Anda di halaman 1dari 10

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk oval dengan
ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20g. Terletak didalam scrotum
dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih
rendah dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior
kecuali pada sisi dorsal dimana terdapat epididymis dan pedikel vaskuler.
Sedangkan epididymis merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak
disekeliling bagian dorsal dari testis. Suplai darah arteri pada testis dan
epididymis berasal dari arteri renalis. Pada perkembangannya, testis mengalami
desensus dari posisi asalnya didekat ginjal menuju scrotum. Terdapat beberapa
mekanisme yang menjelaskan mengenai proses ini antara lain adanya tarikan
gubernakulum dan tekanan intraabdominal. Faktor endokrine dan axis
hypothalamus-pituitary-testis juga berperan dalam proses desensus testis. Antara
minggu ke 12 dan 17 kehamilan, testis mengalami migrasi transabdominal menuju
lokasi didekat cincin inguinal interna

4



2.2. Definisi
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpeluntir
yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri
ketestis dan epididymis.
1

2.3. Epidemiologi
Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi
padausia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus.
Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun.
1,8
Terdapat kecenderungan
penurunan insiden sesuai dengan peningkatan usia. Lee dkk menemukan 26%
pasien dengan torsio testis di atas usia 21 tahun. Peningkatan insiden selama usia
dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali
selama pubertas.
9
Testis kiri lebih sering terjadi disbanding testis kanan, hal ini
mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang.
Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase
prenatal dan 30% terjadi postnatal.
2


2.4. Etiologi
Penyebab dari torsio testis masih belum diketahui dengan pasti. Trauma
terhadap scrotum bisa merupakan faktor pencetus, sehingga torsio harus
dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan nyeri setelah trauma bahkan pada
trauma yang tampak kurang signifikan sekalipun. Dikatakan pula bahwa spasme
dan kontraksi dari otot kremaster dan tunica dartos bisa pula menjadi faktor
pencetus. Dalam salah satu literatur disebutkan bahwa torsio testis lebih sering
terjadi pada musim dingin, terutama pada temperatur di bawah 2
o
C. Selain karena
trauma, 50% kasus torsio testis terjadi pada saat tidur.
1
Hanya 4-8% kasus torsio
testis disebabkan oleh karena trauma. Faktor predisposisi lain terjadinya torsio
meliputi peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor
testis, testis yang terletak horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan
dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang.
7
Longo dkk mengungkapkan
5



hubungan antara torsio testis dengan peningkatan kadar testosterone dan elevasi
serta rotasi testis selama siklus responseksual.

2.5. Patofisiologi
Terdapat 2 jenis torsio testis berdasarkan patofisiologinya yaitu
intravagina dan ekstravagina torsio. Torsio intravagina terjadi di dalam tunika
vaginalis dan disebabkan oleh karena abnormalitas dari tunika pada spermatic
cord di dalam scrotum. Secara normal, fiksasi posterior dari epididymis dan
investment yang tidak komplet dari epididymis dan testis posterior oleh tunika
vaginalis memfiksasi testis pada sisi posterior dari scrotum. Kegagalan fiksasi
yang tepat dari tunika ini menimbulkan gambaran bentuk bell-clapper deformitas,
dan keadaan ini menyebabkan testis mengalami rotasi pada cord sehingga
potensial terjadi torsio. Torsio ini lebih sering terjadi pada usia remaja dan dewasa
muda.
Ekstravagina torsio terjadi bila seluruh testis dan tunika terpuntir pada axis
vertical sebagai akibat dari fiksasi yang tidak komplet atau non fiksasi dari
gubernakulum terhadap dinding scrotum, sehingga menyebabkan rotasi yang
bebas di dalam scrotum. Kelainan ini sering terjadi pada neonatus dan pada
kondisi undesensus testis.
6




Gambar. A.Ekstravagina torsio, B Intravagina torsio

2.6. Gejala Klinis
Gejala pertama dari torsio testis adalah hampir selalu nyeri. Gejala ini bisa
timbul mendadak atau berangsur-angsur, tetapi biasanya meningkat menurut
derajat kelainan. Riwayat trauma didapatkan pada 20% pasien, dan lebih dari
sepertiga pasien mengalami episode nyeri testis yang berulang sebelumnya.
2,10

Derajat nyeri testis umumnya bervariasi dan tidak berhubungan dengan luasnya
serta lamanya kejadian. Pembengkakan dan eritema pada scrotum berangsur-
angsur muncul. Dapat pula timbul nausea dan vomiting, kadang-kadang disertai
demam ringan. Gejala yang jarang ditemukan pada torsio testis ialah rasa panas
dan terbakar saat berkermih, dan hal ini yang membedakan dengan orchio-
epididymitis.
10
Adapun gejala lain yang berhubungan dengan keadaan ini antara
lain :
7



a. Nyeri perut bawah
b. Pembengkakan testis
c. Darah pada semen

2.7. Diagnosis
2.7.1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat membantu membedakan torsio testis dengan
penyebab akut scrotum lainnya.
7
Testis yang mengalami torsio pada scrotum akan
tampak bengkak dan hiperemis. Eritema dan edema dapat meluas hingga scrotum
sisi kontralateral. Testis yang mengalami torsio juga akan terasa nyeri pada
palpasi. Jika pasien datang pada keadaan dini, dapat dilihat adanya testis yang
terletak transversal atau horizontal. Seluruh testis akan bengkak dan nyeri serta
tampak lebih besar bila dibandingkan dengan testis kontralateral, oleh karena
adanya kongesti vena. Testis juga tampak lebih tinggi di dalam scotum
disebabkan karena pemendekan dari spermatic cord. Hal tersebut merupakan
pemeriksaan yang spesifik dalam menegakkan dianosis. Biasanya nyeri juga tidak
berkurang bila dilakukan elevasi testis (Prehn sign). Pemeriksaan fisik yang
paling sensitif pada torsio testis ialah hilangnya refleks cremaster. Dalam satu
literatur disebutkan bahwa pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 99% pada torsio
testis.
7

2.7.2. Pemeriksaan Penunjang
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila diagnosis torsio
testis masih meragukan atau bila pasien tidak menunjukkan bukti klinis yang
nyata.
6,9
Dalam hal ini diperlukan guna menentukan diagnosa banding pada
keadaan akut scrotum lainnya. Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan
adanya infeksi pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap dapat
menunjukkan hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien.
Namun pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin
dilakukan. Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP) dapat
membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut scrotum. Modalitas
8



diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler ultrasonografi (USG
Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan technetum 99m
(99mTc) pertechnetate dengan akurasi diagnostik 90%. Kedua metode tersebut
digunakan untuk menilai aliran darah ke testis dan membedakan torsio dengan
kondisi lainnya.

2.8. Diagnosis Banding
Torsio testis harus selalu dibedakan dengan kondisi-kondisi lain sebagai
penyebab dari akut scrotum, antara lain :
a. Epididymio-orchitis
b. Hydrocele
c. Varicocel
d. Hernia incarserata
e. Tumor testis
f. Torsio appendix testis/epididymis
g. Edema scrotum idiopatik

2.9. Penatalaksanaan
2.9.1. Detorsi Manual
Sekali diagnosis torsio testis ditegakkan, maka diperlukan tindakan
pemulihan aliran darah ke testis secepatnya. Biasanya keadaan ini memerlukan
eksplorasi pembedahan. Pada waktu yang sama ada kemungkinan untuk
melakukan reposisi testis secara manual sehingga dapat dilakukan operasi elektif
selanjutnya.
Namun, biasanya tindakan ini sulit dilakukan oleh karena sering
menimbulkan nyeri akut selama manipulasi. Pada umumnya terapi dari torsio
testis tergantung pada interval dari onset timbulnya nyeri hingga pasien datang.
Jika pasien datang dalam 4 jam timbulnya onset nyeri, maka dapat diupayakan
tindakan detorsi manual dengan anestesilokal. Prosedur ini merupakan terapi non
invasif yang dilakukan dengan sedasi intravena menggunakan anestesi lokal (5 ml
Lidocain atau Xylocaine 2%). Sebagian besar torsio testis terjadi ke dalam dan ke
9



arah midline, sehingga detorsi dilakukan keluar dan ke arah lateral. Selain itu,
biasanya torsio terjadi lebih dari 360
o
, sehingga diperlukan lebih dari satu rotasi
untuk melakukan detorsi penuh terhadap testis yang mengalami torsio. Tindakan
non operatif ini tidak menggantikan explorasi pembedahan. Jika detorsi manual
berhasil, maka selanjutnya tetap dilakukan orchidopexy elektif dalam waktu 48
jam. Dalam literatur disebutkan bahwa tindakan detorsi manual hanya
memberikan angka keberhasilan 26,5%. Sedangkan penelitian lain menyebutkan
angka keberhasilan pada 30-70% pasien.

2.9.2. Pembedahan
Dalam hal detorsi manual tidak dapat dilakukan, atau bila detorsi manual
tidak berhasil dilakukan maka tindakan eksplorasi pembedahan harus segera
dilakukan. Pada pasien-pasien dengan riwayat serangan nyeri testis yang berulang
serta dengan pemeriksaan klinis yang mengarah ke torsio sebaiknya segera
dilakukan tindakan pembedahan. Hasil yang baik diperoleh bila operasi dilakukan
dalam 4 jam setelah timbulnya onset nyeri. Setelah 4 hingga 6 jam
biasanyanekrosis menjadi jelas pada testis yang mengalami torsio.
Eksplorasi pembedahan dilakukan melalui insisi scrotal midline untuk
melihat testis secara langsung dan guna menghindari trauma yang mungkin
ditimbulkan bila dilakukan insisi inguinal. Tunika vaginalis dibuka hingga tampak
testis yang mengalami torsio. Selanjutnya testis direposisi dan dievaluasi
viabilitasnya. Jika testis masih viabel dilakukan fiksasi orchidopexy, namun jika
testis tidak viabel maka dilakukan orchidectomy guna mencegah timbulnya
komplikasi infeksi serta potensial autoimmune injury pada testis kontralateral.
Oleh karena abnormalitas anatomi biasanya terjadi bilateral, maka orchidopexy
pada testis kontralateral sebaiknya juga dilakukan untuk mencegah terjadinya
torsio di kemudian hari
10





2.10. Komplikasi
Torsio dari testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu
kegawat daruratan dalam bidang urologi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara
onset gejala yang timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual akan
menurunkan angka pertolongan terhadap testis hingga 55-85%. Putusnya suplai
darah ke testis dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis.
Atrofi dapat terjadi beberapa hari hingga beberapa bulan setelah torsio
dikoreksi.Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila torsio telah terjadi 8 jam
atau lebih. Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi :
a. Infark testis
b. Hilangnya testis
c. Infeksi
d. Infertilitas sekunder
e. Deformitas kosmetik
11




Gambaran testis yang mengalami nekrosis

2.11. Prognosis
Jika torsio dapat didiagnosa secara dini dan dilakukan koreksi segera
dalam 5-6 jam, maka akan memberikan prognosis yang baik dengan angka
pertolongan terhadap testis hampir 100%. Setelah 6 jam terjadi torsio dan
gangguan aliran darah, maka kemungkinan untuk dilakukan tindakan pembedahan
juga meningkat. Namun, meskipun terjadi kurang dari 6 jam, torsio sudah dapat
menimbulkan kehilangan fungsi dari testis. Setelah 18-24 jam biasanya sudah
terjadi nekrosis dan indikasi untuk dilakukan orchidectomy. Orchidopexy tidak
memberikan jaminan untuk tidak timbul torsio di kemudian hari, meskipun
tindakan ini dapat menurunkan kemungkinan timbulnya hal tersebut.
Keberhasilan dalam penanganan torsio ditentukan oleh penyelamatan testis
yang segera serta insiden terjadinya atrofi testis, dimana hal tersebut berhubungan
secara langsung dengan durasi dan derajat dari torsio testis. Keterlambatan
intervensi pembedahan akan memperburuk prognosis serta meningkatkan angka
kejadian atrofi testis.

12

Anda mungkin juga menyukai