah.
Tanah yang mengalami tekanan disebabkan oleh
beban seperti beban fondasi menyebabkan
berkurangnya angka pori tanah, dalam hal ini
pengaruh waktu pembasahan dan tingkat
pembebanan yang diberikan mempengaruhi
kecepatan air pori untuk mengalir masuk atau
keluar dari dalam tanah.

c. Pengaruh proses pengeringan dan pembasahan
terhadap nilai kuat geser tanah
Berdasarkan parameter kuat geser yaitu kohesi
(c) dan sudut gesek dalam () terhadap masing-
masing tegangan yang diberikan, maka diperoleh
nilai kuat geser tanah (S) dengan variasi waktu 2
hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari, yang
ditentukan dengan persamaan berikut :

S = c + tan
= 0,132 + 0,2 tan 27,067
= 0,23 kg/cm
2




Gambar 9. Nilai sudut gesek dalam () akibat proses kering dan basah


18



Gambar 10. Nilai kohesi tanah (c) akibat proses kering dan basah


0
0,06
0,12
0,18
0,24
0,3
0,1 0,2 0,3
Tegangan Normal
K
u
a
t

G
e
s
e
r

(
S
)
Basah 2 hari
Basah 8 hari
Kering 10 hari
Kering 6 hari
Kering 2 hari
Kering 8 hari
Kering 4 hari
Basah 4 hari
Basah 6 hari
Basah 10 hari

Gambar 11. Nilai Kuat Geser Terhadap Masing-masing Tegangan Normal
pada Siklus Kering dan Basah



Pada kondisi tanah asli (0 hari) sebelum diberi
perlakuan pengeringan dan pembasahan
diperoleh parameter kuat geser tanah yaitu
kohesi (c) = 0,13 kg/cm
2
dan sudut gesek dalam
() = 27,07 dengan nilai kuat gesernya (S) =
0,23 kg/cm
2
.
Dari Gambar 9, dapat dilihat bahwa nilai sudut
geser dalam untuk kondisi sampel kering lebih
besar dari kondisi sampel basah. Untuk sampel
kering dan basah diperoleh nilai sudut geser ()
yang semakin meningkat dari 2 hari sampai 10
hari, dengan nilai sudut geser tertinggi pada
sampel 10 hari sebesar 24,57 untuk kondisi
sampel kering dan 20,22 untuk kondisi sampel
basah. Hal ini disebabkan karena pada
lempung basah nilai plastisitasnya naik atau
jika kandungan air tanah semakin tinggi, maka
sudut gesek dalamnya menurun.
Sedangkan nilai kohesi dari proses kering dan
basah dapat dilihat pada Gambar 10.
Dari Gambar 10 menunjukkan adanya
perbedaan nilai kohesi (c) untuk sampel kering
dan sampel basah, dimana pada sampel kering
terjadi peningkatan nilai c, sementara untuk
sampel basah terjadi penurunan nilai c dari
sampel 2 hari ke 10 hari. Untuk sampel kering
diperoleh nilai kohesi tertinggi yaitu pada
sampel 10 hari dengan c = 0,13 kg/cm
2
,
sedangkan untuk sampel basah yaitu pada
sampel 2 hari dengan c = 0,09 kg/cm
2
.
Penurunan nilai kohesi dapat disebabkan
terjadinya absorbsi air oleh mineral lempung,
Pengaruh Siklus Pengeringan dan Pembasahan terhadap Kuat Geser dan Volume Tanah






MEKTEK TAHUN XII NO. 1, JANUARI 2010

19
sehingga kadar air meningkat dan gaya tarik
menarik antara butiran tanah berkurang,
dimana nilai kohesi tanah ditentukan oleh gaya
tarik menarik antar butiran tanah. Perubahan
nilai kohesi juga disebabkan pengaruh
perubahan iklim dan cuaca pada saat
pengeringan dan pembasahan, serta kondisi di
lapangan sewaktu pengambilan sampel
sehingga mempengaruhi hasil pengujian di
laboratorium. Kepadatan dan kadar air awal
digunakan kepadatan serta kadar air tanah asli,
dengan melihat bahwa kondisi tanah yang
diambil dapat mewakili kondisi aslinya di
lapangan.
Berdasarkan nilai parameter kuat geser (c dan
) dari hasil penelitian ini, maka diperoleh nilai
kuat geser tanah (S) terhadap masing-masing
tegangan normal (
n
) untuk kondisi kering dan
kondisi basah dengan variasi waktu selama 2
hari, 4 hari, 6 hari, 8 hari dan 10 hari, seperti
ditunjukkan pada Gambar 11.
Dari Gambar 11 diperoleh kohesi (c) pada
kondisi kering bervariasi antara 0,11 kg/cm
2
sampai 0,13 kg/cm
2
dengan sudut geser () dari
20,63 sampai 24,57, maka diperoleh nilai
kuat gesernya (S) antara 0,19 kg/cm
2
meningkat menjadi 0,22 kg/cm. Sedangkan
untuk kondisi basah kohesi (c) bervariasi
antara 0,09 kg/cm
2
turun menjadi 0,08 kg/cm
2

dengan sudut geser () dari 20,22 menjadi
13,60, maka diperoleh nilai kuat gesernya (S)
antara 0,17 kg/cm
2
turun menjadi 0,13 kg/cm
2
.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada
kondisi tanah kering memiliki parameter kuat
geser (c dan ) lebih besar daripada kondisi
tanah basah, dimana pada kondisi basah berat
isi bertambah, daya apung pada kondisi jenuh
menurunkan tegangan efektif antar butiran
sehingga lempung lebih cepat menjadi lemah
dan kekuatan geser tanah menurun. Semakin
besar nilai c dan , maka nilai kuat geser tanah
semakin meningkat dan kecil kemungkinan
terjadinya penurunan tanah.
Pada penelitian Fatah (2006) terhadap
paramater tanah lempung menghasilkan nilai
kohesi dan sudut geser yang cenderung sama
dengan hasil penelitian ini, yaitu pada sampel
kering dan basah diperoleh nilai c dan yang
semakin meningkat dengan variasi waktu 2
hari, 5 hari, dan 10 hari. Sebaliknya pada
sampel basah nilai c dan semakin menurun,
sehingga mempengaruhi perubahan nilai kuat
geser tanahnya.


5. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan sebelumnya dapat ditarik
simpulan:
a. Dari hasil pengujian yang dilakukan di
laboratorium, diperoleh bahwa sampel tanah
berdasarkan sistem Unified diklasifikasikan
sebagai tanah lempung (CH) yaitu lempung non
organik dengan plastisitas tinggi.
b. Berdasarkan hasil uji batas susut diperoleh
persen batas susut (SL) rata-rata >12% sehingga
tanah lempung Kalukubula dapat digolongkan
ke dalam jenis tanah lempung yang memiliki
potensi perubahan volume kecil.
c. Pada kondisi sampel 2 hari sampai 10 hari
diperoleh persen batas susut (SL) pada kondisi
kering sebesar 21,37% sampai dengan 47,87%
dengan persen perubahan volume (V) dari
18,06% turun menjadi 6,16%, sementara pada
kondisi basah diperoleh persen batas susut (SL)
sebesar 46,70% sampai dengan 26,06% dengan
persen perubahan volume (V) dari 0,18%
meningkat menjadi 10,17%. Hal ini disebabkan
pengaruh perubahan kadar air serta cuaca saat
pengeringan dan pembasahan, mempengaruhi
berat volume tanahnya. Dimana berkurangnya
kadar air tanah menyebabkan berat volume
kering meningkat sehingga lempung menyusut.
Sebaliknya bertambahnya kadar air tanah
menyebabkan berat volume kering menurun
sehingga terjadi pengembangan tanah.
d. Berdasarkan hasil uji swelling, menunjukkan
bahwa tanah yang diuji termasuk tanah lempung
yang memiliki potensi pengembangan tergolong
rendah (< 0,5%) sampai sedang (0,5% 1,5%).
e. Dari hasil uji geser langsung pada kondisi kering
memiliki nilai kohesi (c) dan sudut gesek ()
yang lebih besar daripada kondisi basah
sehingga semakin besar c dan maka semakin
besar nilai kuat geser tanahnya (S). Untuk
sampel kering 2 hari sampai 10 hari diperoleh
nilai kuat gesernya semakin meningkat dari 0,19
kg/cm
2
menjadi 0,22 kg/cm
2
, dan untuk sampel
basah nilai kuat gesernya semakin menurun dari
0,17 kg/cm
2
menjadi 0,13 kg/cm
2
. Hal ini
mengindikasikan bahwa jika tanah lempung
terkena air maka tanah cepat menjadi lemah
sehingga kuat geser tanahnya semakin menurun.

20
6. Daftar Pustaka
Bowles. J.E., 1993, Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis
Tanah (Mekanika Tanah) Alih Bahasa
Johan K. Hainim, Edisi Kedua Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Das. B.M., 1988, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip
Rekayasa Geoteknik) Jilid 1, Terjemahan
Dalam Bahasa Indonesia, Erlangga,
Jakarta.

Das. B.M., 1993, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip
Rekayasa Geoteknik) Jilid 2, Terjemahan
Dalam Bahasa Indonesia, Erlangga,
Jakarta.

Fatah, A., Suratman, I., Nasution, S., 2006, Studi
Karakteristik Parameter Kuat Geser
Tanah Lempung Pasir Honje-Tol
Cipularang Jawa Barat, Thesis, Jurusan
Teknik Sipil dan Lingkungan ITB,
Bandung.

Hardiyatmo. C.H., 2002, Mekanika Tanah I, Edisi
Ketiga, Universitas Gadjah Mada Press,
Yogyakarta.

Madinawati, 2004, Studi Kembang-Susut Tanah
Longsoran pada Ruas Jalan Tawaeli-
Toboli. Tugas Akhir, Fakultas Teknik,
Universitas Tadulako, Palu.

Rahardjo. B., 2005, Pengaruh Pembasahan
Berulang Terhadap Parameter Kuat Geser
Tanah Longsoran Ruas Jalan Tawaeli
Toboli. Tugas Akhir, Fakultas Teknik
Universitas Tadulako, Palu.

Sosrodarsono. S., 1987. Petunjuk Perencanaan
Penanggulangan Longsoran, Departemen
Pekerjaan Umum, Jakarta.

Sosrodarsono. S., Kazuto Nakazawa, 1980,
Mekanika Tanah dan Teknik Pondasi, Alih
Bahasa L. Taulu dkk, Penerbit PT.
Pradyna Paramitra, Edisi Ketujuh, Jakarta.

Sunggono. K.H, 1984, Mekanika Tanah, Penerbit
Nova, Bandung.

Verhoef, P.N.W., 1994, Geologi untuk Teknik Sipil.
Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai