Anda di halaman 1dari 27

REFERAT DOKTER MUDA INTERNA

(Periode 31 Maret 7 Juni 2014)



PENYAKIT GINJAL KRONIK






Disusun oleh :
FENIA INDAH RAINIR
1102010099
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

Pembimbing :
Dr. Ariadi Humardhani, SpPD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PASAR REBO JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
MEI 2014

1. GINJAL
1.1 Anatomi
Ginjal terselubungi oleh suatu lapis jaringan fibrosa yang disebut hilum yang tampak
halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan sangat ketat, tetapi dapat terbuka
dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut makan dapat terlihat ginjal dengan permukaannya yang
halus dan berwarna merah tua. Di tengah-tengah ginjal terdapat rongga yang disebut sinus;
rongga tersebut juga terlapisi oleh hilum (Drake, 2009).
Segala benda seperti pembuluh darah dan duktus ekskretorik akan memasuki ginjal
melalui fisura tersebut. Duktus ekskretorik ginjal, ureter setelah masuk ke dalam ginjal akan
melebar seperti sebuah kerucut, struktur ini dinamakan pelvis. Pelvis akan bercabang menjadi dua
atau tiga percabangan yang akan memisah lagi yang disebut dengan calices atau infundibula;
semua struktur tersebut berada di dalam rongga ginjal (Drake, 2009).
Bagian korteks dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan mudah terlaserasi.
Bagian yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana arteri dan nervus masuk, dan dimana
vena dan kelenjar limfe keluar dari ginjal disebut cortical coloumn atau columna Bertini;
sementara porsi yang menghubungkan antara satu cortical coloumn dengan yang lainnya disebut
cortical arch dengan kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3 cm (Drake, 2009).
Bagian medulla dari ginjal, seperti yang telah ditulis sebelumnya, berwarna merah,
striated, dan memiliki massa berbentuk kerucut, pyramids of Malpighi; jumlahnya bervariasi dari
8-18 bergantung pada pembentukan lobus organ pada masa embrional (Drake, 2009).
Tubuli uriniferi yang membentuk sebagian besar dari ginjal mulai dari korteks ginjal,
lalu membentuk suatu sirkuit melalui korteks dan medulla, dan akhirnya berakhir di apeks
Malpighian pyramids dimana cairan yang berada di dalam tubulus tersebut mengalir ke kaliks
yang berada di dalam sinus ginjal. Bila permukaan dari salah satu papila diamati, maka dapat
terlihat bahwa permukaan papila tersebut bertaburkan dengan depresi-depresi yang berjumlah
16-20, dan bila sediaan ginjal yang segar diberi tekanan maka dapat terlihat cairan yang
terpancarkan dari depresi-depresi tersebut. Depresi-depresi tersebut bermula di korteks sebagai
Malphigian bodies, Badan-badan tersebut hanya terdapat pada bagian korteks ginjal. Setiap
badan tersebut terbagi atas dua bagian: suatu gumpalan pembuluh darah, Malphigian tuft; dan
suatu membran pembungkus, Malphigian capsule, atau capsule of Bowman (Drake, 2009).
Tubuli uriniferi yang bermula pada Malphigian bodies dalam perjalanannya melewati
korteks dan medulla dari ginjal. Setelah melewati Malphigian capsule akan ada suatu
penyempitan yang disebut neck atau leher dari tubulus tersebut. Setelah itu maka tubulus akan
berbelit pada bagian korteks membentuk proximal convoluted tubule. Dalam perjalanannya ke
daerah medulla tubulus membentuk suatu spiral yang disebut spiral tube of Schachowa. Pada
daerah medulla, tubulus tiba-tiba mengecil dan melandai ke dalam piramid dengan kedalaman
yang bervariasi membentuk descending limb of Henle s loop; lalu tubulus akan melengkung
naik (loop of Henle), membesar membentuk ascending limb of Henle s loop dan kembali
memasuki ke korteks. Ascending limb of Henle lalu membentuk distal convoluted tubule yang
menyerupai proximal convoluted tubule; ini akan berakhir dengan suatu lengkungan yang
memasuki collecting tube (Drake, 2009).

1.2 Fisiologi
A. Proses Pembentukan Urin
1. Penyaringan ( Filtrasi )
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan struktur spesifik
dibuat untuk menahan komponen selular dan medium-molekular-protein besar kedalam vascular
system,menekan cairan yang identik dengan plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini
disebut filtrate glomerular. Tumpukan glomerulus tersusun dari jaringan kapiler. Di mamalia,
arteri renal terkirim dari arteriol afferent dan melanjut sebagai arteriol eferen yang meninggalkan
glomrerulus. Tumpukan glomerulus dibungkus didalam lapisan sel epithelium yang disebut
kapsula bowman. Area antara glomerulus dan kapsula bowman disebut bowman space dan
merupakan bagian yang mengumpulkan filtrate glomerular, yang menyalurkan ke segmen
pertama dari tubulus proksimal. Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu :
endothelium capiler, membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu
lapisan sel yang perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate (Guyton,
2007).
Dinding kapiler glomerular membuat rintangan untuk pergerakan air dan solute
menyebrangi kapiler glomerular. Tekanan hidrostatik darah didalam kapiler dan tekanan oncotik
dari cairan di dalam bowman space merupakan kekuatn untuk proses filtrasi. Normalnya tekanan
oncotik di bowman space tidak ada karena molekul protein yang medium-besar tidak tersaring.
Rintangan untuk filtrasi ( filtration barrier ) bersifat selektiv permeable. Normalnya komponen
seluler dan protein plasmatetap didalam darah, sedangkan air dan larutan akan bebas tersaring
(Guyton.2007).
Pada umunya molekul dengan raidus 4nm atau lebih tidak tersaring, sebaliknya molekul
2 nm atau kurang akan tersaring tanpa batasan. Bagaimanapun karakteristik juga mempengaruhi
kemampuan dari komponen darah untuk menyebrangi filtrasi. Selain itu beban listirk (electric
charged ) dari sretiap molekul juga mempengaruhi filtrasi. Kation ( positive ) lebih mudah
tersaring dari pada anionBahan-bahan kecil yang dapat terlarut dalam plasma, seperti glukosa,
asam amino, natrium, kalium, klorida, bikarbonat, garam lain, dan urea melewati saringan dan
menjadi bagian dari endapan.Hasil penyaringan di glomerulus berupa filtrat glomerulus (urin
primer) yang komposisinya serupa dengan darah tetapi tidak mengandung protein (Guyton.2007).


2. Penyerapan (Absorbsi)
Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar dari filtered
solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari tubulus renal tiak sama. Pada
umumnya pada tubulus proksimal bertanggung jawab untuk mereabsorbsi ultrafiltrate lebih luas
dari tubulus yang lain. Paling tidak 60% kandungan yang tersaring di reabsorbsi sebelum cairan
meninggalkan tubulus proksimal. Tubulus proksimal tersusun dan mempunyai hubungan dengan
kapiler peritubular yang memfasilitasi pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur :
jalur transeluler dan jalur paraseluler. Jalur transeluler, kandungan ( substance ) dibawa oleh sel
dari cairn tubulus melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial
dibagian darah dari sel, melewati basolateral membrane plasma.
Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler bergerak dari
cairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan struktur permeable yang mendempet sel
tubulus proksimal satu daln lainnya. Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif. Di tubulus
proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal, Na, K, ATPase pump
manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga
konsentrasi Na di sel berkurang dan konsentrasi K di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar
difusi K melalui canal K membuat sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na
melewati sel apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di membrane. Pergerakan Na
melewati transporter ini berpasangan dengan larutan lainnya dalam satu pimpinan sebagai Na (
contransport ) atau berlawanan pimpinan (countertransport) (sherwood,2001).
Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini ( secondary
active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat, dan organic anion. Pengambilan
active substansi ini menambah konsentrasi intraseluler dan membuat substansi melewati
membrane plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau difusi terfasilitasi. Reabsorbsi dari
bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi gradient Na (sherwood, 2001)

3.Penyerapan Kembali (Reasorbsi)
Volume urin manusia hanya 1% dari filtrat glomerulus. Oleh karena itu, 99% filtrat
glomerulus akan direabsorbsi secara aktif pada tubulus kontortus proksimal dan terjadi
penambahan zat-zat sisa serta urea pada tubulus kontortus distal. Substansi yang masih berguna
seperti glukosa dan asam amino dikembalikan ke darah. Sisa sampah kelebihan garam, dan bahan
lain pada filtrate dikeluarkan dalam urin. Tiap hari tabung ginjal mereabsorbsi lebih dari 178 liter
air, 1200 g garam, dan 150 g glukosa. Sebagian besar dari zat-zat ini direabsorbsi beberapa kali
(Sherwood.2001).
Setelah terjadi reabsorbsi maka tubulus akan menghasilkan urin sekunder yang komposisinya
sangat berbeda dengan urin primer. Pada urin sekunder, zat-zat yang masih diperlukan tidak akan
ditemukan lagi. Sebaliknya, konsentrasi zat-zat sisa metabolisme yang bersifat racun bertambah,
misalnya ureum dari 0,03`, dalam urin primer dapat mencapai 2% dalam urin sekunder.
Meresapnya zat pada tubulus ini melalui dua cara. Gula dan asam mino meresap melalui
peristiwa difusi, sedangkan air melalui peristiwa osn osis. Reabsorbsi air terjadi pada tubulus
proksimal dan tubulus distal (Sherwood.2001).

4.Augmentasi
Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus
kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5%
urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warm dan bau
pada urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang bermolekul
kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa metabolisme antara lain, CO2,
H20, NHS, zat warna empedu, dan asam urat (Guyton, 2007).
Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa pembakaran zat makanan yang
berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua senyawa tersebut tidak berbahaya bila
kadarnya tidak berlebihan. Walaupun CO2 berupa zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai
sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam darah. Demikian juga H2O dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut (Sherwood.2001).
Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein, merupakan zat yang beracun
bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika untuk
sementara disimpan dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang kurang beracun,
yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang
dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi
urobilinogen yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.Asam urat merupakan sisa
metabolisme yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai daya racun lebih
rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air rendah (Sherwood.2001).

5. Kandungan Urin
Urin mengandung sekitar 95% air. Komposisi lain dalam urin normal adalah bagian
padaat yang terkandung didalam air. Ini dapat dibedakan beradasarkan ukuran ataupun
kelektrolitanya, diantaranya adalah :
a. Molekul Organik
Memiliki sifat non elektrolit dimana memiliki ukaran yang reativ besar, didalam urin
terkandung : Urea CON2H4 atau (NH2)2CO, Kreatin, Asam Urat C5H4N4O3, Dan subtansi
lainya seperti hormon.
b.Ion Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl-), Magnesium (Mg2+, Calcium (Ca2+)
c.Dalam Jumlah Kecil : Ammonium (NH4+), Sulphates (SO42-), Phosphates (H2PO4-, HPO42-,
PO43-), (Guyton, 2007)

B. Fungsi Homeostasis Ginjal
1. Sekresi Ion
Ginjal juga mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah. Selain
itu, ginjal mempertahankan pH plasma darah pada kisaran 7,4 melalui pertukaran ion hidronium
dan hidroksil. Akibatnya, urine yang dihasilkan dapat bersifat asam pada pH 5 atau alkalis pada
pH 8. Kadar ion natrium dikendalikan melalui sebuah proses homeostasis yang melibatkan
aldosteron untuk meningkatkan penyerapan ion natrium pada tubulus konvulasi.Kenaikan atau
penurunan tekanan osmotik darah karena kelebihan atau kekurangan air akan segera dideteksi
oleh hipotalamus yang akan memberi sinyal pada kelenjar pituitari dengan umpan balik negatif.
Kelenjar pituitari mensekresi hormon antidiuretik vasopresin, untuk menekan sekresi air,
sehingga terjadi perubahan tingkat absorpsi air pada tubulus ginjal. Akibatnya, konsentrasi cairan
jaringan akan kembali menjadi 98 persen(Guyton, 2007).
Fungsi pemindahan ini terdapat dalam tubulus proksimal yaitu mengambil dan
memindahkan ion organic dan disekresikan ke cairan tubulus. Ion organic ini termasuk
endogenous produk sisa dan exogenous drugs dan racun. Ion organic seperti garam, oxalate,
urate, creatinine, prostaglandin, epinephrine dan hipurates merupakan sisa produk endogen yang
disekresikan ke cairan tubulus proksimal (Guyton, 2007).
Urine terbentuk dalam ginjal dan membuangnya dari tubuh lewat saluran. Urine terdiri
dari 98% air dan yang lainnya terdiri dari pembentukan metabolisme nitrogen (urea, uric acis,
creatinin dan juga produk lain dari metabolisme protein Urine biasanya bersifat kurang asam
dengan pH antara 5 7. Urine yang sehat gaya beratnya berkisar 1.010 1.030, tergantung
perbandingan larutan dengan air (Guyton, 2007).

2. Mekanisme Umpan Balik Penyeimbangan Cairan Dalam Tubuh
Diantara kemungkinannya ialah:
1. Apabila banyak garam dalam badan dan kurang air
2. Apabila kurang garam dalam badan dan banyak air
Apabila kadar garam lebih dari jumlah normal dan kurang air dalam badan, tekanan
osmosis darah akan meningkat, osmoreseptor pada hipotalamus akan terangsang kemudian
kelenjar hipofisis akan dirangsang lebih aktif untuk mensekresikan hormon ADH (antidiuretik)
untuk meningkatkan permeabilitas tubulus ginjal terhadap air, kelenjar (hormon aldosteron) akan
kurang dirangsang, maka lebih banyak air diserap dan kurang ion natrium dan ion kalsium
diserap kembali masuk dalam tubuh, tekanan osmosis darah akan turun, proses ini akan berulang
sehingga tekanan osmosis darah pada jumlah normal.
Apabila kadar garam lebih rendah dari jumlah normal dalam tubuh dan lebih banyak air
dalam tubuh, tekanan osmosis darah akan menurun, osmoreseptor pada hipotalamus akan
terangsang kemudian kelenjar pituitari akan kurang dirangsang untuk mensekresikan hormon
ADH (antidiuresis) untuk mengurangi permeabilitas tubulus ginjal terhadap air, kelenjar adrenal
(hormon aldosteron) akan dirangsang dengan lebih aktif, maka lebih sedikit air diserap dan lebih
sedikit juga natrium dan kalsium diserap kembali masuk dalam tubuh, tekanan osmosis darah
akan naik, proses ini akan berulang sehingga tekanan osmosis darah berada pada jumlah normal .



C. Hormon yang Berperan Dalam Proses Pembentukan Urin
ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat
mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus
yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas
dan menurunkan cairan ekstrasel (Guyton, 2007).
Aldosteron
Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di
tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan
konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin renin (Guyton, 2007).
Prostaglandin
Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berlungsi merespons
radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan
gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal
(Guyton, 2007).
Gukokortikoid
Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang
menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium (Guyton, 2007).
Renin
Selain itu ginjal menghasilkan Renin; yang dihasilkan oleh sel-sel apparatus
jukstaglomerularis pada :
1. Konstriksi arteria renalis ( iskhemia ginjal )
2. Terdapat perdarahan ( iskhemia ginjal )
3. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra )
4. Innervasi ginjal dihilangkan
5. Transplantasi ginjal ( iskhemia ginjal )

Sel aparatus juxtaglomerularis merupakan regangan yang apabila regangannya
turun akan mengeluarkan renin. Renin mengakibatkan hipertensi ginjal, sebab renin
mengakibatkan aktifnya angiotensinogen menjadi angiotensin I, yg oleh enzim lain
diubah menjadi angiotensin II; dan ini efeknya menaikkan tekanan darah (sherwood,
2001)

D. Mekanisme Mikturisi
Mekanisme proses Miksi ( Mikturisi ) Miksi ( proses berkemih ) ialah proses dimana
kandung kencing akan mengosongkan dirinya waktu ia sudah penuh dgn urine. Mikturisi ialah
proses pengeluaran urine sebagai gerak refleks yang dapat dikendalikan (dirangsang/dihambat)
oleh sistim persarafan dimana gerakannya dilakukan oleh kontraksi otot perut yg menambah
tekanan intra abdominalis, dan organ organ lain yang menekan kandung kencing sehigga
membantu mengosongkan urine (Guyton,2007)
Pada dasarnya, proses miksi/mikturisi merupakan suatu refleks spinal yg dikendalikan
oleh suatu pusat di otak dan korteks cerebri. Proses miksturisi dapat digambarkan dalam skema di
bawah ini:
Pertambahan volume urine tekanan intra vesicalis keregangan dinding vesicalis
(m.detrusor) sinyal-sinyal miksi ke pusat saraf lebih tinggi (pusat kencing) untuk diteruskan
kembali ke saraf saraf spinal timbul refleks spinal melalui n. Pelvicus timbul perasaan
tegang pada vesica urinaria sehingga akibatnya menimbulkan permulaan perasaan ingin berkemih
(Guyton,2007).

























2. PENYAKIT GINJAL KRONIK
2.1 Definisi
Menurut National Kidney Foundation (2002) dalam JNHC (2003) penyakit ginjal kronik
adalah terdapat kelainan patologik ginjal atau adanya kelainan pada urin umumnya jumlah protein
urin atau sedimen urin selama tiga bulan atau lebih yang tidak bergantung pada nilai laju filtrasi
glomerulus. Disamping itu, seseorang dapat juga dikatakan penyakit ginjal kronik jika laju filtrasi
glomerulus kurang dari 60 ml/men./1.73 m2 dengan atau tanpa kerusakan ginjal selama minimal
3 bulan (Suwira, 2007).
Batasan penyakit ginjal kronik (Suwira, 2007):
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
Kelainan patologik
Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan
pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan
ginjal.

2.2 Etiologi
Penyebab Penyakit Ginjal Kronik diantaranya adalah (Arora, 2014):
Nefropati Diabetik
Hipertensi
Penyakit Vaskular
Stenosis Arteri Renalis
Trombosis Vena Renalis
Athroemboli
Penyakit Glomerular
Primer
Sekunder
Diabetes Melitus
Lupus Erimatosus Sistemik
Artitis Rheumatoid
Pemakaian Heroin
Neoplasia
Thrombotic Thrombocytopenic Purpura
Infeksi Parasit
Penyakit Ginjal Kistik
Penyakit Tubulointerstitial
Obstruksi Saluran Kemih
Urolithiasis
Benign Prostatic hipertropi
Tumor
Batu Ginjal Berulang
Kelainan Ginjal Kongenital

2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkitakan 100 juta
kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di Negara
berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar 40-60 kasis perjuta penduduk per
tahun (Suwira, 2007)
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun 2000 (Suwira,2007)
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)

2.4 Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus
yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.
Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan
ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan
fungsi ginjal sedang, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal berat, dan
stadium 5 adalah gagal ginjal (Suwira, 2007). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Derajat Penjelasan LFG
(mL/menit/1,73m
2
)

1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60-89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30-59
4

Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29
5 Gagal ginjal <15 atau
dialisis

2.5 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,
akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi (Suwira, 2007; Arora, 2014)
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi,
hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerolus maupun interstitial (Suwira,2007).
Perjalanan umum penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti (Suwira,2007).
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar
BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda,
tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga mulai
meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita misalnya
mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium insufisiensi ginjal ini
pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan pemekatan) mulai timbul.
Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan perubahan makanan atau minuman
yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala
tersebut hanya akan terungkap dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti
(Suwira,2007).
Stadium berat dan stadium terminal penyakit ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron telah
hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10% dari
keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang. Pada
keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok sebagai
respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal,
penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi isoosmotis
dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya menjadi oligourik
(pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus meskipun proses
penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan biokimia dan gejala-gejala
yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir
gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia mendapat pengobatan dalam bentuk
transplantasi ginjal atau dialysis (Suwira,2007).
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium, tetapi
dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut (Suwira,2007).

2.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Suwira, 2007 ; Arora,
2014 ; Muray, 2007) .

a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada
pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada pasien penyakit ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi
besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang
pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh
substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik (Suwira,2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat
8besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya (Suwira,2007 ; Muray, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain
bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian
tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat
dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan
kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL (Suwira,2007).

b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien penyakit ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga
mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia
inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-
keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika (Arora, 2014)

c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi
maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau
deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat 9iritasi
dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal
kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier (Suwira,2007)..

d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah
tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan
kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.



e. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada penyakit ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.

2.7 Diagnosis
Pendekatan diagnosis penyakit ginjal kronik (PGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis (Suwira,2007).
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan
penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan
objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau
hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri,
leukosuria, dan silinder (Suwira,2007).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi (Suwira,2007):
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa melewati
filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh kontras terhadap
ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.8 Tatalaksana
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaikimetabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah ataumengurangi
toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutamagangguan keseimbangan
negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengantujuan utama,
yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara
status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlahdiuresis
mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan
penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium(hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikansuplemen alkali. Terapi alkali
(sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravenabila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20
mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien penyakit ginjal kronik. Dosis inisial 50u/kg IV 3
kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberianmenjadi 2 kali
seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tigakali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adalah 11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang seringdijumpai pada
PGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chiefcomplaint) dari PGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosamulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang
harus dilakukan yaitu program terapidialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguleryang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi terbukti
dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi danantiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yangpenting,
karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan olehpenyakit kardiovaskular.
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainankardiovaskular yang diderita, termasuk
pengendalian diabetes, hipertensi,dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan
cairan dan gangguankeseimbanagan elektrolit.

3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialysis peritoneal, dan
transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksikazotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap
akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakanterapi dialisis, yaitu indikasi absolut
dan indikasi elektif. Beberapa yang termasukdalam indikasi absolut, yaitu perikarditis,
ensefalopati/neuropati azotemik, bendunganparu dan kelebihan cairan yang tidak responsif
dengan diuretik, hipertensi refrakter,muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120
mg% dan kreatinin > 10mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m2, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis(CAPD) di
pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitupasien anak-anak dan
orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telahmenderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akanmengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal
terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity
dan comortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk
melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal

2.9 Prognosis
Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan terapi,
dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai
angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani dialisis kronik.
Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh
darah otak (6%), dan keganasan (4%) (Arora, 2014).

2.10 Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian
berat badan.


















DAFTAR PUSTAKA
Arora, Pradeep. 2014.Chronic Kidnye disease. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview, 18 Mei 2014.

Drake, Richard et al. 2009. Grays Anatomy for Student. Philadelphia : Elsevier
Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification, and Stratification. Diunduh dari
http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm PGK, 18 Mei 2014

Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC

Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. 2007. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of Clinical
Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University. 294-97.

Sherwood, Lauree. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC

Suwira, Ketut. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;. hlm 570-3.

Anda mungkin juga menyukai