Anda di halaman 1dari 17

PENGATURAN HORMONAL PADA MENSTRUASI

Sunani (3425110161)*
*Corresponding author: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Jl.Pemuda No. 10 Rawamangun, Jakarta Timur. Indonesia. Tel.: +62 21 4894909
E-mail address: sunani_biologiunj2011@yahoo.com

MAKALAH ENDOKRINOLOGI








JURUSAN BIOLOGI
PRODI BIOLOGI REGULER 2011
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2014

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Pengaturan
Hormonal pada Menstruasi. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas mata
kuliah Fisiologi Hewan jurusan Biologi Universitas Negeri Jakarta pada semester 100.
Makalah ini penulis susun untuk menerangkan tentang proses fisiologis dan
pengaturan hormonal yang terjadi dalam tubuh wanita pada saat mentruasi. Selain itu
juga untuk menambah pengetahuan serta wawasan pembaca.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
penulis harapkan demi penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik untuk diri penulis sendiri
maupun pembaca makalah ini.
Jakarta, Juni 2014


Penulis




3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... 1
KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5
1. Kontrol Hormonal pada Alat Reproduksi Wanita ...................................................... 5
2. Daur Ovarium ........................................................................................................... 5
3. Transisi dari Fase Folikel Luteal ke Uterus ............................................................... 11
4. Daur Menstruasi di Uterus ........................................................................................ 11
5. Waktu Ovulasi dalam Hubungannya dengan Daur Menstruasi ................................ 16
PENUTUP .................................................................................................................... 17
1. Kesimpulan ............................................................................................................... 17
2. Saran ........................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA















4

PENDAHULUAN
Sistem endokrin merupakan sIstem kelenjar yang memproduksi substansI untuk
digunanakan di dalam tubuh. Kelenjar endokrin mengeluarkan substansi yang tetap
beredar dan bekerja di dalam tubuh yang disebut hormon. Hormon adalah zat yang
dilepaskan ke dalam aliran darah dari suatu kelenjar atau organ, yang mempengaruhi
kegiatan di dalam sel-sel. Sebagian besar hormon merupakan protein yang terdiri dari
rantai asam amino dengan panjang yang berbeda-beda. Sisanya merupakan steroid,
yaitu zat lemak yang merupakan derivat dari kolesterol. Hormon dalam jumlah yang
sangat kecil bisa memicu respon tubuh yang sangat luas. Hormon terikat kepada
reseptor di permukaan sel atau di dalam sel. Ikatan antara hormon dan reseptor akan
mempercepat, memperlambat atau merubah fungsi sel. Pada akhirnya hormon
mengendalikan fungsi dari organ secara keseluruhan.
Beberapa hormon hanya mempengaruhi 1 atau 2 organ, sedangkan hormon yang
lainnya mempengaruhi seluruh tubuh. Pengontrolan tertinggi ada pada kelenjar
hipotalamus dan hipofisis yang apabila kadar hormon yang lainnya rendah atau tinggi
maka harus ada pengontrolan tertentu. Hormon yang dilepaskan oleh hipofisa masuk k
dalam peredaran darah dan merangsang aktivitas di kelenjar target. Jika kadar hormon
kelenjar target dalam darah mencukupi, maka hipotalamus dan kelenjar hipofisa
mengetahui bahwa tidak diperlukan perangsangan lagi dan mereka berhenti
melepaskan hormon. Sistem umpan balik ini mengatur semua kelenjar yang berada
dibawah kendali hipofisa.
Hormon tertentu yang berada dibawah kendali hipofisa memiliki fungsi yang
memiliki jadwal tertentu.Salah satunya pengontrolan menstruasi pada wanita.
Pengetahuan tentang hormon pengatur menstruasi ini penting diketahui oleh setiap
orang baik pria maupun wanita. Oleh karena itu dalam makalah ini membahas
pengaturan hormonal menstruasi pada wanita yang mencakup biosintesis dan
mekanisme kerja hormon yang terkait.


5

PEMBAHASAN

1. Kontrol Hormonal pada Alat Reproduksi Wanita
Sekurang-kurangnya ada 5 hormon utama yang berperan dalam pengaturan
dan pengkoordinasian daur pembentukan folikel di ovarium dan daur menstruasi di
uterus, yakni:
a. GnRH (Gonadotropic Releasing Hormone) yang diproduksi oleh hipotalamus di
otak
b. FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang dihasilkan oleh lobus anterior dari
hipofisis.
c. LH (Luteinizing Hormon) yang dihasilkan oleh lobus anterior dari hipofisis.
d. Estrogen, yang dihasilkan oleh teka folikuli interna dari folikel yang sedang
berkembang menjadi folikel de Graaf.
e. Progesteron, yang dihasilkan oleh korpus luteum.

2. Daur Ovarium
1) Fase Folikuler
Fase folikuler ini hanya menghasilkan satu ovum yang masak. Fase ini
terjadi selama 14 hari. Terdiri atas tahapan perkembangan folikel : primodial,
preantral, antral, dan preovulasi.
a. Folikel primodial
Folikel ini terdiri dari satu oosit dikelilingi sel granulosa. Oosit sudah
dibentuk sejak 5-6 minggu embrio yang berasal dari endoderm kantung yolk,
allantois, dan hindgut dan jumlah total oosit mencapai 7-8 juta pada kedua
ovarium saat minggu ke 16-20. Jumlah oosit mengalami penurunan tercepat
sebelum lahir sehingga saat lahir hanya menyisakan 300.000 dan saat
pubertas tersisa 400. Perkembangan folikel pertama terlihat pada ukurannya,
bentuk sel granulosa berubah menjadi kuboid. Dengan perbanyakan sel-sel
granulosa kuboid (sekitar 15 sel), folikel primordial menjadi folikel primer.
Lapisan granulosa dipisahkan dari sel stroma oleh membran basal disebut
lamina basal. Sel-sel stroma sekitarnya berdiferensiasi menjadi lapisan
6

konsentris disebut teka interna (paling dekat dengan lamina basal) dan teka
eksterna (bagian terluar). Lapisan teka muncul ketika proliferasi granulosa
menghasilkan 3-6 lapisan sel granulosa.
Inisiasi pertumbuhan folikel oleh Gonadotropin Stimulating Hormone.
Folicle Stimulating Hormone (FSH) berperan penting untuk pertumbuhan folikel
sebab kalau tidak berkembang akan mengalami atresia (kematian sel
terprogram). Folikel menghasilkan esterogen dari meningkatkan kerja FSH.


Gambar 1. Perkembangan folikel


b. Folikel preantral
Stimulasi FSH mendorong folikel ke tahap preantral. Oosit membesar
dan dikelilingi membran, zona pelusida. Sel-sel granulosa mengalami proliferasi
multilayer sebagai lapisan teka. Pertumbuhan ini tergantung pada gonadotropin
dan berkorelasi dengan peningkatan produksi estrogen. Sel-sel granulosa dari
folikel preantral dapat mensintesis estrogen, androgen atau progestin. Sebuah
sistem enzim aromatase bertindak untuk mengkonversi androgen menjadi
estrogen. Aromatisasi diinduksi atau diaktifkan melalui aksi FSH. Sehingga FSH
7

dapat melakukan steroidogenesis (produksi estrogen) dalam sel-sel granulosa
dan merangsang pertumbuhan sel granulosa.
Produksi estrogen dibatasi oleh kandungan reseptor FSH. Reseptor FSH
cepat mencapai konsentrasi sekitar 1500 per sel reseptor granulosa.
Steroidogenesis di folikel ovarium terutama diatur oleh gonadotropin. Jalur ini
diatur oleh banyak faktor, termasuk faktor pertumbuhan, oksida nitrat,
prostaglandin, dan peptida seperti gonadotropin - releasing hormone ( GnRH ),
angiotensin II, nekrosis jaringan factor -a, dan peptida intestinal vasoaktif.
Luteinizing hormone (LH) terikat dengan reseptornya di dalam ovarium juga
diikuti oleh aktivasi adenilat siklase - siklik AMP jalur melalui mekanisme protein
G. FSH menggabungkan secara sinergis dengan estrogen untuk mengerahkan
aksi mitogenik pada sel granulosa untuk merangsang proliferasi. Ada sistem
komunikasi yang ada dalam folikel. Tidak setiap sel memiliki mengandung
reseptor untuk gonadotropin. Androgen berfungsi sebagai substrat untuk
aromatisasi induksi FSH. Androgen ini tidak dapat dikonversi ke estrogen, juga
menghambat induksi FSH saat pembentukan reseptor LH.

c. Folikel antral
Pengaruh sinergis dari estrogen dan FSH ada peningkatan dalam
produksi cairan folikel yang terakumulasi di ruang antar sel granulosa, akhirnya
penggabungan untuk membentuk sebuah rongga sebagai transisi bertahap ke
tahap folikel antral. Estrogen menjadi substansi yang dominan dalam cairan
folikel. Sebaliknya, dengan tidak adanya FSH, androgen mendominasi.


d. Folikel preovulasi
Terdiri dari satu oosit dikelilingi sel granulosa. Sel granulosa pada folikel
preovulasi membesar dan memperoleh inklusi lipid sementara teka tersebut
menjadi vakuolisasi dan kaya pembuluh darah, memberikan folikel preovulasi
penampilan hyperemic. Oosit hasil dalam meiosis, mendekati penyelesaian
pengurangannya. Mendekati kedewasaan, folikel preovulasi menghasilkan
8

peningkatan jumlah estrogen. Selama akhir fase folikuler, estrogen meningkat
perlahan pada awalnya, kemudian dengan cepat mencapai puncaknya kira-kira
24-36 jam sebelum ovulasi.
Terjadinya lonjakan LH terjadi ketika tingkat puncak estradiol dicapai.
Reseptor LH menghambat pertumbuhan sel lebih lanjut dan memfokuskan
energi sel pada steroidogenesis. LH tidak ada dalam cairan folikel sampai
pertengahan siklus. Jika prematur LH meningkat pada plasma dan cairan
antral, aktivitas mitosis pada granulosa berkurang, degeneratif perubahan
terjadi, dan tingkat androgen intrafollicular meningkat. Oleh karena itu, dominasi
estrogen dan FSH sangat penting untuk akumulasi berkelanjutan sel granulosa
dan pertumbuhan folikel. Peningkatan jumlah hormon progesteron dapat
terdeteksi dalam vena ovarium bantalan folikel preovulasi. Reseptor
progesteron mulai muncul dalam sel-sel granulosa dari folikel dominan pada
periode periovulatory. Progesteron memfasilitasi respon umpan balik positif,
dalam sebuah tindakan langsung pada hipofisis, dan dengan adanya tingkat
subthreshold estradiol dapat menginduksi lonjakan LH.

2) Fase Ovulasi
Terjadi elaborasi estradiol pada preovulasi menstimulus ovulasi. Sebuah
perkiraan yang wajar dan akurat menempatkan ovulasi kira-kira 10-12 jam setelah
puncak LH dan 24-36 jam setelah tingkat puncak estradiol yang dicapai. Lonjakan
LH tampaknya menjadi indikator yang paling dapat diandalkan yang akan datang
ovulasi, terjadi 34-36 jam sebelum folikel pecah. Ambang batas konsentrasi LH
harus disimpan selama 14-27 jam agar terjadi pematangan penuh oosit. Lonjakan
LH berlangsung 48-50 jam dan cenderung terjadi pada sekitar jam 3 pagi dimulai
antara tengah malam dan 8:00 pada 2/3 perempuan. Lonjakan gonadotropin tidak
menjamin terjadinya ovulasi. Folikel harus berada pada tahap yang sesuai
kematangan dalam rangka untuk itu untuk menanggapi stimulus ovulasi. Lonjakan
LH memulai kelanjutan meiosis pada oosit. Faktor-faktor lokal yang mencegah oosit
pematangan dini dan luteinisasi mungkin di bawah kontrol dari oosit. Dengan
lonjakan LH, kadar progesteron dalam folikel terus meningkat sampai dengan saat
9

ovulasi. Kenaikan progresif dalam progesteron dapat bertindak untuk mengakhiri LH
gelombang sebagai efek umpan balik negatif diberikan pada konsentrasi yang lebih
tinggi. Progesteron meningkatkan distensibility dinding folikel.

3) Fase Luteal
Sebelum pecahnya folikel dan pelepasan sel telur, sel-sel granulosa
mengakumulasi pigmen kuning, lutein, sehingga prosesnya disebut luteinisasi dan
strukturnya disebut korpus luteum. Setelah 3 hari ovulasi, sel granulosa terus
membesar, dapat dibedakan dari teka dan stroma sekitarnya untuk menjadi bagian
korpus luteum. Fase luteal berlangsung antara 11 dan 17 hari dapat dianggap
normal. Korpus luteum cepat menurun 9-11 hari setelah ovulasi dan dan mekanisme
degenerasinya masih belum diketahui. Esterogen dihasilkan korpus luteum memiliki
peran penting dalam mensintesis reseptor progesterone yang menginduksi
penebalan endometrium setelah ovulasi agar ovum dapat menempel.
Pada akhir suatu menstruasi, GnRH menginduksi lobus anterior dari hipofisis
memproduksi FSH dan LH. Melalui peredaran darah kedua hormon tersebut tiba di
ovarium, akan tetapi folikel primer belum mempunyai reseptor untuk menangkap LH.
Hormon FSH menginduksi perkembangan folikel. Menjelang pembentukan folikel de
Graaf, sel-sel yang meliputi membrana granulosa berkondensasi dan membentuk
lapisan, yang disebut teka folikuli interna dan berfungsi sebagai kelenjar endokrin.
Kelenjar endokrin ini menghasilkan hormon estrogen. Di bagian luar dari teka folikuli
interna sel-sel membentuk teka folikuli eksterna (Gambar 1).
10



Gambar 1. Folikel de Graaf.

Mendekati pematangan folikel de Graaf, produksi hormon estrogen meninggi
dengan cepat. Konsentrasi hormon estrogen yang tinggi memberikan umpan balik
positif terhadap hypothalamus untuk meningkatkan produksi GnRH, sehingga
produksi FSH dan LH meningkat.
Kini folikel telah diiengkapi dengan reseptor untuk mengikat hormon LH dan
peningkatan hormon LH menginduksi pematangan folikel de Graaf dan kemudian
mengalami ovulasi. Setelah ovulasi, LH berfungsi mengubah folikel menjadi korpus
luteum. Nasib selanjutnya dari korpus luteum bergantung pada ovum yang
diovulasi, apakah dibuahi oleh spermatozoa atau tidak.
Jika ovum dibuahi (terjadi kehamilan), maka korpus luteum dipertahankan
selama 3 sampai 4 bulan. Hormon progesteron yang diproduksi oleh korpus
luteum diperlukan untuk mempertahankan endometrium dari uterus agar tidak
melecet pada bulan-bulan pertama dari kehamilan. Sesudah 4 bulan korpus luteum
berdegenerasi dan tidak menghasilkan hormon progesteron lagi. Pada waktu ini
plasenta mulai menghasilkan hormon progesteron.
Jika ovum tidak dibuahi, korpus luteum masih dapat bertahan selama kurang
lebih 14 hari, dan kemudian berdegenerasi. Sel-sel luteal berubah menjadi jaringan
11

fibrous berwarna putih,. sehingga disebut korpus albikans. Produksi hormon
progesteron praktis berhenti.

3. Transisi dari Fase Folikel Luteal ke Uterus
Penurunan esterogen dari korpus luteum dan produksi progesterone
merupakan waktu yang kritis dan menentukan untuk memilih folikel yang dominan,
ditandai dengan menstruasi. Terjadi perubahan hormon untuk siklus berikutnya yaitu
GnRH, FSH, LH, estradiol, progesteron, dan inhibin. FSH berperan dalam
perkembangan folikel baru. Peningkatan FSH yang dimulai kira-kira 2 hari sebelum
menstruasi. Kenaikan selektif dalam FSH dipengaruhi oleh perubahan sekresi
GnRH, yang sebelumnya sangat ditekan oleh tingginya estradiol dan tingkat
progesteron fase luteal.
4. Daur Menstruasi di Uterus
Satu daur menstruasi (menses) dihitung mulai dari hari pertama terjadi pendarahan
menses sampai pada hari pertama pendarahan menses berikutnya. Daur menstruasi
dapat dibagi atas 4 fase pada uterus, yakni:
a. Pasca menstruasi
b. Proliferasi
c. Sekretoris
d. Menstruasi
Contoh satu daur menstruasi 28 hari diperlihatkan pada Gambar 2.
12



Gambar 2. Fase daur menstruasi

Dinding uterus terdiri atas 3 lapis, yakni dari ruang uterus ke permukaan berturut-
turut:
a. Endometrium
b. Miometrium
c. Epimetrium
Lapisan yang berperan dalam daur menstruasi, ialah endometrium. Lapisan
endometrium masih dapat dibagi atas 3 lapisan, yakni:
a. Stratum kompaktum
b. Stratum spongiosum
c. Stratum basalis

Permukaan endometrium (stratum kompaktum) dilapisi oleh sel-sel epitel.
Pembuluh daerah arteri ada yang berjalan melilit (spiral) dan vertikal dan ada pula
yang lurus vertikal di daerah stratum basalis (Gambar 2.4).
13


Gambar 3. Endometrium dan komponennya

1) Pasca menstruasi
Pada waktu menstruasi berhenti, stratum kompaktum dan stratum
spongiosum dari endometrium telah selesai melecet (mengelupas atau mengalami
erosi). Pada waktu ini konsetnrasi hormon estrogen dan hormon progesteron
rendah, dan keadaan ini memberikan umpan balik positif bagi hipothalamus untuk
meningkatkan produksi hormon GnRH, sehingga produksi FSH dan LH mulai pula
dinaikkan. Pasca menstruasi berlarigsung kurang lebih 4 hari.
2) Fase proliferasi
Pada fase ini endometrium mulai menebal kembali secara progresif.
Penebalan dimungkinkan oleh proliferasi atau perbanyakan sel-sel endometrium
di lapisan stratum basale yang tidak mengalami erosi pada waktu menstruasi.
Proliferasi sel diinduksi oleh hormon estrogen yang dihasilkan oleh teka folikuli
interna dari folikel yang sedang berkembang menjadi folikel de Graaf. Jadi,
sementara folikel berkembang menjadi folikel de Graaf yang diinduksi oleh hormon
14

FSH, maka endometrium berproliferasi menjadi tebal oleh hormon estrogen. Pada
fase proliferasi tidak hanya terjadi penebalan endometrium, akan tetapi pula terjadi
regenerasi kelenjar-kelenjar dan pembuluh darah yang terpotong pada
waktu menstruasi.
Akhirnya terbentuk lagi stratum kompaktum dan stratum songiosum dari
endometrium. Fase ini berlangsung kurang lebih 12 hari.

3) Fase Sekretoris
Pada fase sekretoris tebalnya endometrium telah maksimum, yakni 5 sampai
7 mm. Pada pasca menstruasi tebal endometrium sisa 0,5 sampai 1 mm. Bagian
basal dari kelenjar-kelenjar uterus yang tersisa pada waktu menstruasi bertumbuh
memanjang dan kemudian berkelok-kelok. Diameter kelenjar bertambah. Sel-sel
kelenjar banyak memproduksi glikogen. Pada fase ini bagian apikal sel-sel kelenjar
melepaskan diri dan disekret ke ruang uterus bersama glikogen dan sekret lain,
sekret berupa lendir berfungsi untuk menerima blastokista, jika terjadi pembuahan.
Setelah ovulasi, hormon LH dari lobus anterior hipophysis menginduksi folikel
de Graaf yang tersisa menjadi korpus luteum. Korpus luteum ini
memproduksi hormon progesteron. Oleh peredaran darah hormon progesteron tiba di
uterus dan menginduksi sekresi kelenjar kelenjar serta mempertahankan eksistensi
tebalnya endometrium, sebagai persiapan untuk implantasi dan tempat
perkembangan embrio. Fase ini berlangsung kurang lebih 8 hari.

4) Fase menstruasi
Jika ovum tidak dibuahi, maka menjelang akhir fase sekretoris hormon
estrogen dan progesteron makin meningkat. Konsentrasi tinggi dari kedua hormon
tersebut memberikan umpan balik negatif bagi hipotalamus, sehingga
produksi homron GnRH ditekan dan mengakibatkan penurunan produksi hormon
FSH dan LH. Pada waktu LH berkurang, maka korpus luteum yang membutuhkan
LH untuk berfungsi mulai berdegenerasi dan berubah menjadi korpus albikans. Hal
ini mengakibatkan penurunan konsentrasi hormon estrogen dan progesteron.
Karena progesteron berfungsi mempertahankan fase sekretoris dan keutuhan
15

tebalnya endometrium, maka pada waktu konsentrasi hormon progesteron menuju
tajam, stratum kompaktum dan stratum spongiosum mengalami erosi. Pembuluh
darah terpotong, sehingga terjadi perdarahan. Peristiwa ini disebut menstruasi.
Darah menstruasi tidak berkoagulasi. Erosi endometrium tidak terjadi sekaligus,
melainkan setempat demi setempat sampai akhir menstruasi. Stratum basalis yang
tersisa bertumbuh kembali pada fase proliferasi dari daur berikutnya. Fase
ini berlangsung kurang lebih 4 hari.
Diagram ringkasan regulasi hormonal terhadap daur ovarium dan daur
menstruasi diperlihatkan pada gambar 4.

Gambar 4. Regulasi hormonal terhadap daur ovarium dan daur menstruasi
Kejadian jika ovum dibuahi, telah diuraikan di depan. Suatu tanda
kejadiankehamilan, ialah berhentinya menstruasi pada daur berikutnya. Saraf dan emosi
dapatmempengaruhi daur ovarium dan menstruasi. Gangguan emosional dapat
menunda atau mencegah menstruasi. Pengetahuan tentang regulasi hormon
terhadap daur ovarium dan menstruasi diterapkan dalam usaha Keluarga
Berencana.


16

5. Waktu Ovulasi dalam Hubungannya dengan Daur Menstruasi
Pada siklus 28 hari, ovulasi terjadi sekitar pertengahan siklus. Periode antara
ovulasi dan permulaan pendarahan berikutnya adalah konstan 14 hari, akan
tetapi waktu antara ovulasi dengan permulaan menstruasi sebelumnya tidak konstan.
Hal ini terjadi oleh karena panjangnya siklus menstruasi dapat bervariasi dari bulan
ke bulan pada individu yang sama. Oleh karena itu, sulit meramal tanggal ovulasi
berikutnya dihitung mulai dari tanggal permulaan menstruasi, kecuali jika wanita itu
memperlihatkan periode menstruasi yang sangat teratur.
Salah satu metode untuk mengetahui waktu ovulasi ialah dengan metode
pengukuran temperatur. Temperatur wanita diukur setiap pagi. Temperatur menjadi
rendah selama menstruasi, kemudian temperatur naik. Pada kira-kira pertengahan
siklus tiba-tiba temperatur turun dan diikuti oleh kenaikan temperatur. Turun dan
menaiknya temperatur menandakan terjadi ovulasi.
Setelah ovulasi, ovum hanya potensial dibuahi tidak lebih dari 2 hari.
Spermatozoa diintroduksi ke dalam vagina akan mati dalam waktu 3-4 hari. Oleh
karena itu kemungkinan fertilisasi hanya dapat terjadi antara 4 hari sebelum ovulasi
sampai 2 hari sesudah ovulasi. Hari-hari lain adalah "hari-hari aman" untuk
Keluarga Berencana (KB).
Metode penanggalan atau metode ritme tidak selalu berhasil, oleh karena
lamanya siklus bervariasi. Juga diketahui halnva gangguan emosional/stress dapat
menghentikan atau menunda ovulasi.










17

PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini, dapat diambil kesimpulan bahwa
pengaturan hormonal pada siklus menstruasi wanita tidak mudah dan sederhana
bahwa dalam pemikiran banyak orang apabila tidak terjadi fertilisasi maka akan
terjadi menstruasi yakni keluarnya darah dari vagina wanita. Ternyata terjadi
pengaturan yang kompleks untuk terjadinya menstruasi. Menstruasi terjadi karena
adanya pengaturan hormon-hormon dalam tubuh. Hormon-hormon tersebut
diantaranya yakni GnRH, esterogen, progesterone, LH, dan FSH. Hal ini menjadi
salah satu yang bisa membuat manusia berpikir tentang hebatnya penciptaan alam
dalam pengaturan kerjanya oleh Allah SWT.
2. Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca makalah ini untuk selalu merasa tidak
puas dengan hanya membaca makalah ini saja dan dapat membandingkan dengan
referensi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Williams, Lippincott & Wilkins. 1999. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility
6
th
. ed: Leon Speroff, Robert H. Glass, Nathan G. Kase. Ebook. OkDoKeY
Goodman, H. Maurice. 2009. Basic Medical Endocrinology 4
th
. Department of
Physiology University of Massachusetts Medical School: Academic Press.
Staff UNILA. 2012. Hormon dan Sistem Endokrin. Diakses dari
http://staff.unila.ac.id/gnugroho/files/2012/12/Hormon-dan-Sistem-Endokrin1.pdf
[5 Juni 2014]

Anda mungkin juga menyukai